Mengalahkan Pasukan Yang Lebih Kuat

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #92 )

Pagi harinya, setelah berhasil mengumpulkan semua prajuritnya Kompra ternyata kehilangan lebih dari 100 orang dan Libasa kehilangan sekitar 200 orang. Sementara 100 orang prajurit perbekalan jatuh sakit yang misterius. Bahkan sebagian dari perbekalan mereka raib entah kemana. Prajurit mereka yang tidak terluka tersisa 1100 orang.

“Kurang ajar,..!! Beraninya kalau malam hari. Dasar  perampok sialan,..!!” maki Kompra.

“Jumlah kita masih lebih banyak dibanding para perampok. Dan sebelum bekal kita habis sebaiknya kita serang habis-habisan mereka siang ini juga. Malam ini juga kita harus sudah tidur di sarang mereka,..!! kata Libasa.

“Baik, saya setuju,..!!” kata Kompra, dengan nada geram.

Mereka bergegas mengatur perlengkapan perang, menyiapkan makanan untuk sarapan dan makanan bagi kuda-kuda. Sebanya 100 prajurit ditugaskan mengganti kawannya yang sakit misterius. Merekalah yang bertugas memasak makanan.

Semua kegiatan mereka dengan jelas bisa dipantau oleh pimpinan pasukan Gunung Kembar melalui teropong milik Andragi yang mereka sebut mata ajaib.

“Tampaknya mereka bersiap-siap untuk menyerang kita hari ini,..” kata Jotiwo.

“Hahaha,... Dengan badan yang lelah dan ngantuk apalagi ditambah ‘obat lemah’ pada makanan mereka, tidak akan sulit mengalahkan mereka meski jumlah mereka tiga kali lipat dari kita,..” kata Gadamuk.

“Kalau begitu kita biarkan saja mereka masuk kesini lalu kita hancurkan mereka seperti ikan masuk dalam bubu,..” kata Jotiwo.

“Tetapi kita harus tetap waspada dengan para pimpinan prajurit karena mereka tidak makan bersama prajurit. Mereka punya perbekalan khusus sendiri,..” kata Prasa, mengingat pengalamannya.

Di pihak lawan,...

Kompra dan Libasa dengan cerdik membagi pasukannya menjadi 5 kelompok agar bisa menyerang secara bersama-sama ke 5 titik serang. Perhitungannya dengan begitu pasukan Gunung Kembar akan terbagi 5 dengan hanya 60 orang masing-masing. Mereka tentu akan kalah menghadapi 200 orang pasukan penyerang di setiap titik pertempuran.

Melihat hal itu melalui teropong Jotiwo dan para pimpinan Gunung Kembar memutuskan untuk berkonsentrasi pada satu titik serang saja dan menugaskan hanya 5 orang di setiap titik serang yang lain untuk menghambat pasukan penyerang dengan berbagai jebakan yang sudah disiapkan. Mereka dipimpin masing-masing oleh Prawa, Prati, Pratur dan Prama. Adapun Prasa dan Laja ikut dalam pasukan induk.

Pasukan Megalung dan Gurada melaju dengan cepat mendekati sarang Gunung Kembar. Tampaknya ‘obat lemah’ yang dicampur dalam perbekalan mereka belum berpengaruh. Tapi sebenarnya setiap prajurit merasakan badan lelah karena kurang tidur.

Ke lima pasukan segera menuju titik serang dan mengatur diri. Dengan satu kali aba-aba serentak terdengar teriakan penyerangan diikuti dengan gerakan merangsek masuk kedalam sarang Gunung Kembar.

“MAJU TERUSS,..!! BUNUH SEMUA PERAMPOK,..!!” teriak para pimpinan prajurit di setiap pasukan penyerang.

Namun tiba-tiba meluncur puluhan anak panah ke pasukan di titik serang paling barat. Pasukan penyerang dari Gurada itu kalang kabut menerima hujan panah. Mereka tidak mengira akan mendapat perlawanan sebanyak itu. Menurut perhitungan mereka pasukan perampok di setiap titik serang itu hanya sekitar 50 sampai 60 orang saja tetapi nyatanya ini lebih dari 300 orang. Banyak yang bertumbangan tidak mampu menghindar. Dengan susah payah pimpinan pasukannya memompa semangat prajuritnya untuk tetap maju, tetapi tubuh yang lelah dan kantuk tidak bisa ditipu dengan teriakan-teriakan penyemangat. Langkah mereka terlihat gontai...

Melihat keadaan itu, Jotiwo memerintahkan pasukannya menyerbu. Dengan cekatan mereka berlari turun dan menyerbu pasukan yang gontai itu. Dipimpin oleh Jotiwo, Lugasi, Setiaka dan Gadamuk mereka menusuk dan membabat. Tidak ada perlawanan yang berarti dari pasukan penyerang yang kelelahan itu. Mereka bagaikan mayat hidup atau zombi saja yang bergerak lamban. Dengan mudah mereka dirobohkan dalam arti yang sebenarnya, jatuh tersungkur mencium bumi.  Hanya 2 pimpinanya yang terlihat memberikan perlawanan sengit, tetapi merekapun bukan lawan yang berarti bagi Jotiwo, Gadamuk dan Setiaka. Hanya dalam beberapa jurus saja lawan Jotiwo tersungkur dengan dada tertembus keris panjangnya sementara lawan Gadamuk terjungkal dengan dada remuk terhantam gada raksasa Gadamuk. Dan Setiaka dengan mudah menjatuhkan puluhan prajurit yang lelah itu.

Menyaksikan kenyataan itu Lugasi langsung bergeser ke titik serang sebelahnya guna membantu lima orang yang bertugas menghambat gerak pasukan penyerang. Bersama Prawa dan empat orang lainnya mereka melepaskan batu-batu besar yang menggelinding ke arah pasukan penyerang. Meski tidak banyak korban yang jatuh, tetapi serangan batu-batu besar itu merusak barisan tempur mereka. Dengan susah payah pimpinanya memerintahkan untuk terus maju, namun kali ini mereka disambut dengan  gelindingan batang-batang kayu besar sepelukan orang dewasa atau lebih dengan panjang satu meter. Batang-batang kayu itu meluncur lebih deras daripada serbuan batu sebelumnya. Banyak yang tidak bisa menghindari serbuan batang kayu yang deras itu dan mati atau terluka.

Selesai dengan serangan batang kayu, pasukan itu mencoba merangsek maju tetapi tiba-tiba mendapat serangan dari samping kiri mereka oleh pasukan Jotiwo dan Gadamuk. Kalang kabut pasukan ini mendapat serangan mendadak itu. Sama seperti pasukan sebelumnya, disinipun pasukan Gunung Kembar tidak mengalami kesulitan merobohkan lawan-lawannya, yang memang lambat bergerak karena kelelahan fisik maupun mental.

Melihat keadaan itu Lugasi mengajak ke lima orang pasukan penghambat bergeser ke titik serang berikutnya dimana Prati dan 4 orang Gunung Kembar bertugas menghambat gerak pasukan yang menyerang titik ini. Disini pun mereka telah melepaskan beberapa jebakan serupa dan membuat kerugian yang tidak sedikit pada pasukan penyerang.

Pasukan ini dipimpin langsung oleh Libasa. Dia terus memompa semangat prajuritnya untuk maju, menaiki kaki gunung.

“Apakah semua jebakan sudah dilepaskan,..??” tanya Lugasi.

“Tinggal satu jebakan yang belum kami lepaskan menunggu mereka naik mendekat,..” jawab Prati.

“Mari kita maju dan melepaskan panah untuk memancing mereka ke jebakan,..” kata Lugasi.

Dengan tambahan tenaga Lugasi dan kawan-kawan, mereka ber sebelas maju dan mulai melepaskan anak panah ke pasukan penyerang. Melihat anak panah yang meluncur hanya sedikit dengan geram Libasa memerintahkan pasukannya maju mengejar para pemanah itu yang terlihat nekat tidak mundur dan terus memanah. Ketika jarak mereka tinggal 20 meter tiba-tiba kaki mereka terperosok ke dalam lubang parit yang tersamar oleh ranting-ranting kecil yang ditutupi dedaunan. Banyak dari mereka yang terperosok masuk ke dalam yang lebarnya 2 meter, dalamnya 3 meter lebih dan memanjang membentuk parit sepanjang 100 meter. Untungnya di dalam parit itu tidak ditanam bambu-bambu runcing atas permintaan Andragi dulu pada saat mereka diserang oleh adipati Rajapurwa.

“Lompati parit itu dan kejar mereka,..!!” perintah Libasa.

Tapi setiap kali ada yang mencoba mereka tidak berhasil melompati parit itu selain karena posisinya miring keatas juga tenaga mereka yang kelelahan dan mulai terasa lesu. Tampaknya pengaruh ‘obat lemah’ yang disebar di bekal makanan mereka sudah mulai bekerja meskipun lambat.

Pasukan itu tertahan disitu dan tetap dihujani panah oleh 10 orang pasukan penghambat. Lugasi hanya diam melihat-lihat situasi. Pasukan Libasa hanya bisa berlindung tak tahu harus berbuat apa.

Sedang mereka kebingungan itu tiba-tiba datang serangan dari sebelah kiri oleh pasukan Jotiwo dan Gadamuk. Betapa bingungnya pasukan Libasa ini. Mereka mencoba memberi perlawanan, tapi badan mereka terasa berat untuk bergerak. Banyak yang dengan mudah dijatuhkan. Sia-sia Libasa memompa semangat mereka.

“Hahaha,... rupanya kau Libasa yang disuruh jadi kacung si anak manja Cadipa oleh bapaknya si Marsidu itu,..” kata Jotiwo.

“Jangan banyak bicara,.. sini biar kupancung kau pengkhianat,..!!” gertak Libasa.

Meskipun begitu dalam hatinya Libasa merasa kecut melihat anak buahnya jadi bulan-bulanan pasukan Gunung Kembar. Lagi pula Jotiwo adalah bekas komandannya di Paskhu dulu. Tapi sebagai pimpinan pasukan Gurada dia harus menunjukkan semangat bertempur.

Terjadilah pertempuran antara dua orang yang pernah menjadi kawan sehidup semati dalam pasukan khusus negara Klapa Getir. Celakanya bagi Libasa setiap serangan yang dia lakukan dengan mudah dibaca oleh Jotiwo justru karema semua keahliannya itu diajarkan oleh Jotiwo sebagai pelatih Paskhu.

Hanya dalam beberapa jurus saja Libasa sudah terdesak keras dan terpaksa melompat menjauhi Jotiwo dengan menyuruh anak buahnya mengeroyok Jotiwo.

“Cepat bunuh orang ini,..!!” perintahnya sambil melompat menjauh.

Libasa berhasil menyusup ke belakang perlindungan pasukannya tetapi segera di berhadapan dengan Setiaka yang sengaja menghadangnya.

“Kuarang ajar,..!! Rupanya kau prajurit cabul penzinah istri orang ada disini,..” kata Libasa mengejek.

Mendengar ejekan yang fitnah itu darah Setiaka naik. Tanpa menjawab kata-kata Libasa dia langsung menyerang dengan ganas. Sabetan pedangnya berseliweran menebas dan menusuk. Kalang kabut Libasa sibuk menangkis dan menghindar. Dia sama sekali tidak punya kesempatan menyerang. Dia coba melakukan cara yang sama dengan melompat menghindari Setiaka dan menyuruh anak buahnya mengeroyok.

Namun apesnya lompatannya mendarat tepat di depan Gadamuk yang sedang mengamuk. Tanpa membuang waktu dengan satu pukulan keras gada raksasanya menghajar dada Libasa yang kuda-kudanya belum mapan. Tak ayal dia roboh dengan dada remuk.

Karena komandan mereka jatuh tersungkur, para prajurit Gurada yang tersisa di titik serang itu segera jatuh terduduk, menyerah. Pasukan Gunung Kembar dengan mudah meringkus dan mengikat mereka memakai tanaman sulur yang banyak terdapat di hutan itu.

Melihat situasi itu, Lugasi dan sepuluh orang pasukan penghambat bergeser ke titik serang berikutnya. Disinipun ke lima orang pasukan penghambat dibawah pimpinan Pratur telah melepaskan beberapa jebakan sambil mundur ke posisi yang lebih tinggi. Pasukan penyerang yang masih sekitar 150 orang di titik ini tetap maju meski jalan mereka sudah gontai akibat pengaruh ‘obat lemah’ dan kelelahan kurang tidur.

“Mari kita pancing mereka masuk ke parit,..” ajak Lugasi.

Ber-enam belas mereka turun mendekati pasukan penyerang lalu melepaskan panah. Beberapa prajurit tersungkur terkena panah. Pimpinan pasukan penyerang dititik ini adalah Kompra yang dibantu dua pimpinan pasukan. Dengan gusar Kompra memerintahkan anak buahnya maju mengejar.

“Ayo majuuuu,..!! Yang tidak maju saya bunuh,..!!” teriak Kompra.

Pasukan itu langsung bergerak maju karena takut. Tetapi mereka tiba-tiba terjerembab jatuh ke lubang parit yang tersamar dedaunan.  Yang belakang karena takut dibunuh pimpinannya terus mendesak maju. Akibatnya banyak lagi yang masuk ke dalam parit. Lucunya, ada yang sengaja menjatuhkan diri ke dalam parit ketika melihat temannya yang sudah terjatuh ternyata tidak mengalami luka sedikitpun.

Apalagi ketika melihat kedatangan pasukan lawan dari sebelah kiri yang gegap gempita menyerang mereka. Banyak yang memilih menjatuhkan diri ke dalam parit dari pada harus terluka atau tewas terkena pedang lawan. Mereka pun dengan mudah diringkus oleh pasukan Gunung Kembar.

Kompra dan ke dua pimpinan prajurit mati-matian melawan serbuan pasukan Gunung Kembar tapi apa mau dikata prajuritnya tinggal sedikit dan bergerak seperti mayat hidup. Kompra tewas ditangan Setiaka, demikian juga dua pimpinan prajurit yang mengawalnya. Mereka dengan mudah dirobohkan oleh Jotiwo dan Gadamuk.

Pada saat itu Lugasi dan 15 orang pasukan penghambat telah bergeser ke titik serang paling timur. Disini Prama dan 4 orang yang bertugas menghambat terlihat santai duduk di balik batu tanpa berbuat apa-apa.

“Apakah semua jebakan sudah dilepaskan,..??” tanya Lugasi.

“Sudah semua. Kami hanya tinggal melarikan diri ke atas kalau mereka mengejar, tapi tidak ada yang mengejar,..” jawab Prama.

Lugasi mencoba melihat ke bawah dan memang tidak ada gerakan sama sekali. Memakai cara yang sama dengan di titik serang sebelumnya dia mengajak pasukan penghambat yang kini sudah berjumlah 20 orang turun mendekati musuh dan menghujaninya dengan panah. Yang terdengar hanya teriakan makian dari dua pimpinan pasukan lawan, tetapi tidak ada gerakan naik mengejar mereka. Rupanya pengaruh ‘obat lemah’ serta kurang tidur malam sebelumnya telah membuat pasukan itu memilih duduk beristirahat di dekat parit yang telah menelan banyak teman mereka. Tidak ada tenaga mereka untuk menyeberangi parit itu.

“Menyerahlah,..!!” teriak Lugasi.

“Awas kalian,..!! Sebentar lagi tenaga kami pulih, kami akan mencincang kalian,..!! teriak seorang pimpinan pasukan. Dia tahu kalau jumlah pasukan penghambat itu hanya beberapa orang.

Belum sempat Lugasi menjawab, tiba-tiba terdengar teriakan serbu dari arah sebelah kiri pasukan penyerang. Jotiwo dan kawan-kawan dengan garang menyerang pasukan yang sedang duduk beristirahat itu. Tak ada kesempatan memberi perlawanan, pasukan itu dengan cepat dilumpuhkan. Banyak yang memilih menjatuhkan diri ke dalam parit jebakan.

Pertempuran itu berakhir dengan kekalahan telak pasukan penyerang. Mereka yang hidup sebagian besar terjebak dalam parit. Jotiwo dan para pimpinan pasukan Gunung Kembar memerintahkan sebagian pasukannya menguburkan mereka yang mati, sebagian merawat yang luka dan sebagian mengawasi yang jadi tawanan baik yang terikat maupun terjebak dalam parit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA