“Hmmm, mungkin ada baiknya kakak Jaira besok mengunjungi warung tempat aku sering berkumpul dengan sobat-sobatku warga Rajapurwa,..” kata Lugasi.
“Oh,.. ada apa
disana,..??” tanya Jaira.
Lugasi lalu menceritakan
apa yang sedang dilakukan oleh para sahabatnya warga Rajapurwa, lengkap dengan
asal usul gagasan itu yang berasal dari anak Langit.
“Luar biasa,...
sepertinya gagasan itu bisa diterapkan di semua desa di Rajapurwa,..” kata
Jaira.
“Begitulah,... Dengan
berjalannya gagasan ini rakyat akan senang dan semakin guyub,..” kata Lugasi.
“Ya,,ya,, semakin
guyub,.. guyub,.. “kata Jaira sambil berkali=kali menyebut kata “guyub”
tersebut.
“Wah,.. kalau begitu kita
namakan saja kelompok itu dengan sebutan “Paguyuban” saja. Misalnya Paguyuban
Melati untuk desa Melati atau nama lain mengikuti kata paguyuban itu,..” kata
Jaira.
“Bukan main, pemikiran
yang bagus sekali,... Besok kita lihat paguyuban yang pertama dan Adipati
Rajapurwa datang untuk merestuinya,...hihihi,..” kata Lugasi dengan jenaka.
Esok harinya setelah
melepaskan utusannya pergi ke akotaraja menemui Perdana Menteri Jukamu, Jaira
dan Lugasi pergi ke warung tempat pertemuan. Mereka mendapati para warga sudah
mulai bekerja membangun gudang besar. Dengan segera mereka berhenti guna
menyambut kedatangan penguasa wilayah itu.
“Selamat datang tuan
Adipati,..” sapa pemilik warung.
“Maaf,.. maaf para warga.
Saya mengganggu kerja kalian. Saya mendengar dari sobat kita Aset kalian sedang
mengerjakan sesuatu yang hebat,.. dan saya ingin belajar,..” kata Jaira.
“Ah, itu semua karena
pemikiran sobat Aset. Kami tinggal melaksanakannya,..” kata pemilik warung
sebagai orang yang dituakan.
Jaira lalu mengatakan kalau
dia sangat menghargai usaha ini dan akan menjadikannya sebagai contoh bagi
desa-desa lain di seluruh Rajapurwa. Dia memperkenalkan sebutan Paguyuban bagi
kelompok kegiatan seperti ini dan meminta warga memberi nama pada paguyuban
ini.
“Nah, sobat sekalian,...
akan kalian beri nama apa paguyuban ini,..? tanya Jaira.
“Bagaimana kalau namanya
Paguyuban Kapisan, yang berarti yang pertama,..” kata pemilik warung.
“Nama yang bagus dan
penuh makna, ... Saya setuju,..” kata Jaira.
Pak warung lalu menyuruh
orang membuat nasi tumpeng untuk slametan sementara yang lain mulai bekerja.
Jaira dan Lugasi juga ikut membantu sekedar menunjukkan sebagai bagian dari
kebersamaan mereka. Warga pun menjadi tambah semangat.
Menjelang makan siang,
nasi tumpeng pun di keluarkan dan Jaira secara resmi menamakan Paguyuban
Kapisan pada kelompok ini.
“Dengan memohon restu
Sang Dewa Maha Tunggal saya meresmikan nama paguyuban ini Paguyuban Kapisan,..”
kata Jaira.
Warga bertepuk tangan
gembira.
“Hidup Paguyuban Kapisan,
Hidup Adipati Jaira,..!!” seru warga.
Hari-hari berikutnya,
Jaira rajin berkeliling ke berbagai kecamatan dan Kelurahan guna memperkenalkan
tentang Paguyuban, dibantu oleh Lugasi. Pelan tapi pasti satu demi satu mulai
berdiri Paguyuban dengan berbagai nama. Jaira tidak segan memodali setiap
paguyuban yang kurang kaya dengan bahan pangan yang diambil dari perbekalan
Kadipaten Rajapurwa. Dengan cara ini banyak warga yang menjadi antusias atas
kehadiran Paguyuban di wilayah mereka.
Pada hari ke lima setelah
penyerangan ke Gunung Kembar, Jaira pamit kepada Lugasi untuk berkunjung ke
Kotaraja menemui pamannya Perdana Menteri Jukamu.
“Aku minta diri mau ke
Kotaraja. Tolong adikku Aset membantu Tangka dan Pamong Negeri Rajapurwa untuk
terus mengembangkan Paguyuban selama saya tinggalkan,..” pinta Jaira.
