Menyingkir Ke Kalbusih dan Harta Yang Berpindah

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #95 )

Sementara itu kita ikuti Pasukan Gunung Kembar yang menuju  Padepokan Kalbusih.

Laja yang mendahului dengan kemampuan berlari jarak jauhnya itu dengan cepat melintasi Buntung dan Brangin dan terus melaju ke Padepokan Kalbusih. Menjelang senja saat dia sedang beristirahat untuk makan di tepi hutan, tiba-tiba dia dikejutkan dengan datangnya seorang kakek tua berpakaian serba putih. Wajah dan kulitnya pun putih.

“Selamat datang saudaraku Laja di tempat ini,..” sapa kakek itu ramah.

“Bagaimana,.. kakek tahu,... nama saya,..??” tanya Laja tergagap.

“Namaku Bulesak dari Padepokan Kalbusih. Bukankah saudara Laja sedang menuju kesana,..??”

“Ya,... tapi,.. bagaimana ..kakek tahu... saya mau kesana,..??” tanya Laja masih gugup.

“Ya, saya bisa tahu dari pertempuran di Gunung Kembar itu,.” Jawab kakek Bulesak.

“Begini saja saudara Laja. Silakan laporkan kalau saudara sudah bertemu saya disini dan kalian boleh tinggal di markas Sontoloyo. Di pinggir desa Brangin saudara akan ditemui oleh seseorang yang bernama Sonto. Nah, dialah yang akan menunjukkan jalan menuju Markas Sontoloyo,..” lanjut kakek Bulesak.

Laja pun segera berbalik arah berlari menuju desa Brangin. Dan benar saja di pinggir desa itu telah berdiri seseorang dalam keremangan senja.

“Selamat petang sobat Laja. Saya Sonto, suruhan kakek Bulesak untuk mengantar pasukan Gunung Kembar ke markas Sontoloyo,..” sapa Sonto.

“Selamat petang,.. apakah anda,..??” tanya Laja.

“Saya kakak Loyo, kami berdua yang menemukan tempat itu yang oleh sobat Andragi diberi nama markas Sontoloyo, gabungan kedua nama kami,..” jawab Sonto.

“Oh begitu, saya kenal dengan sobat Andragi dan sobat Loyo,..” kata Laja.

“Sudah sampai dimanakah pasukan Gunung Kembar,..??” tanya Sonto.

“Masih jauh, mungki besok sore baru sampai disini,..” jawab Laja.

“Baiklah,  besok sore kita bertemu di tempat sobat Laja bertemu kakek Bulesak tadi. Usahakan jangan sampai rombongan itu datang bergerombol agar tidak mencurigakan. Beri kesan seakan mau ziarah ke Pintu Suargi, kalau ada yang bertanya. Demikian pesan kakek Bulesak,..” jelas Sonto.

Laja pun segera berlari cepat lagi menuju arah Gunung Kembar sebagaimana dia datang siang tadi. Menjelang subuh dia sudah bertemu dengan rombongan terdepan pasukan Gunung Kembar yang dipimpin oleh Setiaka.

Mereka lalu menepi ke balik hutan untuk menunggu rombogan berikutnya. Setiap rombongan berkisar 50 orang. Satu persatu rombongan berikutnya datang dan menepi di balik hutan.

Setelah semuanya sampai disitu, Laja lalu menceritakan pertemuannya dengan kakek Bulesak dan Sonto.

“Hmmm, tampaknya kita hanya bisa berjalan malam saja dalam rombongan besar dengan mlipir di tepi hutan. Di siang hari mungkin hanya bisa berdua atau bertiga dalam jarak yang cukup jauh agar tidak dicurigai,..” kata Jotiwo.

“Saya setuju,..” kata Setiaka.

“Sekarang ada baiknya kita membuat kemah agak ke dalam hutan ini dan dari situ besok malam kita bergerak melalui tepi hutan,..” lanjut Setiaka.

“Ya, bagus,... tapi pagi ini Laja dan beberapa orang bisa berjalan berdua-dua dangan jarak yang agak jauh, dan memberitahukan rencana kita ini kepada sobat Sonto,..” kata Jotiwo.

Mereka pun mengerjakan rencana itu, dan malam berikutnya bergerak dengan hati-hati melalui tepi hutan. Setiap kali akan bertemu orang para pendahulu memberi kode tertentu agar pasukan diam dan berlindung di tempat yang gelap. Setelah itu mereka lalu berjalan lagi. Saat menjelang subuh mereka masuk ke dalam hutan dan berkemah disanauntuk beristirahat dan tidur. Hal ini dilakukan hingga 3 malam sampai akhirnya mereka mendekati tempat pertemuan Laja dan kakek Bulesak.

Pada malam ke 4 baru mereka bisa masuk kedalam hutan yang menuju markas Sontoloyo melalui alur yang sudah dikenali Sonto dengan baik. Mereka diwanti-wanti tidak merusak tetumbuhan dan dedaunan agar tidak menimbulkan bekas dilalui orang.

Dengan sangat hati-hati setiap orang berjalan dalam hutan yang gelap itu. Orang-orang terakhir mendapat tugas membenahi tetumbuhan yang tersibak atau menutupi bekas dengan dedaunan dan ranting-ranting. Perjalanan mereka memang menjadi lambat, tetapi semua sadar lebih baik sedikit lebih keras bekerja dari pada menghadapi kesulitan di kemudian hari.

 Setiba disana Sonto mengajak para pimpinan Gunung Kembar memasuki gua markas Sontoloyo melalui pintu rahasia stalagmit. Pada sebuah pohon besar berjuntaian akar gantung menutupi mulut gua yang tepat berada disamping batang pohon itu. Sonto lalu menyibak tirai akar gantung itu dan masuk menyusuri mulut gua hingga tiba di sebuah tiang batu stalagmit. Dicabutnya golok yang terselip dipinggang kirinya dan dengan pangkal golok itu diketuknya bagian tertentu batang stalagmit itu. Seketika itu juga terkuaklah dinding batu diujung kiri bagian lorong itu.

 Para pimpinan Gunung Kembar terkagum-kagum dengan keberadaan gua yang sangat tersembunyi dengan beberapa kamar yang sengaja dibuat dan ditata dengan apik.

“Silakan masuk,.. kakek Bulesak sudah menanti di dalam,..” ajak Sonto.

“Selamat datang para sobat semua, semoga semuanya dalam keadaan baik setelah pertempuran dan perjalanan yang melelahkan ini,..” sapa kakek Bulesak dengan ramah.

“Mohon maaf kakek Bulesak karena kami terpaksa merepotkan kakek dan sobat Sonto,... Perkenalkan nama saya Jtiwo, ini sobat Gadamuk dan ini sobat Setiaka,..” kata Jotiwo.

“Hohoho, tempat ini memang disediakan untuk mereka yang akan mengubah negeri Klapa Getir ini menjadi lebih baik. Itulah yang diharapkan dari kedatangan Anak Langit, Sobat Andragi ke bumi kita ini,...” kata kakek Bulesak.

“Nah, seperti diketahui, gua itu sebenarnya berada di dinding tebing yang sangat tinggi dan di salah satu ujungnya ditutupi dengan tirai air terjun yang jatuh ke dasarnya membentuk kolam luas dengan air yang hijau segar. Di tepi kolam itu para prajurit Gunung kembar bisa membangun tempat tinggal mereka. Di depannya adalah lembah subur yang dialiri air dari kolam itu, yang masih rapat ditumbuhi pohon-pohon lebat. Gunakan dengan bijak untuk menghidupi diri kalian,..” jelas kakek Bulesak.

“Setelah cukup mapan kita akan membahas bagaimana berjuang memperbaiki tatanan kehidupan negeri Klapa Getir ini,..” lanjut kakeh Bulesak.

Sebagai orang yang telah perlakukan tidak adil di negeri ini Jotiwo, Gadamuk dan Setiaka merasa mendapat tempat bersandar. Hati mereka berbunga-bunga atas tawaran kakek Bulesak itu. Mereka mengangguk-angguk setuju.

“Terima kasih kakek Bulesak. Kami akan berjuang untuk itu sesuai harapan kakek Bulesak dan sobat kami Andragi,..” jawab Jotiwo.

Keesokan harinya mulailah dengan hari-hari baru mereka di markas Sontoloyo. Mereka membangun tempat tinggal, menyiapkan ladang dan sawah dan berbagai sarana kehidupan disana. Tentu tidak lupa mereka menyiapkan juga sarana untuk pertahanan diri dari penyerangan.

Hari ke tiga mereka disana Laja pun minta diri untuk kembali ke markas Kasjur di gunung Kalas. Selain guna melaporkan hasil pengungsian ke markas Sontoloyo juga karena masih tergantung dengan obat dari Rampoli.

----------------------------

Sementara itu kita ikuti perjalanan kembali Prasa, Prawa, Prati, Pratur dan Prawa. Berlima mereka berjalan dengan cepat tidak melalui Rajapurwa tetapi langsung menuju tepi danau Tobil kemudian mengarah ke Guhari tempat Hobijo. Perjalanan mereka memakan waktu 4 hari untuk sampai Guhari. Mereka disambut oleh Hobijo, Angkuso, Huntari dan Huntaro dengan ramah.

Mereka menceritakan semua kabar yang mereka ketahui tentang keberadaan Andragi di gunung Kalas serta pertempuran di gunung Kembar. Huntari dan Huntaro begitu tertarik dengan cerita tentang markas Kasjur di gunung Kalas dan berniat mengunjungi tempat itu.

 Karena esoknya adalah hari pertunjukan harimau, Prasa dan kawan-kawan diminta bermalam di kediaman Hobijo agar bisa menonton pertunjukan yang belum pernah mereka saksikan.

Ternyata pertunjukan itu sebagian besar diperagakan oleh para remaja dan pemuda yang sudah terlatih di bawah bimbingan Angkuso bertiga. Angkuso bahkan sama sekali tidak masuk ke arena, tetapi lebih pada mengatur urutan pertunjukan dan mengatur para penjaga keamanan. Prasa dan kawan-kawan terkagum-kagum melihat ketangkasan para pemuda yang memainkan pertunjukan itu, serta keramaian yang mewarnai pertunjukkan disama.

Di saat makan malam tak henti-hentinya mereka memuji pertunjukan itu.

“Wah, luar biasa pertunjukan disini. Para pemuda itu sungguh tangkas. Bagaimana mereka bisa begitu,..??” tanya Prasa.

“Semua itu diajarkan oleh guru kami Aset, kalian menyebutnya dengan Lugasi,..” jawab Angkuso.

“Oh, sungguh hebat sobat Lugasi itu. Ilmunya luar biasa dan hatinya baik,..” kata Prawa.

“Ya,.. kata guru kani itu ilmunya tidak ada sekuku hitam dibanding guru beliau sobat Andragi,..” kata Huntari.

“Ya,.. kami baru saja melihat kesaktian beliau di pertempuran gunung Kembar. Hanya dengan meminjamkan ‘mata ajaib’ sobat Andragi saja kami bisa memenangkan pertempuran yang berat sebelah itu,..” Prasa mengakui.

“Apakah sobat berlima jadi kembali ke markas Kasjur besok pagi,..??” tanya Angkuso.

“Ya, rencana kami begitu, untuk segera melaporkan hasil pertempuran di gunung Kembar itu,..” jawab Prasa.

“Kalau begitu sebelum kembali sebaiknya sobat berlima mampir ke gua tempat menyimpan harta rampasan dan membawa seorang sekantung untuk menambah perbekalan di markas Kasjur yang tentu memerlukan banyak biaya,..” kata Angkuso.

“Ah,.. apakah kami punya hak melakukan itu,..??” tanya Prasa.

“Ya, tentu saja. Bukankah sobat berlima ikut menyimpannya disana. Semua orang yang ikut menyimpannya bisa saja mengambilnya jika mereka mau,..” jawab Angkuso.

“Kalau begitu baiklah,..” jawab Prasa.

Esok harinya setelah sarapan le lima bekas pimpinan prajurit itu minta diri. Sebelum pulang ke gunung Kalas mereka pergi menuju gua di dalam hutan tempat menyimpan harta rampasan hadiah untuk Kepala Negeri Klapa Getir. Selepas mereka pergi Angkuso, Huntari dan Huntaro juga pergi menuju tempat yang sama tetapi melalui jalan pintas yang hanya mereka yang tahu.

Angkuso bertiga sampai duluan di tempat itu dan mencari tempat tersenbunyi untuk melihat apa yang akan terjadi. Setelah beberapa lama, muncullah Prasa berlima di tempat itu dan langsung menuju dinding tebing dekat sebatang pohon besar. Di balik batang pohon itu  mereka menemukan tali dan memanjat melalui dahan-dahan pohon itu hingga tiba di pintu gua yang tertutup dahan dan dedaunan.

Dengan hati-hati mereka masuk, dan terkejut bercampur heran. Ternyata hanya ada dua karung harta yang tersisa di dalam gua itu.

“Oh,.. bagaimana ini,..??” tanya Prati.

“Mungkinkah seseorang telah menguras hampir semua harta disini,..??” tanya Pratur.

“Hmmm, kita tak bisa meninggalkan tempat ini begitu saja dan pergi ke gunung Kalas dengan membawa sekantong harta ini setiap orang,..” kata Prasa.

“Lalu apa yang akan kita lakukan,..??” tanya Prama.

“Sebaiknya kita kembali ke rumah pak Hobijo dan melaporkan hal ini,..” kata Prasa.

“Apakah mereka percaya kalau kita tidak menyembunyikan sisanya,..??” tanya Pratur.

“Kita tidak mungkin menyembunyikan harta itu semua yang begitu banyak dalam waktu sebentar. Perlu waktu lama untuk kita berlima melakukannya. Belum lagi mencari tempatnya dimana. Pasti makan waktu,..” jawab Prasa.

“Ya, kalau kita segera kembali kesana sekarang mereka pasti bisa memahami cerita kita,..” kata Prati.

“Saya kira begitu,.. Kalau kita pergi begitu saja suatu ketika kalau ada yang akan mengambil harta disini dan tidak menemukannya tentu kita yang dituduh telah mencurinya,..” kata Prama.

Mereka lalu bergegas mengisi kantong yang sudah dibekali dari rumah pak Hobijo dengan harta dan keping uang emas serta perak dari salah satu karung dari dua yang tersisa. Setelah itu mereka lalu turun ke dasar tebing dan berjalan menghilang di balik hutan.

Dari balik persembunyiannya, Angkuso, Huntari dan Huntaro menduga-duga apa yang akan dilakukan oleh ke lima orang itu.

“Hmmm, kalau melihat kantong yang mereka bawa sepertinya mereka hanya mengambil semuatnya kantong kantong. Tidak semua isi ke dua karung itu dibawa mereka,..” kata Angkuso.

“Ya, mungkin justru mereka akan kembali ke tempat kita mengabarkan isi gua yang tinggal dua kantong itu,..” jawab Huntaro.

Mereka bertiga bergegas kembali kerumah pak Hobijo dan menunggu kedatangan ke lima bekas pimpinan prajurit itu. Dan benar, beberapa saat kemudian tampak ke lima orang itu memasuki halaman rumah pak Hobijo. Dengan segera Angkuso Huntari dan Huntaro menyongsong mereka menanyakan apakah ada sesuatu yang terlupa.

“Kami hanya melihat dan menemukan hanya 2 kantong yang ada di dalam gua itu,..” jawab Prasa.

“Oh, itu rupanya. Mohon maaf, rupanya para sobat belum tahu kebiasaan kami menyembunyikan harta yang selalu berpindah-pindah tergantung siapa yang paling menguasai daerah penyembunyian itu. Nah karena daerah itu kekuasaan guru kami Aset, tentu beliau yang telah memindahkan harta itu ke beberapa tempat yang hanya beliau yang tahu. Kita hanya diberi tahu dimana harta itu bisa di ambil sewaktu-waktu,..” jelas Huntaro.

“Apakah tidak mungkin diambil oleh orang lain,..??” tanya Pratur.

“Saya yakin tidak karena guru kami mengatakan dia meninggalkan 2 karung di tempat itu sejak pertama kali dan para sobat menemulan 2 karung kan,..?? tanya Huntari.

“Ya, kami hanya melihat 2 karung,..” jawab Prawa.

“Kalau begitu masih aman,.. karena kalian lah orang pertama yang mengambil harta itu,..” Angkuso menyimpulkan.

“Baiklah, kalau begitu kami mohon diri,..” kata Prasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA