Enam
Beledug Poruteng
Kita kembali melihat perjalanan Andragi dan
rombongannya.
Tentu anda masih ingat, setelah berpisah dengan
Lugasi, mereka menuju Poruteng dan dari sana ke desa Kenteng. Dari desa itu
mereka diantar oleh seorang anak menuju pesanggrahan Batutok, tempat kediaman kakek
Blakitem.
Memasuki wilayah itu, dari sebuah bukit yang agak
tinggi mereka melihat dengan jelas di hadapan mereka berdiri dengan gagah
dinding- dinding gunung batu karang yang menjulang tinggi seakan tembok raksasa
yang memisahkan dunia mereka berada dengan dunia di baliknya, yakni wilayah
provinsi Landipa. Sedangkan di arah sebaliknya, dimana mereka berada, terhampar dataran luas yang
sebagian hijau subur penuh pepohonan, sebagian berupa hamparan hijau tetumbuhan
perdu, sebagian berupa areal yang berwarna-warni penuh teumbuhan beraneka
warna, dan tampak pula sebuah telaga berwarna biru tersembul diantara
pepohonan. Betul-betul kombinasi alam yang unik. Tembok gunung batu raksasa itu
seakan sebagai pelindung alam di depannya agar tidak terusik.
Mereka terus berjalan melewati dataran dan lembah
yang subur itu hingga akhirnya mulai
memasuki kaki gunung batu karang. Memasuki kaki gunung itu, di sekeliling mereka hanya ada batu dan batu, meski sebenarnya dibalik
bebatuan itu tersembunyi petak-petak tanah subur yang terhalang dinding-dinding
batu. Akhirnya mereka tiba di sebuah bangunan seperti pendopo yang terbentuk
dari batu karang alami. Ada tangga-tangga batu menuju kesana yang seakan-akan memang disediakan
oleh alam.
Setiba disana mereka dijemput oleh seorang santri
yang mengantar mereka ke sebuah ruangan dalam gua batu alam yang tampak kokoh
namun asri. Anak yang mengantar mereka segera mohon diri, tetapi ditahan oleh
santri muda itu.
“Tunggu dulu, adikku. Ada oleh-oleh dari kakek
Blakitem untuk warga di desamu. Dan juga untukmu,” kata santri itu.
Ia mempersilakan mereka duduk lalu masuk ke dalam.
Sesaat kemudian ia keluar dan membawa dua buah bungkusan.
“Ini oleh-oleh dari kakek Blakitem. Di dalam
bungkusan ini ada obat-obatan untuk orang yang sakit perut dan demam. Berikan
itu kepada Kepala Desa Kenteng. Sedangkan bungkusan yang satu ini berisi
makanan dan minuman yang telah dicampur ramuan, untuk kamu. Kamu boleh
memakannya dimana kamu suka,” kata santri itu.
“Terimakasih kakak dan kakek Blakitem. Saya mohon
diri sekarang,” jawab anak itu.
Ia segera meninggalkan tempat itu setelah
mendapatkan ucapan terimakasih dari Andragi dan rombongannya. Santri itu kembali
ke dalam guna menyiapkan minuman bagi tamunya. Sesaat kemudian muncul seorang
pria tua berambut hitam panjang dengan sosok yang masih tegap meski kulitnya
yang berwarna hitam legam telah sangat keriput, tak bisa menyembunyikan umurnya
yang sudah sangat tua.
“Selamat datang, selamat datang tamu-tamuku, “
kata kakek hitam itu. “Saya Blakitem, sahabat kakek Bulesak. Sudah lama saya
menunggu kedatangan pak Paldrino, Anak Langit, Loyo, Bedul Brewok serta
keluarga pak Paldrino semua,” kata kakek Blakitem sambil melihat mereka satu
persatu kala menyebut nama-nama mereka.
Mereka heran, bagaimana mungkin kakek hitam ini
bisa mengetahui mereka satu-persatu, padahal mereka belum pernah bertemu
sebelumnya.
“Terimakasih
kakek Blakitem,” kata Paldrino. “Kami dianjurkan kakek Bulesak untuk datang
kemari meminta perlindungan dari kakek Blakitem.”
“Hohoho...Tidak! Tidak demikian!” sergah kakek Blakitem. “Saya
tidak bisa melindungi kalian! Justru kalianlah yang harus melindungi kami!”
matanya melotot.
Andragi dan kawan-kawan menjadi ciut melihat
perangai kakek Blakitem yang katanya murah hati itu. Kenapa kini dia tidak mau
menolong mereka?
“Kami mohon maaf,” kata Paldrino. “Kami hanyalah
orang-orang yang harus melarikan diri mencari tempat yang aman dari kejaran
pasukan pemerintah. Kami tidak bermaksud menyusahkan kakek Blakitem atau orang
lain,” jelas Paldrino.
“Nah, itu betul! Hohoho!” katanya sembari tertawa.
“Perlindungan hanya bisa dilakukan oleh diri kalian sendiri, tidak oleh
siapa-siapa. Semangat itu perlu kita tanam dalam diri kita. Dan melihat sosok
kalian, justru kalian bisa melindungi dan membantu orang lain yang menderita.
Saya mengharapkan itu!” jelasnya.
Diam-diam Andragi mulai memahami arah maksud kakek
Blakitem.
“Maaf, kakek Blakitem,” sela Andragi. “Untuk
maksud itu kami datang kemari, tetapi kami memerlukan tempat berpijak. Mungkin
untuk sementara kami boleh menumpang tidur di tanah kakek Blakitem,” kata
Andragi.
“Hohoho..! Tanah ini milik Sang Pencipta, bukan
milikku! Manusia sajalah yang menciptakan batas-batas sebagai tanda
kepemilikannya karena sifatnya yang rakus. Kalian boleh menggunakannya,
memeliharanya dan membangunnya. Tetapi jangan merusaknya! Sang Pemilik tentu
tidak senang jika miliknya dirusak bukan? Sebaliknya Dia tentu senang jika milikNya dirawat
dan dibangun demi kebaikan seluruh kehidupan yang telah diciptakanNya. hohoho..!”
jelas kakek Blakitem.
“Terimakasih kakek Blakitem,” kata Paldrino. “Kami
akan berusaha sebaik dan sekuat tenaga kami.”
“Nah, sekarang kita semua makan siang dulu.
Setelah itu kalian, terutama para anak-anak dan wanita bisa beristirahat di
tempat yang telah kami persiapkan. Nanti sore saya akan mengajak kalian melihat-lihat
daerah ini dan sekitarnya agar kita bisa merencanakan apa yang bisa kalian
perbuat,” kata kakek itu.
Mereka lalu diajak ke ruangan makan dan
diperkenalkan dengan beberapa santri senior yang diminta berkumpul oleh kakek
Blakitem. Mereka semua tampak ramah dan menyenangkan.
“Apa gerangan yang menahan kalian, sehingga baru
tiba sekarang?” tanya kakek Blakitem setelah selesai makan.
Paldrino menceritakan dengan rinci semua kejadian
yang mereka alami di Gunung Kembar, di Rajapurwa hingga pertemuan mereka dengan
Anak Setan. Kakek Blakitem tampak tersenyum gembira mendengar pengalaman mereka,
terutama sikap mereka yang suka menolong sesama, termasuk sikap si Anak Setan pemuda pendek gemuk itu.
“Mungkin benar, kalian memang telah dipilih oleh
Dewa Yang Maha Esa untuk melakukan perubahan di negeri yang kacau ini. Kau,
Anak Langit, tentu memiliki pengetahuan yang sangat maju dan berguna bagi
pembaruan yang lebih baik. Saya sependapat dengan kakek Bulesak! Kami
mengharapkan kalian bisa berbuat banyak,” kata kakek Blakitem.
Setelah mereka makan, dua orang santri, Primasa dan Dwisa, mengantar mereka keluar
melalui pintu lain di bagian samping belakang gua itu. Betapa terkejutnya
mereka melihat pemandangan yang begitu indah di bawah kaki mereka. Diantara
bebatuan yang keras itu terhampar lembah subur dan bukit-bukit landai seakan
menempel pada batu-batu karang. Di depannya terbentang sebuah danau biru yang
terlihat sepotong saat mereka berjalan dari desa Kenteng tadi. Para santri
mengajak mereka ke bukit-bukit landai persis di bawah gua. Disana, menempel
pada bukit-bukit karang, sederetan rumah yang berjarak rapi satu dengan
lainnya. Diantara rumah-rumah itu terdapat taman dan pepohonan yang tertata
rapi dan asri.
“Kami memiliki tiga tempat seperti ini di bagian lain
gunung karang ini. Sebagian dari kami tinggal disini, sedangkan yang lain di dua
tempat itu atau di bangunan pesanggrahan tadi. Pak Paldrino dan keluarga bisa
menempati satu rumah yang di tengah
itu, sedangkan yang lain silakan menggunakan tiga buah rumah di sampingnya.
Kami menempati rumah-rumah yang paling luar,” kata santri Primasa.
“Terimakasih, sobat Primasa,” kata Andragi.
Mereka lalu membagi tempat sesuai anjuran Primasa
dan kemudian beristirahat. Sore harinya seperti sudah dijanjikan, kakek
Blakitem datang dan mengajak Paldrino, Andragi, Loyo dan Brewok, ditemani oleh
Primasa dan Dwisa. Mereka menuju tepi danau dan dari sana memandang ke arah
desa Kenteng. Sambil duduk di bawah sebuah pohon yang rindang, kakek Blakitem
menceritakan keadaan di daerah pemukiman yang banyak dihuni para pendatang yang
miskin dan tersingkir itu.
“Sekarang daerah pemukiman disana itu telah
menjadi kumuh, kotor dan banyak penyakit. Mereka terlalu miskin untuk
memelihara dan mengatur kehidupan mereka sendiri. Aku sendiri hanya bisa
menyediakan tempat itu tanpa mampu memberikan yang lebih baik dari itu. Semula
kehidupan mereka di pemukiman itu agak lumayan dan sudah mulai membaik, tetapi
bencana banjir yang menimpa pemukiman itu telah menghancurkan semua yang sudah
mereka awali. Sekarang Kepala Desa Kenteng sedang mencoba membantu mereka agar
bisa kembali seperti sebelum banjir, tetapi kebanyakan mereka sudah patah
semangat hidupnya karena berkali-kali terkena musibah dalam hidupnya. Apa yang
bisa kita lakukan untuk menolong mereka, menurut kawan-kawan sekalian?” tanya
kakek Blakitem.
“Mungkin kita harus menatanya dari awal lagi,”
jawab Andragi.
“Maksud nak Andragi?” tanya kakek Blakitem.
“Menurut saya, ada baiknya kita tidak perlu berusaha mengembalikan
kepada keadaan seperti sebelumnya. Keadaan yang sudah porak poranda itu harus
menyadarkan mereka untuk memulai sesuatu yang baru dengan tujuan yang baru.
Bagaimanapun juga keadaan sudah tidak seperti dulu lagi. Karena itu kita harus mempersiapkan
ulang pemukiman mereka, merencanakan dengan seksama tata wilayah yang sehat serta
merencanakan ulang kehidupan ekonomi mereka,” jawab Andragi.
“Wah, saya tidak paham itu,” kata kakek Blakitem.
Ia memandang tajam ke arah Andragi.
“Tetapi
kedengarannya menarik soal merencanakan ulang kehidupan ekonomi mereka. Saya
sungguh sependapat dengan hal itu. Bukankah kita diajarkan untuk melihat sebuah
bencana atau penderitaan sebagai sebuah kesempatan untuk berubah? Ah, saya sendiri
kenapa jadi lupa dengan nasihat yang sering saya berikan kepada para santri,
terutama kepada murid saya yang seorang itu!” kata kakek Blakitem sambil
mengetuk-ngetukkan keningnya denga jari telunjuknya.
“Murid yang mana, kakek?” tanya Andragi.
“Ah, lupakan saja dia!” kata kakek itu menepis
pertanyaan Andragi.
“Ya, masalah ekonomi itulah masalah utama mereka,’
lanjut kakek Blakitem. “Saya tidak begitu paham soal kehidupan ekonomi.
Sementara itu mereka hanya bertani dan beternak kecil-kecilan, tidak memiliki
modal sama sekali. Sebagian malah menjadi pengemis atau atau lontang-lantung
saja, sekarang. Adakah cara menolong mereka? Bagaimana cara membangun ulang
kehidupan mereka?”
“Akan saya pikirkan sesuatu kakek. Tetapi ijinkan kami
melihat keadaan mereka dan mempelajari keadaan alam di wilayah kakek ini.
Mungkin ada yang bisa kita lakukan untuk menolong mereka,” jawab Andragi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.