Sementara itu, di pos mata-mata, Paldrino dan
kawan-kawan sedang berunding dengan para perampok Gunung kembar mencari cara
membebaskan Andragi.
“Kita serang saja penjara itu dengan kekuatan
penuh saat mereka lengah di malam hari. Gadaku ini sudah lama tidak diberi
sesaji darah penjahat,” usul Gadamuk.
“Usulmu itu separuh benar. Tetapi disana ada
Pasukan Negeri yang dipimpin oleh Setiaka. Saya kenal dia saat masih di
Kotaraja, sebagai wakil komandan satuan pengawal istana. Dia seorang prajurit
tulen yang memiliki ilmu beladiri dan ilmu perang yang cukup tinggi. Kita akan
menggunakan cara itu tetapi dilengkapi dengan kelihaian mengelabui mereka.
Hasilnya tentu lebih bagus,” kata Jotiwo.
“Benar, otak dan otot kita padukan. Hasilnya akan
lebih memuaskan,” kata Paldrino.
“Sayang, ia ditangkap saat siang hari. Coba kalau
malam, pasti ia akan mengeluarkan mata setannya,” keluh Gadamuk.
Gadamuk dan Jotiwo memang belum tahu rahasia
kesaktian Anak Langit karena menggunakan peralatan ‘aneh’ yang dibawa dari
dunianya. Tetapi, keluhan Gadamuk itu justru mengingatkan Paldrino pada tas
pinggang yang dititipkan Anak Langit kepadanya. Ia lalu meminta diri
berpura-pura untuk ke belakang sejenak dengan maksud melihat peralatan yang
yang ada di dalam tas pinggang itu. Di kamar kecil itu ia membukanya dan
melihat bermacam alat-alat yang tentu sangat asing baginya. Hanya satu yang ia
ketahui, yakni senter genggam yang dilihatnya saat Andragi menyoroti mata
Gadamuk maupun Jotiwo ketika diserang itu. Benda bulat panjang itu dimasukkan
kembali ke dalam tas pinggang dan ia kembali menemui kawan-kawan berundingnya.
“Ah, mungkin kita sebaiknya makan malam dulu
sebelum meneruskan pembicaraan kita,” kata Jotiwo. “Sementara menunggu makanan
dipersiapkan, silakan pak Wedana dan kawan-kawan bebersih diri dan meletakkan
barang di kamar yang telah kami siapkan.”
Kebetulan, pikir Paldrino. Ia lalu mengajak Loyo
berbagi kamar yang sama sementara Bedul Brewok menempati kamar lain bersama Jotiwo
dan Gadamuk.
Pondok itu memang hanya memiliki dua kamar. Bedul
Brewok merasa lega karena ia akan merasa sungkan sekamar dengan seorang Wedana.
Tentu perasaan itu juga menghinggapi Loyo, tetapi karena Paldrino sendiri yang
memintanya, ia tak bisa menolak.
Setiba di dalam kamar, Paldrino segera membuka tas
pinggang itu dan menunjukkan kepada Loyo.
“Sobat Loyo, barang-barang ini kalau bisa sampai
di tangan Anak Langit tentu akan sangat berguna baginya untuk membebaskan diri,”
kata Paldrino.
“Maksud Pak Wedana bagaimana?”
“Begini, saya
tahu barang ini yang dipakai Anak Langit untuk membuat mata setan.
Sedangkan yang lain saya tidak tahu untuk apa. Sepertinya barang yang untuk
membuat api naga tidak ada disini,” kata Paldrino sambil menunjukkan isi tas
pinggang itu.
“Iya, memang tidak ada yang untuk api naga. Hanya
ada pembuat apinya saja, benda yang kecil itu,” kata Loyo sambil menunjuk korek
api gas.
“Kalau begitu begini saja. Saya minta sobat Loyo
membungkus pembuat mata setan ini rapat-rapat dan berusaha membawanya ke
penjara untuk diberikan kepada Anak Langit. Caranya kesana kita rundingkan
bersama teman-teman. Tetapi kepada teman-teman disini kita sebut saja ramuan
ajaib Anak Langit. Biar Anak Langit sendiri yang membuka rahasianya bila
saatnya tiba,” kata Aldrino.
Loyo segera membungkus senter itu dengan sehelai
kain lalu mereka keluar menemui teman-teman mereka yang sudah menunggu untuk
makan malam. Sambil makan itu Paldrino menceritakan rencananya.
“Kawan-kawan, saya usul agar sobat Loyo berusaha
masuk ke penjara besok malam untuk membawa ramuan ajaib mata setan yang
dititipkan kepada saya tadi,” kata Paldrino sambil menunjuk bungkusan kecil
yang dipegang Loyo.
“Cuma, saya tidak tahu bagaimana cara masuk ke
penjara itu yang tentunya dijaga ketat,” lanjutnya.
“Ah, kalau itu mudah, pak Wedana. Sebagai orang
yang dulu sering berhubungan dengan orang-orang pemerintah saya tahu tabiat
mereka. Kita bekali sobat Loyo dengan sejumlah uang untuk menyogok para penjaga
dengan berpura-pura mengantar makanan. Kita sediakan pula makanan buat mereka
tetapi sudah kita bubuhi obat tidur. Selanjutnya tinggal keluar saja,” kata
Gadamuk.
“Iya, itu ide bagus. Tetapi kita harus juga
memperhitungkan keberadaan Setiaka atau faktor-faktor lain yang tidak terduga.
Bagaimana pendapat sobat Jotiwo?” tanya Paldrino.
“Kalau begitu kita harus menarik perhatian Setiaka
ke tempat lain saat sobat Loyo dan tuan Mata Setan meloloskan diri dari
penjara. Hmm.. saya kira saya tahu caranya,” kata Jotiwo.
Semua mata terarah kepadanya penuh harap.
“Begini, besok kita bagi rombongan kita menjadi
tiga kelompok. Saya dengan lima puluh orang anak buah akan mengganggu Setiaka.
Sobat Bedul Brewok dan Gadamuk akan memimpin seratus orang untuk menyerang
Kadipaten dan membakar rumah Adipati itu. Dengan begitu konsentrasi Setiaka dan
pasukannya akan terpecah dan dia akan memilih menyelamatkan Adipati daripada
menjaga penjara. Saat itulah waktu yang paling baik bagi tuan Mata Setan
meloloskan diri. Pak Wedana dengan beberapa anak buah saya akan menjemput dan
mengawal tuan Mata Setan kesini.Setelah selesai menjalankan tugas masing-masing
kita berkumpul disini dan kembali ke Gunung kembar,” jelas Jotiwo.
“Sungguh ide seorang ahli strategi perang yang
jenius,” puji Paldrino.
“Dan, saya bisa memuaskan gada saya ini dengan
darah perempuan sundal itu!” sambung Gadamuk bersemangat.
Mereka semua setuju. Malam itu juga rencana dan
persiapan secara rinci dilakukan. Pasukan dari Gunung Kembar pun tiba sekitar
pukul 02.00 dinihari dan segera beristirahat.
Sebelum terang tanah mereka semua sudah bangun dan
bersiap. Semua menggunakan pakaian seperti penduduk biasa dan menyelipkan
senjata masing-masing dibalik pakaian. Hanya Gadamuk yang memerlukan seorang
anak buah untuk menyembunyikan gadanya di dalam keranjang dagangan. Para anak
buah Gunung Kembar telah dibagi-bagi sesuai usul Jotiwo.
Setelah sarapan dengan cepat, mereka segera
berangkat secara terpisah mengikuti ketua rombogan masing-masing. Hanya Loyo
yang berjalan seorang diri sambil membawa keranjang kecil berisi makanan. Saat
mereka memasuki desa-desa di sekitar pusat kota Rajapurwa, dengan mudah mereka
berbaur bersama penduduk yang berbondong-bondong menuju pendopo kadipaten
tempat Anak Langit akan diadili. Bahkan ketika melewati gerbang pusat kota pun
mereka sama sekali tidak diperiksa secara ketat. Para prajurit yang menjaga
gerbang hanya melihat dari samping gerbang. Mungkin karena banyak orang yang
berbondong memasuki gerbang hanya untuk melihat pengadilan membuat mereka
berpikir tidak ada gunanya bersusah payah memeriksa para petani itu.
Sekitar pukul 10.00 sidang pengadilan dibuka oleh
Adipati Rajapurwa yang lalu menyerahkan kepada Hakim Ketua Kadipaten untuk
memimpin jalannya pengadilan. Penduduk telah berjubel di halaman pendopo itu.
“Saudara-saudara, jika hari ini ada yang akan
mengajukan tuntutan segera sampaikan, tetapi jika tidak ada sidang ini akan
segera ditutup,” kata hakim itu.
Setiaka maju kehadapan hakim.
“Tuan Hakim, saya menangkap seorang yang dituduh
sebagai kepala perampok Gunung Kembar. Ini dia orangnya,” katanya sambil
menunjuk Andragi yang dikawal oleh dua orang prajurit dan tangannya terikat ke
belakang.
Kedua prajurit itu lalu menyeretnya ke depan. Di
hadapan hakim kadipaten dan seluruh pengunjung ia dipaksa berlutut. Salah
seorang prajurit mendorongnya dengan keras hingga jatuh mencium lantai. Andragi
mencoba mengangkat tubuhnya kembali ke posisi berlutut. Darah tampak meleleh
keluar dari hidungnya. Ia lalu menyusut darah itu dengan bagian baju di
bahunya.
“Baik. Siapakah yang menuntutnya?” tanya hakim
“Saya, tuan Hakim,” jawab istri Adipati sambil
maju ke tengah.
“Ooohhh!!” seru pengunjung tertahan.
Baru pertama kali ini mereka melihat istri pejabat
tinggi bahkan tertinggi di wilayah mereka berurusan dengan perkara besar
seperti ini. Biasanya mereka hanya bersenang-senang di istananya.
“Orang ini adalah kepala perampok Gunung Kembar yang
merampok dan menculik saya tiga hari yang lalu. Namanya Mata Setan,” kata istri
Adipati berapi-api.
“Ooohhh!!” seru pengunjung mendengar nama yang
seram itu.
“Siapakah nama kamu?” tanya hakim.
“Saya tidak punya nama. Orang memanggil saya
dengan Mata Setan,” jawab Andragi.
“Apakah kamu kepala perampok Gunung Kembar?” tanya
hakim lagi.
“Nyonya itu salah sangka. Saya memang berada di
markas perampok Gunung Kembar saat nyonya itu ditangkap mereka. Tetapi saya
bukan kepala perampok. Saya kebetulan mampir karena kenal dengan salah satu
dari mereka sejak kecil,” jawab Andragi.
“Bohooonng!! Dia berbohong tuan hakim! Dia yang
akan memperkosa saya waktu itu. Karena saya pura-pura mau ia jadi lengah dan
saya bisa melarikan diri,” teriak istri Adipati itu lantang.
Diantara para pengunjung itu orang-orang Gunung
Kembar telah berbaur. Gadamuk, Bedul Brewok dan Jotiwo merasa muak dan marah
melihat tingkah istri Adipati itu. Tangan Gadamuk bahkan sudah
dikepal-kepalkan. Ingin rasanya ia meraih gadanya dan menghancurkan mulut
perempuan itu. Jotiwo yang tahu adat Gadamuk memegang tangannya agar tidak berbuat
ceroboh.
“Nyonya, diantara kita tidak saling kenal dan
bermusuhan. Kenapa nyonya berbuat jahat kepada saya? Bukankah saya yang meminta
para kepala perampok itu untuk membebaskan nyonya karena nyonya istri seorang
Adipati dan sedang dalam perjalanan suci mendoakan arwah leluhur nyonya?” kata
Andragi.
“Bohong!! Dasar perampok, tukang bohong! Tuan
hakim, jangan percaya omongan seorang perampok yang sudah tertangkap. Kalau
tidak karena nafsu bejatnya, saya pasti masih ditahan di sarang mereka atau
sudah dibunuh. Saya minta, hukum orang ini seberat-beratnya!” cerocos wanita
itu.
Dalam hati Andragi merasa menyesal melepaskan wanita
ini. Bukannya terima kasih malah petaka yang ditimpakan kepadanya. Benar-benar air susu dibalas
dengan air tuba.
“Karena nyonya ini adalah saksinya sekaligus
korban dan peristiwa perampokan itu benar-benar telah terjadi, maka orang ini
dinyatakan bersalah! Hukum dia dengan seratus cambuk dan penjarakan dia di
penjara Kadipaten. Bila dalam sepekan tidak ada orang yang bersaksi membelanya,
ia akan dijatuhi hukuman mati!” kata hakim itu memutuskan.
“Ooohh!! terdengar desahan rendah dari pengunjung.
Biasanya keputusan berat terhadap seorang penjahat
selalu disambut dengan tepuk tangan yang meriah dari pengunjung, tetapi kali
ini para pengunjung tampak bersimpati kepada Andragi. Mungkin karena melihat
tingkah istri Adipati yang terkesan berlebihan.
“Bila tidak ada lagi tuntutan, maka sidang hari
ini saya tutup!” lanjut Adipati menutup sidang itu.
Para pengunjung bubar dengan hati yang tidak
menentu. Mereka tidak tahu harus memihak siapa, tetapi hati kecil mereka
mengatakan pemuda itu tidak bersalah. Mereka hanya bisa diam memendam perasaan
masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.