Air Susu Dibalas Dengan Air Tuba


Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #32 )

Sementara itu, di pos mata-mata, Paldrino dan kawan-kawan sedang berunding dengan para perampok Gunung kembar mencari cara membebaskan Andragi.

“Kita serang saja penjara itu dengan kekuatan penuh saat mereka lengah di malam hari. Gadaku ini sudah lama tidak diberi sesaji darah penjahat,” usul Gadamuk.

“Usulmu itu separuh benar. Tetapi disana ada Pasukan Negeri yang dipimpin oleh Setiaka. Saya kenal dia saat masih di Kotaraja, sebagai wakil komandan satuan pengawal istana. Dia seorang prajurit tulen yang memiliki ilmu beladiri dan ilmu perang yang cukup tinggi. Kita akan menggunakan cara itu tetapi dilengkapi dengan kelihaian mengelabui mereka. Hasilnya tentu lebih bagus,” kata Jotiwo.

“Benar, otak dan otot kita padukan. Hasilnya akan lebih memuaskan,” kata Paldrino.

“Sayang, ia ditangkap saat siang hari. Coba kalau malam, pasti ia akan mengeluarkan mata setannya,” keluh Gadamuk.

Gadamuk dan Jotiwo memang belum tahu rahasia kesaktian Anak Langit karena menggunakan peralatan ‘aneh’ yang dibawa dari dunianya. Tetapi, keluhan Gadamuk itu justru mengingatkan Paldrino pada tas pinggang yang dititipkan Anak Langit kepadanya. Ia lalu meminta diri berpura-pura untuk ke belakang sejenak dengan maksud melihat peralatan yang yang ada di dalam tas pinggang itu. Di kamar kecil itu ia membukanya dan melihat bermacam alat-alat yang tentu sangat asing baginya. Hanya satu yang ia ketahui, yakni senter genggam yang dilihatnya saat Andragi menyoroti mata Gadamuk maupun Jotiwo ketika diserang itu. Benda bulat panjang itu dimasukkan kembali ke dalam tas pinggang dan ia kembali menemui kawan-kawan berundingnya.

“Ah, mungkin kita sebaiknya makan malam dulu sebelum meneruskan pembicaraan kita,” kata Jotiwo. “Sementara menunggu makanan dipersiapkan, silakan pak Wedana dan kawan-kawan bebersih diri dan meletakkan barang di kamar yang telah kami siapkan.”

Kebetulan, pikir Paldrino. Ia lalu mengajak Loyo berbagi kamar yang sama sementara Bedul Brewok menempati kamar lain bersama Jotiwo dan Gadamuk.

Pondok itu memang hanya memiliki dua kamar. Bedul Brewok merasa lega karena ia akan merasa sungkan sekamar dengan seorang Wedana. Tentu perasaan itu juga menghinggapi Loyo, tetapi karena Paldrino sendiri yang memintanya, ia tak bisa menolak.

Setiba di dalam kamar, Paldrino segera membuka tas pinggang itu dan menunjukkan kepada Loyo.

“Sobat Loyo, barang-barang ini kalau bisa sampai di tangan Anak Langit tentu akan sangat berguna baginya untuk membebaskan diri,” kata Paldrino.

“Maksud Pak Wedana bagaimana?”

“Begini, saya  tahu barang ini yang dipakai Anak Langit untuk membuat mata setan. Sedangkan yang lain saya tidak tahu untuk apa. Sepertinya barang yang untuk membuat api naga tidak ada disini,” kata Paldrino sambil menunjukkan isi tas pinggang itu.

“Iya, memang tidak ada yang untuk api naga. Hanya ada pembuat apinya saja, benda yang kecil itu,” kata Loyo sambil menunjuk korek api gas.

“Kalau begitu begini saja. Saya minta sobat Loyo membungkus pembuat mata setan ini rapat-rapat dan berusaha membawanya ke penjara untuk diberikan kepada Anak Langit. Caranya kesana kita rundingkan bersama teman-teman. Tetapi kepada teman-teman disini kita sebut saja ramuan ajaib Anak Langit. Biar Anak Langit sendiri yang membuka rahasianya bila saatnya tiba,” kata Aldrino.

Loyo segera membungkus senter itu dengan sehelai kain lalu mereka keluar menemui teman-teman mereka yang sudah menunggu untuk makan malam. Sambil makan itu Paldrino menceritakan rencananya.

“Kawan-kawan, saya usul agar sobat Loyo berusaha masuk ke penjara besok malam untuk membawa ramuan ajaib mata setan yang dititipkan kepada saya tadi,” kata Paldrino sambil menunjuk bungkusan kecil yang dipegang Loyo.

“Cuma, saya tidak tahu bagaimana cara masuk ke penjara itu yang tentunya dijaga ketat,” lanjutnya.

“Ah, kalau itu mudah, pak Wedana. Sebagai orang yang dulu sering berhubungan dengan orang-orang pemerintah saya tahu tabiat mereka. Kita bekali sobat Loyo dengan sejumlah uang untuk menyogok para penjaga dengan berpura-pura mengantar makanan. Kita sediakan pula makanan buat mereka tetapi sudah kita bubuhi obat tidur. Selanjutnya tinggal keluar saja,” kata Gadamuk.

“Iya, itu ide bagus. Tetapi kita harus juga memperhitungkan keberadaan Setiaka atau faktor-faktor lain yang tidak terduga. Bagaimana pendapat sobat Jotiwo?” tanya Paldrino.

“Kalau begitu kita harus menarik perhatian Setiaka ke tempat lain saat sobat Loyo dan tuan Mata Setan meloloskan diri dari penjara. Hmm.. saya kira saya tahu caranya,” kata Jotiwo.

Semua mata terarah kepadanya penuh harap.

“Begini, besok kita bagi rombongan kita menjadi tiga kelompok. Saya dengan lima puluh orang anak buah akan mengganggu Setiaka. Sobat Bedul Brewok dan Gadamuk akan memimpin seratus orang untuk menyerang Kadipaten dan membakar rumah Adipati itu. Dengan begitu konsentrasi Setiaka dan pasukannya akan terpecah dan dia akan memilih menyelamatkan Adipati daripada menjaga penjara. Saat itulah waktu yang paling baik bagi tuan Mata Setan meloloskan diri. Pak Wedana dengan beberapa anak buah saya akan menjemput dan mengawal tuan Mata Setan kesini.Setelah selesai menjalankan tugas masing-masing kita berkumpul disini dan kembali ke Gunung kembar,” jelas Jotiwo.

“Sungguh ide seorang ahli strategi perang yang jenius,” puji Paldrino.

“Dan, saya bisa memuaskan gada saya ini dengan darah perempuan sundal itu!” sambung Gadamuk bersemangat.

Mereka semua setuju. Malam itu juga rencana dan persiapan secara rinci dilakukan. Pasukan dari Gunung Kembar pun tiba sekitar pukul 02.00 dinihari dan segera beristirahat.

Sebelum terang tanah mereka semua sudah bangun dan bersiap. Semua menggunakan pakaian seperti penduduk biasa dan menyelipkan senjata masing-masing dibalik pakaian. Hanya Gadamuk yang memerlukan seorang anak buah untuk menyembunyikan gadanya di dalam keranjang dagangan. Para anak buah Gunung Kembar telah dibagi-bagi sesuai usul Jotiwo.

Setelah sarapan dengan cepat, mereka segera berangkat secara terpisah mengikuti ketua rombogan masing-masing. Hanya Loyo yang berjalan seorang diri sambil membawa keranjang kecil berisi makanan. Saat mereka memasuki desa-desa di sekitar pusat kota Rajapurwa, dengan mudah mereka berbaur bersama penduduk yang berbondong-bondong menuju pendopo kadipaten tempat Anak Langit akan diadili. Bahkan ketika melewati gerbang pusat kota pun mereka sama sekali tidak diperiksa secara ketat. Para prajurit yang menjaga gerbang hanya melihat dari samping gerbang. Mungkin karena banyak orang yang berbondong memasuki gerbang hanya untuk melihat pengadilan membuat mereka berpikir tidak ada gunanya bersusah payah memeriksa para petani itu.

Sekitar pukul 10.00 sidang pengadilan dibuka oleh Adipati Rajapurwa yang lalu menyerahkan kepada Hakim Ketua Kadipaten untuk memimpin jalannya pengadilan. Penduduk telah berjubel di halaman pendopo itu.

“Saudara-saudara, jika hari ini ada yang akan mengajukan tuntutan segera sampaikan, tetapi jika tidak ada sidang ini akan segera ditutup,” kata hakim  itu.

Setiaka maju kehadapan hakim.

“Tuan Hakim, saya menangkap seorang yang dituduh sebagai kepala perampok Gunung Kembar. Ini dia orangnya,” katanya sambil menunjuk Andragi yang dikawal oleh dua orang prajurit dan tangannya terikat ke belakang.

Kedua prajurit itu lalu menyeretnya ke depan. Di hadapan hakim kadipaten dan seluruh pengunjung ia dipaksa berlutut. Salah seorang prajurit mendorongnya dengan keras hingga jatuh mencium lantai. Andragi mencoba mengangkat tubuhnya kembali ke posisi berlutut. Darah tampak meleleh keluar dari hidungnya. Ia lalu menyusut darah itu dengan bagian baju di bahunya.

“Baik. Siapakah yang menuntutnya?” tanya hakim

“Saya, tuan Hakim,” jawab istri Adipati sambil maju ke tengah.

“Ooohhh!!” seru pengunjung tertahan.

Baru pertama kali ini mereka melihat istri pejabat tinggi bahkan tertinggi di wilayah mereka berurusan dengan perkara besar seperti ini. Biasanya mereka hanya bersenang-senang di istananya.

“Orang ini adalah kepala perampok Gunung Kembar yang merampok dan menculik saya tiga hari yang lalu. Namanya Mata Setan,” kata istri Adipati berapi-api.

“Ooohhh!!” seru pengunjung mendengar nama yang seram itu.

“Siapakah nama kamu?” tanya hakim.

“Saya tidak punya nama. Orang memanggil saya dengan Mata Setan,” jawab Andragi.

“Apakah kamu kepala perampok Gunung Kembar?” tanya hakim lagi.

“Nyonya itu salah sangka. Saya memang berada di markas perampok Gunung Kembar saat nyonya itu ditangkap mereka. Tetapi saya bukan kepala perampok. Saya kebetulan mampir karena kenal dengan salah satu dari mereka sejak kecil,” jawab Andragi.

“Bohooonng!! Dia berbohong tuan hakim! Dia yang akan memperkosa saya waktu itu. Karena saya pura-pura mau ia jadi lengah dan saya bisa melarikan diri,” teriak istri Adipati itu lantang.

Diantara para pengunjung itu orang-orang Gunung Kembar telah berbaur. Gadamuk, Bedul Brewok dan Jotiwo merasa muak dan marah melihat tingkah istri Adipati itu. Tangan Gadamuk bahkan sudah dikepal-kepalkan. Ingin rasanya ia meraih gadanya dan menghancurkan mulut perempuan itu. Jotiwo yang tahu adat Gadamuk memegang tangannya agar tidak berbuat ceroboh.

“Nyonya, diantara kita tidak saling kenal dan bermusuhan. Kenapa nyonya berbuat jahat kepada saya? Bukankah saya yang meminta para kepala perampok itu untuk membebaskan nyonya karena nyonya istri seorang Adipati dan sedang dalam perjalanan suci mendoakan arwah leluhur nyonya?” kata Andragi.

“Bohong!! Dasar perampok, tukang bohong! Tuan hakim, jangan percaya omongan seorang perampok yang sudah tertangkap. Kalau tidak karena nafsu bejatnya, saya pasti masih ditahan di sarang mereka atau sudah dibunuh. Saya minta, hukum orang ini seberat-beratnya!” cerocos wanita itu.

Dalam hati Andragi merasa menyesal melepaskan wanita ini. Bukannya terima kasih malah petaka yang ditimpakan kepadanya. Benar-benar air susu dibalas dengan air tuba.

“Karena nyonya ini adalah saksinya sekaligus korban dan peristiwa perampokan itu benar-benar telah terjadi, maka orang ini dinyatakan bersalah! Hukum dia dengan seratus cambuk dan penjarakan dia di penjara Kadipaten. Bila dalam sepekan tidak ada orang yang bersaksi membelanya, ia akan dijatuhi hukuman mati!” kata hakim itu memutuskan.

“Ooohh!! terdengar desahan rendah dari pengunjung.

Biasanya keputusan berat terhadap seorang penjahat selalu disambut dengan tepuk tangan yang meriah dari pengunjung, tetapi kali ini para pengunjung tampak bersimpati kepada Andragi. Mungkin karena melihat tingkah istri Adipati yang terkesan berlebihan.

“Bila tidak ada lagi tuntutan, maka sidang hari ini saya tutup!” lanjut Adipati menutup sidang itu.

Para pengunjung bubar dengan hati yang tidak menentu. Mereka tidak tahu harus memihak siapa, tetapi hati kecil mereka mengatakan pemuda itu tidak bersalah. Mereka hanya bisa diam memendam perasaan masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA