Dunia yang Ganjil: Berharap Yang Busuk Yang Menang



Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #26)

“Persis seperti yang saya pikirkan.” kata Jaira. “Saya sudah menjanjikannya begitu agar ia mau mengakui sebagai kaki tangan pemuda setan itu.”

Dan itulah yang terjadi. 
Hakim wilayah yang sudah menerima suap dari Jaira dan mendapatkan bukti dari Sukadu tentang tewasnya Paldrino dan keluarganya memutuskan terpidana di hukum penjara dua puluh tahun dan dipenjara di Buntung demi penyelidikan lebih lanjut.

"Hahaha....!! Lalu jarum lalu kelindan, pekerjaan pembuka jalan telah berhasil maka yang lain-lain juga akan segera berhasil, hahaha..!"ujar Tamakir gembira saat tiga sekawan itu berkumpul lagi.
"Hahahaha....!!" timpal sukadu dan Jaira sambil menyeruput tuak lontar.
"Ki Lurah Tamakir benar-benar cerdik!", puji Jaira.

Beres dengan masalah tewasnya wedana Paldrino, kini Tamakir dan Jaira mulai bersiap menghadap pemilihan wedana baru Buntung. Pendaftaran calon sudah dibuka dan lurah Tamakir menjadi orang pertama yang mendaftar. Ini bukannya tanpa maksud apa-apa. Jelas, maksudnya agar Jaira maupun Sukadu berikut anak buah mereka bisa menggertak para calon lain untuk tidak meneruskan niatnya maju menjadi pesaing Tamakir.

Siasat mereka manjur. Beberapa lurah dan warga yang cukup terpandang yang tadinya akan mendaftar sebagai calon wedana urung. Mereka mundur teratur setelah ditakut-takuti oleh kaki tangan Jaira yang notabene prajurit Klapa Getir yang bermarkas di Buntung. Menurut para prajurit itu mereka telah mencium gelagat dan ada info kalau keselamatan para calon wedana akan terancam, termasuk keluarga mereka, jika berani mendaftar. Sebagai prajurit yang bertugas menjaga keselamatan rakyat, mereka tidak dapat menjamin hal itu karena para teroris itu tampaknya sangat profesional dan beroperasi pada saat-saat yang tak terduga. 

Ini juga terjadi pada lurah Urwae. 
Demi mendengar bahwa lurah Urwae sudah mendaftarkan diri, Sukadu dan Jaira segera datang menemuinya.

"Selamat siang Bapak Pamong Negeri dan Pangeran Muda Jaira. Rupanya saya mendapat tamu-tamu penting hari ini," sapa Lurah Urwae dengan ramah sambil mempersilahkan kedua petinggi itu masuk.
"Ada hal penting apa yang bisa saya bantu hingga bapak berdua datang ke gubug saya ini?" tanyanya.
"Begini ki Lurah Urwae," Sukadu menyahut. "Para petugas telik sandi saya mendapat info yang dapat dipercaya bahwa para calon wedana yang ikut pemilihan akan dihabisi berikut keluarganya oleh gerombolan Pemuda Pembakar Air."
"Pemuda Pembakar Air??? "Siapakah dia?" tanya Urwae.
"Orang yang mengalahkan Lurah Tamakir dalam taruhan membakar air dan gerombolannya yang membakar rumah Wedana Paldrino hingga tewas bersama keluarganya," jelas Sukadu.
"Sebagai pejabat Pamong Negeri yang bertanggung jawab menjaga keamanan dan keselamatan warga disini saya wajib memberitahukan hal ini kepada ki Lurah Urwae," lanjut Sukadu.
Ooohhh....," desah Urwae kaget. "Bukankah Pangeran Muda telah berhasil membunuh kawanan itu?" tanyanya.
"Yang terbunuh hanya kroco-kroconya saja. Pemuda setan itu sendiri belum berhasil kami ringkus," jawab Jaira.
"Dan pemuda itu sangat sakti, saya sendiri menyaksikan kehebatannya sampai tak bisa berbuat apa-apa waktu membakar air dulu itu," Jelas Sukadu.

Lurah Urwae terdiam, hatinya tercekat dan ia mulai was-was.

"Jujur saja harus saya katakan ki Lurah..., Saya dan prajurit Klapa Getir disini tidak dapat menjamin keselamatan ki Lurah dan para calon yang lain dalam menghadapi para teroris itu," kata Jaira.
"Lantas, bagaimana dengan nasib para calon yang lain?" tanya Urwae gelisah.
"Saya bersama kepala prajurit Pangeran Muda Jaira telah memberitahu para calon yang berniat mendaftar dan mereka mengurungkan niat mereka..., kecuali Lurah Tamakir," jawab Sukadu.
"Lurah Buntung, Tamakir??" tanya Urwae.
"Ya, lurah Tamakir berniat maju terus dan tidak merasa khawatir karena dia punya pengawal dan tukang pukul banyak. Justru dia ingin berhadapan dan membalas sakit hatinya akibat dipencundangi oleh pemuda setan itu. Kami sudah mengingatkan dan tidak bertanggung jawab bila terjadi sesuatu pada dirinya dan keluarganya," jelas Sukadu.
"Bagaimana dengan saya, Pangeran?" tanya Urwae mengharap perlindungan dari Jaira.
"Maaf ki Lurah, sebelum saya bisa menangkap atau membunuh dan menumpas habis gerombolan teroris itu saya tidak bisa menjamin keselamatan ki Lurah dan keluarga. Saya sarankan ki Lurah menimbang kembali pencalonan diri ki Lurah," jawab Jaira mencuci tangan.
"Iya ki Lurah, sebaiknya ki Lurah memikirkan keselamatan diri ki Lurah dan keluarga. Disamping itu rakyat di kelurahan ini masih membutuhkan ki Lurah. Jangan sampai mereka juga akan kehilangan pemimpin yang mereka butuhkan," saran Sukadu.

Lurah Urwae yang sudah termakan cerita isapan jempol mereka dan menjadi sangat khawatir akan keselamatan dirinya segera menyetujui saran kedua petinggi itu. Apalagi ketika terlintas di kepalanya si Minur gadis belia yang bahenol dan berpayudara besar serta cantik itu baru dinikahinya kurang dari 10 hari. Sayang sekali kalau harus ditinggal mati sebelum puas menikmatinya.

"Terimakasih bapak Pamong Negeri dan Pangeran Muda telah mengingatkan saya. Saya berhutang nyawa kepada pangeran berdua. Saya akan mengundurkan diri. Besok saya akan ke kantor kawedanan untuk menarik pencalonansaya," kata Urwae mengambil keputusan.
"Kami juga berterimakasih ki Lurah, karena dengan begitu ki Lurah telah banyak meringankan pekerjaan kami," kata Sukadu. 

Mereka berdua lalu pamit pulang dengan wajah yang puas.
Hampir semua yang tadinya berniat mencalonkan diri berhasil mereka takut-takuti dengan cara seperti itu, namun ada satu orang yang tidak takut dan terus mencalonkan diri. Namanya Koriban. Dia penduduk biasa, petani, namun dikenal banyak orang sebagai orang yang baik dan terdidik, tempat bertanya dan dipandang sebagai pemimpin informal di wilayahnya.

Koriban sama sekali tidak terusik dengan cerita tentang Pemuda Pembakar Api yang akan meneror dirinya sebagai kontestan pemilihan wedana Buntung. Dia tahu persis perangai pemuda itu saat menyaksikan taruhan membakar air dulu itu. Tak tampak baginya perangai pemuda itu sebagai penjahat, bahkan sebaliknya dia sangat sopan dan justru menolong banyak orang yang terlibat hutang kepada Tamakir. Lagi pula banyak juga penduduk yang mendorongnya untuk maju sebagai calon wedana, terutama orang-orang yang telah ditolong oleh pemuda yang dituduh teroris itu. Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang, begitu prinsipnya.

Sukadu dan Jaira tidak pula memaksanya lebih jauh karena bagaimanapun juga undang-undang negeri Klapa Getir mengharuskan minimal ada dua peserta yang mengikuti pemilihan kepala desa atau kepala wilayah. Tetapi itu bukan berarti mereka, Tamakir, Jaira dan Sukadu berdiam diri saja. Cara-cara kotor mereka lakukan terhadap Koriban dan juga penduduk biasa.

Dengan kekuatan uang mereka menyuap, atau dengan cara-cara licik lainya sehingga banyak pemilih tidak punya pilihan lain selain mencoblos tanda gambar Tamakir.  Selain itu, para saksi dan petugas Pilkadal (Pemilihan Kepala Daerah Langsung) Buntung setelah makan suap berlaku curang dalam perhitungan suara atau mengganti bukti coblosan Koriban dengan bukti coblosan yang menusuk tanda gambar Tamakir. Agar Koriban tidak protes, para simpatisannya juga disuap atau diancam secara halus maupun kasar.

Salah satu cara yang dilakukan dengan jitu yaitu menggunakan metode "Serangan Fajar" dalam arti yang sesungguhnya yang dilakukan tiga hari menjelang Pilkadal. Dini hari sebelum penduduk turun ke sawah, orang-orang Tamakir membuka lebar saluran air dan membelokkan aliran air yang menuju sawah milik Koriban tanpa menyisakan sedikitpun aliran air menuju sawah-sawah milik penduduk lainnya. Padahal sudah menjadi ketentuan umum pengaturan air dilakukan secara musyawarah dan dilakukan bersama-sama. Saat para petani mendapati sawah mereka kehabisan air, mereka beramai-ramai mencari penyebabnya dan menutup saluran yang menuju sawah milik Koriban.

“Belum jadi wedana saja sudah sewenang-wenang, bagaimana kalau sudah jadi nanti?” keluh seorang petani.
"Iya, belum bertaji hendak berkokok, Menyebalkan!" sahut temanya.
“Eh, tunggu dulu! Rasanya tidak mungkin kalau Koriban yang melakukan. Itu tindakan bodoh. Ini lebih mungkin dilakukan oleh si Tamakir itu biar kita membenci Koriban dan memilih dia,” kata petani yang lebih tua.
"Iya juga ya?" yang lain mengamini.

Dini hari berikutnya kejadian serupa terjadi lagi, tetapi kali ini para pembobol air itu dipergoki oleh tiga orang petani yang sengaja menunggui saluran air itu.

“He! Kenapa kalian membelokkan air itu kesana?  Siapa kalian?”

Para pembobol air yang tidak lain para tukang pukul Lurah Brangin menghampiri penegurnya dengan garang sambil siap menghunus golok.

“Kami anak buah Tamakir, mau apa kalian!” tantang mereka.

Para petani itu menjadi kecut hatinya, mereka tidak berani menjawab. Mereka tahu betul perangai para tukang pukul Tamakir dan kekuatan uang lurah serakah itu.

“Ini peringatan buat kalian! Jika juragan kami Tamakir tidak terpilih menjadi wedana, kalianlah penyebabnya karena tidak mencoblos Tamakir. Sawah kalian akan kami buat selalu kekeringan, atau hewan kalian akan selalu hilang dicuri orang. Ingat itu!”
“Kalau orang-orang tahu ini perbuatan Tamakir, kalianlah biang keroknya dan akan tahu sendiri akibatnya. Kami tidak akan segan-segan mencelakakan anak istri atau keluarga kalian! Mengerti?!” bentak pimpinan tukang pukul.
“Tapi... ka..mi..”
“Diam, kau!! Dan Dengar ini baik-baik!!” bentak seorang dari tukang pukul itu.
“Mulai pagi ini kami harus mendengar pembicaraan orang di pasar bahwa Koriban telah berbuat jahat merampas jatah air kalian, mengerti?! Sekarang kalian pulang dan ceritakan itu kepada anak istri kalian. Awas kalau sampai terjadi sebaliknya. Leher kalian akan jadi taruhannya!”

Ketiga petani itu pulang dengan lesu.
Dan memang benar demikian yang terjadi. Siang harinya tersebar gosip Koriban telah mencuri air jatah para petani lainnya. Meski banyak dari mereka yang meragukan berita itu, tetapi mereka dengan ‘arif’ memilih meneruskan berita itu sebagaimana aslinya.

Koriban tentu saja mencoba membantah, tetapi gosip telah begitu deras menyebar. Ia bahkan didatangi oleh Jaira dan Sukadu yang menekannya dengan isu tuduhan palsu.

“Kalau saudara Koriban membantah berita itu, sama saja berarti menuduh Lurah Brangin lawan saudara sebagai pelakunya. Ia bisa menuntut saudara dengan tuduhan pencemaran nama baik,” kata Sukadu.
“Sebagai Pamong Negeri, saya harus bisa menjawab pertanyaan orang banyak. Karena itu saya hanya akan menjawab bahwa peristiwa itu sedang kami selidiki, dan kemungkinannya bisa macam-macam. Bisa saja Tamakir yang melakukan untuk menjelekkan nama saudara, tetapi bisa juga saudara yang melakukan untuk menjelekkan Tamakir dengan alasan saudara tidak mungkin berbuat sebodoh itu,” lanjut Sukadu.
“Saya kira sebaiknya saudara tidak perlu membantahnya. Biarlah kalah kali ini, karena kita akan punya mainan lain untuk saudara nanti. Bagaimana?” tanya Jaira.

Koriban hanya bisa mengangguk diam. Ia jelas tidak punya pilihan lain. Kalaupun ia menang, pemerintahannya pasti akan selalu diganggu oleh Lurah Brangin dan kedua sekongkolnya ini yang juga memiliki jabatan tinggi di kawedanan Buntung. Tetapi bukan pula karena dia percaya pada janji Jaira yang akan memberi "mainan" lain nanti. Mengharapkan kebaikan dari orang seperti ini sama saja dengan menanti hujan di musim kemarau.

Koriban terpaksa menurut saja apa yang diminta oleh Jaira dan Sukadu. Ia memilih menutup mulut alias diam seribu bahasa. Bukankah pepatah bilang diam itu emas?

Namun begitu di dalam hatinya ia selalu bertanya-tanya: “benarkah diam itu emas?” Bukankah dengan diamnya itu  Tamakir yang mendapatkan emas itu! Sedangkan rakyat Buntung akan medapatkan kerugian akibat ‘emas’ mereka akan dirampas oleh lurah tamak beserta kedua kroninya itu. Adapun dirinya hanya akan gigit jari tak mengecap apapun dari ke’diaman’nya itu, selain terhindar dari ancaman Sukadu dan Jaira. Bagi dirinya diam yang terpaksa dipilihnya kali ini sama sekali bukan emas. Diam yang menyengsarakan rakyat. Benar-benar Diam itu Loyang !!

Akhirnya, hari pemilihan pun tiba. 
Rakyat datang berombongan ke tempat pencoblosan tetapi bukan karena gairah melainkan lebih karena merasa terpaksa daripada sesuatu yang buruk menimpa mereka dan keluarganya. Kalau biasanya orang ramai berceloteh menyambut pesta demokrasi seperti ini, disini tidak demikian. Penduduk diam lesu sambil menunggu gilirannya dipanggil untuk mencoblos.

Saat mencoblos pun menjadi waktu yang menyiksa. Meskipun bilik itu tertutup, tak terlihat dari luar, tetapi para pencoblos merasa seakan ada banyak mata melotot kepada mereka dengan pandangan mengancam kalau-kalau mereka tidak mencoblos Tamakir. Karena itu banyak yang berulang kali melihat kembali hasil coblosan mereka untuk memastikan mereka tidak ‘salah pilih’ sebelum melangkah keluar. Bahkan banyak diantara mereka yang tetap tidak yakin setelah keluar dari bilik neraka itu, apakah mereka sudah ‘benar’ atau keliru saat mencoblos tadi. Mereka menjadi linglung. Mereka yakin kalau sampai salah pilih maka orang-orang Tamakir akan tahu pasti merekalah pelakunya. Banyak yang tidak bisa tidur nyenyak sebelum kemenangan diraih oleh Tamakir. Ajaib tapi ironis, orang yang membencinya justru berharap dialah yang menjadi pemenang dan jadi pemimpin mereka. Sungguh-sungguh dunia yang ganjil.

Tidak syak lagi, Tamakir dinyatakan sebagai pemenangnya dengan selisih suara yang mencolok. Banyak yang kecewa tetapi sekaligus juga merasa lega. Memang aneh!!

Meskipun hasil pemilihan membuat heran dan kecewa masyarakat banyak, mereka hanya bisa mengurut dada menelan kekecewaan, sambil membayangkan masa depan yang semakin suram. Korupsi tentu akan semakin merejalela demi mengumpulkan harta untuk menyuap lagi saat nanti mengejar jabatan yang lebih tinggi.

Apakah Jaira benar-benar menjadi Adipati di Megalung sebagaimana keinginannya semula. Dan bagaimana pula nasib Sukadu? Akankah ia diangkat menjadi Kepala Pamong Negeri Megalung? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA