Adipati Cadipa Tewas Dibunuh Risnadu

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #98 )

-------------------------

Kita tinggalkan dulu Kepala Negeri Sudoba yang sedang berunding. Kita menengok Markas Kasjur dimana Andragi sedang menata kehidupan baru disana setelah semua bekas prajurit terkumpul dan anak istri mereka berangsur-angsur berhasil dijemput satu persatu oleh suami mereka sesuai dengan jadwal yang sudah diatur oleh bekas pimpinan mereka masing-masing.

Markas Kasjur sudah bisa menghidupi para penghuninya. Dengan bantuan Loyo, Brewok, Balmis dan Codet yang pernah membangun Harjagi dan Kenteng, mereka membangun pedesaan bagi para keluarga bekas prajurit persis di bawah markas Kasjur, di perut bukit. Sawah dan ladang mulai menghijau, tertata rapi, dikelilingi pepohonan besar pembatas desa itu dengan hutan yang mengelilinginya.

Parit-parit dibuat untuk menyalurkan air melalui tengah desa terus  ke kolam-kolam ikan, sawah dan ladang. Setiap rumah dimodali dengan sepasang sapi, 2 pasang kambing dan beberapa ekor ayam dan itik. Sedangkan kolam ikan, sawah dan ladang dikelola bersama dengan pengaturan kelompok yang disiplin seperti saat ketika mereka masih menjadi prajurit.

Melihat tempat itu sudah hidup, Andragi mulai memikirkan bagaimana mengembalikan harta yang mereka rampas di dekat Kalisunggi dikembalikan kepada rakyat Megalung yang telah diperas. Dia merundingkan gagasannya dengan para pimpinan markas Kasjur, termasuk Laja yang sudah tiba pula dari perjalanan panjangnya ke Markas Sontoloyo.

“Kita harus mencari korban pemerasan yang hidupnya menjadi susah akibat pemerasan itu dan mengajaknya pindah ke lembah di luar Selonto dekat dengan pondok persinggahan kita di dekat hutan itu,..” kata Andragi.

“Tetapi tempat itu belum ada apa-apa, masih hutan dan padang perdu,..” kata Prasa.

“Sobat Prasa benar,.. karena itu kita kita akan bangun sebuah desa disana seperti yang pernah kami lakukan di Harjagi. Sobat Loyo, Brewok, Balmis dan Codet yang pernah disana bisa membantu menjelaskan. Intinya kita ajak mereka dan kita modali untuk hidupbeberapa bulan sampai mereka bisa panen dan hidup seperti desa kita Kasjur ini.,..” kata Andragi.

“Tiga bulan pertama dari sekarang kita akan bangun satu desa dan sebuah ladang lengkap dengan parit seperti gambar ini,..” lanjut Andragi.

Angragi lalu menunjukkan gambar denah yang mirip dengan yang dibuat untuk desa Harjagi. Diputuskan 50 orang bekas prajurit akan membuat desa baru itu, bergantian setiap minggu. Para pimpinan prajutrit akan memimpin kelompok kerja membabat hutan, membuat parit, jalan, area ladang dan sawah.

Sementara itu Balmis dan Codet yang ditugaskan mengamati Megalung mendengar kalau para prajurit yang kalah perang mendapatkan hukuman fisik dan di penjara selama 2-3 minggu. Rakyat menjadi resah dan merasa hal itu tidak adil. Bagaimanapun mereka telah berjuang hidup mati mempertahankan sepotong nyawa mereka. Rakyat juga merasakan beban hidup yang semakain berat karena adipati Cadipa menaikkan pajak lagi guna mengumpulkan hadiah kepada Kepala Negeri untuk ulang tahun berikutnya.

“Hmmm, kelihatannya terjadi gejolak disini,..” kata Balmis.

“Apakah kita harus segera melaporkan ini,..??” tanya Codet.

“Jangan dulu,.. sebaiknya kita tahu lebih jauh dulu,..” jawab Balmis.

“Bagaimana caranya, .. apa hanya ke pasar cari berita dan menunggu,..??” cecar Codet.

“Kita akan cari tahu dari dalam markas prajurit. Dari sana kita akan tahu apa yang akan terjadi,..” jawab Balmis.

Mereka lalu mencari cara masuk ke dalam markas prajurit yaitu dengan berpura-pura sebagai kerabat istri Prawa yang tewas dalam pengawalan hadiah ulang tahun Kepala Negeri. Mereka pun mendatangi markas prajurit Megalung saat hari belum siang. Di depan gerbang mereka ditanya prajurit yang bertugas jaga.

“Apa maksud kalian kesini,..??!!” tanya penjaga.

“Kami kerabat istri kakang komandan Tulawa yang tewas dalam pengawalan, mau mengunjungi,..” jawab Balmis.

(Tulawa adalah nama asli Prawa sebelum diganti oleh Andragi)

“He,.. setahu saya istrinya sudah pergi ke desanya,..” kata penjaga.

“Oh begitu,... Tapi biarlah kami melihat ke pondoknya,...” pinta Balmis.

“He,..!! Kau tak percaya padaku,..!!” bentak petugas itu.

“Ah,.. biarlah dia lihat sendiri biar puas,..” kata penjaga lain yang mendengar percakapan mereka.

“Ya sudah,..!! Kau antar sendiri mereka sana,..!!” katanya kesal.

Penjaga satunya lalu membawa mereka masuk melalui barak-barak prajurit menuju ke pondok para pimpinan prajurit.

“Harap maklum, teman saya itu lagi kesal hatinya. Kami semua juga lagi kesal,..” kata penjaga yang mengantar.

“Oh, maaf,... tapi mengapa,..??” tanya Balmis.

“Yah,... mungkin masih beruntung istri komandan Sarji yang sudah pergi dari sini,..” kata penjaga.

“Oh,... memangnya ada apa,..??” tanya Codet.

“Kami ini sudah berjuang setengah mati, pulang-pulang malah dihukum,.. “ keluhnya.

Tampak sekali kemarahan di wajahnya. Dan ketika berpapasan dengan prajurit lain dia terlihat memberi isyarat tertentu dan dijawab “siap” oleh yang berpapasan. Semua itu diamati dengan seksama oleh Balmis dan Codet, sehingga mereka pun bersikap waspada.

“Nah, itu dulu pondok Komandan Tulawa, sekarang sudah diisi komandan lain,..” kata penjaga iru.

Di depan pondok itu tampak 2 bocah bermain di halaman ditemani seorang perempuan sepertinya ibu mereka.

“Oh,... bukan istri kakang Tulawa,... Baiklah kami akan kembali saja,..” kata Balmis.

Dalam berjalan kembali menuju gerbang, suasana terlihat lengang. Tidak terlihat prajurit yang lalu lalang.

“Kenapa sepi disini ya,..??” tanya Balmis.

“Ya, ... semua orang pilih istirahat habis kena hukuman,..” jawab penjaga, dengan kata-kata yang dingin, terasa getir.

Sebelum sampai di pintu gerbang, tiba-tiba muncul komandan Risnadu, orang yang memimpin pulang pasukan yang kalah perang di gunung kembar dan mendapat hukuman yang paling berat.

“Bersiaplah,..!! Dengar,.. Mulai sekarang tidak ada yang diperbolehkan masuk,..mengerti,..!!??” perintahnya.

“Siap, komandan,..!!” jawab penjaga itu.

Balmis dan Codet segera meninggalkan gerbang dan kembali ke tempat mereka menginap.

“Tampaknya akan segera terjadi sesuatu ,, tapi apa ya,..??” tanya Codet.

“Ya, .. akan terjadi sesuatu,...Mari kita pindah penginapan yang mudah keluar dari Megalung menuju Selonto supaya tidak terjebak disini kalau terjadi kekacauan,..” kata Balmis.

Sore itu mereka pindah ke penginapan lain dan memutuskan untuk berjaga-jaga siapa tahu ada sesuatu yang terjadi. Mereka sepakat untuk bergantian tidur.

Saat itu di markas prajurit Risnadu mengumpulkan semua prajuritnya.

“Malam ini kita lakukan,.!! Semua berpakaian seperti warga biasa. Jangan bawa tanda-tanda prajurit. Semua siap,..??” tanya Risnadu.

“Siap,..komandan,..” jawab beberapa pimpinan prajurit hamir bersamaan.

Selepas tengah malam para prajurit dalam penyamaran itu bergerak diam-diam menuju kediaman adipati Cadipa dalam kelompok-kelompok kecil. Mereka langsung mengepung rapat kediaman itu untuk tidak membiarkan ada yang bisa lolos. Malam yang gelap sengaja dipilih agar penyamaran mereka tidak mudah diketahui.

Terdengar suitan burung malam yang agak panjang dari biasanya. Sebenarnya itu adalah  sebuah isyarat. Pelan-pelan gerbang terbuka sedikit.  Rupanya penjaga gerbang adalah prajurit dari markas mereka juga yang sengaja dikirim untuk menjadi penjaga pada malam itu. Begitu melihat gerbang sedikit terbuka dengan cepat pasukan dalam samaran itu memasuki bagian dalam kediaman adipati lalu menyebar ke semua sudut.

Dengan sebuah teriakan nyaring Risnadu memberi aba-aba untuk menyerang, mendobrak pintu dan membakar.

“Serang,..!! Dobrak,..!! Bakar,..!!” teriaknya.

“Bunuh Adipati penghisap darah rakyat,..!! Jangan biarkan ada satupun yang lolos,..!!” perintahnya

Serentak terdengar pintu didobrak, gemeretak api mulai membakar benda-benda yang mudah terbakar serta teriakan pembakar semangat berbaur hiruk pikuk. Tidak ada perlawanan berarti dari para pengawal adipati, bahkan terkesan mereka menghindar tidak melawan. Yang kalang kabut seperti ayam kehilangan induk lari menyelamatkan diri adalah para pelayan dan pembantu pribadi keluarga Adipati Cadipa.

Risnadu diiringi pasukannya langsung masuk ke bagian dalam kediaman  dan mendobrak pintu kamar pribadi Cadipa yang kedapatan meringkuk coba melindungi anak dan istrinya.

“He.., siapa kalian,..!!??” Cadipa mencoba memgertak.

Bukannya jawaban yang didapat tetapi tebasan pedang dari Risnadu disusul oleh anak buahnya yang ramai-ramai menghabisi semua anggota keluarga adipati Megalung itu.

 “Ambil semua benda berharga dan uang yang ada untuk bekal perjuangan kita selanjutnya,...!!” perintah Risnadu.

Dengan cepat mereka menguras harta benda yang ada sementara api sudah hampir menyapu seluruh bangunan. Mereka dengan sigap kembali ke markas prajurit dan setiba disana langsung berganti dengan pakaian prajurit. Sebagian besar segera masuk ke dalam sel tahanan.

Pada saat itu Kepala Pamong Negeri Megalung, Pariga, mendapat laporan dari anak buahnya yang bertugas jaga kalau terlihat kebakaran besar di arah kediaman Adipati Cadipa.

“He,... apakah yang terjadi,..?? Siapkan pasukan, kita menuju kesana,..!!” perintah Pariga.

Para Pamong Negeri segera dikumpulkan lalu bersama-sama menuju kediaman Adipati Megalung. Tetapi dia tidak menjumpai seorangpun disana, hanya api dan asap yang mengganas dan sudah melahap semua bangunan yang ada.

“Heran,... Kenapa tak ada satupun orang memadamkan api,..??” tanya Pariga.

“Kenapa tidak ada pasukan prajurit Megalung datang melindungi Adipati,..??”  cetus Pariga bertanya-tanya.

Karena tak ada yang bisa dilakukan disini, dia mengajak anak buahnya menuju markas prajurit. Di depan gerbang dia dihentikan oleh prajurit penjaga.

“He,... apa kalian tak melihat rumah Adipati terbakar,..!!??” tanya Pariga marah.

“Kami melihatnya,..” jawab penjaga.

“Lalu, kenapa kalian tidak datang menololong Adipati,..!!??” bentaknya.

“Hampir semua prajurit dan pimpinan prajurit sedang dalam masa hukuman. Mereka tidak boleh keluar dari sel,..” jawab penjaga.

“Kalau begitu lepaskan komandan disini. Ada hal penting yang harus dilakukan,..!!” perintah Pariga.

Penjaga membiarkan Pariga diikuti anak buahnya masuk dan segera berlari ke salah satu sel tahanan. Agak lama ia mengetuk-ngetuk pintu sel baru membukanya. Dari dalam muncul Risnadu seperti baru bangun dari tidur. Mereka terlihat bercakap-cakap sebentar lalu bergegas menemui Kepala Pamong Negeri.

“Selamat malam Kepala Pamong Negeri,..” sapa Risnadu.

“Ya, selamat malam Komandan. Ada hal penting yang harus segera kita kerjakan,..” kata Pariga.

“Maaf, saya masih dalam masa hukuman, tidak boleh keluar dari dalam sel tahanan,..” lawab Risnadu.

“Lupakan itu komandan, karena baru saja kediaman Adipati Cadipa dibakar habis. Banyak mayat hangus ditemukan disana. Kita tidak tahu apakah adipati terbunuh atau masih hidup,..” jelas Pariga.

“Apakah sudah ada yang tertangkap,..??” tanya Risnadu.

“Itulah yang harus kita kerjakan,.. Kami tak menemui seorangpun disana,.. Mari kita kerjasama mencari dan menangkap pelakunya,..” kata Pariga.

 “Hmmm,.. baiklah,... Saya akan menyiapkan prajurit saya,..” jawab Risnadu.

“Terimakasih,... saya akan kembali ke tempat kejadian untuk memeriksa,..” kata Pariga.

Hari menjelang fajar ketika sepasukan prajurit dibawah pimpinan Risnadu memacu kudanya menuju tempat kejadia. Bersamaan dengan itu keluar juga beberapa pasukan dipimpin seorang pimpinan prajurit berjalan menyebar ke berbagai pelosok kota Megalung.

Megalung bagai kota mati. Tidak tampak seorangpun keluar rumah meski hari mulai pagi. Rupanya kebakaran besar semalam telah diketahui semua warga dan mereka memilih menutup rapat-rapat pintu rumah mereka dan memilih diam di rumah.

Codet yang mendapat giliran berjaga segera membangunkan Balmis yang baru saja tertidur saat dia mendengar suara orang ribut di luar penginapan dan melihat sendiri cahaya terang diikuti asap hitam membubung di kejauhan.

“Benarkan,... malam ini terjadi sesuatu,..” bisik Codet.

“Ssssst,..!! Kecilkan suaramu,,!!”  kata Balmis sambil menyikut.

“Dimana itu ya,..!!??” terdengar seseorang bertanya keras-keras.

“Mungkin di dekat alun-alun sana,..” jawab orang lain menduga-duga.

Terdengar gunjingan orang-orang itu yang ramai menduga-duga apa yang terjadi. Ketika matahari mulai tinggi, Balmis dan Codet memutuskan untuk pergi ke pasar dan mendekat ke alun-alun. Ternyata rakyat sudah banyak yang berani keluar karena mendengar kabar kalau kota Megalung sudah aman dikuasai oleh pasukan pemerintah. Para pembunuh sudah melarikan diri keluar dari Megalung. Korban yang terbunuh adalah Adipati Cadipa dan keluarganya serta semua penghuni kediaman itu.

“Hmmm,.. kelihatannya warga tidak merasa sedih atas kematian Adipati mereka,...” kata Balmis.

“Malah cenderung senang dan lega, menurutku,..” timpal Codet.

“Ya, kau benar,... Aku juga melihatnya begitu,..” kata Balmis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA