Mengeluarkan Anak Istri dari Barak Tentara

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #88 )

Melihat di seberang sungai ada yang datang Satange dan temannya langsung mengarahkan perahu mereka ke seberang. Dari jauh dia telah melihat yang datang itu adalah orang-orang yang telah mengalahkan dia dan kawan-kawannya dan juga yang membantu menyembuhkan anaknya. Dengan cepat didayungnya perahu merapat ke pinggir sungai.

“Selamat sore tuan-tuan, mari silakan naik,..” kata Satange ramah.

“Bagaimana kabar anakmu,..??” tanya Lugasi.

“Dia baik-baik tuan, terimakasih banyak,..” jawab Satange.

Setiba di seberang Satange menolak untuk dibayar. Bagaimanapun dia masih merasa bergutang budi dengan orang-orang ini. Tetapi Lugasi bersikeras membayar bahkan lebih dari biasanya.

“Kalau kau tidak mau terima lain kali kita cari tempat penyeberangan yang lain saja,...” kata Lugasi dengan nada jenaka.

“Tapi ini lebih, tuan,..” kata Satange.

“Biarlah begitu karena kami bisa membayar lebih. Tetapi kalau ada orang yang hanya bisa bayar sedikit atau tidak mampu tetaplah menyeberangkan mereka. Mungkin mereka ada perlu penting. Kita harus saling membantu,..” kata Lugasi.

“Baik tuan, saya akan melakukannya,..” jawab Satange sambil menerima uang dari Lugasi.

 Setelah menyeberangi sungai Priga mereka melanjutkan perjalanan masing-masing.

Loyo, Brewok dan Rampoli mengambil jalan menuju Megalung. Setiba mereka di Megalung, Rampoli memisahkan diri untuk menuju ke Gurada. Loyo dan Brewok lalu mencari penginapan yang dekat dengan markas tentara.

Dari penginapan itu mereka bisa melihat kesibukan para prajurit yang tidak biasa, Rupanya mereka sedang mempersiapkan diri untuk bertempur termasuk kesibukan menyiapkan bahan makanan dan perbekalan perang.

“Wah,.. ramai begini,... tentu jadi sulit untuk mereka keluar dari markas ini,..” kata Brewok.

“Mungkin justru sebaliknya, lebih mudah karena para prajurit itu sedang sibuk mengurus persiapan perang,..” kata Loyo.

Esoknya mereka mendatangi markas tentara yang sudah mulai sibuk lagi di pagi hari. Mereka menemui prajurit yang jaga di gerbang dengan kewaspadaan tinggi terhadap orang yang akan memasuki markas.

“Siapakah kalian berdua ini, dan ada perlu apa,..??” tanya prajurit jaga .

“Kami kerabat dekat kakang Sarji. Kami mau ketemu anak istrinya menyampaikan belasungkawa,..” jawab Loyo.

(Sarji adalah nama asli Prasa sebelum diganti oleh Andragi setelah prampokan kembali harta yang dikawalnya.)

“Kalian tidak boleh masuk ke dalam markas ini, kami sedang sibuk,..!” cegah prajurit itu.

“Tapi, bagaimana kami bisa menyampaikan belasungkawa kami,..Kasihan anak istrinya ditinggal mati dalam tugas??” desak Loyo.

Kata-kata terakhir itu rupanya menyentuh hati prajurit itu. Sebagai prajurit dia bisa saja bernasib seperti itu, tewas dalam tugas. Tentu keluarganya akan sedih.

“Tunggu sebentar,..” kata prajurit jaga itu.

Dia lalu masuk ke dalam markas dan menyuruh prajurit lain memanggil istri Prasa ke gerbang markas.

“Kalian tunggu di luar sana, istri almarhum komandan Sarji akan menemui kalian,..” kata prajurit jaga itu.

Loyo dan Brewok menyingkir ke seberang jalan dan berdiri di tempat yang agak jauh dan sepi. Beberapa saat kemudian tampak seorang perempuan keluar dari markas sambil menggendong bayi.

Prajurit jaga lalu menunjuk ke arah Loyo dan Brewok berdiri. Perempuan itu sempat tertegun karena tidak mengenal mereka, tapi ketika Loyo dan Brewok menunduk hormat dan tersenyum dia beranikan diri melangkah mendekat.

Sebelum perempuan itu bicara, Loyo segera memperkenalkan diri.

“Kami berdua orang yang pernah ditolong kakang Sarji dan ingin menyampaikan sesuatu kepada kakang mbok,..” kata Loyo.

Wajah perempuan itu mendadak berubah sedih, dan mulai menitikkan air mata. Teringat akan suaminya yang baru meninggal dalam tugas menfawal harta ke Kotaraja. Bayi yang digendongnya juga mulai gelisah seakan tahu apa yang dirasakan ibunya.

“Jangan sedih kakang mbok, ... ada berita baik untuk kakang mbok sekeluarga,..”

Perempuan itu memandang dengan penuh tanda tanya. Loyo segera membimbingnya duduk di sebuah batang pohon yang tumbang dan sengaja dibiarkan disitu sebagai tempat duduk siapa saja.

“Kakang mbok jangan kaget, dan tetap bersikap tenang ya, bisa..??” tanya Loyo.

Meski masih bertanya-tanya tapi perempuan itu mengangguk pelan.

“Tetap bersikap tenang ya kakang mbok, ... sebenarnya kakang Sarji belum meninggal,...”kata Loyo.

Perempuan itu mengangkat wajahnya namun buru-buru Loyo meremas lembut tangannya agar dia tetap tenang.

“Tenang kakang mbok,... kami membawa surat pribadi dan pendok pribadi kakang Sarji yang kakang mbok pasti kenali,..” kata Loyo

Loyo mengulurkan sepotong daun lontar berisi tulisan dan pendok perak (semacam cincin pada gagang atau pegangan keris) yang dia kenali sebagai milik suaminya. Dengan gemetar dia menerima pendok dan daun lontar lalu membaca tulisan singkat “Suti, kakang masih hidup. Jaga anak kita Jolo dan Betol”.

Setelah membaca itu tampak raut muka perempuan itu berubah cerah.  Dia  yakin surat itu benar karena menulis namanya dan nama kedua anak mereka yang masih kecil. Juga pendok pribadi itu dikenalinya dengan baik.

“Kakang mbok  tidak boleh terlihat gembira. Tidak boleh ada yang tahu kalau kakang Sarji dan beberapa kawannya masih hidup karena akan membahayakan hidup kakang mbok dan kakang Sarji dan teman-teman. Biarlah orang lain mengira kakang Sarji dan teman-teman sudah tewas sebagai pahlawan. Apa kakang mbok paham,..??” tanya Loyo.

Perempuan itu mengangguk sambil menimang pendok suaminya.

“Tapi,... dimana kakang Sarji sekarang,..??” tanya Suti.

“Itulah tujuan kami datang kesini. Kami akan mengantar kakang mbok dan anak-anak bertemu di tempatnya yang sekarang,..” kata Brewok yang dari tadi berdiam diri.

“Tapi kepergian kakang mbok harus pura-pura disamarkan seakan mau mendoakan suami atau slametan bersama keluarga di tempat lain,..” sambung Loyo.

Loyo dan brewok dengan gamblang menjelaskan rencana mereka. Tugas Suti yang pertama adalah secara diam-diam memberitahu istri Prawa, Prati, Pratur dan Prama kalau suami-suami mereka masih hidup dan diam-diam akan dibawa bertemu di suatu tempat.

Loyo lalu memberi surat dan pendok pribadi keempat bekas pimpinan prajurit itu dan oleh Suti diselipkan di dalam gendongan bayi. Loyo juga memberi sebuah bungkusan berisi tanah merah .

“Kalau ada yang tanya bilang saja kakang mbok mendapat kiriman tanah kuburan mendiang kakang Sarji,..” jelas Loyo.

“Kalau kakang mbok sudah memberitahu keluarga Prawa, Prati, Pratur dan Prama esoknya kakang mbok pura-pura keluar markas mau belanja perlengkapan sembahyang dan slametan. Kami akan mengamati dari penginapan itu dan kita akan ketemu setelah kakang mbok belanja. Kami akan memberi tahu cara kita pergi menemui para suami kalian,..” kata Brewok.

“Apakah kakang mbok sudah mengerti,..??” tanya Loyo.

Suti mengangguk mantap. Dia lalu minta diri kembali ke dalam markas. Wajahnya tetap menampakkan wajah sedih, seperti diminta oleh Loyo.

“Simpan kegembiraan ini di dalam hati saja,..” pesan Loyo sebelum dia jalan kembali ke dalam markas.

Prajurit jaga melihat Suti masuk kembali dan hanya mengangguk saja tanpa bertanya apa-apa. Dia maklum akan kesedihan perempuan yang ditinggal mati suaminya.

 Sekembalinya ke baraknya, Suti dengan hati-hati mendatangi satu persatu istri Prawa, Prati, Pratur dan Prama. Dengan bijaknya dia menasihati mereka agar tidak tampak gembira demi keselamatan mereka sendiri. Tindakan Suti itu tidak banyak menarik perhatian karena semua orang sibuk dengan persiapan perang. Para istri pimpinan prajurit lainnya yang tinggal di markas itu pun sedang sibuk menyiapkan segala sesuatu untuk bekal suaminya berperang.

Esok harinya setelah matahari naik tampak Suti dan seorang perempuan seusia dengannya berjalan keluar markas. Ketika ditanya penjaga mereka bilang mau beli perlengkapan sembahyang untuk mendoakan arwah suami mereka.

Mereka melintasi peginapan tempat Loyo dan Brewok menginap. Dari dalam penginapan Loyo dan Brewok melihat kedua perempuan itu berjalan lalu secara tidak kentara mengikuti mereka dari jarak yang tidak mencurigakan. Ternyata mereka pergi ke pasar terdekat dan membeli beberapa batang dupa, kelembak dan menyan serta bunga Kanthil.

Selesai belanja mereka berjalan ke arah pulang dan di tempat yang tidak terlalu ramai dan agak terlindung Loyo dan Brewok datang menghampiri.

“Kenalkan ini istri kakang Tulawa,..” kata Suti memperkenalkan temannya.

(Tulawa adaalah nama asli Prawa sebelum diganti oleh Andragi)

“Semua teman-teman merasa bersyukur dan siap pergi ke tempat yang baru,..” kata istri Tulawa alias Prawa.

“Baiklah, besok pagi kakang mbok dengan istri kakang yang lain bersama anak-anak pamit mau ke desa asal suami untuk slametan 40 hari meninggalnya suami. Kalau ada yang mau mengantar katakan tidak perlu sebab sudah ada saudara yang menjemput yang menunggu di dekat pasar ini dan tidak ingin mengganggu kesibukan persiapan perang, ..” jelas Loyo.

“Siang harinya istri kakang Tulawa, dan dua istri kakang lainnya bersama anak-anaknya pamit dengan alasan yang sama. Kami akan menjemput mereka juga,..” jelas Loyo.

“Ingat,.. tidak usah membawa barang-barang, tinggalkan saja. Bawa seperlunya saja seperti hanya pergi untuk sementara waktu, ya..” kata Brewok.

Kedua perempuan itu mengangguk.

Setelah memahami dengan baik langkah-langkah itu, kedua perempuan itu lalu segera kembali ke dalam markas.

Esok paginya Suti dan istri Prati pamit kepada Komandan jaga kalau mereka akan pergi satu dua pekan ke desa suami mereka guna melakukan selamatan dan mendoakan arwah suami mereka.

“Aduh mohon maaf kakang mbok. Seharusnya ada prajurit yang bisa kami tugaskan mengantar kakang mbok berdua ke desa masing-masing tapi saat ini semua prajurit dibutuhkan untuk pergi berperang,..” kata komandan jaga.

“Kami mengerti, tidak apa-apa. Sudah ada saudara-saudara kami yang datang menjemput,..” kata Suti.

“Baiklah, selamat jalan. Doa kami untuk mendiang suami kakang mbok,..” kata komandan jaga.

Suti yang membawa 2 orang anak dan istri Prati dengan satu anak segera berjalan meninggalkan markas menuju tempat yang sudah disepakati. Disana Loyo dan Brewok sudah menanti. Tanpa banyak basa basi Brewok segera mengajak kedua perempuan itu dan anak-anaknya berangkat menuju Selonto. Brewok memikul dua keranjang yang banyak berisi makanan terutama untuk anak-anak agar mereka tidak rewel di tengah perjalanan.

Selepas makan siang istri Prawa, Pratur dan Prama dengan membawa masing-masing satu orang anak pamit pada komandan jaga yang sudah berganti orang. Tanpa kesulitan sama sekali mereka meninggalkan markas dan segera ditemui Loyo di tempat yang sama dengan rombongan sebelumnya. Loyo juga membawa pikulan dengan dua keranjang berisi banyak makanan. Mereka pun langsung berangkat menuju arah Selonto.

Di luar Megalung rombongan Brewok sengaja berjalan agak perlahan karena ada Jolo anak Suti yang masih kecil juga harus berjalan. Mereka sering berhenti untuk memberi kesempatan Jolo beristirahat sambil menunggu rombongan Loyo.

Menjelang petang mereka tersusul rombongan Loyo. Kelima wanita itu tersenyum gembira karena disini merak tidak perlu berpura-pura kalau suami mereka sudah meninggal.

Brewok mengusulkan mereka bermalam di sebuah desa, dan mencari balai desa dan minta ijin menginap di balai desa itu. Kepala desa yang baik membolehkan mereka menginap karena ada wanita dan anak-anak yang tidak berbahaya.

Esoknya pagi-pagi sekali rombongan ini meneruskan perjalanan menuju penyeberangan di sungai Pragi. Mereka memilih penyeberangan di tempat Satange. Melihat kedatangan Loyo dan Brewok, Satange segera menyambut dengan gembira. Tampaknya dia memang telah menjadi sahabat mereka.

“Selamat  datang tuan,.. Apakah ini keluarga tuan,..??” tanya Satange.

“Ya, keluarga besar kami. Kami akan ke Selonto,..” kata Loyo.

Mereka lalu naik ke perahu dan menyeberang dengan aman. Setiba di seberang Loyo membayar lebih banyak dari biasanya meski berusaha ditolak oleh Satange.

Tiba-tiba Satange menyuruh temannya mengambil sesuatu dari bagian dalam perahu yang tertutup. Temannya segera mengeluarkan serenteng ikan segar dan membawanya ke tepi sungai untuk dibersihkan.

“Jangan pergi dulu tuan,.. Biarlah kita bakar ikan dan makan siang dulu, biar anak-anak merasa kenyang,..” kata Satange setengah menuntut.

Loyo dan Brewok terpaksa menyetujui niat baik Satange. Mereka lalu duduk di bawah pohon yang rindang sambil menunggu ikan matang.

“Tuan-tuan kelihatan sering menyeberangi sungai Priga ini. Dan tampak selalu berkawan banyak dan berilmu tinggi, juga baik hati. Apakah yang dikerjakan dan apa yang bisa saya bantu,..??” tanya Satange.

“Iya, kami akan sering bepergian untuk berdagang. Kami akan menetap di Selonto, jadi sering menyeberang disini. Sobat Satange sudah sangat membantu dengan menyeberangkan kami,..” jawab Loyo.

“Ah, semoga usahanya selalu membawa keuntungan,..” kata Satange.

Dalam pikiran Satange harapannya mereka akan selalu memberinya lebih kalau ada untung. Kalau rugi mungkin hanya sekedarnya. Tapi mereka orang baik-baik dan pernah menolong anaknya. Karena itu dia bertekad membalas budi tuan-tuan ini walaupun tidak diberi upah penyeberangan sekalipun.

“Terimakasih atas doanya,..”jawab Brewok.

Sementara itu ikan bakar pun telah matang, dan mereka menyantapnya dengan ubi bakar yang dibawa oleh Brewok di keranjangnya. Anak-anak gembira dan makan dengan lahapnya.

“Oh iya, ... karena kami sering bepergian menyeberangi sungai ini mungkin ada baiknya sobat Satange membuat pondok penginapan disini kalau ada yang kemalaman sampai disini,..” usul Loyo.

“Ya,.. ide yang bagus tuan,...tapi saya...tidak mampu ,..” jawab Satange.

“Begini,.. tidak harus terburu-buru. Kalau kami lewat kami akan memberi lebih agar sobat bisa beli bahan sedikit satu demi satu dan mulai membangun secara bertahap. Saya akan bilang teman-teman saya untuk membantu sobat Satange,..” jelas Loyo.

“Wah terimakasih banyak tuan,.. saya akan mengerjakannya,..” kata Satange antusias.

Sebelum melanjutkan perjalanan ke Selonto, Loyo memberikan sejumlah uang lagi untuk mengumpulkan bahan bangunan yang diperlukan. 

Perjalanan ke Selonto tidak menemui hambatan sama sekali, kecuali harus lebih banyak istirahat karena membawa anak-anak yang rewel kalau kelelahan atau lapar. Setiba di Selonto mereka langsung menuju pondok persinggahan di tepi hutan. Hati para istri bekas pimpinan prajurit itu sempat ragu melihat Loto dan Brewok mengajak mereka memasuki hutan. Apalgi hari sudah menjelang gelap. Jangan-jangan,...

“Masih jauhkah perjalanan kita,..??” tanya Suti menyembunyikan rasa cemasnya.

“Hari sudah mau gelap,... kenapa kita masuk hutan,..” tanya istri Prati, benar-benar cemas.

“Tunggu sebentar,..” kata Loyo.

Dia buru-buru masuk ke hutan dan beberapa saat kemudian muncul lagi bersama Balmis dan dua orang bekas prajurit.

“Apakah kakang mbok kenal mereka,..??” tannya Loyo.

“Bukankah kamu prajurit Megalung, anak buah,..??” tanya Suti.

“Saya kakang mbok. Saya anak buah komandan Sarji. Kami juga baru saja dijemput kesini,..” jawab salah seorang bekas prajurit itu.

Hati Suti dan teman-temannya merasa lega. Mereka dengan tenang masuk ke hutan menuju pondok persinggahan yang besar namun tersembunyi dengan baik di balik pepohonan. Malam itu mereka bermalam disitu dan esok harinya menuju ke markas Kasjur diatas bukit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA