Sementara itu kita ikuti Pasukan Gunung Kembar yang menuju Padepokan Kalbusih.
Laja yang mendahului
dengan kemampuan berlari jarak jauhnya itu dengan cepat melintasi Buntung dan
Brangin dan terus melaju ke Padepokan Kalbusih. Menjelang senja saat dia sedang
beristirahat untuk makan di tepi hutan, tiba-tiba dia dikejutkan dengan
datangnya seorang kakek tua berpakaian serba putih. Wajah dan kulitnya pun
putih.
“Selamat datang saudaraku
Laja di tempat ini,..” sapa kakek itu ramah.
“Bagaimana,.. kakek
tahu,... nama saya,..??” tanya Laja tergagap.
“Namaku Bulesak dari
Padepokan Kalbusih. Bukankah saudara Laja sedang menuju kesana,..??”
“Ya,... tapi,.. bagaimana
..kakek tahu... saya mau kesana,..??” tanya Laja masih gugup.
“Ya, saya bisa tahu dari
pertempuran di Gunung Kembar itu,.” Jawab kakek Bulesak.
“Begini saja saudara
Laja. Silakan laporkan kalau saudara sudah bertemu saya disini dan kalian boleh
tinggal di markas Sontoloyo. Di pinggir desa Brangin saudara akan ditemui oleh
seseorang yang bernama Sonto. Nah, dialah yang akan menunjukkan jalan menuju
Markas Sontoloyo,..” lanjut kakek Bulesak.
Laja pun segera berbalik
arah berlari menuju desa Brangin. Dan benar saja di pinggir desa itu telah
berdiri seseorang dalam keremangan senja.
“Selamat petang sobat
Laja. Saya Sonto, suruhan kakek Bulesak untuk mengantar pasukan Gunung Kembar
ke markas Sontoloyo,..” sapa Sonto.
“Selamat petang,.. apakah
anda,..??” tanya Laja.
“Saya kakak Loyo, kami
berdua yang menemukan tempat itu yang oleh sobat Andragi diberi nama markas
Sontoloyo, gabungan kedua nama kami,..” jawab Sonto.
“Oh begitu, saya kenal
dengan sobat Andragi dan sobat Loyo,..” kata Laja.
“Sudah sampai dimanakah
pasukan Gunung Kembar,..??” tanya Sonto.
“Masih jauh, mungki besok
sore baru sampai disini,..” jawab Laja.
“Baiklah, besok sore kita bertemu di tempat sobat Laja
bertemu kakek Bulesak tadi. Usahakan jangan sampai rombongan itu datang
bergerombol agar tidak mencurigakan. Beri kesan seakan mau ziarah ke Pintu
Suargi, kalau ada yang bertanya. Demikian pesan kakek Bulesak,..” jelas Sonto.
Laja pun segera berlari
cepat lagi menuju arah Gunung Kembar sebagaimana dia datang siang tadi.
Menjelang subuh dia sudah bertemu dengan rombongan terdepan pasukan Gunung
Kembar yang dipimpin oleh Setiaka.
Mereka lalu menepi ke
balik hutan untuk menunggu rombogan berikutnya. Setiap rombongan berkisar 50
orang. Satu persatu rombongan berikutnya datang dan menepi di balik hutan.
Setelah semuanya sampai
disitu, Laja lalu menceritakan pertemuannya dengan kakek Bulesak dan Sonto.
“Hmmm, tampaknya kita
hanya bisa berjalan malam saja dalam rombongan besar dengan mlipir di tepi
hutan. Di siang hari mungkin hanya bisa berdua atau bertiga dalam jarak yang
cukup jauh agar tidak dicurigai,..” kata Jotiwo.
“Saya setuju,..” kata
Setiaka.
“Sekarang ada baiknya
kita membuat kemah agak ke dalam hutan ini dan dari situ besok malam kita
bergerak melalui tepi hutan,..” lanjut Setiaka.
“Ya, bagus,... tapi pagi
ini Laja dan beberapa orang bisa berjalan berdua-dua dangan jarak yang agak
jauh, dan memberitahukan rencana kita ini kepada sobat Sonto,..” kata Jotiwo.
Mereka pun mengerjakan
rencana itu, dan malam berikutnya bergerak dengan hati-hati melalui tepi hutan.
Setiap kali akan bertemu orang para pendahulu memberi kode tertentu agar
pasukan diam dan berlindung di tempat yang gelap. Setelah itu mereka lalu
berjalan lagi. Saat menjelang subuh mereka masuk ke dalam hutan dan berkemah
disanauntuk beristirahat dan tidur. Hal ini dilakukan hingga 3 malam sampai
akhirnya mereka mendekati tempat pertemuan Laja dan kakek Bulesak.
Pada malam ke 4 baru
mereka bisa masuk kedalam hutan yang menuju markas Sontoloyo melalui alur yang
sudah dikenali Sonto dengan baik. Mereka diwanti-wanti tidak merusak tetumbuhan
dan dedaunan agar tidak menimbulkan bekas dilalui orang.
Dengan sangat hati-hati
setiap orang berjalan dalam hutan yang gelap itu. Orang-orang terakhir mendapat
tugas membenahi tetumbuhan yang tersibak atau menutupi bekas dengan dedaunan
dan ranting-ranting. Perjalanan mereka memang menjadi lambat, tetapi semua
sadar lebih baik sedikit lebih keras bekerja dari pada menghadapi kesulitan di
kemudian hari.
Setiba disana Sonto mengajak para pimpinan
Gunung Kembar memasuki gua markas Sontoloyo melalui pintu rahasia stalagmit. Pada
sebuah pohon besar berjuntaian akar gantung menutupi mulut gua yang tepat
berada disamping batang pohon itu. Sonto lalu menyibak tirai akar gantung itu
dan masuk menyusuri mulut gua hingga tiba di sebuah tiang batu stalagmit.
Dicabutnya golok yang terselip dipinggang kirinya dan dengan pangkal golok itu
diketuknya bagian tertentu batang stalagmit itu. Seketika itu juga terkuaklah
dinding batu diujung kiri bagian lorong itu.
Para pimpinan Gunung Kembar terkagum-kagum
dengan keberadaan gua yang sangat tersembunyi dengan beberapa kamar yang
sengaja dibuat dan ditata dengan apik.
“Silakan masuk,.. kakek
Bulesak sudah menanti di dalam,..” ajak Sonto.
“Selamat datang para
sobat semua, semoga semuanya dalam keadaan baik setelah pertempuran dan
perjalanan yang melelahkan ini,..” sapa kakek Bulesak dengan ramah.
“Mohon maaf kakek Bulesak
karena kami terpaksa merepotkan kakek dan sobat Sonto,... Perkenalkan nama saya
Jtiwo, ini sobat Gadamuk dan ini sobat Setiaka,..” kata Jotiwo.
“Hohoho, tempat ini
memang disediakan untuk mereka yang akan mengubah negeri Klapa Getir ini
menjadi lebih baik. Itulah yang diharapkan dari kedatangan Anak Langit, Sobat
Andragi ke bumi kita ini,...” kata kakek Bulesak.
“Nah, seperti diketahui,
gua itu sebenarnya berada di dinding tebing yang sangat tinggi dan di salah
satu ujungnya ditutupi dengan tirai air terjun yang jatuh ke dasarnya membentuk
kolam luas dengan air yang hijau segar. Di tepi kolam itu para prajurit Gunung
kembar bisa membangun tempat tinggal mereka. Di depannya adalah lembah subur
yang dialiri air dari kolam itu, yang masih rapat ditumbuhi pohon-pohon lebat.
Gunakan dengan bijak untuk menghidupi diri kalian,..” jelas kakek Bulesak.
“Setelah cukup mapan kita
akan membahas bagaimana berjuang memperbaiki tatanan kehidupan negeri Klapa
Getir ini,..” lanjut kakeh Bulesak.
Sebagai orang yang telah
perlakukan tidak adil di negeri ini Jotiwo, Gadamuk dan Setiaka merasa mendapat
tempat bersandar. Hati mereka berbunga-bunga atas tawaran kakek Bulesak itu.
Mereka mengangguk-angguk setuju.
“Terima kasih kakek
Bulesak. Kami akan berjuang untuk itu sesuai harapan kakek Bulesak dan sobat
kami Andragi,..” jawab Jotiwo.
Keesokan harinya mulailah
dengan hari-hari baru mereka di markas Sontoloyo. Mereka membangun tempat
tinggal, menyiapkan ladang dan sawah dan berbagai sarana kehidupan disana.
Tentu tidak lupa mereka menyiapkan juga sarana untuk pertahanan diri dari
penyerangan.
Hari ke tiga mereka
disana Laja pun minta diri untuk kembali ke markas Kasjur di gunung Kalas.
Selain guna melaporkan hasil pengungsian ke markas Sontoloyo juga karena masih
tergantung dengan obat dari Rampoli.
----------------------------
Sementara itu kita ikuti
perjalanan kembali Prasa, Prawa, Prati, Pratur dan Prawa. Berlima mereka
berjalan dengan cepat tidak melalui Rajapurwa tetapi langsung menuju tepi danau
Tobil kemudian mengarah ke Guhari tempat Hobijo. Perjalanan mereka memakan
waktu 4 hari untuk sampai Guhari. Mereka disambut oleh Hobijo, Angkuso, Huntari
dan Huntaro dengan ramah.
Mereka menceritakan semua
kabar yang mereka ketahui tentang keberadaan Andragi di gunung Kalas serta
pertempuran di gunung Kembar. Huntari dan Huntaro begitu tertarik dengan cerita
tentang markas Kasjur di gunung Kalas dan berniat mengunjungi tempat itu.
Karena esoknya adalah hari pertunjukan
harimau, Prasa dan kawan-kawan diminta bermalam di kediaman Hobijo agar bisa
menonton pertunjukan yang belum pernah mereka saksikan.
Ternyata pertunjukan itu
sebagian besar diperagakan oleh para remaja dan pemuda yang sudah terlatih di
bawah bimbingan Angkuso bertiga. Angkuso bahkan sama sekali tidak masuk ke
arena, tetapi lebih pada mengatur urutan pertunjukan dan mengatur para penjaga
keamanan. Prasa dan kawan-kawan terkagum-kagum melihat ketangkasan para pemuda
yang memainkan pertunjukan itu, serta keramaian yang mewarnai pertunjukkan
disama.
Di saat makan malam tak
henti-hentinya mereka memuji pertunjukan itu.
“Wah, luar biasa
pertunjukan disini. Para pemuda itu sungguh tangkas. Bagaimana mereka bisa
begitu,..??” tanya Prasa.
“Semua itu diajarkan oleh
guru kami Aset, kalian menyebutnya dengan Lugasi,..” jawab Angkuso.
“Oh, sungguh hebat sobat
Lugasi itu. Ilmunya luar biasa dan hatinya baik,..” kata Prawa.
“Ya,.. kata guru kani itu
ilmunya tidak ada sekuku hitam dibanding guru beliau sobat Andragi,..”
kata Huntari.
“Ya,.. kami baru saja
melihat kesaktian beliau di pertempuran gunung Kembar. Hanya dengan meminjamkan
‘mata ajaib’ sobat Andragi saja kami bisa memenangkan pertempuran yang berat
sebelah itu,..” Prasa mengakui.
“Apakah sobat berlima
jadi kembali ke markas Kasjur besok pagi,..??” tanya Angkuso.
“Ya, rencana kami begitu,
untuk segera melaporkan hasil pertempuran di gunung Kembar itu,..” jawab Prasa.
“Kalau begitu sebelum
kembali sebaiknya sobat berlima mampir ke gua tempat menyimpan harta rampasan
dan membawa seorang sekantung untuk menambah perbekalan di markas Kasjur yang
tentu memerlukan banyak biaya,..” kata Angkuso.
“Ah,.. apakah kami punya
hak melakukan itu,..??” tanya Prasa.
“Ya, tentu saja. Bukankah
sobat berlima ikut menyimpannya disana. Semua orang yang ikut menyimpannya bisa
saja mengambilnya jika mereka mau,..” jawab Angkuso.
“Kalau begitu baiklah,..”
jawab Prasa.
Esok harinya setelah
sarapan le lima bekas pimpinan prajurit itu minta diri. Sebelum pulang ke
gunung Kalas mereka pergi menuju gua di dalam hutan tempat menyimpan harta
rampasan hadiah untuk Kepala Negeri Klapa Getir. Selepas mereka pergi Angkuso,
Huntari dan Huntaro juga pergi menuju tempat yang sama tetapi melalui jalan
pintas yang hanya mereka yang tahu.
Angkuso bertiga sampai
duluan di tempat itu dan mencari tempat tersenbunyi untuk melihat apa yang akan
terjadi. Setelah beberapa lama, muncullah Prasa berlima di tempat itu dan
langsung menuju dinding tebing dekat sebatang pohon besar. Di balik batang
pohon itu mereka menemukan tali dan
memanjat melalui dahan-dahan pohon itu hingga tiba di pintu gua yang tertutup
dahan dan dedaunan.
Dengan hati-hati mereka
masuk, dan terkejut bercampur heran. Ternyata hanya ada dua karung harta yang tersisa
di dalam gua itu.
“Oh,.. bagaimana
ini,..??” tanya Prati.
“Mungkinkah seseorang
telah menguras hampir semua harta disini,..??” tanya Pratur.
“Hmmm, kita tak bisa
meninggalkan tempat ini begitu saja dan pergi ke gunung Kalas dengan membawa sekantong
harta ini setiap orang,..” kata Prasa.
“Lalu apa yang akan kita
lakukan,..??” tanya Prama.
“Sebaiknya kita kembali
ke rumah pak Hobijo dan melaporkan hal ini,..” kata Prasa.
“Apakah mereka percaya
kalau kita tidak menyembunyikan sisanya,..??” tanya Pratur.
“Kita tidak mungkin
menyembunyikan harta itu semua yang begitu banyak dalam waktu sebentar. Perlu
waktu lama untuk kita berlima melakukannya. Belum lagi mencari tempatnya
dimana. Pasti makan waktu,..” jawab Prasa.
“Ya, kalau kita segera
kembali kesana sekarang mereka pasti bisa memahami cerita kita,..” kata Prati.
“Saya kira begitu,..
Kalau kita pergi begitu saja suatu ketika kalau ada yang akan mengambil harta
disini dan tidak menemukannya tentu kita yang dituduh telah mencurinya,..” kata
Prama.
Mereka lalu bergegas
mengisi kantong yang sudah dibekali dari rumah pak Hobijo dengan harta dan
keping uang emas serta perak dari salah satu karung dari dua yang tersisa.
Setelah itu mereka lalu turun ke dasar tebing dan berjalan menghilang di balik
hutan.
Dari balik
persembunyiannya, Angkuso, Huntari dan Huntaro menduga-duga apa yang akan
dilakukan oleh ke lima orang itu.
“Hmmm, kalau melihat
kantong yang mereka bawa sepertinya mereka hanya mengambil semuatnya kantong kantong.
Tidak semua isi ke dua karung itu dibawa mereka,..” kata Angkuso.
“Ya, mungkin justru mereka
akan kembali ke tempat kita mengabarkan isi gua yang tinggal dua kantong
itu,..” jawab Huntaro.
Mereka bertiga bergegas
kembali kerumah pak Hobijo dan menunggu kedatangan ke lima bekas pimpinan
prajurit itu. Dan benar, beberapa saat kemudian tampak ke lima orang itu
memasuki halaman rumah pak Hobijo. Dengan segera Angkuso Huntari dan Huntaro
menyongsong mereka menanyakan apakah ada sesuatu yang terlupa.
“Kami hanya melihat dan
menemukan hanya 2 kantong yang ada di dalam gua itu,..” jawab Prasa.
“Oh, itu rupanya. Mohon
maaf, rupanya para sobat belum tahu kebiasaan kami menyembunyikan harta yang
selalu berpindah-pindah tergantung siapa yang paling menguasai daerah
penyembunyian itu. Nah karena daerah itu kekuasaan guru kami Aset, tentu beliau
yang telah memindahkan harta itu ke beberapa tempat yang hanya beliau yang
tahu. Kita hanya diberi tahu dimana harta itu bisa di ambil sewaktu-waktu,..”
jelas Huntaro.
“Apakah tidak mungkin
diambil oleh orang lain,..??” tanya Pratur.
“Saya yakin tidak karena
guru kami mengatakan dia meninggalkan 2 karung di tempat itu sejak pertama kali
dan para sobat menemulan 2 karung kan,..?? tanya Huntari.
“Ya, kami hanya melihat 2
karung,..” jawab Prawa.
“Kalau begitu masih
aman,.. karena kalian lah orang pertama yang mengambil harta itu,..” Angkuso
menyimpulkan.
“Baiklah, kalau begitu
kami mohon diri,..” kata Prasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.