Melihat Bencana Sebagai Peluang

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #60 )

Enam

Beledug Poruteng



Kita kembali melihat perjalanan Andragi dan rombongannya.

Tentu anda masih ingat, setelah berpisah dengan Lugasi, mereka menuju Poruteng dan dari sana ke desa Kenteng. Dari desa itu mereka diantar oleh seorang anak menuju pesanggrahan Batutok, tempat kediaman kakek Blakitem.

Memasuki wilayah itu, dari sebuah bukit yang agak tinggi mereka melihat dengan jelas di hadapan mereka berdiri dengan gagah dinding- dinding gunung batu karang yang menjulang tinggi seakan tembok raksasa yang memisahkan dunia mereka berada dengan dunia di baliknya, yakni wilayah provinsi Landipa. Sedangkan di arah sebaliknya, dimana mereka berada, terhampar dataran luas yang sebagian hijau subur penuh pepohonan, sebagian berupa hamparan hijau tetumbuhan perdu, sebagian berupa areal yang berwarna-warni penuh teumbuhan beraneka warna, dan tampak pula sebuah telaga berwarna biru tersembul diantara pepohonan. Betul-betul kombinasi alam yang unik. Tembok gunung batu raksasa itu seakan sebagai pelindung alam di depannya agar tidak terusik.

Mereka terus berjalan melewati dataran dan lembah yang subur  itu hingga akhirnya mulai memasuki kaki gunung batu karang. Memasuki kaki gunung itu, di sekeliling mereka hanya ada batu dan batu, meski sebenarnya dibalik bebatuan itu tersembunyi petak-petak tanah subur yang terhalang dinding-dinding batu. Akhirnya mereka tiba di sebuah bangunan seperti pendopo yang terbentuk dari batu karang alami. Ada tangga-tangga batu menuju  kesana yang seakan-akan memang disediakan oleh alam.

Setiba disana mereka dijemput oleh seorang santri yang mengantar mereka ke sebuah ruangan dalam gua batu alam yang tampak kokoh namun asri. Anak yang mengantar mereka segera mohon diri, tetapi ditahan oleh santri muda itu.

“Tunggu dulu, adikku. Ada oleh-oleh dari kakek Blakitem untuk warga di desamu. Dan juga untukmu,” kata santri itu.

Ia mempersilakan mereka duduk lalu masuk ke dalam. Sesaat kemudian ia keluar dan membawa dua buah bungkusan.

“Ini oleh-oleh dari kakek Blakitem. Di dalam bungkusan ini ada obat-obatan untuk orang yang sakit perut dan demam. Berikan itu kepada Kepala Desa Kenteng. Sedangkan bungkusan yang satu ini berisi makanan dan minuman yang telah dicampur ramuan, untuk kamu. Kamu boleh memakannya dimana kamu suka,” kata santri itu.

“Terimakasih kakak dan kakek Blakitem. Saya mohon diri sekarang,” jawab anak itu.

Ia segera meninggalkan tempat itu setelah mendapatkan ucapan terimakasih dari Andragi dan rombongannya. Santri itu kembali ke dalam guna menyiapkan minuman bagi tamunya. Sesaat kemudian muncul seorang pria tua berambut hitam panjang dengan sosok yang masih tegap meski kulitnya yang berwarna hitam legam telah sangat keriput, tak bisa menyembunyikan umurnya yang sudah sangat tua.

“Selamat datang, selamat datang tamu-tamuku, “ kata kakek hitam itu. “Saya Blakitem, sahabat kakek Bulesak. Sudah lama saya menunggu kedatangan pak Paldrino, Anak Langit, Loyo, Bedul Brewok serta keluarga pak Paldrino semua,” kata kakek Blakitem sambil melihat mereka satu persatu kala menyebut nama-nama mereka.

Mereka heran, bagaimana mungkin kakek hitam ini bisa mengetahui mereka satu-persatu, padahal mereka belum pernah bertemu sebelumnya.

 “Terimakasih kakek Blakitem,” kata Paldrino. “Kami dianjurkan kakek Bulesak untuk datang kemari meminta perlindungan dari kakek Blakitem.”

“Hohoho...Tidak!  Tidak demikian!” sergah kakek Blakitem. “Saya tidak bisa melindungi kalian! Justru kalianlah yang harus melindungi kami!” matanya melotot.

Andragi dan kawan-kawan menjadi ciut melihat perangai kakek Blakitem yang katanya murah hati itu. Kenapa kini dia tidak mau menolong mereka?

“Kami mohon maaf,” kata Paldrino. “Kami hanyalah orang-orang yang harus melarikan diri mencari tempat yang aman dari kejaran pasukan pemerintah. Kami tidak bermaksud menyusahkan kakek Blakitem atau orang lain,” jelas Paldrino.

“Nah, itu betul! Hohoho!” katanya sembari tertawa. “Perlindungan hanya bisa dilakukan oleh diri kalian sendiri, tidak oleh siapa-siapa. Semangat itu perlu kita tanam dalam diri kita. Dan melihat sosok kalian, justru kalian bisa melindungi dan membantu orang lain yang menderita. Saya mengharapkan itu!” jelasnya.

Diam-diam Andragi mulai memahami arah maksud kakek Blakitem.

“Maaf, kakek Blakitem,” sela Andragi. “Untuk maksud itu kami datang kemari, tetapi kami memerlukan tempat berpijak. Mungkin untuk sementara kami boleh menumpang tidur di tanah kakek Blakitem,” kata Andragi.

“Hohoho..! Tanah ini milik Sang Pencipta, bukan milikku! Manusia sajalah yang menciptakan batas-batas sebagai tanda kepemilikannya karena sifatnya yang rakus. Kalian boleh menggunakannya, memeliharanya dan membangunnya. Tetapi jangan merusaknya! Sang Pemilik tentu tidak senang jika miliknya dirusak bukan? Sebaliknya Dia tentu senang jika milikNya dirawat dan dibangun demi kebaikan seluruh kehidupan yang telah diciptakanNya. hohoho..!” jelas kakek Blakitem.

“Terimakasih kakek Blakitem,” kata Paldrino. “Kami akan berusaha sebaik dan sekuat tenaga kami.”

“Nah, sekarang kita semua makan siang dulu. Setelah itu kalian, terutama para anak-anak dan wanita bisa beristirahat di tempat yang telah kami persiapkan. Nanti sore saya akan mengajak kalian melihat-lihat daerah ini dan sekitarnya agar kita bisa merencanakan apa yang bisa kalian perbuat,” kata kakek itu.

Mereka lalu diajak ke ruangan makan dan diperkenalkan dengan beberapa santri senior yang diminta berkumpul oleh kakek Blakitem. Mereka semua tampak ramah dan menyenangkan.

“Apa gerangan yang menahan kalian, sehingga baru tiba sekarang?” tanya kakek Blakitem setelah selesai makan.

Paldrino menceritakan dengan rinci semua kejadian yang mereka alami di Gunung Kembar, di Rajapurwa hingga pertemuan mereka dengan Anak Setan. Kakek Blakitem tampak tersenyum gembira mendengar pengalaman mereka, terutama sikap mereka yang suka menolong sesama, termasuk sikap si Anak Setan pemuda pendek gemuk itu.

“Mungkin benar, kalian memang telah dipilih oleh Dewa Yang Maha Esa untuk melakukan perubahan di negeri yang kacau ini. Kau, Anak Langit, tentu memiliki pengetahuan yang sangat maju dan berguna bagi pembaruan yang lebih baik. Saya sependapat dengan kakek Bulesak! Kami mengharapkan kalian bisa berbuat banyak,” kata kakek Blakitem.

Setelah mereka makan,  dua orang santri,  Primasa dan Dwisa, mengantar mereka keluar melalui pintu lain di bagian samping belakang gua itu. Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan yang begitu indah di bawah kaki mereka. Diantara bebatuan yang keras itu terhampar lembah subur dan bukit-bukit landai seakan menempel pada batu-batu karang. Di depannya terbentang sebuah danau biru yang terlihat sepotong saat mereka berjalan dari desa Kenteng tadi. Para santri mengajak mereka ke bukit-bukit landai persis di bawah gua. Disana, menempel pada bukit-bukit karang, sederetan rumah yang berjarak rapi satu dengan lainnya. Diantara rumah-rumah itu terdapat taman dan pepohonan yang tertata rapi dan asri.

“Kami memiliki tiga tempat seperti ini di bagian lain gunung karang ini. Sebagian dari kami tinggal disini, sedangkan yang lain di dua tempat itu atau di bangunan pesanggrahan tadi. Pak Paldrino dan keluarga bisa menempati   satu rumah yang di tengah itu, sedangkan yang lain silakan menggunakan tiga buah rumah di sampingnya. Kami menempati rumah-rumah yang paling luar,” kata santri Primasa.

“Terimakasih, sobat Primasa,” kata Andragi.

Mereka lalu membagi tempat sesuai anjuran Primasa dan kemudian beristirahat. Sore harinya seperti sudah dijanjikan, kakek Blakitem datang dan mengajak Paldrino, Andragi, Loyo dan Brewok, ditemani oleh Primasa dan Dwisa. Mereka menuju tepi danau dan dari sana memandang ke arah desa Kenteng. Sambil duduk di bawah sebuah pohon yang rindang, kakek Blakitem menceritakan keadaan di daerah pemukiman yang banyak dihuni para pendatang yang miskin dan tersingkir itu.

“Sekarang daerah pemukiman disana itu telah menjadi kumuh, kotor dan banyak penyakit. Mereka terlalu miskin untuk memelihara dan mengatur kehidupan mereka sendiri. Aku sendiri hanya bisa menyediakan tempat itu tanpa mampu memberikan yang lebih baik dari itu. Semula kehidupan mereka di pemukiman itu agak lumayan dan sudah mulai membaik, tetapi bencana banjir yang menimpa pemukiman itu telah menghancurkan semua yang sudah mereka awali. Sekarang Kepala Desa Kenteng sedang mencoba membantu mereka agar bisa kembali seperti sebelum banjir, tetapi kebanyakan mereka sudah patah semangat hidupnya karena berkali-kali terkena musibah dalam hidupnya. Apa yang bisa kita lakukan untuk menolong mereka, menurut kawan-kawan sekalian?” tanya kakek Blakitem.

“Mungkin kita harus menatanya dari awal lagi,” jawab Andragi.

“Maksud nak Andragi?” tanya kakek Blakitem.

“Menurut saya, ada baiknya kita tidak perlu berusaha mengembalikan kepada keadaan seperti sebelumnya. Keadaan yang sudah porak poranda itu harus menyadarkan mereka untuk memulai sesuatu yang baru dengan tujuan yang baru. Bagaimanapun juga keadaan sudah tidak seperti dulu lagi. Karena itu kita harus mempersiapkan ulang pemukiman mereka, merencanakan dengan seksama tata wilayah yang sehat serta merencanakan ulang kehidupan ekonomi mereka,” jawab Andragi.

“Wah, saya tidak paham itu,” kata kakek Blakitem.

Ia memandang tajam ke arah Andragi.

 “Tetapi kedengarannya menarik soal merencanakan ulang kehidupan ekonomi mereka. Saya sungguh sependapat dengan hal itu. Bukankah kita diajarkan untuk melihat sebuah bencana atau penderitaan sebagai sebuah kesempatan untuk berubah? Ah, saya sendiri kenapa jadi lupa dengan nasihat yang sering saya berikan kepada para santri, terutama kepada murid saya yang seorang itu!” kata kakek Blakitem sambil mengetuk-ngetukkan keningnya denga jari telunjuknya.

“Murid yang mana, kakek?” tanya Andragi.

“Ah, lupakan saja dia!” kata kakek itu menepis pertanyaan Andragi.

“Ya, masalah ekonomi itulah masalah utama mereka,’ lanjut kakek Blakitem. “Saya tidak begitu paham soal kehidupan ekonomi. Sementara itu mereka hanya bertani dan beternak kecil-kecilan, tidak memiliki modal sama sekali. Sebagian malah menjadi pengemis atau atau lontang-lantung saja, sekarang. Adakah cara menolong mereka? Bagaimana cara membangun ulang kehidupan mereka?”

“Akan saya pikirkan sesuatu kakek. Tetapi ijinkan kami melihat keadaan mereka dan mempelajari keadaan alam di wilayah kakek ini. Mungkin ada yang bisa kita lakukan untuk menolong mereka,” jawab Andragi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA