Tujuh
BUMI BERGOLAG
Lugasi tidak kembali ke Kenteng bersama Andragi karena dia berniat pergi menemui kakek Blakitem untuk pamit seperti halnya Andragi. Dengan memakai perahu dia pergi ke Batutok menemui orang yang mebesarkannya. Dia sudah rindu untuk bertemu berdua saja dengan kakek Blakitem.
Begitu perahunya merapat
ke darat dia langsung melompat dan berlari menuju pesanggrahan kakek Blakitem
sambil berteriak-teriak memanggil,
“Kakek,..kakek,..,
kakek,... aku datang..!!” teriaknya.
Para santri terkejut dan
cemas melihat ulah Lugasi itu. Mereka takut kalau-kalau orang tua itu marah.
Tempat ini terbiasa sunyi dan hening karena dipakai untuk berdoa dan bersamadi.
“Kakek,..kakek,..,
kakek,... aku datang..!!” teriaknya lagi.
Dari luar para santri
berdebar menunggu apa yang akan terjadi. Suasana mendadak jadi tegang. Para
santri yang sedang bekerja menghentikan pekerjaannya menanti dengan cemas apa
yang akan terjadi.
Dibagian dalam yang
dipakai sebagai ruang pribadi kakek Blakitem, Lugasi melihat orang tua itu
sedang duduk diam di kursinya. Lugasi masuk kesana tanpa ragu dan langsung
duduk bersila.
“Kakek,..kakek,... aku
datang... anak setan datang kek,..” kata Lugasi pelan.
Kakek Blakitem duduk diam
tepekur, matanya terpejam. Suasana menjadi semakin tegang. Ini hal yang tidak
biasa dalam pertemuan mereka selama ini. Biasanya kakek itu akan langsung
menyambutnya dengan tendangan sayang sambil mengumpat “Anak Setan!!”.
“Kakek,... marahkah...??”
tanya Lugasi berdebar.
Tadinya dia berharap
mendapat perlakuan seperti biasa untuk mengobati rindunya akan kasih sayang
orang tua itu.
Kakek Blakitem mengangkat
wajahnya lalu berkata,
“Kemarilah....” kata
kakek Blakitem lembut.
Lugasi segera beringsut
maju dengan hati-hati. Dia bersikap pasrah apapun yang akan dilakukan oleh
kakek yang membesarkannya itu. Kalaupun kali ini dia akan mendapat tendangan,
dia akan terima saja, tidak akan menghindar atau menggelinding seperti biasanya
di tempat mereka dulu.
Dia duduk bersila
menghadap kakek Blakitem. Kepalanya menunduk, tak berani menatap orang tua itu.
Pelan-pelan dirasakannya
tangan kakek Blakitem mengelus lembut kepalanya dan menuntun kepala itu ke arah
pangkuannya. Seperti anak kecil Lugasi segera menjatuhkan wajahnya di pangkuan
kakek Blakitem merasakan usapan kasih sayang orang tua itu. Keduanya tenggelam
dalam diam yang menggelayut....pemuh keharuan.
“Kakek,.... “
“Sssst, kau tak usah
bicara...” kata kakek Blakitem lembut.
“Aku sudah banyak
mendengar tentang sepak terjangmu di luar sana mulai dari membantu para ibu
saat kau masih kecil, lalu kau mulai mengembara mengembalikan perahu yang
dicuri orang, membuat warung menjadi laris, menolong Komandan Diguldo, menolong
harimau agar tidak punah, melatih pemburu dan anak orang kaya jadi berguna,
lalu membuat seorang pemimpin yang bengis menjadi baik kepada rakyat. Ini semua
luar biasa..” kata kakek.
“Kakek merasa bangga.
Tidak percuma kakek menyelamatkanmu dan membesarkanmu. Kau tumbuh menjadi
manusia berhati mulia,..” lanjut kakek Blakitem.
“Dan pencarian mu
terhadap ourangtuamu.......”
Kakek Blakitem diam
sejenak. Tangannya terus membelai rambut Lugasi. Dadanya turun naik, menghela
napas panjang, seakan ada yang menahannya untuk mengungkapkan sesuatu.
“Aku sangat yakin
orangtuamu akan sama bangganya seperti aku, dan dimanapun mereka berada mereka
sudah bahagia melihat keberadaanmu sekarang,...” lanjut kakek Blakitem.
Dalam hati kakek Blakitem
menduga kalau ayah Lugasi masih hidup, tapi entah dimana. Dia tak ingin anak
ini terbeban rasa rindu berkepanjangan sehingga tidak mampu bertindak seperti
selama ini telah dilakukannya dengan baik.
“Kau tahu kalau ayah dan
ibumu selalu ada di hatimu,..??” tanya kakek.
Lugasi mengangguk dalam tunduknya sementara
kepalanya terus dielus-elus oleh Kakek Blakitem.
“Bagus, kau tak perlu
sibuk mencari mereka karena mereka selalu dekat denganmu, di hatimu....” kau
mengerti?
Lagi, Lugasi mengangguk
tak bersuara.
“Tetaplah bertualang
membantu orang-orang yang membutuhkannya terutama mereka yang lemah..” lanjut
kakek Blakitem.
“Tetapi.. saya kesini...”
“Sudah jangan bicara...!
Aku sudah tahu dari sobat Andragi kalau kau akan membantu rakyat kecil mendapatkan
kembali harta mereka yang dirampas oleh penguasa bengis. Aku merestuimu,...
Pergilah...!” kata kakek Blakitem.
“Terimakasih kakek...”
kata Lugasi sambil mengangkat kepalanya.
Hatinya terasa ringan dan
bahagia atas restu yang diberikan oleh kakek Blakitem.
“Ingatlah, tetap bersikap
menyenangkan bagi orang lain dengan kejenakaanmu..”
“Baik, kek..” jawab
Lugasi.
“Satu lagi, ....
Berjuanglah bersama sobat Andragi. Bantulah dia membangun negeri Klapa Getir
ini.. Itu saja,..”
“Baik kek. Akan selalu
kuingat pesan kakek,...” jawab Lugasi riang.
“Aku mohon diri kek...”
pamit Lugasi.
Kakek Blakitem
mengangguk. Tidak ada tendangan di pantatnya kali ini.
Dengan ringan Lugasi
berjalan keluar sambil bersiul riang. Hatinya sungguh merasa bahagia. Tanpa
terasa kakinya melangkah menyusuri jalan yang menuju ke Kenteng, bukannya
kembali ke perahu.
“Ah biarlah aku ambil
jalan darat saja menuju Kenteng..” katanya dalam hati.
Ketika dia melihat
seorang santri dia berkata,
“Tolong pakai saja perahu
yang saya bawa tadi kesini. Mungkin disini lebih memerlukannya,..” katanya dan
langsung berlari cepat menuju Kenteng dengan penuh semangat.
Keesokan harinya Andragi
mengajak mereka semua berkumpul, juga kepala desa Kenteng untuk membicarakan
rencana mereka menjalankan tugas di tempat lain dan akan diteruskan sendiri
oleh mereka dibawah bimbingan langsung kakek Blakitem dibantu Dwisa dan
beberapa santri.
Dengan nada agak menyesal kepala desa itu
mendengar semua penjelasan Andragi. Meskipun begitu ia tetap berterimakasih
kepada Andragi dan kawan-kawannya. Dia berjanji akan tetap melanjutkan
pembangunan yang sudah dirintis sejauh ini, apalagi akan dibimbing langsung
oleh kakek Blakitem.
Dua hari kemudian mereka benar-benar berangkat
meninggalkan Kenteng disaksikan oleh Kakek Blakitem, Dwisa, beberapa santri,
kepala desa Kenteng dan seluruh warga Kenteng. Ada rasa kehilangan di hati
semua orang terutama warga Kenteng atas kepergian mereka.
Rombongan kecil itu
berjalan menuju Poruteng tanpa halangan. Loyo dan Brewok masing-masing membawa
satu kantung yang berisi peralatan Andragi. Ketika diminta oleh Codet untuk
membawakannya Loyo mempersilakannya,
“Hati-hati, tas itu milik
sobat Andragi berisi peralatan yang sangat berguna bagi beliau tapi tidak bisa
kita gunakan karena kita tidak punya ilmunya,..” kata Loyo.
“Baiklah, saya akan
menjaganya baik-baik,,” janji Codet.
Setibanya di Poruteng
mereka lalu mencari sebuah rumah penginapan. Mereka akan menginap satu hari
disini karena Loyo dan Andragi akan menemui pak Diguldo dan menginap di
markasnya.
Setelah berganti pakaian
seperti orang dari Kotaraja, Andragi dan Loyo pergi menemui Komandan Pamong
Negeri di markasnya. Tanpa kesulitan mereka bisa menemui pak Diguldo di ruang
pribadinya karena Loyo sudah dikenali oleh para penjaga sebagai kerabat
Komandan Diguldo dari Kotaraja.
“Selamat datang sobat
Andragi dan sobat Loyo. Senang sekali mendapat kunjungan sobat berdua,...”
sambut Diguldo dengan ramah.
Andragi lalu menceritakan
hasil pembicaraan mereka dengan kakek Blakitem dan penggantian nama pak
Paldrino sesuai usulan pak Diguldo.
“Nama baru nya pak
Pasekale,..”kata Andragi.
“Hmm Pasekale,..
Pasekale,... Nama yang bagus,..” kata Diguldo mengingat-ingat berusaha
menanamkan dalam benaknya.
“Pak Pasekale juga
ditunjuk oleh Kakek Blakitem menjadi wedana seluruh wilayah Nunggalan, daerah
perdikan milik kakek Blaitem,..” jelas Andragi.
“Hai..!! Pucuk dicinta
ulam tiba,..!!” seru Diguldo.
“Saya telah diberi
wewenang dan kepercayaan penuh dari Adipati Opowae untuk membangun hubungan
baik dengan kakek Blakitem terutama dalam urusan singkong ini. Dengan begitu
saya biasa selalu berhubungan dengan pak... pak Pasekale juga,.” lanjut Diguldo.
“Ah,.. kebetulan sekali.
Tuhan rupanya sudah mengatur semua ini,..” kata Andragi.
“Ya,.. mulai sekarang
orang sudah bisa membeli singkong itu ke Kenteng. dan Kenteng akan menjadi
ramai dikunjungi. Tapi tentu masih ada rasa ingin tahu untuk melihat bagaimana
singkong itu di dapat,..” kata Diguldo.
“Ya benar juga,...Kita
tentu tidak bisa terus menerus menyembunyikannya,...” kata Andragi berpikir
keras.
Mereka semua diam,
mencoba mencari jalan soal itu.
“Aha,.. rasanya saya
punya ide,..!!” seru Andragi.
“Bagaimana menurut sobat
Andragi,..??” tanya Diguldo.
Adragi lalu menjelaskan
idenya secara gamblang.
“Pada intinya orang tidak
dilarang mengunjungi tempat singkong itu ditanam di desa Harjagi. Bahkan
merekapun bisa membeli bibit singong ajaib yang sudah bertunas untuk dibawa
pulang, tapi seperti singkong dan hasil olahannya, mereka hanya bisa membelinya
di Kenteng ,..” jelas Andragi.
“Bagaimana itu bisa
dilakukan,..?? tanya Diguldo.
“Begini pak Diguldo. Desa
Harjagi kita jadikan desa wisata tempat orang berkunjung melihat singkong itu
ditanam dipelihara hingga dipanen. Dan jangan lupa di sana juga ada Area
Industri pengolahan singkong yang akan menarik rasa ingin tahu serta Kincir
raksasa dimana air bisa mengangkat dirinya sendiri. Tentu ini semua akan
menjadi obyek yang mebarik.” jelas Andragi.
“Tapi bagaimana melarang
pengunjung membeli singkong atau bibitnya di Harjagi,..??” tanya Loyo yang
sedari tadi banyak diam mendengarkan.
“Begini, Kenteng akan
menjadi pusat perdagangan, sedangkan Harjagi adalah tempat wisata dan tempat
tinggal warga. Karena itu pengunjung harus membayar ongkos menyeberang danau ke
Harjagi, dan di Harjagi mereka dikenakan biaya untuk mengunjungi masing-masing
obyek wisata disana. Ini akan memberi penghasilan bagi warga dan kas desa.
Tetapi di Harjagi tidak ada transaksi penjualan kepada pengunjung. hanya ada
warung makan saja di pinggir danau dekat tempat penyeberangan.,..” jelas
Andragi.
“Nah, pak Pasekale
sebagai wedana wilayah itu dan kakek Blakitem dapat membuat aturan untuk itu
dan bagi warga Harjagi kalau ada pengunjung yang mau membeli sesuatu mereka diharuskan
menerapkan harga yang lebih mahal dibandingkan dengan di Kenteng, belum lagi
ongkos angkut di perahunya. Dengan begitu orang lebih memilih beli di Kenteng,
karena lebih murah dan tidak repot harus mengangkutnya lewat perahu,..” kata
Andragi mengakhiri.
“Pemikiran yang luar
biasa,..!!” Puji Diguldo.
“Terimakasih pak Diguldo,..
Tapi kami harus meminta bantuan pak Diguldo untuk menyampaikan pemikiran ini
kepada kakek Blakitem dan pak Pasekale,..” pinta Andragi.
“Lho, kenapa begitu,..??”
tanya Diguldo.
Andragi kemudian
menjelaskan kalau mereka sedang dalam perjalanan melakukan misi membantu rakyat
Megulung, karena itu tidak bisa kembali ke Kenteng untuk menyampaikan pemikiran
itu.
“Baiklah kalau begitu,..!!
Jadi, ada alasan saya untuk berkunjung ke Kenteng dan bertemu juga dengan pak
Pasekale maupun kakek Blakitem, ..” kata Diguldo bersemangat.
Setelah pembicaraan itu
merekapun diajak menemui keluarga istri Paldrino dan memberitahukan perubahan
nama suaminya menjadi Pasekale. Istri Paldrino, seh sekarang jadi Isteri
Pasekale menerima dengan gemdira karena itu oikihan suaminya dan juga senang
mendengar perkembangan yang terjadi.
Tetapi,... begitu
mengetahui Lugasi juga sedang berada di kota itu juga isteri Diguldo lalu
meminta dengan sangat agar bisa bertemu dengan tuan penolongnya itu karena
belum bisa membalas kebaikanhya. Loyo langsung mengatakan bersedia menjemput
Lugasi dan berganti tempat dia yang akan bermalam di penginapan.
Sepeninggal Loyo, isteri Diguldo
lalu menyuruh para pembantunya menyiapkan makanan istimewa untuk tamu
kehormatan yang sudah menyelamatkan dirinya dari tangan para penyamun di tepi sungai Dogean itu.
Tidak beberapa kemudian
datanglah Lugasi diantar oleh Loyo yang segera minta diri kembali ke penginapan
untuk menemani teman-temannya. Dan,... tidak terkira kegembiraan isteri Diguldo
bertemu dengan tuan penolongnya. Berkali-kali ia mengucapkan terimakasih kepada
Lugasi. Merekapun dijamu dengan makanan dan minuman yang istimewa, dan menginap
di kediaman Komandan Pamong Negeri itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.