“Baik kakakku Jaira,...
Saya akan bantu sebisa saya sambil menunggu perkembangan berita dari
Kotaraja,..” jawab Lugasi.
Perjalanan ke Kotaraja bersama
beberapa prajurit yang mengiringnya tidak mengalami hambatan yang berarti.
Setelah dua hari tibalah Jaira di Kotaraja dan langsung menuju kediaman Perdana
Menteri melalui pintu belakang yang hanya boleh dilalui oleh kerabat dekat
Jukamu.
“Bagus Jaira,.. Kita
sudah tahu berita itu sebelum Kepala Negeri memanggilku untuk membicarakannya.
Besok aku akan ke istana menemui Kepala Negeri Sudoba,..” kata Jukamu.
“Tapi, bagaimanakah nasib
para perampok itu. Kemanakah mereka melarikan diri,..??” tanya Jukamu.
“Saya berhasil memukul
mundur mereka dan menghancurkan markasnya. Tetapi dengan pandai mereka
melarikan diri entah ke pegunungan Menora atau mungkin juga ke propinsi
Polerma, tetapi sudah tidak ada di Rajapurwa,..” jawab Jaira.
“Hmmm, rupanya mereka
tidak ingin bermusuhan dengan kau Jaira. Tapi bahasa yang kita pakai mereka
telah lari ketakutan menghadapi pasukanmu,..” kata Jukamu.
Keesokan harinya Jukamu
sengaja datang menghadap Kepala Negeri untuk melaporkan hal-hal rutin
pemerintahan, Ia sengaja tidak melaporkan soal Gunung Kembar karena menunggu
reaksi Kepala Negeri.
“Ah, kebetulan Perdana
Menteri kemari hari ini. Ada hal lain yang perlu saya bicarakan,..” kata
Sudoba.
(Hmmm, pasti ini soal
penyerangan ke Gunung Kembar pikir Jukamu)
“Soal apakah itu Yang
Mulia,..” tanya Jukamu’
(Hmmm, pura-pura tidak
tahu dia, pikir Sudoba)
“Mungkin Perdana menteri
sudah mendengar hasil penyerangan ke Gunung Kembar itu,..” pancing Sudoba.
(Hmmm, dia memancing aku
nih, batin Jukamu)
“Saya belum mendengar
secara resmi kabar itu hanya selentingan kabar burung yang sampai ke telinga
saya. Karena itu saya sudah mengutus seseorang untuk memanggil Adipati
Rajapurwa untuk melaporkannya,..” jawab Jukamu.
(Mana mungkin kau tidak tahu kalau mengenai keponakanmu, pikir Sudoba)
“Hmmm, baiklah,.. Rupanya
gubernur Gurada dan anaknya yang tolol itu bukannya berhasil merebut hadiah
yang dirampok itu, tetapi malah pasukannya hancur lebur di Gunung Kembar,..”
kata Sudoba.
Wajah Sudoba menjadi
kelam, rahangnya mengeras pertanda jengkel. Jukamu mengangguk-angguk tapi tetap
diam tidak memberi tanggapan.
(Hmmm, dia kecewa berat,
pikir Jukamu)
“Tapi untungnya para
perampok itu kemudian bisa dihancurkan oleh Adipati Rajapurwa dengan pasukannya
dan membebaskan pasukan Megalung dan Gurada yang tertawan,..” lanjut Sudoba.
“Rupanya berita itu benar,
Yang Mulia,..”
“Ya,...kita patut
bersyukur atas keberhasilan Adipati Rajapurwa itu,..” kata Sudoba.
Ruangan itu tiba-tiba
menjadi kaku. Rasa syukur yang diucapkan Sudoba tidak diikuti dengan senyum
kebahagiaan melainkan dahi berkerut. Jukamu hanya mengangguk-mengangguk tanda
memahami situasi dan suasana batin Sudoba.
“Tapi kenapa tidak dari
dulu Adipati Rajapurwa itu menghancurkan perampok Gunung Kembar yang berada di
wilayahnya,..??” tanya Sudoba.
(Ini dia pokok
persoalannya. Dia mau mencari kesalahan Jaira, Dasar busuk!! Baiklah, aku akan
meladeninya, pikir Jukamu)
“Ya, dari laporannya
Adipati Rajapurwa harus membangun lebih dulu kekuatan pasukan Rajapurwa yang
hancur akibat pertempuran sebelumnya yang menewaskan Adipati yang lama. Dalam
masa membangun kekuatan itu Adipati Rajapurwa ini membangun hubungan yang baik
dengan rakyatnya sehingga dia dicintai rakyatnya. Dengan begiru para perampok
Gunung Kembar jadi segan berbuat kejahatan di Rajapurwa karena takut rakyat
akan membantu pasukan pemerintah,..” jelas Jukamu,
“Ya, ya, ya,.. Tapi
dengan begitu hadiah untuk saya yang menjadi sasaran para perampok itu,..!!”
geram Sudoba.
(Hmmmn, dia terang-terangan
menyalahkan Jaira, pikir Jukamu)
“Betul, Yang Mulia.
Karena itu saya memerintahkan Adipati Rajapurwa untuk melakukan penyerangan
habis-habisan ke markas Gunung Kembar untuk menjaga martabat Yang Mulia dan
kedaulatan negeri Klapa Getir,..” jawab Jukamu tangkas.
“Tapi,.. sebelum dia
menyerang dia kedatangan utusan dari Megalung yang mengatakan kalau dia tidak
boleh ikut campur dalam penyerangan yang akan dilakukan oleh pasukan Megalung
dibantu pasukan Gurada,..” lanjut Jukamu.
(Hmmm, bisa saja kau
berkelit, batin Sudoba)
“Rupanya dia mengambil
tindakan yang tepat. Setelah mengetahui serangan itu tidak berhasil dia lantas
melakukan serangan mendadak ke Gunung Kembar dan berhasil menghancurkan markas
Gunung Kembar serta membebaskan pasukan Megalung dan Gurada. Itu yang saya
dengar, Yang Mulia,..” kata Jukamu.
“Ya, memang begitu laporan
yang saya terima,.. Tapi kenapa sampai sekarang dia belum datang melaporkan
sendiri ke Kotaraja,..??” tanya Sudoba.
(Ah, masih saja dia mau
cari kesalahan Jaira, dasar...!!, pikir Jukamu)
“Saya tahu tabiat anak
itu. Dia tentu ingin menyelesaikan secara tuntas pekerjaan yang sudah
dilakukannya. Tentu dia sedang mengejar sisa-sisa pasukan Gunung Kembar dan
memastikan kemana mereka melarikan diri, bagi yang berhasil lolos,..” jelas
Jukamu.
“Baiklah,.. Kalau begitu
kita akan memberi penghargaan kepada Adipati Rajapurwa atas keberhasilannya
menghancurkan perampok Gunung Kembar. Saya akan mengirim utusan ke sana,..”
kata Sudoba mengakhiri.
Jukamu segera kembali ke
kediamannya dan menemui Jaira yang sudah menunggunya. Jukamu menceritakan jalannya
pertemuan dengan Kepala Negeri Sudoba dan hasil pembicaraannya.
“Jadi, ingat,..!! Apapun
yang disuguhkan kepadamu dengan tanda cap kenegaraan Klapa Getir jangan kamu
minum atau makan. Kemungkinan besar besar sudah dibubuhi racun untuk membunuhmu
secara perlahan,..” kata Jukamu.
“Baik paman,.. saya
mengerti,..” jawab Jaira.
“Dia tidak ingin ada yang
menjadi besar karena prestasinya kalau bukan dari keluarganya. Apalagi dari
keluarga kita karena aku dianggap menjadi penghalang dia menempatkan keluarganya,
seenaknya,..” jelas Jukamu.
“Baik paman, terimakasih
banyak,... Saya mohon diri,..” pamit Jaira.
Jaira segera pulang ke
Rajapurwa bersama prajurit pengiringnya dan tiba disana dua hari kemudian.
Jaira lalu menemui Lugasi yang memang ingin mendengar perkembangan terakhir
dari Kotaraja. Berkali-kali dia menggeleng-gelengkan kepala mendengar cerita
Jaira tentang pertemuan pamannya Perdana Menteri Jukamu dengan Kepala Negeri
Sudoba.
“Huh,.. Ingin rasanya
kubuat buntung tangan dan kaki orang itu,..!!” dengus Lugasi jengkel.
“Bukannya terimakasih,
malah mau mencelakakan,.. Dasar serakah,..!!” umpat Lugasi.
“Hmmm ya,.. kitalah yang
harus pandai-pandai bermain,..” kata Jaira.
“Lalu bagaimana caranya
agar kakak Jaira tidak minum anggur atau makan pemberian dari Kepala
Negeri,..??” tanya Lugasi.
“Belum tahu,... tapi
apakah adikku Lugasi punya cara,..??” Jaira balik bertanya.
Setelah berpikir sejenak,
Lugasi lalu membisikkan rencananya bagaimana agar tidak memakan atau minum
pemberian dari Kepala Negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.