Sementara itu kita tengok
suasana di Rajapurwa, dan sekitarnya. Ternyata memang demikian yang terjadi di
tengah masyarakat. Penduduk Buntung dan Rajapurwa serta kawedanan-kawedanan di
sekitarnya ramai membicarakan dan mempertentangkan keberadaan Anak Langit.
Mereka menyebutnya dengan berbagai julukan seperti “Ksatria Pembakar Air”, Tuan
Mata Setan” bahkan “Malaikat Pencabut Nyawa”. Meskipun begitu, mereka merasa tidak takut bahkan
sebaliknya seperti merasa dilindungi. Mereka yakin yang akan dicabut nyawanya
adalah orang-orang jahat dan para penindas rakyat.
Di tempat kerjanya, Gubernur Landipa yaitu Pangeran Cariman, bersama petinggi Pamong Negeri dari pusat, sedang
bersiap–siap untuk berangkat ke Kotaraja.
“Jadi, ternyata soal pemuda mata setan itu tidak
ada, pak Gubernur,” petinggi itu menyimpulkan setelah ia menerima sejumlah
besar uang emas dari gubernur Cariman.
“Begitulah, pak. Itu hanya soal perselingkuhan
antara istri Adipati Rajapurwa dengan pemuda kekasihnya lalu ketahuan oleh
Adipati yang menghukumnya dengan cerita mata setan itu. Tetapi si istri menjadi
dendam dan meminta Setiaka membakar habis rumahnya seakan sedang dirampok atau
diserang oleh perampok Gunung Kembar, dengan imbalan semua harta Adipati dan
Kadipaten akan menjadi miliknya. Jadi, perampok sebenarnya ya Setiaka itu yang
dengan harta jarahannya menghilang bersama pasukannya,” kata Cariman.
“Tetapi, mengapa ia menolong Adipati melarikan
diri ke Karangnyara?” tanya petinggi penyelidik itu.
“Nah, itu karena rencananya tidak berjalan mulus. Adipati ternyata lolos dan tidak terbakar di
dalam rumahnya sehingga ia harus berbuat seakan menjadi dewa penolongnya.
Tetapi kemudian dia akan membunuhnya di medan pertempuran melawan perampok
Gunung kembar. Ini bisa dibuktikan oleh Komandan Pasukan Munggur yang diminta
sebagai pasukan bantuan. Setiaka dengan lihay memisahkan pasukannya agak jauh
di belakang sehingga dia dengan leluasa bisa membunuh Adipati dan membantai
habis pasukan dari berbagai kawedanan,” jelas Cariman.
Memang, sehari sebelumnya Gubernur Cariman telah
mengirim utusan menemui Komandan Pasukan Munggur untuk menyuapnya. Komandan
yang merasa bersalah itu terkejut melihat utusan Gubernur Landipa datang dan
bersiap dengan cerita bohong yang telah dia jejalkan kepada pasukannya. Kalau
perlu utusan itu akan disuapnya agar melapor sesuai skenarionya.
Pertemuan itu
menjadi aneh dan lucu karena kedua belah pihak siap untuk saling menyuap.
Tetapi komandan itu lebih beruntung karena sebagai tuan rumah dia bisa
menanyakan keperluan si tamu datang, sementara utusan harus menjawab. Oleh
karenanya, tanpa tedeng aling-aling utusan itu mengutarakan keinginan Gubernur
Cariman.
“Ini namanya pucuk dicinta, ulam tiba,” bisik hati sang
komandan.
Alih-alih harus berdalih mencari alasan untuk membebaskan
diri, ia malah akan disuap untuk membebaskan orang yang semestinya
menghukumnya. Dengan senang hati diterimanya uang suap dari Gubernur Cariman
dan menjamin kata-katanya akan seperti yang telah mereka sepakati.
“Lalu, bagaimana dengan nasib perempuan itu?
Kemana dia pergi?” tanya petinggi itu lagi.
“Tentu istri Adipati itu tengah bersenang-senang
dengan si Setiaka itu. Banyak orang tahu kalau perempuan itu menjalin cinta
segi empat. Tidak heran kalau Setiaka-lah yang menangkap pemuda mata setan, karena
dia sebagai salah satu pesaing cintanya. Betul-betul roman yang seru! Hahaha!”
jawab Cariman.
“Hahaha..! Seperti dongeng picisan anak muda,”
kata petinggi itu turut tertawa.
“Tetapi anak buah saya yang menyelidik di luar
sana tentu mendapatkan cerita yang lain!” katanya lagi.
Buru-buru Gubernur Cariman menyuruh bendaharanya
mengeluarkan lagi pundi-pundinya dan memberikan kepada petinggi itu.
“Saya kira dengan ini cerita mereka akan sama,”
kata Cariman.
“Ya, dengan ini saya pastikan begitu!” kata petinggi
itu puas.
Mereka lalu makan dan berangkat menggunakan kereta
Gubernur diiringi sepasukan prajurit yang mengawal dengan ketat ke dua petinggi
negeri itu. Tiga hari kemudian mereka tiba di
Kotaraja dan langsung melaporkan kehadiran mereka kepada ajudan Perdana
Menteri. Mereka lalu dipersilakan beristirahat di wisma untuk para pejabat
negeri sambil menunggu waktu yang disediakan oleh Perdana Menteri Jukamu. Baru
dua hari kemudian mereka mendapatkan kesempatan itu.
Pada hari itu, pagi-pagi sekali mereka telah
bersiap dan mendatangi kediaman Perdana Menteri dan oleh ajudan diminta
menunggu di ruang tamu khusus. Beberapa saat kemudian Perdana Menteri Jukamu
keluar, dan langsung menduduki tempat duduknya. Tubuhnya yang agak kecil tampak
tenggelam di dalam kursi besar yang mewah. Meski bertubuh kecil, terlihat jelas
guratan-guratan keras di wajahnya.
Kedua tamunya itu segera membungkuk memberi
hormat, sampai dipersilakan duduk oleh tuan rumah.
“Saya mendapat kabar dari Komandan Pasukan
Buntung, Pangeran Jaira, kalau Anak Langit telah muncul disana dan sempat
ditangkap di Rajapurwa tetapi kemudian memporakporandakan kadipaten itu.
Betulkah itu pak Gubernur?” tanya Jukamu.
“Maafkan kami Yang Mulia. Pada saat ditangkap kami
semua berharap demikian tetapi dari hasil penyelidikan ternyata hanya soal
perselelingkuhan semata, yang melibatkan istri Adipati, Komandan Pasukan
Rajapurwa dan pemuda yang dijadikan kambing hitam sebagai si Mata Setan. Mohon
Yang Mulia memastikan dari pihak penyelidik,” jawab Gubernur.
“Ah, bagaimana bisa hanya soal perselingkuhan
menghancurkan seisi Kadipaten?” tanya Jukamu.
Petinggi Pamong Negeri lalu melaporkan peristiwa
itu seperti skenario yang telah mereka sepakatkan.
“Jadi, kami bermaksud mengirimkan pasukan besar ke
Gunung Kembar untuk menangkap Setiaka yang desersi itu,” pancing Gubernur.
“Ah, tentu dia tidak setolol itu tetap bersembunyi
disana,” balas Jukamu memperbodohkannya.
“Tetapi itu soal kecil! Sepanjang dia tidak punya
motif politik, biarkan dia bersenang-senang dengan wanita itu sampai dia bosan
dan keluar sendiri. Jadi tak perlu bersusah payah, karena ada soal yang lebih
penting!” kata Perdana Menteri.
“Kami siap menunggu perintah Yang Mulia,” kata
Cariman.
“Biarlah cerita tentang Setiaka tetap seperti itu.
Yang penting jangan sampai soal Anak Langit menjadi besar. Itu akan mengganggu
kemapanan negeri kita. Karena itu, cerita tentang Anak Langit harus diredam.
Hukum dengan keras orang-orang yang berani membesar-besarkannya!” perintah
Jukamu.
“Siap Yang Mulia!” jawab kedua pejabat itu.
“Dan untuk sementara Kepala Negeri tidak perlu
kita beritahu dulu. Pangeran Jaira yang tahu persis tentang Anak Langit itu
saya beri tugas menumpasnya diam-diam. Karena itu saya akan menugaskan Pangeran
Jaira disana supaya bisa bekerjasama dengan Gubernur soal ini. Saya minta
Gubernur mengusahakan dengan segala cara agar dia terpilih menjadi Adipati
Rajapurwa yang baru. Demikian juga dengan pihak Pamong Negeri. Sediakan orang
yang diminta Jaira untuk menjadi Komandan Pamong Negeri di Rajapurwa. Geser
Komandan yang lama ke tempat yang tidak penting!”
“Siap, Yang Mulia. Kami mengucapkan terima kasih
atas bantuan Yang Mulia menugaskan orang yang mumpuni untuk bekerjasama dengan
kami,” jawab Gubernur Cariman.
“Ya, itu saja yang saya minta,” kata Jukamu,
lalu...
“Bagaimana dengan kehidupan ekonomi rakyat
Landipa? Bukankah propinsi itu terkenal dengan penghasil ternaknya?” tanya
Jukamu memnacing.
“Kami bersyukur, karena kepemimpinan Yang Mulia
keadaan ekonomi rakyat semakin hari semakin baik. Hewan ternak berkembang pesat
dan gemuk-gemuk. Kalau Yang Mulia tidak merasa terhina, kami ingin
mempersembahkan beberapa ekor untuk Yang Mulia,” jawab Cariman mencari muka.
“Ah, tak usah kepada saya. Itu mainan anak saya, Orakuse,”
jawab Jukamu.
Gubernur itu paham
maksud Jukamu dibalik kata-katanya itu. Segera setelah minta diri Cariman menemui Orakuse dan
berjanji akan segera mengirim sapi, kerbau, kuda dan kambing sebanyak seribu
ekor. Anak muda itu mengingatkannya agar jangan sampai lupa dan terlalu lama.
Selepas tamunya pergi, Jukamu segera kembali masuk
ke bagian dalam. Disana telah menunggu Jaira yang memang masih kerabatnya juga.
Ia menunggu dengan santun.
“Beres, jaira. Kau tinggal menagih gubernur itu.
Juga temanmu yang Komandan Pamong Negeri itu, kau tinggal kasih nama orang itu
saja kepada pimpinan Pamong Negeri tadi,” kata Jukamu.
“Terima kasih Yang Mulia Paman Jukamu,” jawab
Jaira hormat.
“Tetapi ingat, kamu harus meredam isu Anak Langit.
Kalau bisa ditangkap atau dibunuh kamu akan saya jadikan gubernur. Tetapi kalau
tidak bisa, rangkul dia supaya tidak berulah. Ini soal politik. Para
pemberontak biasa menggunakan isu membebaskan rakyat kecil dari kemiskinan dan
penderitaan. Mereka lalu menciptakan tokoh penyelamat. Saya kira itu yang sedang
terjadi sekarang. Hati-hati, jangan sembarang tangkap karena malah akan semakin
ramai,” nasihat Jukamu.
“Terima
kasih Yang Mulia Paman Jukamu,” jawab Jaira.
“Saya akan segera ke istana kepala negeri menemui
Kepala Negeri untuk berbagai urusan,” katanya.
“Silakan paman Jukamu,”
kata Jaira.
Ia lalu pamit dan segera
kembali ke posnya di Buntung.
Semudah itukah
Jaira bisa menjadi Adipati Rajapurwa? Kita akan melihat sepak terjangnya nanti,
tetapi sebaiknya menengok dulu situasi di Gunung Kembar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.