Dua hari kemudian, sejak pagi-pagi Andragi dan Loyo menuju sebuah bukit tak jauh dari desa itu dan dengan memanjat sebuah pohon yang tinggi keduanya bergantian melihat ke arah jalan yang menuju Megalung melalui teropong milik Andragi. Dengan mata sakti itu mereka bisa melihat benda yang sangat jauh yang tidak tampak oleh mata telanjang.
Seharian itu belum tampak
rombongan yang mereka harapkan, tetapi menjelang sore hari Andragi melihat
bintik-bintik kecil yang bergerak pelan di kejauhan.
“Akhirnya mereka
datang,..” katanya kepada Loyo sambil menyodorkan teropong kepadanya.
“Ya,... benar. Mereka
datang,.. hmm jumlahnya cukup banyak,..” kata Loyo.
“Ada berapa
kira-kira,..??” tanya Andragi.
“Saya kira sekitar
seratusan orang prajurit yang mengawalnya. Pengawalan yang sangat kuat,..”
jawab Loyo menyerahkan kembali teropong ke Andragi.
“Ya,.. sangat kuat. Juga
ada dua gerobag,..” kata Andragi dari balik teropong.
Mereka buru-buru turun
dari pohon dan bergegas kembali ke pendopo rumah Kepala Desa. Kesembilan orang
itu lalu diberi tahu untuk bersiap diri sebaik-baiknya.
“Mereka sudah terlihat.
Dengan mata saktinya sobat Andragi telah melihat mereka datang,..” lapor Loyo.
“Berapa lama mereka akan
sampai ke sini,..??” tanya Brewok yang sudah tahu kesaktian Andragi.
“Sekitar 2 jam, dan
jumlah pengawalnya sekitar seratusan dengan membawa dua gerobag,..” jawab
Andragi.
“Apakah bisa dipastikan
jumlah mereka,...??” tanya Angkuso agak menyangsikan.
“Hmm... baiklah. Mari
tolong bantu saya menghitung berapa jumlah mereka, mumpung masih banyak
waktu,..” lawab Andragi.
Mereka semua pergi menuju
pohon besar itu dan bergantian memanjat bersama Andragi yang tetap diatas
pohon. Mula-mula Angkuso diminta melihat ke arah yang ditunjuk oleh Andragi.
“Saya tak melihat apapun
disana,..” kata Angkuso.
“Coba pakai ini, seperti
saya memakainya,..” kata Andragi sambil mengulungkan teropongnya.
Begitu dipakai teropong
itu betapa terkejutnya Angkuso karena dia bisa melihat ada rombongan sekecil
semut yang bergerak menuju arah mereka. Dia coba menghitung jumlahnya .
“Hai,..Luar Biasa..!!
Saya bisa melihat mereka datang,..!!” seru Angkuso.
Bergantian hal itu
dilakukan oleh Balmis, Codet, Huntari dan Huntaro. Merekapun terheran-heran melihat
kesaktian Andragi dengan alat ajaibnya.
“Tidak heran kalau guru mereka Sehut menyebut
sobat Andragi ini gurunya yang punya banyak kesaktian,..” bisik Huntari kepada
Huntaro.
Setelah puas melihat melalui teropong itu mereka
bergegas kembali ke pendopo rumah kepala desa dan mempersiapkan segala yang
diperlukan.
Benar saja! Selepas
matahari tenggelam terdengar derap langkah dan suara orang memasuki desa itu.
“BRENTII..!!,..” teriak
seseorang.
“Kita akan menginap di
desa ini,..! Panggil kepala desa kemari,..!!” perintah orang itu yang jadi
komandan pasukan pengawal.
Dua orang prajurit segera
berlari menuju pendopo rumah kepala desa yang lampu sentirnya sudah dinyalakan, sedangkan rumah lainnya tampak gelap.
“Hai kepala desa, cepat
ikut kami,..!! “perintah seorang prajurit.
Loyo membuka pintu dan berlari-lari
kecil mengikuti dua orang prajurit itu menuju komandan mereka. Dari jauh diikuti
Huntari dan Huntaro.
“He, kepala desa..!! Kami
prajurit Megalung akan menginap disini. Suruh pendudukmu menyiapkan makanan dan
membagikan minuman kepada semua prajurit pengawal,..!!” perintah komandan itu.
“Ba..ik ko..mandan,...”
kata Loyo berpura-pura gugup.
Sekilas dilihatnya
Rampoli ada di dekat seseorang yang diduganya tentu Laja. Rampoli terlihat
mengangguk tipis.
Loyo segera kembali ke
pendopo desa dan mengumpukan para “penduduknya” untuk membagikan minuman dan
menyiapkan makanan. Inilah kesempatan yang memang ditunggu-tunggu. Mereka lalu menghangatkan
wedang jahe yang memang sudah dipersiapkan sebelumnya dan dibubuhi obat tidur
yang terbuat dari dedaunan sejenis kecubung dan akar-akaran tuba. Setelah siap
mereka lalu membagikan kepada para prajurit yang segera meminumnya dengan lahap
karena haus dan lelah.
Pada saat menghidangkan
minuman itu Rampoli sengaja minta ijin ke Laja untuk buang air besar katanya.
Tanpa curiga Laja mengiyakan. Rampoli lalu menyelinap ke balik kerimbunan semak
dan pepohonan dan menuju ke belakang rumah kepala desa. Disana dia mengambil
sebuah mangkuk dan mengisinya dengam wedang jahe yang tidak dibubuhi obat tidur
yang sudah diberi tanda khusus oleh Loyo. Rampoli lalu menyelinap dan kembali
ke dekat Laja sambil membawa minumannya.
“Ah, rupanya sobat
Rampoli sudah membawa wedang jahe sendiri. Ini saya sudah mintakan juga sebuah
mangkuk untukmu,..” kata Laja.
“Eh, iya. Sambil menuju
kesini tadi sengaja saya minta sebuah mangkuk wedang jahe kepada penduduk yang
melayani supaya kita dapat jatah dua. Wedang jahe yang satu itu buat sobat Laja
saja karena baik untuk kesehatan sobat agar tidak kambuh lagi,..” jawab
Rampoli.
“Oh, baiklah kalau
begitu,..” kata Laja tanpa ragu meraihnya dan meminumnya.
Di bagian lain komandan
pengawal dan para pimpinan prajurit lebih memilih minum tuak dari pada minuman
rakyat wedang jahe itu. Jumlah mereka ada sepuluh orang. Mereka menolak dengan
kasar saat ditawari wedang jahe.
“He..!! bawa pergi
minuman itu. Kasih untuk para prajurit. Kalau sudah cepat siapkan makan malam
buat mereka,..!!” hardik sang komandan.
“Para penduduk” itu
segera menghilang ke rumah masing-masing setelah menghidangkan miuman wedang
jahe bercampur obat tidur. Mereka bersiap melakukan penyerangan.
Beberapa saat kemudian
para pimpinan prajurit itu tiba-tiba sadar kalau sudah tidak terdengar celoteh
para prajurit, karena semuanya jatuh tertidur. Laja juga tertidur. Hanya
Rampoli yang pura-pura tertidur. Diam-diam dia menyiapkan senjatanya untuk
bertempur.
“He,..!! Kenapa semua
prajurit kita tertidur?? Mereka telah diracun oleh penduduk sini. Kurang
ajar..!! Ayo kita bunuh mereka semua,..!!” teriak komandan pengawal.
Mereka berlari menyerbu
pendopo desa. Tetapi tanpa setahu mereka tiba-tiba berkelebat empat bayangan
dengan cepat menyerang para pemimpin prajurit. Tanpa punya kesempatan mengelak
atau menangkis empat orang dari pimpinan prajurit itu sudah tumbang dengan
leher hampir putus.
Sisanya segera membentuk
lingkaran sebagai pertahanan. Mereka tidak berani ssecara gegabah menyerang ke
rumah penduduk. Mereka sadar kalau bukan penduduk biasa yang mereka hadapi.
“Menyerahlah, sebelum
kalian mati dengan leher terputus,..!!” terdengar teriakan nyaring dari Lugasi
entah dari arah mana suara itu datang.
“Keluarlah kau
pengecut,..!!!’ teriak Komandan pasukan itu.
Begitu suara itu
menghilang berlompatan empat orang menyerang para pimpinan prajurit. Mereka
tidak lain Balmis, Codet, Loyo dan Brewok. Segera terjadi pertempuran empat
lawan enam. Tetapi belum sempat kedua pimpinan prajurit yang tidak mendapat
lawan bisa membantu, tiba-tiba berkelebat empat bayangan yang menggelinding
cepat lalu melenting tinggi dan diluar sadar mereka leher komandan pasukan itu
telah tertebas dan tiga orang pimpinan prajurit roboh mengelosor terkena
totokan.
Kedua pimpinan prajurit
yang tersisa segera menyerang membabi buta seperti kesetanan. Brewok, Loyo,
Balmis dan Codet menghindar tetapi tetap dalam posisi memgurung kedua pimpinan
prajurit itu.
“Menyerahlah sebelum
kalian mati,.!!” kata Lugasi.
“Tidak,..!! Bagaimanapun
kami harus menang atau mati,..!!” jawab seorang dari keduanya sambil kembali
menyerang dengan kalap.
Serangan membabi buta itu
dengan tenang dihindari oleh Balmis dan kawan-kawan apalagi musuh mereka
tinggal dua orang saja. Karena itu pertahanan keduanya sering terbuka ketika
serangan mereka bisa dihindari, Dalam beberapa jurus saja Huntari dan Huntaro
sudah dapat merubuhkan keduanya dengan totokan yang melumpuhkan.
Pertempuran pun terhenti
dengan menyisakan lima orang pimpinan prajurit yang tertotok tak berdaya.
Mereka lalu didudukkan dengan saling beradu punggung.
“Nah,.. terpaksa kalian
kami lumpuhkan karena tidak mau menyerah,..” kata Lugasi.
“Bunuhlah kami,..!” kata
seorang yang tertotok.
“Hiihihi,.. bukannya
menyerah atau minta dibebaskan, kau malah minta dibunuh. Sodah bosan hidup
ya,..??” tanya Lugasi.
“Bunuhlah kami,... cepat
bunuh kami,..!!” jawab seorang yang lain.
“Iya, ... bunuh saja
kami,..” sahut yang lain.
“Lho, kalian akan kami
bebaskan kalau menyerah,..?? kata Lugasi bertanya-tanya.
“Percuma,... kami juga
akan mati,...” jawab seorang yang paling tua diantara mereka.
“Lho,.. kenapa
begitu,..??” tanya Lugasi.
“Kalaupun bebas kami akan
dihukum mati oleh Adipati Cadipa karena gagal menjalankan tugas,..” jawab
pimpinan prajurit itu.
“Oooo,..Jadi kalau kalian
kami bebaskan mau apa kalian,..??” tanya Lugasi.
“Kami tidak tahu,...kami
tak bisa kembali,.. Karena itu bunuhlah kami,..” pinta pimpinan prajurit itu.
“Hmmm, kenapa tidak jadi
perampok saja,..??” tanya Lugasi.
“Kami ini prajurit,...
kami tidak biasa merampok,..” jawab orang itu.
“Ah, masa,...!? Bukankah kalian prajurit yang melindungi
Adipati Cadipa memeras harta rakyat,..!! Ini buktinya,..!! Jadi, kalian selama
ini sudah menjadi perampok,..!! Perampok harta rakyat,..!! Tahu,..!!” bentak
Lugasi dengan keras.
Lugasi sangat membenci
orang pemerintah dan para tentaranya karena hal-hal seperti ini. Dia kenal
betul penderitaan rakyat jelata yang semakin sengsara atas ulah orang-orang
pemerintah.
“Kami hanya ...
menjalankan tugas,.... Kalau tidak... kamilah yang dihukum,..” jawab pimpinan
prajurit itu.
“Hmm, baiklah..” kata
Andragi menyela.
“Kalian akan kami
bebaskan dan terserah kalian mau kemana. Kami masih punya banyak pekerjaan
mengembalikan harta ini kepada rakyat yang telah kalian peras. Kami bukan
perampok harta rakyat, ...” lanjut Andragi.
Dengan isyarat dia lalu
meminta Lugasi, Angkuso, Huntari dan Huntaro membebaskan ke empat pimpinan
prajurit itu dari totokan. Setelah itu mereka segera menuju gerobag yang
membawa barang-barang berharga hadiah bagi kepala negeri Sodoba.
Para pimpinan prajurit
itu duduk terbengong-bengong tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka
bingung kenapa mereka dibebaskan begitu saja. Dengan bisik-bisik mereka
berunding.
“Sebentar tuan,..!!”
teriak pimpinan prajurit yang dituakan sambil berlari mendekati Andragi dan
kawan-kawannya yang sedang mengelilingi kedua gerobag.
“Ya, ada apa,..??” tanya
Andragi berbalik.
“Kami ingin bicara
tuan,..” kata orang itu sambil berbalik kembali ke teman-temanya.
Andragi dan kawan-kawan
pun segera mengikuti menuju tempat para pimpinan prajurit yang masih terduduk
di tempatnya meski sudah dibebaskan dari totokan.
“Kami tidak bisa pulang
dan kami tidak tahu hendak pergi kemana. Bolehkah kami ikut dengan kelompok
tuan-tuan,..??” tanya orang yang dituakan.
“Kenapa begitu,..kami
tidak kenal kalian dan kalian adalah prajurit yang biasa memeras rakyat,..!!”
sergah Lugasi.
“Kami pikir kelompok tuan
adalah kelompok yang kuat dan baik. Kami bisa berlindung dan mungkin bisa
menebus kesalahan-kesalahan kami selama ini,.. tapi,...??”
“Tapi apa,..??” tanya
Andragi.
“Tapi kami harus terbunuh
disini,..” jawab seorang yang lain.
“Kenapa begitu,..??:
tanya Andragi.
“Supaya keluarga kami
aman, tidak diapa-apakan. Kalau kami melarikan diri tentu mereka akan disiksa
dan dibuat sengsara,..” jawab yang dituakan.
Memang itulah dilema
seorang prajurit. Mereka hanya sebuah bagian dari mesin penggerak kekuasaan.
Mereka tak bisa menjadi diri mereka sendiri yang bebas menentukan apa yang
ingin mereka lakukan. Andragi melihat kesulitan mereka itu. Memang hanya ada
satu pilihan bagi mereka sekarang yakni MATI. Mati dalam pertempuran atau
pulang dan mati dihukum. Kalau melarikan diri, anak istri dan keluarga mereka
akan disiksa dan mendapat perlakuan yang menyakitkan.
“Hmm, baiklah,... tapi
kalian harus menunjukkan niat yang sungguh-sungguh karena kita sedang
memperjuangkan keadilan bagi rakyat. Kalau kita berhasil suatu saat kalian bisa
kumpul lagi dengan keluarga kalian tanpa perlu takut, dan menjadi warga yang
dihormati,..” jelas Andragi.
“Terimakasih banyak
tuan,..” jawab mereka hampir serempak.
“Jangan panggil kami
tuan, sebut saja sobat,..” kata Andragi.
Andragi lalu
memperkenalkan satu persatu teman-temannya kepada para pimpinan prajurit yang
menjadi anggota baru mereka.
“Nah karena kalian telah
dinyatakan mati maka kalian harus berganti nama. Saya beri nama saja Prasa,
Prawa, Prati, Pratur, Prama,..” kata Andragi
sambil menunjuk mereka masing-masing.
“Jangan khawatir, nama
asli kalian akan bisa digunakan kembali kalau perjuangan kita berhasil,..”
lanjut Andragi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.