Anak Setan Mulai Gentayangan

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #47 )

Lima

Anak Setan Gentayangan


Lugasi melangkah dengan ringan menyusuri tepi danau Tobil menuju ke selatan. Ia memang tidak hendak kembali menyeberang menggunakan perahu yang ditinggalkan oleh rombongan Andragi. Perahu itu lalu disembunyikan di tempat yang tidak mudah terlihat, mungkin suatu saat diperlukan.

Perjalanan menyusuri tepian danau itu menguntungkan bagi Lugasi karena dengan mudah ia bisa menangkap ikan jika lapar. Tetapi tidak selamanya mudah. Banyak rawa, hutan dan tebing yang tidak mudah dilalui. Karena itu ia lalu memutuskan untuk menjauhi tepian itu saat didepannya terhampar rawa yang sangat luas. Ia menuju sebuah bukit, dan disana ia melentingkan tubuhnya ke atas sebuah pohon yang paling tinggi. Dari puncak pohon itu ia mencoba melihat keadaan di sekelilingnya. Di belakangnya terhampar danau Tobil yang seakan tak bertepi, sedangkan dikiri dan kanannya hutan lebat. Tetapi jauh di depannya terlihat sebuah jalur yang agak terbuka. Pandangannya mengikuti jalur terbuka itu ke arah selatan dan lamat-lamat dilihatnya ada asap yang keluar dari balik pepohonan yang tampak samar-samar juga.

“Pasti disana ada sebuah desa, dan jalur itu tentu jalan dari desa itu menuju Poruteng, Sebaiknya aku melalui jalur itu dan menuju desa. Disana aku bisa mencari makan. Hihi..,” katanya kepada dirinya sendiri.

Ia segera turun dari pohon itu, dan berjalan ke arah timur hingga akhirnya menjumpai jalur yang ia lihat tadi. Dari sana ia menuju selatan, ke arah desa yang mengepulkan asap tadi. Ia tiba di desa itu saat hari sudah gelap dengan perut yang keroncongan minta segera diisi.

Seperti kebiasaannya, ia lalu mencari warung yang biasanya ada di setiap desa tempat orang bercengkerama, menginap atau bermain judi. Didapatinya sebuah warung yang tampak ramai oleh pengunjung, terutama para penjudi.

“Bolehkah saya menumpang makan disini?” tanya Lugasi.

“Silakan, saudara mau pesan apa?” jawab seorang pelayan.

“Apa saja yang diberi. Tetapi saya tidak punya uang,” jawab Lugasi.

“Enak saja. Memangnya warung ini milik kakekmu?!” gerutu si pelayan.

“Bukan. Saya tidak punya kakek. Bahkan orang tuapun tidak punya,” jawabnya dengan nada yang polos.

“Kalau begitu, segera pergi dari sini!” kata pelayan itu ambil memberi isyarat tertentu.

Beberapa orang tukang pukul warung itu, datang mendekat.

“He, pergi dari sini sebelum kami lempar keluar!” bentak seorang tukang pukul.

“Aku cuma mau  minta makan, dan sebagai gantinya aku bisa bekerja membantu warung ini jadi tukang cuci piring atau tukang pukul pun boleh,” jawab Lugasi.

“Kamu mau cari gara-gara ya?!” bentaknya.

“Aku cuma mau cari makan, bukan gara-gara. Aku tak kenal dia,” kata Lugasi seenaknya karena sikap para centeng itu tidak ramah.

“Anak Setan! Siapa namamu sebelum kau mati sia-sia disini!”

“Kau telah menyebutnya. Hihi..hi!” jawab Lugasi ringan.

“Kurang ajar! Hajar dan lempar dia keluar!”

Tiga orang tukang pukul segera menyerangnya secara bersamaan. Tetapi dengan mudah Lugasi menghindar sambil menggelindingkan tubuhnya keluar dari warung itu. Mereka segera memburunya. Para pengunjung warung langsung menghentikan kegiatan mereka dan beranjak keluar melihat apa yang akan terjadi.

Kali ini ketiga tukang pukul itu mengeluarkan golok mereka dan menyerangnya bersamaan. Lugasi meraih sepotong kayu bakar yang ada di halaman itu. Begitu diserang, ia melentingkan tubuhnya bagai bola dan tahu-tahu golok mereka terpental sambil masing-masing mengaduh kesakitan sambil memegang tangan kanannya. Rupanya pergelangan tangan mereka telah kena hajar kayu bakar itu.

“Nah, kalau begitu aku bisa jadi tukang pukul disini, kan? Hihi..hii!” katanya kepada pelayan tadi yang berdiri ketakutan.

“I..ii.ya, silakan,” katanya.

“Tuan-tuan, silakan teruskan kegiatan anda. Saya tukang pukul yang baru disini. Ketiga tukang pukul itu sekarang jadi anak buahku. Hihi.hi!,” kata Lugasi jenaka.

