-------------------------
Kita tinggalkan dulu Kepala Negeri Sudoba yang sedang berunding. Kita menengok Markas Kasjur dimana Andragi sedang menata kehidupan baru disana setelah semua bekas prajurit terkumpul dan anak istri mereka berangsur-angsur berhasil dijemput satu persatu oleh suami mereka sesuai dengan jadwal yang sudah diatur oleh bekas pimpinan mereka masing-masing.
Markas Kasjur sudah bisa
menghidupi para penghuninya. Dengan bantuan Loyo, Brewok, Balmis dan Codet yang
pernah membangun Harjagi dan Kenteng, mereka membangun pedesaan bagi para
keluarga bekas prajurit persis di bawah markas Kasjur, di perut bukit.
Parit-parit dibuat untuk
menyalurkan air melalui tengah desa terus
ke kolam-kolam ikan, sawah dan ladang. Setiap rumah dimodali dengan
sepasang sapi, 2 pasang kambing dan beberapa ekor ayam dan itik. Sedangkan
kolam ikan, sawah dan ladang dikelola bersama dengan pengaturan kelompok yang
disiplin seperti saat ketika mereka masih menjadi prajurit.
Melihat tempat itu sudah
hidup, Andragi mulai memikirkan bagaimana mengembalikan harta yang mereka
rampas di dekat Kalisunggi dikembalikan kepada rakyat Megalung yang telah
diperas. Dia merundingkan gagasannya dengan para pimpinan markas Kasjur,
termasuk Laja yang sudah tiba pula dari perjalanan panjangnya ke Markas
Sontoloyo.
“Kita harus mencari
korban pemerasan yang hidupnya menjadi susah akibat pemerasan itu dan
mengajaknya pindah ke lembah di luar Selonto dekat dengan pondok persinggahan
kita di dekat hutan itu,..” kata Andragi.
“Tetapi tempat itu belum
ada apa-apa, masih hutan dan padang perdu,..” kata Prasa.
“Sobat Prasa benar,..
karena itu kita kita akan bangun sebuah desa disana seperti yang pernah kami
lakukan di Harjagi. Sobat Loyo, Brewok, Balmis dan Codet yang pernah disana bisa
membantu menjelaskan. Intinya kita ajak mereka dan kita modali untuk hidupbeberapa bulan sampai mereka bisa panen dan hidup seperti desa kita Kasjur
ini.,..” kata Andragi.
“Tiga bulan pertama dari
sekarang kita akan bangun satu desa dan sebuah ladang lengkap dengan parit seperti
gambar ini,..” lanjut Andragi.
Angragi lalu menunjukkan
gambar denah yang mirip dengan yang dibuat untuk desa Harjagi. Diputuskan 50
orang bekas prajurit akan membuat desa baru itu, bergantian setiap minggu. Para
pimpinan prajutrit akan memimpin kelompok kerja membabat hutan, membuat parit,
jalan, area ladang dan sawah.
Sementara itu Balmis dan
Codet yang ditugaskan mengamati Megalung mendengar kalau para prajurit yang
kalah perang mendapatkan hukuman fisik dan di penjara selama 2-3 minggu. Rakyat
menjadi resah dan merasa hal itu tidak adil. Bagaimanapun mereka telah berjuang
hidup mati mempertahankan sepotong nyawa mereka. Rakyat juga merasakan beban
hidup yang semakain berat karena adipati Cadipa menaikkan pajak lagi guna
mengumpulkan hadiah kepada Kepala Negeri untuk ulang tahun berikutnya.
“Hmmm, kelihatannya
terjadi gejolak disini,..” kata Balmis.
“Apakah kita harus segera
melaporkan ini,..??” tanya Codet.
“Jangan dulu,.. sebaiknya
kita tahu lebih jauh dulu,..” jawab Balmis.
“Bagaimana caranya, ..
apa hanya ke pasar cari berita dan menunggu,..??” cecar Codet.
“Kita akan cari tahu dari
dalam markas prajurit. Dari sana kita akan tahu apa yang akan terjadi,..” jawab
Balmis.
Mereka lalu mencari cara
masuk ke dalam markas prajurit yaitu dengan berpura-pura sebagai kerabat istri
Prawa yang tewas dalam pengawalan hadiah ulang tahun Kepala Negeri. Mereka pun
mendatangi markas prajurit Megalung saat hari belum siang. Di depan gerbang
mereka ditanya prajurit yang bertugas jaga.
“Apa maksud kalian
kesini,..??!!” tanya penjaga.
“Kami kerabat istri
kakang komandan Tulawa yang tewas dalam pengawalan, mau mengunjungi,..” jawab
Balmis.
(Tulawa adalah nama asli
Prawa sebelum diganti oleh Andragi)
“He,.. setahu saya
istrinya sudah pergi ke desanya,..” kata penjaga.
“Oh begitu,... Tapi biarlah
kami melihat ke pondoknya,...” pinta Balmis.
“He,..!! Kau tak percaya
padaku,..!!” bentak petugas itu.
“Ah,.. biarlah dia lihat
sendiri biar puas,..” kata penjaga lain yang mendengar percakapan mereka.
“Ya sudah,..!! Kau antar
sendiri mereka sana,..!!” katanya kesal.
Penjaga satunya lalu
membawa mereka masuk melalui barak-barak prajurit menuju ke pondok para
pimpinan prajurit.
“Harap maklum, teman saya
itu lagi kesal hatinya. Kami semua juga lagi kesal,..” kata penjaga yang
mengantar.
“Oh, maaf,... tapi
mengapa,..??” tanya Balmis.
“Yah,... mungkin masih
beruntung istri komandan Sarji yang sudah pergi dari sini,..” kata penjaga.
“Oh,... memangnya ada
apa,..??” tanya Codet.
“Kami ini sudah berjuang
setengah mati, pulang-pulang malah dihukum,.. “ keluhnya.
Tampak sekali kemarahan
di wajahnya. Dan ketika berpapasan dengan prajurit lain dia terlihat memberi
isyarat tertentu dan dijawab “siap” oleh yang berpapasan. Semua itu diamati
dengan seksama oleh Balmis dan Codet, sehingga mereka pun bersikap waspada.
“Nah, itu dulu pondok
Komandan Tulawa, sekarang sudah diisi komandan lain,..” kata penjaga iru.
Di depan pondok itu
tampak 2 bocah bermain di halaman ditemani seorang perempuan sepertinya ibu
mereka.
“Oh,... bukan istri
kakang Tulawa,... Baiklah kami akan kembali saja,..” kata Balmis.
Dalam berjalan kembali
menuju gerbang, suasana terlihat lengang. Tidak terlihat prajurit yang lalu
lalang.
“Kenapa sepi disini
ya,..??” tanya Balmis.
“Ya, ... semua orang
pilih istirahat habis kena hukuman,..” jawab penjaga, dengan kata-kata yang
dingin, terasa getir.
Sebelum sampai di pintu
gerbang, tiba-tiba muncul komandan Risnadu, orang yang memimpin pulang pasukan
yang kalah perang di gunung kembar dan mendapat hukuman yang paling berat.
“Bersiaplah,..!! Dengar,.. Mulai sekarang
tidak ada yang diperbolehkan masuk,..mengerti,..!!??” perintahnya.
“Siap, komandan,..!!”
jawab penjaga itu.
Balmis dan Codet segera
meninggalkan gerbang dan kembali ke tempat mereka menginap.
“Tampaknya akan segera
terjadi sesuatu ,, tapi apa ya,..??” tanya Codet.
“Ya, .. akan terjadi
sesuatu,...Mari kita pindah penginapan yang mudah keluar dari Megalung menuju
Selonto supaya tidak terjebak disini kalau terjadi kekacauan,..” kata Balmis.
Sore itu mereka pindah ke
penginapan lain dan memutuskan untuk berjaga-jaga siapa tahu ada sesuatu yang
terjadi. Mereka sepakat untuk bergantian tidur.
Saat itu di markas
prajurit Risnadu mengumpulkan semua prajuritnya.
“Malam ini kita
lakukan,.!! Semua berpakaian seperti warga biasa. Jangan bawa tanda-tanda
prajurit. Semua siap,..??” tanya Risnadu.
“Siap,..komandan,..”
jawab beberapa pimpinan prajurit hamir bersamaan.
Selepas tengah malam para
prajurit dalam penyamaran itu bergerak diam-diam menuju kediaman adipati Cadipa
dalam kelompok-kelompok kecil. Mereka langsung mengepung rapat kediaman itu
untuk tidak membiarkan ada yang bisa lolos. Malam yang gelap sengaja dipilih
agar penyamaran mereka tidak mudah diketahui.
Terdengar suitan burung malam yang agak panjang dari biasanya. Sebenarnya itu adalah sebuah isyarat. Pelan-pelan gerbang terbuka sedikit. Rupanya penjaga gerbang adalah prajurit dari markas mereka juga yang sengaja dikirim untuk menjadi penjaga pada malam itu. Begitu melihat gerbang sedikit terbuka dengan cepat pasukan dalam samaran itu memasuki bagian dalam kediaman adipati lalu menyebar ke semua sudut.
Dengan sebuah teriakan
nyaring Risnadu memberi aba-aba untuk menyerang, mendobrak pintu dan membakar.
“Serang,..!! Dobrak,..!!
Bakar,..!!” teriaknya.
“Bunuh Adipati penghisap
darah rakyat,..!! Jangan biarkan ada satupun yang lolos,..!!” perintahnya
Serentak terdengar pintu
didobrak, gemeretak api mulai membakar benda-benda yang mudah terbakar serta
teriakan pembakar semangat berbaur hiruk pikuk. Tidak ada perlawanan berarti
dari para pengawal adipati, bahkan terkesan mereka menghindar tidak melawan.
Yang kalang kabut seperti ayam kehilangan induk lari menyelamatkan diri
adalah para pelayan dan pembantu pribadi keluarga Adipati Cadipa.
Risnadu diiringi
pasukannya langsung masuk ke bagian dalam kediaman dan mendobrak pintu kamar pribadi Cadipa yang kedapatan
meringkuk coba melindungi anak dan istrinya.
“He.., siapa
kalian,..!!??” Cadipa mencoba memgertak.
Bukannya jawaban yang
didapat tetapi tebasan pedang dari Risnadu disusul oleh anak buahnya yang
ramai-ramai menghabisi semua anggota keluarga adipati Megalung itu.
“Ambil semua benda berharga dan uang yang ada
untuk bekal perjuangan kita selanjutnya,...!!” perintah Risnadu.
Dengan cepat mereka menguras
harta benda yang ada sementara api sudah hampir menyapu seluruh bangunan.
Mereka dengan sigap kembali ke markas prajurit dan setiba disana langsung
berganti dengan pakaian prajurit. Sebagian besar segera masuk ke dalam sel
tahanan.
Pada saat itu Kepala
Pamong Negeri Megalung, Pariga, mendapat laporan dari anak buahnya yang
bertugas jaga kalau terlihat kebakaran besar di arah kediaman Adipati Cadipa.
“He,... apakah yang
terjadi,..?? Siapkan pasukan, kita menuju kesana,..!!” perintah Pariga.
Para Pamong Negeri segera
dikumpulkan lalu bersama-sama menuju kediaman Adipati Megalung. Tetapi dia
tidak menjumpai seorangpun disana, hanya api dan asap yang mengganas dan sudah
melahap semua bangunan yang ada.
“Heran,... Kenapa tak ada
satupun orang memadamkan api,..??” tanya Pariga.
“Kenapa tidak ada pasukan
prajurit Megalung datang melindungi Adipati,..??” cetus Pariga bertanya-tanya.
Karena tak ada yang bisa
dilakukan disini, dia mengajak anak buahnya menuju markas prajurit. Di depan
gerbang dia dihentikan oleh prajurit penjaga.
“He,... apa kalian tak
melihat rumah Adipati terbakar,..!!??” tanya Pariga marah.
“Kami melihatnya,..”
jawab penjaga.
“Lalu, kenapa kalian
tidak datang menololong Adipati,..!!??” bentaknya.
“Hampir semua prajurit
dan pimpinan prajurit sedang dalam masa hukuman. Mereka tidak boleh keluar dari
sel,..” jawab penjaga.
“Kalau begitu lepaskan
komandan disini. Ada hal penting yang harus dilakukan,..!!” perintah Pariga.
Penjaga membiarkan Pariga
diikuti anak buahnya masuk dan segera berlari ke salah satu sel tahanan. Agak
lama ia mengetuk-ngetuk pintu sel baru membukanya. Dari dalam muncul Risnadu
seperti baru bangun dari tidur. Mereka terlihat bercakap-cakap sebentar lalu
bergegas menemui Kepala Pamong Negeri.
“Selamat malam Kepala
Pamong Negeri,..” sapa Risnadu.
“Ya, selamat malam
Komandan. Ada hal penting yang harus segera kita kerjakan,..” kata Pariga.
“Maaf, saya masih dalam
masa hukuman, tidak boleh keluar dari dalam sel tahanan,..” lawab Risnadu.
“Lupakan itu komandan,
karena baru saja kediaman Adipati Cadipa dibakar habis. Banyak mayat hangus
ditemukan disana. Kita tidak tahu apakah adipati terbunuh atau masih hidup,..”
jelas Pariga.
“Apakah sudah ada yang
tertangkap,..??” tanya Risnadu.
“Itulah yang harus kita
kerjakan,.. Kami tak menemui seorangpun disana,.. Mari kita kerjasama mencari
dan menangkap pelakunya,..” kata Pariga.
“Hmmm,.. baiklah,... Saya akan menyiapkan
prajurit saya,..” jawab Risnadu.
“Terimakasih,... saya
akan kembali ke tempat kejadian untuk memeriksa,..” kata Pariga.
Hari menjelang fajar
ketika sepasukan prajurit dibawah pimpinan Risnadu memacu kudanya menuju tempat
kejadia. Bersamaan dengan itu keluar juga beberapa pasukan dipimpin seorang
pimpinan prajurit berjalan menyebar ke berbagai pelosok kota Megalung.
Megalung bagai kota mati.
Tidak tampak seorangpun keluar rumah meski hari mulai pagi. Rupanya kebakaran
besar semalam telah diketahui semua warga dan mereka memilih menutup
rapat-rapat pintu rumah mereka dan memilih diam di rumah.
Codet yang mendapat
giliran berjaga segera membangunkan Balmis yang baru saja tertidur saat dia
mendengar suara orang ribut di luar penginapan dan melihat sendiri cahaya
terang diikuti asap hitam membubung di kejauhan.
“Benarkan,... malam ini
terjadi sesuatu,..” bisik Codet.
“Ssssst,..!! Kecilkan
suaramu,,!!” kata Balmis sambil
menyikut.
“Dimana itu ya,..!!??”
terdengar seseorang bertanya keras-keras.
“Mungkin di dekat
alun-alun sana,..” jawab orang lain menduga-duga.
Terdengar gunjingan orang-orang
itu yang ramai menduga-duga apa yang terjadi. Ketika matahari mulai tinggi,
Balmis dan Codet memutuskan untuk pergi ke pasar dan mendekat ke alun-alun.
Ternyata rakyat sudah banyak yang berani keluar karena mendengar kabar kalau
kota Megalung sudah aman dikuasai oleh pasukan pemerintah. Para pembunuh sudah
melarikan diri keluar dari Megalung. Korban yang terbunuh adalah Adipati Cadipa
dan keluarganya serta semua penghuni kediaman itu.
“Hmmm,.. kelihatannya
warga tidak merasa sedih atas kematian Adipati mereka,...” kata Balmis.
“Malah cenderung senang
dan lega, menurutku,..” timpal Codet.
“Ya, kau benar,... Aku
juga melihatnya begitu,..” kata Balmis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.