Lima
Anak Setan Gentayangan
Lugasi melangkah dengan ringan menyusuri tepi
danau Tobil menuju ke selatan. Ia memang tidak hendak kembali menyeberang
menggunakan perahu yang ditinggalkan oleh rombongan Andragi. Perahu itu lalu
disembunyikan di tempat yang tidak mudah terlihat, mungkin suatu saat
diperlukan.
Perjalanan menyusuri tepian danau itu
menguntungkan bagi Lugasi karena dengan mudah ia bisa menangkap ikan jika lapar.
Tetapi tidak selamanya mudah. Banyak rawa, hutan dan tebing yang tidak mudah
dilalui. Karena itu ia lalu memutuskan untuk menjauhi tepian itu saat
didepannya terhampar rawa yang sangat luas. Ia menuju sebuah bukit, dan disana
ia melentingkan tubuhnya ke atas sebuah pohon yang paling tinggi. Dari puncak
pohon itu ia mencoba melihat keadaan di sekelilingnya. Di belakangnya terhampar
danau Tobil yang seakan tak bertepi, sedangkan dikiri dan kanannya hutan lebat.
Tetapi jauh di depannya terlihat sebuah jalur yang agak terbuka. Pandangannya
mengikuti jalur terbuka itu ke arah selatan dan lamat-lamat dilihatnya ada asap
yang keluar dari balik pepohonan yang tampak samar-samar juga.
“Pasti disana ada sebuah desa, dan jalur itu tentu
jalan dari desa itu menuju Poruteng, Sebaiknya aku melalui jalur itu dan menuju
desa. Disana aku bisa mencari makan. Hihi..,” katanya kepada dirinya sendiri.
Ia segera turun dari pohon itu, dan berjalan ke
arah timur hingga akhirnya menjumpai jalur yang ia lihat tadi. Dari sana ia
menuju selatan, ke arah desa yang mengepulkan asap tadi. Ia tiba di desa itu
saat hari sudah gelap dengan perut yang keroncongan minta segera diisi.
Seperti kebiasaannya, ia lalu mencari warung yang
biasanya ada di setiap desa tempat orang bercengkerama, menginap atau bermain
judi. Didapatinya sebuah warung yang tampak ramai oleh pengunjung, terutama
para penjudi.
“Bolehkah saya menumpang makan disini?” tanya
Lugasi.
“Silakan, saudara mau pesan apa?” jawab seorang
pelayan.
“Apa saja yang diberi. Tetapi saya tidak punya uang,”
jawab Lugasi.
“Enak saja. Memangnya warung ini milik kakekmu?!”
gerutu si pelayan.
“Bukan. Saya tidak punya kakek. Bahkan orang
tuapun tidak punya,” jawabnya dengan nada yang polos.
“Kalau begitu, segera pergi dari sini!” kata
pelayan itu ambil memberi isyarat tertentu.
Beberapa orang tukang pukul warung itu, datang
mendekat.
“He, pergi dari sini sebelum kami lempar keluar!”
bentak seorang tukang pukul.
“Aku cuma mau
minta makan, dan sebagai gantinya aku bisa bekerja membantu warung ini
jadi tukang cuci piring atau tukang pukul pun boleh,” jawab Lugasi.
“Kamu mau cari gara-gara ya?!” bentaknya.
“Aku cuma mau cari makan, bukan gara-gara. Aku tak
kenal dia,” kata Lugasi seenaknya karena sikap para centeng itu tidak ramah.
“Anak Setan! Siapa namamu sebelum kau mati sia-sia
disini!”
“Kau telah menyebutnya. Hihi..hi!” jawab Lugasi ringan.
“Kurang ajar! Hajar dan lempar dia keluar!”
Tiga orang tukang pukul segera menyerangnya secara
bersamaan. Tetapi dengan mudah Lugasi menghindar sambil menggelindingkan tubuhnya
keluar dari warung itu. Mereka segera memburunya. Para pengunjung warung langsung
menghentikan kegiatan mereka dan beranjak keluar melihat apa yang akan terjadi.
Kali ini ketiga tukang pukul itu mengeluarkan
golok mereka dan menyerangnya bersamaan. Lugasi meraih sepotong kayu bakar yang
ada di halaman itu. Begitu diserang, ia melentingkan tubuhnya bagai bola dan
tahu-tahu golok mereka terpental sambil masing-masing mengaduh kesakitan sambil
memegang tangan kanannya. Rupanya pergelangan tangan mereka telah kena hajar
kayu bakar itu.
“Nah, kalau begitu aku bisa jadi tukang pukul
disini, kan? Hihi..hii!” katanya kepada pelayan tadi yang berdiri ketakutan.
“I..ii.ya, silakan,” katanya.
“Tuan-tuan, silakan teruskan kegiatan anda. Saya
tukang pukul yang baru disini. Ketiga tukang pukul itu sekarang jadi anak
buahku. Hihi.hi!,” kata
Lugasi jenaka.
Bukannya takut, para pengunjung malah merasa geli
dan nyaman dengan tingkah Lugasi yang jenaka. Mereka meneruskan kegiatan mereka
dengan lebih santai. Pak Warku sang pemilik warung diam-diam mengamati kejadian itu setelah diberi tahu
oleh seorang pelayan. Ia malah juga
merasa bersyukur memperoleh tukang pukul yang handal. Ia lalu segera keluar
menemuinya.
“Selamat datang saudaraku. Nama saya Warku,
pemilik warung ini. Kami gembira saudara mau bekerja di warung ini. Siapakah
nama saudara?” tanyanya.
“Tadi sudah
disebut Anak Setan oleh tukang pukul
bapak. Pakai saja nama itu, sekalian bisa memaki saya. Hihi..hi,” jawab Lugasi.
“Ah, saudara bisa saja. Tapi silakan.”
Ia memberi isyarat kepada pelayan untuk
menyuguhkan hidangan selengkap mungkin.
Ketiga tukang pukul tadi segera menghampirinya
dengan hormat.
“Maafkan kelancangan kami, komandan,” kata mereka.
“Ah, ya. Tidak apa-apa. Sekarang kalian jadi teman saya,” kata Lugasi ramah.
Tidak ada hawa permusuhan ataupun marah dalam nadanya.
“Terimakasih komandan,” kata mereka sambil memberi
hormat.
Kehadiran Lugasi tampaknya membawa angin baru bagi
warung itu. Pengunjung semakin ramai datang keesokannya. Para pengunjung merasa
nyaman karena tukang pukulnya membawa suasana nyaman serta merasa aman karena
tukang pukulnya mumpuni. Pak Warku juga sangat bersyukur.
Tetapi pada hari ketiga, Lugasi mohon diri untuk
meneruskan perjalanannya. Sia-sia pak Warku mencoba menahannya.
“Sungguh, pak Warku! Saya hanya sekedar mampir
untuk meminta makan dalam perjalanan. Saya mohon pamit,” kata Lugasi langsung
beranjak pergi.
Kepergiannya meninggalkan kesan mendalam bagi pak Warku meski hanya singkat dia berada disana. Dia
sadar, rasa nyaman dan aman adalah unsur utama yang diharapkan oleh para pelanggannya. Ia lalu menasihati ketiga
tukang pukulnya.
“Mulai saat ini kalian harus merubah penampilan
kalian. Kalian harus bersikap sopan dan ramah terhadap setiap pengunjung, baik
pembeli maupun yang hanya sekedar datang. Pakaian kalian harus terlihat bersih
dan rapih, tidak menyeramkan. Kalian harus mencukur kumis yang melintang itu
dan tidak menenteng golok secara menyolok. Paham?”
“Paham juragan. Tapi mengapa?” tanya mereka.
“Anak Setan itu telah memberi contoh kita dengan
sikapnya yang ramah dan membuat para pengunjung merasa nyaman. Lihat tamu kita
sekarang menjadi lebih banyak. Keramahan, itulah penyebabnya yang utama. Orang
tua saya selalu bilang ‘Kalau tidak bisa
tersenyum, jangan berjualan’,” jelas pak Warku.
Para centeng itu mengangguk mengerti. Sejak saat
itu mereka benar-benar merubah penampilan dan sikap mereka. Para pengunjung pun
kini selalu bisa merasa nyaman datang kesana. Warung pak Warku pun senantiasa
ramai dikunjungi.
Sementara itu Lugasi melanjutkan perjalanannya ke
arah selatan melingkari danau Tobil. Kali ini ia tidak takut kelaparan di jalan
karena telah diberi bekal makanan yang banyak oleh pak Warku. Namun ia tidak
tahu kalau untuk memutari danau itu ia harus menyeberangi sungai Priga yang
lebar dan dalam.
Ia tiba di tepi sungai Priga menjelang petang.
Disana dilihatnya beberapa nelayan yang sedang bersiap dengan perahu
masing-masing. Ada yang merapikan jala, ada pula yang memuat air dan bahan
makanan. Ia menghampiri sebuah perahu yang tampaknya akan segera berangkat.
“Selamat malam, pak. Bolehkah saya menumpang ikut
menyeberang?” sapa Lugasi.
“Berapa yang bisa kamu bayar?” tanya si nelayan.
“Saya tidak punya uang, tetapi saya bisa membantu
bapak mendayung atau menjala ikan,” jawab Lugasi.
“Kami tidak perlu tenaga seperti kamu!” hardik si
nelayan.
“Biar dia ikut, paman. Kita perlu orang untuk
menghemat tenaga demi pekerjaan yang lebih penting,” jawab seseorang sambil
keluar dari dalam perahu.
Ternyata orang yang keluar itu tidak sendirian.
Menyusul di belakangnya enam orang pria dengan tampang yang sangar.
Kelihatannya mereka bukan nelayan biasa.
“Kamu boleh ikut, tetapi harus turut perintah kami!
Mengerti?!” kata oarng tadi.
“Baiklah. Yang penting saya bisa ikut menyeberang,”
jawab Lugasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.