Bukannya takut, para pengunjung malah merasa geli dan nyaman dengan tingkah Lugasi yang jenaka. Mereka meneruskan kegiatan mereka dengan lebih santai. Pak Warku sang pemilik warung diam-diam  mengamati kejadian itu setelah diberi tahu oleh seorang pelayan. Ia malah  juga merasa bersyukur memperoleh tukang pukul yang handal. Ia lalu segera keluar menemuinya.

“Selamat datang saudaraku. Nama saya Warku, pemilik warung ini. Kami gembira saudara mau bekerja di warung ini. Siapakah nama saudara?” tanyanya.

 “Tadi sudah disebut Anak Setan oleh tukang pukul  bapak. Pakai saja nama itu, sekalian bisa memaki saya. Hihi..hi,” jawab Lugasi.

“Ah, saudara bisa saja. Tapi silakan.”

Ia memberi isyarat kepada pelayan untuk menyuguhkan hidangan selengkap mungkin.

Ketiga tukang pukul tadi segera menghampirinya dengan hormat.

“Maafkan kelancangan kami, komandan,” kata mereka.

“Ah, ya. Tidak apa-apa. Sekarang kalian  jadi teman saya,” kata Lugasi ramah.

Tidak ada hawa permusuhan ataupun marah dalam nadanya.

“Terimakasih komandan,” kata mereka sambil memberi hormat.

Kehadiran Lugasi tampaknya membawa angin baru bagi warung itu. Pengunjung semakin ramai datang keesokannya. Para pengunjung merasa nyaman karena tukang pukulnya membawa suasana nyaman serta merasa aman karena tukang pukulnya mumpuni. Pak Warku juga sangat bersyukur.

Tetapi pada hari ketiga, Lugasi mohon diri untuk meneruskan perjalanannya. Sia-sia pak Warku mencoba menahannya.

“Sungguh, pak Warku! Saya hanya sekedar mampir untuk meminta makan dalam perjalanan. Saya mohon pamit,” kata Lugasi langsung beranjak pergi.

Kepergiannya meninggalkan kesan  mendalam bagi pak Warku  meski hanya singkat dia berada disana. Dia sadar, rasa nyaman dan aman adalah unsur utama yang diharapkan oleh para pelanggannya. Ia lalu menasihati ketiga tukang pukulnya.

“Mulai saat ini kalian harus merubah penampilan kalian. Kalian harus bersikap sopan dan ramah terhadap setiap pengunjung, baik pembeli maupun yang hanya sekedar datang. Pakaian kalian harus terlihat bersih dan rapih, tidak menyeramkan. Kalian harus mencukur kumis yang melintang itu dan tidak menenteng golok secara menyolok. Paham?”

“Paham juragan. Tapi mengapa?” tanya mereka.

“Anak Setan itu telah memberi contoh kita dengan sikapnya yang ramah dan membuat para pengunjung merasa nyaman. Lihat tamu kita sekarang menjadi lebih banyak. Keramahan, itulah penyebabnya yang utama. Orang tua saya selalu bilang ‘Kalau tidak bisa tersenyum, jangan berjualan’,” jelas pak Warku.

Para centeng itu mengangguk mengerti. Sejak saat itu mereka benar-benar merubah penampilan dan sikap mereka. Para pengunjung pun kini selalu bisa merasa nyaman datang kesana. Warung pak Warku pun senantiasa ramai dikunjungi.

Sementara itu Lugasi melanjutkan perjalanannya ke arah selatan melingkari danau Tobil. Kali ini ia tidak takut kelaparan di jalan karena telah diberi bekal makanan yang banyak oleh pak Warku. Namun ia tidak tahu kalau untuk memutari danau itu ia harus menyeberangi sungai Priga yang lebar dan dalam.

Ia tiba di tepi sungai Priga menjelang petang. Disana dilihatnya beberapa nelayan yang sedang bersiap dengan perahu masing-masing. Ada yang merapikan jala, ada pula yang memuat air dan bahan makanan. Ia menghampiri sebuah perahu yang tampaknya akan segera berangkat.

“Selamat malam, pak. Bolehkah saya menumpang ikut menyeberang?” sapa Lugasi.

“Berapa yang bisa kamu bayar?” tanya si nelayan.

“Saya tidak punya uang, tetapi saya bisa membantu bapak mendayung atau menjala ikan,” jawab Lugasi.

“Kami tidak perlu tenaga seperti kamu!” hardik si nelayan.

“Biar dia ikut, paman. Kita perlu orang untuk menghemat tenaga demi pekerjaan yang lebih penting,” jawab seseorang sambil keluar dari dalam perahu.

Ternyata orang yang keluar itu tidak sendirian. Menyusul di belakangnya enam orang pria dengan tampang yang sangar. Kelihatannya mereka bukan nelayan biasa.

“Kamu boleh ikut, tetapi harus turut perintah kami! Mengerti?!” kata oarng tadi.

“Baiklah. Yang penting saya bisa ikut menyeberang,” jawab Lugasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA