Membentuk Paguyuban Kapisan

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #94 )

“Hmmm, mungkin ada baiknya kakak Jaira besok mengunjungi warung tempat aku sering berkumpul dengan sobat-sobatku warga Rajapurwa,..” kata Lugasi.

“Oh,.. ada apa disana,..??” tanya Jaira.

Lugasi lalu menceritakan apa yang sedang dilakukan oleh para sahabatnya warga Rajapurwa, lengkap dengan asal usul gagasan itu yang berasal dari anak Langit.

“Luar biasa,... sepertinya gagasan itu bisa diterapkan di semua desa di Rajapurwa,..” kata Jaira.

“Begitulah,... Dengan berjalannya gagasan ini rakyat akan senang dan semakin guyub,..” kata Lugasi.

“Ya,,ya,, semakin guyub,.. guyub,.. “kata Jaira sambil berkali=kali menyebut kata “guyub” tersebut.

“Wah,.. kalau begitu kita namakan saja kelompok itu dengan sebutan “Paguyuban” saja. Misalnya Paguyuban Melati untuk desa Melati atau nama lain mengikuti kata paguyuban itu,..” kata Jaira.

“Bukan main, pemikiran yang bagus sekali,... Besok kita lihat paguyuban yang pertama dan Adipati Rajapurwa datang untuk merestuinya,...hihihi,..” kata Lugasi dengan jenaka.

Esok harinya setelah melepaskan utusannya pergi ke akotaraja menemui Perdana Menteri Jukamu, Jaira dan Lugasi pergi ke warung tempat pertemuan. Mereka mendapati para warga sudah mulai bekerja membangun gudang besar. Dengan segera mereka berhenti guna menyambut kedatangan penguasa wilayah itu.

“Selamat datang tuan Adipati,..” sapa pemilik warung.

“Maaf,.. maaf para warga. Saya mengganggu kerja kalian. Saya mendengar dari sobat kita Aset kalian sedang mengerjakan sesuatu yang hebat,.. dan saya ingin belajar,..” kata Jaira.

“Ah, itu semua karena pemikiran sobat Aset. Kami tinggal melaksanakannya,..” kata pemilik warung sebagai orang yang dituakan.

Jaira lalu mengatakan kalau dia sangat menghargai usaha ini dan akan menjadikannya sebagai contoh bagi desa-desa lain di seluruh Rajapurwa. Dia memperkenalkan sebutan Paguyuban bagi kelompok kegiatan seperti ini dan meminta warga memberi nama pada paguyuban ini.

“Nah, sobat sekalian,... akan kalian beri nama apa paguyuban ini,..? tanya Jaira.

“Bagaimana kalau namanya Paguyuban Kapisan, yang berarti yang pertama,..” kata pemilik warung.

“Nama yang bagus dan penuh makna, ... Saya setuju,..” kata Jaira.

Pak warung lalu menyuruh orang membuat nasi tumpeng untuk slametan sementara yang lain mulai bekerja. Jaira dan Lugasi juga ikut membantu sekedar menunjukkan sebagai bagian dari kebersamaan mereka. Warga pun menjadi tambah semangat.

Menjelang makan siang, nasi tumpeng pun di keluarkan dan Jaira secara resmi menamakan Paguyuban Kapisan pada kelompok ini.

“Dengan memohon restu Sang Dewa Maha Tunggal saya meresmikan nama paguyuban ini Paguyuban Kapisan,..” kata Jaira.

Warga bertepuk tangan gembira.

“Hidup Paguyuban Kapisan, Hidup Adipati Jaira,..!!” seru warga.

Hari-hari berikutnya, Jaira rajin berkeliling ke berbagai kecamatan dan Kelurahan guna memperkenalkan tentang Paguyuban, dibantu oleh Lugasi. Pelan tapi pasti satu demi satu mulai berdiri Paguyuban dengan berbagai nama. Jaira tidak segan memodali setiap paguyuban yang kurang kaya dengan bahan pangan yang diambil dari perbekalan Kadipaten Rajapurwa. Dengan cara ini banyak warga yang menjadi antusias atas kehadiran Paguyuban di wilayah mereka.

Pada hari ke lima setelah penyerangan ke Gunung Kembar, Jaira pamit kepada Lugasi untuk berkunjung ke Kotaraja menemui pamannya Perdana Menteri Jukamu.

“Aku minta diri mau ke Kotaraja. Tolong adikku Aset membantu Tangka dan Pamong Negeri Rajapurwa untuk terus mengembangkan Paguyuban selama saya tinggalkan,..” pinta Jaira.

“Baik kakakku Jaira,... Saya akan bantu sebisa saya sambil menunggu perkembangan berita dari Kotaraja,..” jawab Lugasi.

Perjalanan ke Kotaraja bersama beberapa prajurit yang mengiringnya tidak mengalami hambatan yang berarti. Setelah dua hari tibalah Jaira di Kotaraja dan langsung menuju kediaman Perdana Menteri melalui pintu belakang yang hanya boleh dilalui oleh kerabat dekat Jukamu.

“Bagus Jaira,.. Kita sudah tahu berita itu sebelum Kepala Negeri memanggilku untuk membicarakannya. Besok aku akan ke istana menemui Kepala Negeri Sudoba,..” kata Jukamu.

“Tapi, bagaimanakah nasib para perampok itu. Kemanakah mereka melarikan diri,..??” tanya Jukamu.

“Saya berhasil memukul mundur mereka dan menghancurkan markasnya. Tetapi dengan pandai mereka melarikan diri entah ke pegunungan Menora atau mungkin juga ke propinsi Polerma, tetapi sudah tidak ada di Rajapurwa,..” jawab Jaira.

“Hmmm, rupanya mereka tidak ingin bermusuhan dengan kau Jaira. Tapi bahasa yang kita pakai mereka telah lari ketakutan menghadapi pasukanmu,..” kata Jukamu.

Keesokan harinya Jukamu sengaja datang menghadap Kepala Negeri untuk melaporkan hal-hal rutin pemerintahan, Ia sengaja tidak melaporkan soal Gunung Kembar karena menunggu reaksi Kepala Negeri.

“Ah, kebetulan Perdana Menteri kemari hari ini. Ada hal lain yang perlu saya bicarakan,..” kata Sudoba.

(Hmmm, pasti ini soal penyerangan ke Gunung Kembar pikir  Jukamu)

“Soal apakah itu Yang Mulia,..” tanya Jukamu’

(Hmmm, pura-pura tidak tahu dia, pikir Sudoba)

“Mungkin Perdana menteri sudah mendengar hasil penyerangan ke Gunung Kembar itu,..” pancing Sudoba.

(Hmmm, dia memancing aku nih, batin Jukamu)

“Saya belum mendengar secara resmi kabar itu hanya selentingan kabar burung yang sampai ke telinga saya. Karena itu saya sudah mengutus seseorang untuk memanggil Adipati Rajapurwa untuk melaporkannya,..” jawab Jukamu.

(Mana mungkin kau tidak tahu kalau mengenai keponakanmu, pikir Sudoba)

“Hmmm, baiklah,.. Rupanya gubernur Gurada dan anaknya yang tolol itu bukannya berhasil merebut hadiah yang dirampok itu, tetapi malah pasukannya hancur lebur di Gunung Kembar,..” kata Sudoba.

Wajah Sudoba menjadi kelam, rahangnya mengeras pertanda jengkel. Jukamu mengangguk-angguk tapi tetap diam tidak memberi tanggapan.

(Hmmm, dia kecewa berat, pikir Jukamu)

“Tapi untungnya para perampok itu kemudian bisa dihancurkan oleh Adipati Rajapurwa dengan pasukannya dan membebaskan pasukan Megalung dan Gurada yang tertawan,..” lanjut Sudoba.

“Rupanya berita itu benar, Yang Mulia,..”

“Ya,...kita patut bersyukur atas keberhasilan Adipati Rajapurwa itu,..” kata Sudoba.

Ruangan itu tiba-tiba menjadi kaku. Rasa syukur yang diucapkan Sudoba tidak diikuti dengan senyum kebahagiaan melainkan dahi berkerut. Jukamu hanya mengangguk-mengangguk tanda memahami situasi dan suasana batin Sudoba.

“Tapi kenapa tidak dari dulu Adipati Rajapurwa itu menghancurkan perampok Gunung Kembar yang berada di wilayahnya,..??” tanya Sudoba.

(Ini dia pokok persoalannya. Dia mau mencari kesalahan Jaira, Dasar busuk!! Baiklah, aku akan meladeninya, pikir Jukamu)

“Ya, dari laporannya Adipati Rajapurwa harus membangun lebih dulu kekuatan pasukan Rajapurwa yang hancur akibat pertempuran sebelumnya yang menewaskan Adipati yang lama. Dalam masa membangun kekuatan itu Adipati Rajapurwa ini membangun hubungan yang baik dengan rakyatnya sehingga dia dicintai rakyatnya. Dengan begiru para perampok Gunung Kembar jadi segan berbuat kejahatan di Rajapurwa karena takut rakyat akan membantu pasukan pemerintah,..” jelas Jukamu,

“Ya, ya, ya,.. Tapi dengan begitu hadiah untuk saya yang menjadi sasaran para perampok itu,..!!” geram Sudoba.

(Hmmmn, dia terang-terangan menyalahkan Jaira, pikir Jukamu)

“Betul, Yang Mulia. Karena itu saya memerintahkan Adipati Rajapurwa untuk melakukan penyerangan habis-habisan ke markas Gunung Kembar untuk menjaga martabat Yang Mulia dan kedaulatan negeri Klapa Getir,..” jawab Jukamu tangkas.

“Tapi,.. sebelum dia menyerang dia kedatangan utusan dari Megalung yang mengatakan kalau dia tidak boleh ikut campur dalam penyerangan yang akan dilakukan oleh pasukan Megalung dibantu pasukan Gurada,..” lanjut Jukamu.

(Hmmm, bisa saja kau berkelit, batin Sudoba)

“Rupanya dia mengambil tindakan yang tepat. Setelah mengetahui serangan itu tidak berhasil dia lantas melakukan serangan mendadak ke Gunung Kembar dan berhasil menghancurkan markas Gunung Kembar serta membebaskan pasukan Megalung dan Gurada. Itu yang saya dengar, Yang Mulia,..” kata Jukamu.

“Ya, memang begitu laporan yang saya terima,.. Tapi kenapa sampai sekarang dia belum datang melaporkan sendiri ke Kotaraja,..??” tanya Sudoba.

(Ah, masih saja dia mau cari kesalahan Jaira, dasar...!!, pikir Jukamu)

“Saya tahu tabiat anak itu. Dia tentu ingin menyelesaikan secara tuntas pekerjaan yang sudah dilakukannya. Tentu dia sedang mengejar sisa-sisa pasukan Gunung Kembar dan memastikan kemana mereka melarikan diri, bagi yang berhasil lolos,..” jelas Jukamu.

“Baiklah,.. Kalau begitu kita akan memberi penghargaan kepada Adipati Rajapurwa atas keberhasilannya menghancurkan perampok Gunung Kembar. Saya akan mengirim utusan ke sana,..” kata Sudoba mengakhiri.

Jukamu segera kembali ke kediamannya dan menemui Jaira yang sudah menunggunya. Jukamu menceritakan jalannya pertemuan dengan Kepala Negeri Sudoba dan hasil pembicaraannya.

“Jadi, ingat,..!! Apapun yang disuguhkan kepadamu dengan tanda cap kenegaraan Klapa Getir jangan kamu minum atau makan. Kemungkinan besar besar sudah dibubuhi racun untuk membunuhmu secara perlahan,..” kata Jukamu.

“Baik paman,.. saya mengerti,..” jawab Jaira.

“Dia tidak ingin ada yang menjadi besar karena prestasinya kalau bukan dari keluarganya. Apalagi dari keluarga kita karena aku dianggap menjadi penghalang dia menempatkan keluarganya, seenaknya,..” jelas Jukamu.

“Baik paman, terimakasih banyak,... Saya mohon diri,..” pamit Jaira.

Jaira segera pulang ke Rajapurwa bersama prajurit pengiringnya dan tiba disana dua hari kemudian. Jaira lalu menemui Lugasi yang memang ingin mendengar perkembangan terakhir dari Kotaraja. Berkali-kali dia menggeleng-gelengkan kepala mendengar cerita Jaira tentang pertemuan pamannya Perdana Menteri Jukamu dengan Kepala Negeri Sudoba.

“Huh,.. Ingin rasanya kubuat buntung tangan dan kaki orang itu,..!!” dengus Lugasi jengkel.

“Bukannya terimakasih, malah mau mencelakakan,.. Dasar serakah,..!!” umpat Lugasi.

“Hmmm ya,.. kitalah yang harus pandai-pandai bermain,..” kata Jaira.

“Lalu bagaimana caranya agar kakak Jaira tidak minum anggur atau makan pemberian dari Kepala Negeri,..??” tanya Lugasi.

“Belum tahu,... tapi apakah adikku Lugasi punya cara,..??” Jaira balik bertanya.

Setelah berpikir sejenak, Lugasi lalu membisikkan rencananya bagaimana agar tidak memakan atau minum pemberian dari Kepala Negeri.

Apakah yang terjadi kemudian,..?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA