Harga Diri Bisa Dibeli


Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #21)

“Hahaha..,!” Andragi tertawa. “Tipuanmu dengan permainan dadu itu sudah kuno dan terlalu mudah buatku. Aku mau permainan yang memberi kemungkinan kalian menang. Kalau aku sudah pasti menang, bukan taruhan lagi namanya,” tantangnya.
“Anak muda sombong! Permainan apa yang kau maksud heh! Membelah bulan?!”geram sang bandar.

Para centeng di meja itu sudah tidak sabar. Mereka mulai memegang hulu pedangnya, sebagai ancaman.
Orang-orang mulai datang berkerumun meninggalkan permainan mereka.

“Bukan! Tetapi Membakar Air!” jawab Andragi tegas.
Terdengar seruan kaget orang-orang yang sudah semakin banyak mengerumuni arena itu.
“Apa..!!?? Kamu gila ya?! Itu tidak mungkin!” sergah si bandar.
“Aku tidak main-main! Kalau kalian tidak bisa, biar aku saja yang melakukannya. Kalau aku gagal, silakan ambil kepalaku. Tetapi kalau aku bisa kalian harus bayar taruhannya,” tantang Andragi.

Tersengar dengungan yang semakin ramai dari suara orang-orang yang makin banyak mengerumuni tempat itu. Bahkan tak lama kemudian seluruh permainan disana berhenti dan para penjudi yang lain bertanya-tanya, kemudian saling membicarakan taruhan istimewa itu.

Pada saat itu, di dalam bangunan khusus, Tamakir sedang menjamu seorang tamu istimewa, namanya Sukadu, yang tiada lain petinggi Pamong Negeri (polisi, pada jaman sekarang) wilayah kawedanan Buntung. Tamakir melayani tamunya bermain judi dengan cara khasnya itu. Dia sudah ‘kalah’ dan sedang mempersilakan tamunya untuk bermain di arena umum jika Sukadu masih ingin bermain, ketika didengarnya dengungan suara orang ramai membicarakan tantangan Andragi itu. Dengungan itu terdengar lebih keras. Ini tidak sebagaimana biasanya.

“Ada apa ini!?” tanyanya.

Seorang tukang pukul segera berlari keluar mencari tahu lalu cepat-cepat kembali untuk melapor. Demi mendengar soal taruhan gila itu ia terhenyak dan timbul amarahnya. Namun, di hadapan tamu yang terhormat itu Tamakir terpaksa bersikap ramah, meski hatinya geram bukan main. Ia mengira ada orang iseng yang coba-coba memancing keonaran.

“Tantangan yang aneh! Mana mungkin ada orang bisa membakar air,” katanya kepada Sukadu, komandan Pamong Negeri itu.

Pejabat yang sedang gembira karena di kantonya telah terselip sejumlah uang itu, tersenyum seraya mengangguk-angguk.

“Panggil orang muda itu kemari!” perintah Tamakir.

Mereka, para centeng rumah judi itu, pun segera membawa Andragi menghadap Tamakir.

“Benarkah saudara akan membakar air, dan apa taruhannya?” tanya Lurah Tamakir, berusaha menekan rasa jengkelnya.
“Benar, pak Lurah. Saya akan mencoba membakar air. Kalau tidak berhasil silakan ambil kepala saya. Tetapi kalau berhasil, saya minta bayaran yang setimpal,” jawab Andragi mantap.
“Anak muda, apakah kau sudah gila atau sedang putus asa?” tanya Sukadu.

Sebagai pejabat Pamong Negeri, Sukadu  juga harus bersopan-sopan di hadapan orang banyak.

“Ya, dua-duanya, pak! Apa pak Lurah yang kaya raya ini takut menerima tantangan saya?” tantangnya lagi.

Wajah Tamakir sedikit memerah karena marah, tetapi segera dikendalikannya. Dia memang sangat pelit dan tidak pernah rela kehilangan hartanya sedikitpun. Tetapi tantangan anak muda yang kurang ajar ini di depan umum dan di hadapan pejabat Pamong Negeri sudah terbilang kelewat batas. Dalam perhitungannya, dia tidak melihat adanya kemungkinan untuk kalah. Karena itu dia tidak akan kehilangan hartanya secuilpun dalam taruhan itu. Ini sisi yang bagus!

Dilain pihak, apabila ia menolak, jelas dia akan kehilangan harga dirinya dihadapan orang banyak dan juga pejabat Pamong Negeri. Harga diri? 
Bagi Tamakir, kata itu tidak punya arti apa-apa dibandingkan kehilangan harta! 
Apa gunanya punya harga diri tetapi tidak memiliki harta alias miskin? 
Bukankah harga diri bisa dibeli dengan harta yang dimilikinya. Buktinya semua orang menghormatinya karena kekayaannya? 
Dan bukankah orang-orang miskin itu tidak punya sesuatupun yang dibanggakan karena kemiskinannya? 
Jadi, kehilangan harga diri bukanlah sesuatu yang berharga, yang penting tidak kehilangan harta!

Dengan perhitungan itu, Tamakir berkeputusan tidak ada sisi yang merugikan bagi dirinya untuk menerima tantangan anak muda gila ini. "Tak mungkin dia bisa membakar air. Dia pasti gagal, dan aku, Lurah Tamakir, akan mendapatkan untung dengan mudah" Ini sih mendapat pisang terkubak, hehe..." Tamakir membatin.

“Baik anak muda, aku terima tantanganmu. Aku tidak takut, seberapapun besar uang yang kau inginkan!  Sebagai warga yang terhormat aku akan minta juru tulis untuk menuliskan perjanjian taruhan ini supaya kau tidak menjilat ludah-mu lagi nanti!” katanya dengan yakin seakan sebagai warga yang terhormat dan taat hukum.

"Aku tidak akan mengingkari apa yang telah kukatakan!" jawab Andragi.

Seorang juru tulis segera dipanggil datang dengan membawa perlengkapannya.

“Nah, sekarang sebutkan apa taruhan yang harus kubayar!?” kata Tamakir.
“Baik!” jawab Andragi. “Aku tidak minta yang aneh-aneh dan akan membuat pak Lurah bangkrut. Aku pun tidak akan menggunakan hasil taruhan itu untuk diriku sendiri,” ia berhenti sejenak.

Sekilas senyum menghiasi wajah Tamakir. Perkataan Andragi itu adalah berita baik bagi dirinya.

Mata Andragi lalu menyapu berkeliling melihat ke arah pengunjung yang tampaknya semakin banyak datang di tempat itu. Rupanya kabar tentang taruhan yang aneh itu telah beredar ke penduduk desa. Para ibu menghentikan kegiatan di dapur dan bergegas ke tempat yang tidak pernah mereka datangi itu. Anak-anak menghentikan permainan mereka dan segera pula berlari berebutan kesana.

“Siapakah diantara diantara kalian yang masih mempunyai hutang banyak kepada Pak Lurah?” tanya Andragi lantang.

Orang-orang saling berpandangan dan bergumam. Pada awalnya mereka tidak berani menunjuk jari, karena tidak yakin bahkan tidak percaya anak muda ini akan memenangkan taruhan aneh ini. Bisa-bisa mereka semakin celaka kalau berani tunjuk tangan dan ternyata Andragi kalah. Lurah Tamakir dan para tukang pukulnya akan menyiksa mereka habis-habisan.

Tetapi ketika salah seorang dari mereka, yang tidak lain tidak bukan adalah Sonto, menunjuk jarinya, beberapa dari mereka pun mulai berani menunjukkan jarinya pula. Siapa tahu nasib baik kali ini memihak mereka. Akhrnya lebih dari dua puluh orang mengacungkan tangan mereka.

“Kalau begitu, perjanjiannya begini: Kalau saya bisa membakar air maka segala hutang dari orang-orang itu harus dinyatakan lunas, dan segala sesuatu yang telah disita harus dikembalikan kepada yang bersangkutan. Jika saya gagal maka kepala saya menjadi milik Pak Lurah Tamakir!” kata Andragi.

Terdengar suara mengerendeng di tengah pengunjung. Mereka tidak habis mengerti kemauan anak muda itu, tetapi itu menyenangkan.

Tamakir sempat terkejut mendengar itu, terkejut atas jumlah harta yang harus direlakannya bagi dua puluh orang itu,  tetapi karena ia yakin pasti menang maka ia tidak keberatan.

“Anak ini cuma mau mencari simpati saja supaya mereka mau menolongnya nanti disaat sengsara. Sebentar lagi setelah menjadi milikku, akan kusiksa dia seumur hidup!” geram Tamakir dalam hati.

Juru tulis segera menyelesaikan pekerjaannya dan kedua petaruh itu membubuhkan tanda jempol mereka sebagai bukti pengikat. Sekarang pertunjukan itu telah bisa dimulai.

Atas permintaan Andragi mereka menuju halaman yang luas. Disana ia minta disediakan panggung  seluas kira-kira 2x3 meter persegi setinggi perut orang dewasa. Panggung itu terletak di sisi dekat tembok pagar sehingga para penonton tidak mengelilinginya tetapi berada di depan dan samping kiri dan kanan panggung. Di tengah panggung itu diletakkan sebuah gentong air yang besar setinggi paha orang dewasa, yang kemudian diisi air hingga nyaris penuh. Ia juga minta disediakan sebuah obor yang nanti akan digunakan untuk menyulut air.

Setelah semuanya siap, naiklah Andragi ke atas panggung itu. Semua mata memandang kepadanya dengan harap-harap cemas, baik yang berharap dia berhasil maupun yang menginginkan dia gagal.

Dengan mantap ia melangkah. Tanpa ragu sedikitpun.
Pertama-tama ia memberi hormat kepada para penonton dengan membungkukkan punggungnya dalam-dalam sambil tangannya sedekap di bagian bawah perutnya. Ia melangkah hingga ke tepi panggung lalu memberi hormat kepada penonton di depan dengan cara itu, lalu bergeser ke sisi kiri memberi hormat kepada penonton disisi kiri panggung dan terakhir menuju sisi kanan untuk melakukan hal yang sama kepada penonton di sisi itu. Dia melakukannya secara perlahan-lahan untuk membangun suasana  khidmat.

 Setelah itu ia berbalik menghadap ke arah gentong air dan memberi hormat dengan cara yang sama. Kali ini dilakukannya lebih lama dari pada sebelumnya untuk memberi ‘kesempatan’ kepada penonton melakukan hal yang sama. Melihat itu, Sonto dan Loyo yang sengaja berdiri di barisan depan penonton sisi kiri dan kanan panggung secara nyata tetapi tidak terlalu mencolok berbuat hal yang sama. Orang di sebelah kiri, kanan dan belakangnya melihat itu dan segera pula menirunya. Demikian seterusnya hingga semua orang disisi kiri kanan panggung tunduk menghormat. Mereka yang berada di depan panggung, termasuk Tamakir dan Sukadu, demi melihat penonton sisi kiri dan kanan memberi hormat secara serentak melakukannya juga.

Kesempatan itu digunakan Andragi untuk membuka risleting tas pinggang di balik baju kutungnya dan mengambil botol kapsul yang sebelumnya telah diisi bensin penuh kembali.  Digenggamnya botol itu dengan tangan kiri, menutup kembali tas pinggangnya lalu menyudahi acara penghormatan itu. Sonto dan Loyo pun mengikutinya dan semua penonton berbuat serupa.

Perlahan-lahan ia melangkah maju mendekati gentong air. Sementara tangan kirinya tetap berada pada posisi sedekap seperti semula, tangan kanannya diulurkannya keatas sambil menggerak-gerakkan jari-jarinya terbuka dan tertutup berkali-kali diikuti dengan pandangan mata mendongak keatas seakan sedang menatap sesuatu. Dan... Tiba-tiba ditariknya tangan kanannya itu sambil jari-jarinya menutup seperti tampaknya menangkap sesuatu. Lalu digoyang-goyangkan tangan kanannya itu dengan gerakan menggeletar yang cepat seakan sesuatu yang telah ditangkapnya memberontak mau melepaskan diri. Terlihat ia berusaha menarik tangannya sekuat tenaga mengarahkan ke mulutnya. Setelah dekat, dibukanya mulutnya lebar-lebar dan dengan cepat dimasukkan sesuatu itu kedalam mulutnya kemudian ‘menelannya’.

Suasana semakin hening. 
Semua orang menunggu dengan berdebar-debar. 
Mereka menduga suatu makhluk halus telah berhasil ditangkap oleh Andragi dan menelannya untuk mendapatkan kesaktian membakar air.

Setelah ‘berhasil’ menangkap "makhluk" itu Andragi bersedekap lagi sementara mulutnya berkomat-kamit seperti sedang melafalkan mantera agar benda di dalam tubuhnya itu mau mengikuti kehendaknya.
“Ooong wale-wale nori wale....Weleh weleh weleh..!”

Setelah itu ia lalu mengulurkan tangan kanannya ke dalam gentong air, meraupnya dengan telapak dan jari-jari yang menangkup kemudian melemparkannya ke kiri, kekanan dan kebelakang. Penonton yang terkena merasakan bahwa itu benar-benar air. Dalam hati mereka bersyukur mendapatkan cipratan air suci. Kini suasana menjadi semakin hening dan khidmat, tetapi juga penuh ketegangan.

Merasakan suasana yang diinginkannya telah terbangun, Andragi memutuskan inilah saatnya. Ia lalu bersedekap kembali dan melakukan penghormatan seperti sebelumnya. Sonto dan Loyo dengan sigap melakukannya, dan semua orang menirukannya. Dalam bersedekap itu diam-diam Andragi membuka tutup botol kapsul dan menyimpan tutupnya di dalam tas pinggangnya. Setelah itu dengan gerakan yang cepat ia menjulurkan kedua tangannya ke atas gentong air itu dengan gerakan seperti tari kecak, sambil kepalanya menunduk bergoyang mengikuti irama mulutnya.

“Cak..caracak. ..cak,cak ..GOONG! “Cak..caracak. ..cak,cak ..GOONG!

Kepalanya menggeleng-geleng dan pada saat GOONG kepalanya dilemparkannya ke depan. Begitu dilakukan berulang-ulang, sambil telapak tangan yang terjulur kedepan digoyang-goyang. Tanpa komando Sonto dan Loyo pun mengikutinya dengan lebih sigap dan bersemangat. Dan semua orang mengikutinya.

“Cak..caracak. ..cak,cak ..GOONG! “Cak..caracak. ..cak,cak ..GOONG!

Suara mereka menggema ke seantero pedesaan. Pada saat semua orang sibuk berkecak-kecak itulah Andragi tanpa mencolok mengambil botol kapsul yang telah ia selipkan di perutnya dan menuangkan isinya ke atas air di gentong itu sambil terus mengoyang-goyangkan kepala berkecak-kecak.

Ia menunggu beberapa “GOONG” lagi sebelum dengan tiba-tiba menarik kedua tangannya dan bersdekap lagi, diam. Semua orang segera ikut diam pula menirukannya. Ia lalu mebungkuk memberi hormat lagi agak lama karena harus memasukkan kembali botol itu ke dalam tas pinggangnya. Semua orang ikut tunduk membebek. Setelah beres barulah ia mengangkat kepalanya menyudahi penghormatan itu.

Ia lalu berjalan kesisi lain gentong untuk bisa berhadapan dengan penonton. Ia merentangkan kedua tangannya lurus ke depan diatas gentong air lalu membuat gerakan menggambar lingkaran dengan kedua telunjuknya sambil berkomat-kamit. Setelah itu ia lalu menyapu pandangannya kearah penonton dan menatap dengan tajam.

“Saudara-saudara! Saksikanlah! Inilah saatnya!” seru Andragi lantang.


Bagaimana kesudahan pertaruhan gila itu? Akankah Lurah Tamakir memenuhi janjinya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA