Pagi harinya, setelah berhasil mengumpulkan semua prajuritnya Kompra ternyata kehilangan lebih dari 100 orang dan Libasa kehilangan sekitar 200 orang. Sementara 100 orang prajurit perbekalan jatuh sakit yang misterius. Bahkan sebagian dari perbekalan mereka raib entah kemana. Prajurit mereka yang tidak terluka tersisa 1100 orang.
“Kurang ajar,..!!
Beraninya kalau malam hari. Dasar
perampok sialan,..!!” maki Kompra.
“Jumlah kita masih lebih
banyak dibanding para perampok. Dan sebelum bekal kita habis sebaiknya kita
serang habis-habisan mereka siang ini juga. Malam ini juga kita harus sudah
tidur di sarang mereka,..!! kata Libasa.
“Baik, saya setuju,..!!”
kata Kompra, dengan nada geram.
Mereka bergegas mengatur
perlengkapan perang, menyiapkan makanan untuk sarapan dan makanan bagi
kuda-kuda. Sebanya 100 prajurit ditugaskan mengganti kawannya yang sakit
misterius. Merekalah yang bertugas memasak makanan.
Semua kegiatan mereka
dengan jelas bisa dipantau oleh pimpinan pasukan Gunung Kembar melalui teropong
milik Andragi yang mereka sebut mata ajaib.
“Tampaknya mereka
bersiap-siap untuk menyerang kita hari ini,..” kata Jotiwo.
“Hahaha,... Dengan badan
yang lelah dan ngantuk apalagi ditambah ‘obat lemah’ pada makanan mereka, tidak
akan sulit mengalahkan mereka meski jumlah mereka tiga kali lipat dari kita,..”
kata Gadamuk.
“Kalau begitu kita
biarkan saja mereka masuk kesini lalu kita hancurkan mereka seperti ikan
masuk dalam bubu,..” kata Jotiwo.
“Tetapi kita harus tetap
waspada dengan para pimpinan prajurit karena mereka tidak makan bersama
prajurit. Mereka punya perbekalan khusus sendiri,..” kata Prasa, mengingat
pengalamannya.
Di pihak lawan,...
Kompra dan Libasa dengan
cerdik membagi pasukannya menjadi 5 kelompok agar bisa menyerang secara
bersama-sama ke 5 titik serang. Perhitungannya dengan begitu pasukan Gunung
Kembar akan terbagi 5 dengan hanya 60 orang masing-masing. Mereka tentu akan
kalah menghadapi 200 orang pasukan penyerang di setiap titik pertempuran.
Melihat hal itu melalui
teropong Jotiwo dan para pimpinan Gunung Kembar memutuskan untuk berkonsentrasi
pada satu titik serang saja dan menugaskan hanya 5 orang di setiap titik serang
yang lain untuk menghambat pasukan penyerang dengan berbagai jebakan yang sudah
disiapkan. Mereka dipimpin masing-masing oleh Prawa, Prati, Pratur dan Prama.
Adapun Prasa dan Laja ikut dalam pasukan induk.
Pasukan Megalung dan
Gurada melaju dengan cepat mendekati sarang Gunung Kembar. Tampaknya ‘obat lemah’
yang dicampur dalam perbekalan mereka belum berpengaruh. Tapi sebenarnya setiap
prajurit merasakan badan lelah karena kurang tidur.
Ke lima pasukan segera
menuju titik serang dan mengatur diri. Dengan satu kali aba-aba serentak
terdengar teriakan penyerangan diikuti dengan gerakan merangsek masuk kedalam
sarang Gunung Kembar.
“MAJU TERUSS,..!! BUNUH
SEMUA PERAMPOK,..!!” teriak para pimpinan prajurit di setiap pasukan penyerang.
Namun tiba-tiba meluncur puluhan
anak panah ke pasukan di titik serang paling barat. Pasukan penyerang dari
Gurada itu kalang kabut menerima hujan panah. Mereka tidak mengira akan
mendapat perlawanan sebanyak itu. Menurut perhitungan mereka pasukan perampok
di setiap titik serang itu hanya sekitar 50 sampai 60 orang saja tetapi
nyatanya ini lebih dari 300 orang. Banyak yang bertumbangan tidak mampu
menghindar. Dengan susah payah pimpinan pasukannya memompa semangat prajuritnya
untuk tetap maju, tetapi tubuh yang lelah dan kantuk tidak bisa ditipu dengan
teriakan-teriakan penyemangat. Langkah mereka terlihat gontai...
Melihat keadaan itu,
Jotiwo memerintahkan pasukannya menyerbu. Dengan cekatan mereka berlari turun
dan menyerbu pasukan yang gontai itu. Dipimpin oleh Jotiwo, Lugasi, Setiaka dan
Gadamuk mereka menusuk dan membabat. Tidak ada perlawanan yang berarti dari
pasukan penyerang yang kelelahan itu. Mereka bagaikan mayat hidup atau zombi saja
yang bergerak lamban. Dengan mudah mereka dirobohkan dalam arti yang
sebenarnya, jatuh tersungkur mencium bumi.
Hanya 2 pimpinanya yang terlihat memberikan perlawanan sengit, tetapi
merekapun bukan lawan yang berarti bagi Jotiwo, Gadamuk dan Setiaka. Hanya
dalam beberapa jurus saja lawan Jotiwo tersungkur dengan dada tertembus keris
panjangnya sementara lawan Gadamuk terjungkal dengan dada remuk terhantam gada
raksasa Gadamuk. Dan Setiaka dengan mudah menjatuhkan puluhan prajurit yang
lelah itu.
Menyaksikan kenyataan itu Lugasi
langsung bergeser ke titik serang sebelahnya guna membantu lima orang yang bertugas
menghambat gerak pasukan penyerang. Bersama Prawa dan empat orang lainnya
mereka melepaskan batu-batu besar yang menggelinding ke arah pasukan penyerang.
Meski tidak banyak korban yang jatuh, tetapi serangan batu-batu besar itu
merusak barisan tempur mereka. Dengan susah payah pimpinanya memerintahkan
untuk terus maju, namun kali ini mereka disambut dengan gelindingan batang-batang kayu besar
sepelukan orang dewasa atau lebih dengan panjang satu meter. Batang-batang kayu
itu meluncur lebih deras daripada serbuan batu sebelumnya. Banyak yang tidak
bisa menghindari serbuan batang kayu yang deras itu dan mati atau terluka.
Selesai dengan serangan
batang kayu, pasukan itu mencoba merangsek maju tetapi tiba-tiba mendapat
serangan dari samping kiri mereka oleh pasukan Jotiwo dan Gadamuk. Kalang kabut
pasukan ini mendapat serangan mendadak itu. Sama seperti pasukan sebelumnya,
disinipun pasukan Gunung Kembar tidak mengalami kesulitan merobohkan
lawan-lawannya, yang memang lambat bergerak karena kelelahan fisik maupun
mental.
Melihat keadaan itu
Lugasi mengajak ke lima orang pasukan penghambat bergeser ke titik serang
berikutnya dimana Prati dan 4 orang Gunung Kembar bertugas menghambat gerak
pasukan yang menyerang titik ini. Disini pun mereka telah melepaskan beberapa
jebakan serupa dan membuat kerugian yang tidak sedikit pada pasukan penyerang.
Pasukan ini dipimpin
langsung oleh Libasa. Dia terus memompa semangat prajuritnya untuk maju,
menaiki kaki gunung.
“Apakah semua jebakan
sudah dilepaskan,..??” tanya Lugasi.
“Tinggal satu jebakan
yang belum kami lepaskan menunggu mereka naik mendekat,..” jawab Prati.
“Mari kita maju dan
melepaskan panah untuk memancing mereka ke jebakan,..” kata Lugasi.
Dengan tambahan tenaga
Lugasi dan kawan-kawan, mereka ber sebelas maju dan mulai melepaskan anak panah
ke pasukan penyerang. Melihat anak panah yang meluncur hanya sedikit dengan
geram Libasa memerintahkan pasukannya maju mengejar para pemanah itu yang
terlihat nekat tidak mundur dan terus memanah. Ketika jarak mereka tinggal 20
meter tiba-tiba kaki mereka terperosok ke dalam lubang parit yang tersamar oleh
ranting-ranting kecil yang ditutupi dedaunan. Banyak dari mereka yang
terperosok masuk ke dalam yang lebarnya 2 meter, dalamnya 3 meter lebih dan
memanjang membentuk parit sepanjang 100 meter. Untungnya di dalam parit itu
tidak ditanam bambu-bambu runcing atas permintaan Andragi dulu pada saat mereka
diserang oleh adipati Rajapurwa.
“Lompati parit itu dan
kejar mereka,..!!” perintah Libasa.
Tapi setiap kali ada yang
mencoba mereka tidak berhasil melompati parit itu selain karena posisinya
miring keatas juga tenaga mereka yang kelelahan dan mulai terasa lesu.
Tampaknya pengaruh ‘obat lemah’ yang disebar di bekal makanan mereka sudah
mulai bekerja meskipun lambat.
Pasukan itu tertahan
disitu dan tetap dihujani panah oleh 10 orang pasukan penghambat. Lugasi hanya
diam melihat-lihat situasi. Pasukan Libasa hanya bisa berlindung tak tahu harus
berbuat apa.
Sedang mereka kebingungan
itu tiba-tiba datang serangan dari sebelah kiri oleh pasukan Jotiwo dan
Gadamuk. Betapa bingungnya pasukan Libasa ini. Mereka mencoba memberi
perlawanan, tapi badan mereka terasa berat untuk bergerak. Banyak yang dengan
mudah dijatuhkan. Sia-sia Libasa memompa semangat mereka.
“Hahaha,... rupanya kau
Libasa yang disuruh jadi kacung si anak manja Cadipa oleh bapaknya si Marsidu
itu,..” kata Jotiwo.
“Jangan banyak bicara,..
sini biar kupancung kau pengkhianat,..!!” gertak Libasa.
Meskipun begitu dalam
hatinya Libasa merasa kecut melihat anak buahnya jadi bulan-bulanan pasukan
Gunung Kembar. Lagi pula Jotiwo adalah bekas komandannya di Paskhu dulu. Tapi
sebagai pimpinan pasukan Gurada dia harus menunjukkan semangat bertempur.
Terjadilah pertempuran
antara dua orang yang pernah menjadi kawan sehidup semati dalam pasukan khusus
negara Klapa Getir. Celakanya bagi Libasa setiap serangan yang dia lakukan
dengan mudah dibaca oleh Jotiwo justru karema semua keahliannya itu diajarkan
oleh Jotiwo sebagai pelatih Paskhu.
Hanya dalam beberapa
jurus saja Libasa sudah terdesak keras dan terpaksa melompat menjauhi Jotiwo
dengan menyuruh anak buahnya mengeroyok Jotiwo.
“Cepat bunuh orang
ini,..!!” perintahnya sambil melompat menjauh.
Libasa berhasil menyusup
ke belakang perlindungan pasukannya tetapi segera di berhadapan dengan Setiaka
yang sengaja menghadangnya.
“Kuarang ajar,..!!
Rupanya kau prajurit cabul penzinah istri orang ada disini,..” kata Libasa
mengejek.
Mendengar ejekan yang
fitnah itu darah Setiaka naik. Tanpa menjawab kata-kata Libasa dia langsung
menyerang dengan ganas. Sabetan pedangnya berseliweran menebas dan menusuk.
Kalang kabut Libasa sibuk menangkis dan menghindar. Dia sama sekali tidak punya
kesempatan menyerang. Dia coba melakukan cara yang sama dengan melompat
menghindari Setiaka dan menyuruh anak buahnya mengeroyok.
Namun apesnya lompatannya
mendarat tepat di depan Gadamuk yang sedang mengamuk. Tanpa membuang waktu dengan
satu pukulan keras gada raksasanya menghajar dada Libasa yang kuda-kudanya
belum mapan. Tak ayal dia roboh dengan dada remuk.
Karena komandan mereka
jatuh tersungkur, para prajurit Gurada yang tersisa di titik serang itu segera
jatuh terduduk, menyerah. Pasukan Gunung Kembar dengan mudah meringkus dan mengikat
mereka memakai tanaman sulur yang banyak terdapat di hutan itu.
Melihat situasi itu,
Lugasi dan sepuluh orang pasukan penghambat bergeser ke titik serang
berikutnya. Disinipun ke lima orang pasukan penghambat dibawah pimpinan Pratur
telah melepaskan beberapa jebakan sambil mundur ke posisi yang lebih tinggi.
Pasukan penyerang yang masih sekitar 150 orang di titik ini tetap maju meski
jalan mereka sudah gontai akibat pengaruh ‘obat lemah’ dan kelelahan kurang
tidur.
“Mari kita pancing mereka
masuk ke parit,..” ajak Lugasi.
Ber-enam belas mereka
turun mendekati pasukan penyerang lalu melepaskan panah. Beberapa prajurit
tersungkur terkena panah. Pimpinan pasukan penyerang dititik ini adalah Kompra yang
dibantu dua pimpinan pasukan. Dengan gusar Kompra memerintahkan anak buahnya
maju mengejar.
“Ayo majuuuu,..!! Yang
tidak maju saya bunuh,..!!” teriak Kompra.
Pasukan itu langsung
bergerak maju karena takut. Tetapi mereka tiba-tiba terjerembab jatuh ke lubang
parit yang tersamar dedaunan. Yang belakang
karena takut dibunuh pimpinannya terus mendesak maju. Akibatnya banyak lagi
yang masuk ke dalam parit. Lucunya, ada yang sengaja menjatuhkan diri ke dalam
parit ketika melihat temannya yang sudah terjatuh ternyata tidak mengalami luka
sedikitpun.
Apalagi ketika melihat
kedatangan pasukan lawan dari sebelah kiri yang gegap gempita menyerang mereka.
Banyak yang memilih menjatuhkan diri ke dalam parit dari pada harus terluka
atau tewas terkena pedang lawan. Mereka pun dengan mudah diringkus oleh pasukan
Gunung Kembar.
Kompra dan ke dua
pimpinan prajurit mati-matian melawan serbuan pasukan Gunung Kembar tapi apa
mau dikata prajuritnya tinggal sedikit dan bergerak seperti mayat hidup. Kompra
tewas ditangan Setiaka, demikian juga dua pimpinan prajurit yang mengawalnya.
Mereka dengan mudah dirobohkan oleh Jotiwo dan Gadamuk.
Pada saat itu Lugasi dan
15 orang pasukan penghambat telah bergeser ke titik serang paling timur. Disini
Prama dan 4 orang yang bertugas menghambat terlihat santai duduk di balik batu
tanpa berbuat apa-apa.
“Apakah semua jebakan
sudah dilepaskan,..??” tanya Lugasi.
“Sudah semua. Kami hanya
tinggal melarikan diri ke atas kalau mereka mengejar, tapi tidak ada yang
mengejar,..” jawab Prama.
Lugasi mencoba melihat ke
bawah dan memang tidak ada gerakan sama sekali. Memakai cara yang sama dengan di
titik serang sebelumnya dia mengajak pasukan penghambat yang kini sudah
berjumlah 20 orang turun mendekati musuh dan menghujaninya dengan panah. Yang terdengar
hanya teriakan makian dari dua pimpinan pasukan lawan, tetapi tidak ada gerakan
naik mengejar mereka. Rupanya pengaruh ‘obat lemah’ serta kurang tidur malam
sebelumnya telah membuat pasukan itu memilih duduk beristirahat di dekat parit
yang telah menelan banyak teman mereka. Tidak ada tenaga mereka untuk
menyeberangi parit itu.
“Menyerahlah,..!!” teriak
Lugasi.
“Awas kalian,..!!
Sebentar lagi tenaga kami pulih, kami akan mencincang kalian,..!! teriak
seorang pimpinan pasukan. Dia tahu kalau jumlah pasukan penghambat itu hanya
beberapa orang.
Belum sempat Lugasi
menjawab, tiba-tiba terdengar teriakan serbu dari arah sebelah kiri pasukan
penyerang. Jotiwo dan kawan-kawan dengan garang menyerang pasukan yang sedang
duduk beristirahat itu. Tak ada kesempatan memberi perlawanan, pasukan itu
dengan cepat dilumpuhkan. Banyak yang memilih menjatuhkan diri ke dalam parit
jebakan.
Pertempuran itu berakhir
dengan kekalahan telak pasukan penyerang. Mereka yang hidup sebagian besar
terjebak dalam parit. Jotiwo dan para pimpinan pasukan Gunung Kembar memerintahkan
sebagian pasukannya menguburkan mereka yang mati, sebagian merawat yang luka
dan sebagian mengawasi yang jadi tawanan baik yang terikat maupun terjebak
dalam parit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.