Politik Suap dan Restu Dari Pusat

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #42 )


Sementara itu kita tengok suasana di Rajapurwa, dan sekitarnya. Ternyata memang demikian yang terjadi di tengah masyarakat. Penduduk Buntung dan Rajapurwa serta kawedanan-kawedanan di sekitarnya ramai membicarakan dan mempertentangkan keberadaan Anak Langit. Mereka menyebutnya dengan berbagai julukan seperti “Ksatria Pembakar Air”, Tuan Mata Setan” bahkan “Malaikat Pencabut Nyawa”.  Meskipun begitu, mereka merasa tidak takut bahkan sebaliknya seperti merasa dilindungi. Mereka yakin yang akan dicabut nyawanya adalah orang-orang jahat dan para penindas rakyat.

Di tempat kerjanya,  Gubernur Landipa yaitu Pangeran Cariman,  bersama petinggi Pamong Negeri dari pusat, sedang bersiap–siap untuk berangkat ke Kotaraja.

“Jadi, ternyata soal pemuda mata setan itu tidak ada, pak Gubernur,” petinggi itu menyimpulkan setelah ia menerima sejumlah besar uang emas dari gubernur Cariman.

“Begitulah, pak. Itu hanya soal perselingkuhan antara istri Adipati Rajapurwa dengan pemuda kekasihnya lalu ketahuan oleh Adipati yang menghukumnya dengan cerita mata setan itu. Tetapi si istri menjadi dendam dan meminta Setiaka membakar habis rumahnya seakan sedang dirampok atau diserang oleh perampok Gunung Kembar, dengan imbalan semua harta Adipati dan Kadipaten akan menjadi miliknya. Jadi, perampok sebenarnya ya Setiaka itu yang dengan harta jarahannya menghilang bersama pasukannya,” kata Cariman.

“Tetapi, mengapa ia menolong Adipati melarikan diri ke Karangnyara?” tanya petinggi penyelidik itu.

“Nah, itu karena rencananya tidak berjalan mulus.  Adipati ternyata lolos dan tidak terbakar di dalam rumahnya sehingga ia harus berbuat seakan menjadi dewa penolongnya. Tetapi kemudian dia akan membunuhnya di medan pertempuran melawan perampok Gunung kembar. Ini bisa dibuktikan oleh Komandan Pasukan Munggur yang diminta sebagai pasukan bantuan. Setiaka dengan lihay memisahkan pasukannya agak jauh di belakang sehingga dia dengan leluasa bisa membunuh Adipati dan membantai habis pasukan dari berbagai kawedanan,” jelas Cariman.

Memang, sehari sebelumnya Gubernur Cariman telah mengirim utusan menemui Komandan Pasukan Munggur untuk menyuapnya. Komandan yang merasa bersalah itu terkejut melihat utusan Gubernur Landipa datang dan bersiap dengan cerita bohong yang telah dia jejalkan kepada pasukannya. Kalau perlu utusan itu akan disuapnya agar melapor sesuai skenarionya.

 Pertemuan itu menjadi aneh dan lucu karena kedua belah pihak siap untuk saling menyuap. Tetapi komandan itu lebih beruntung karena sebagai tuan rumah dia bisa menanyakan keperluan si tamu datang, sementara utusan harus menjawab. Oleh karenanya, tanpa tedeng aling-aling utusan itu mengutarakan keinginan Gubernur Cariman.

“Ini namanya pucuk dicinta, ulam tiba,” bisik hati sang komandan.

Alih-alih harus berdalih mencari alasan untuk membebaskan diri, ia malah akan disuap untuk membebaskan orang yang semestinya menghukumnya. Dengan senang hati diterimanya uang suap dari Gubernur Cariman dan menjamin kata-katanya akan seperti yang telah mereka sepakati.

“Lalu, bagaimana dengan nasib perempuan itu? Kemana dia pergi?” tanya petinggi itu lagi.

“Tentu istri Adipati itu tengah bersenang-senang dengan si Setiaka itu. Banyak orang tahu kalau perempuan itu menjalin cinta segi empat. Tidak heran kalau Setiaka-lah yang menangkap pemuda mata setan, karena dia sebagai salah satu pesaing cintanya. Betul-betul roman yang seru! Hahaha!” jawab Cariman.

“Hahaha..! Seperti dongeng picisan anak muda,” kata petinggi itu turut tertawa.

“Tetapi anak buah saya yang menyelidik di luar sana tentu mendapatkan cerita yang lain!” katanya lagi.

Buru-buru Gubernur Cariman menyuruh bendaharanya mengeluarkan lagi pundi-pundinya dan memberikan kepada petinggi itu.

“Saya kira dengan ini cerita mereka akan sama,” kata Cariman.

“Ya, dengan ini saya pastikan begitu!” kata petinggi itu puas.

Mereka lalu makan dan berangkat menggunakan kereta Gubernur diiringi sepasukan prajurit yang mengawal dengan ketat ke dua petinggi negeri itu. Tiga hari kemudian mereka tiba di Kotaraja dan langsung melaporkan kehadiran mereka kepada ajudan Perdana Menteri. Mereka lalu dipersilakan beristirahat di wisma untuk para pejabat negeri sambil menunggu waktu yang disediakan oleh Perdana Menteri Jukamu. Baru dua hari kemudian mereka mendapatkan kesempatan itu.

Pada hari itu, pagi-pagi sekali mereka telah bersiap dan mendatangi kediaman Perdana Menteri dan oleh ajudan diminta menunggu di ruang tamu khusus. Beberapa saat kemudian Perdana Menteri Jukamu keluar, dan langsung menduduki tempat duduknya. Tubuhnya yang agak kecil tampak tenggelam di dalam kursi besar yang mewah. Meski bertubuh kecil, terlihat jelas guratan-guratan keras di wajahnya.

Kedua tamunya itu segera membungkuk memberi hormat, sampai dipersilakan duduk oleh tuan rumah.

“Saya mendapat kabar dari Komandan Pasukan Buntung, Pangeran Jaira, kalau Anak Langit telah muncul disana dan sempat ditangkap di Rajapurwa tetapi kemudian memporakporandakan kadipaten itu. Betulkah itu pak Gubernur?” tanya Jukamu.

“Maafkan kami Yang Mulia. Pada saat ditangkap kami semua berharap demikian tetapi dari hasil penyelidikan ternyata hanya soal perselelingkuhan semata, yang melibatkan istri Adipati, Komandan Pasukan Rajapurwa dan pemuda yang dijadikan kambing hitam sebagai si Mata Setan. Mohon Yang Mulia memastikan dari pihak penyelidik,” jawab Gubernur.

“Ah, bagaimana bisa hanya soal perselingkuhan menghancurkan seisi Kadipaten?” tanya Jukamu.

Petinggi Pamong Negeri lalu melaporkan peristiwa itu seperti skenario yang telah mereka sepakatkan.

“Jadi, kami bermaksud mengirimkan pasukan besar ke Gunung Kembar untuk menangkap Setiaka yang desersi itu,” pancing Gubernur.

“Ah, tentu dia tidak setolol itu tetap bersembunyi disana,” balas Jukamu memperbodohkannya.

“Tetapi itu soal kecil! Sepanjang dia tidak punya motif politik, biarkan dia bersenang-senang dengan wanita itu sampai dia bosan dan keluar sendiri. Jadi tak perlu bersusah payah, karena ada soal yang lebih penting!” kata Perdana Menteri.

“Kami siap menunggu perintah Yang Mulia,” kata Cariman.

“Biarlah cerita tentang Setiaka tetap seperti itu. Yang penting jangan sampai soal Anak Langit menjadi besar. Itu akan mengganggu kemapanan negeri kita. Karena itu, cerita tentang Anak Langit harus diredam. Hukum dengan keras orang-orang yang berani membesar-besarkannya!” perintah Jukamu.

“Siap Yang Mulia!” jawab kedua pejabat itu.

“Dan untuk sementara Kepala Negeri tidak perlu kita beritahu dulu. Pangeran Jaira yang tahu persis tentang Anak Langit itu saya beri tugas menumpasnya diam-diam. Karena itu saya akan menugaskan Pangeran Jaira disana supaya bisa bekerjasama dengan Gubernur soal ini. Saya minta Gubernur mengusahakan dengan segala cara agar dia terpilih menjadi Adipati Rajapurwa yang baru. Demikian juga dengan pihak Pamong Negeri. Sediakan orang yang diminta Jaira untuk menjadi Komandan Pamong Negeri di Rajapurwa. Geser Komandan yang lama ke tempat yang tidak penting!”

“Siap, Yang Mulia. Kami mengucapkan terima kasih atas bantuan Yang Mulia menugaskan orang yang mumpuni untuk bekerjasama dengan kami,” jawab Gubernur Cariman.

“Ya, itu saja yang saya minta,” kata Jukamu, lalu...

“Bagaimana dengan kehidupan ekonomi rakyat Landipa? Bukankah propinsi itu terkenal dengan penghasil ternaknya?” tanya Jukamu memnacing.

“Kami bersyukur, karena kepemimpinan Yang Mulia keadaan ekonomi rakyat semakin hari semakin baik. Hewan ternak berkembang pesat dan gemuk-gemuk. Kalau Yang Mulia tidak merasa terhina, kami ingin mempersembahkan beberapa ekor untuk Yang Mulia,” jawab Cariman mencari muka.

“Ah, tak usah kepada saya. Itu mainan anak saya, Orakuse,” jawab Jukamu.

Gubernur itu paham  maksud Jukamu dibalik kata-katanya itu. Segera setelah  minta diri Cariman menemui Orakuse dan berjanji akan segera mengirim sapi, kerbau, kuda dan kambing sebanyak seribu ekor. Anak muda itu mengingatkannya agar jangan sampai lupa dan terlalu lama.

Selepas tamunya pergi, Jukamu segera kembali masuk ke bagian dalam. Disana telah menunggu Jaira yang memang masih kerabatnya juga. Ia menunggu dengan santun.

“Beres, jaira. Kau tinggal menagih gubernur itu. Juga temanmu yang Komandan Pamong Negeri itu, kau tinggal kasih nama orang itu saja kepada pimpinan Pamong Negeri tadi,” kata Jukamu.

“Terima kasih Yang Mulia Paman Jukamu,” jawab Jaira hormat.

“Tetapi ingat, kamu harus meredam isu Anak Langit. Kalau bisa ditangkap atau dibunuh kamu akan saya jadikan gubernur. Tetapi kalau tidak bisa, rangkul dia supaya tidak berulah. Ini soal politik. Para pemberontak biasa menggunakan isu membebaskan rakyat kecil dari kemiskinan dan penderitaan. Mereka lalu menciptakan tokoh penyelamat. Saya kira itu yang sedang terjadi sekarang. Hati-hati, jangan sembarang tangkap karena malah akan semakin ramai,” nasihat Jukamu.

 “Terima kasih Yang Mulia Paman Jukamu,” jawab Jaira.

“Saya akan segera ke istana kepala negeri menemui Kepala Negeri untuk berbagai urusan,” katanya.

“Silakan paman Jukamu,” kata Jaira.

Ia lalu pamit dan segera kembali ke posnya di Buntung.

Semudah itukah Jaira bisa menjadi Adipati Rajapurwa? Kita akan melihat sepak terjangnya nanti, tetapi sebaiknya menengok dulu situasi di Gunung Kembar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA