Merampok Harta Rampasan

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #82 )


Dua hari kemudian,
sejak pagi-pagi Andragi dan Loyo menuju sebuah bukit tak jauh dari desa itu dan dengan memanjat sebuah pohon yang tinggi keduanya bergantian melihat ke arah jalan yang menuju Megalung melalui teropong milik Andragi. Dengan mata sakti itu mereka bisa melihat benda yang sangat jauh yang tidak tampak oleh mata telanjang.

Seharian itu belum tampak rombongan yang mereka harapkan, tetapi menjelang sore hari Andragi melihat bintik-bintik kecil yang bergerak pelan di kejauhan.

“Akhirnya mereka datang,..” katanya kepada Loyo sambil menyodorkan teropong kepadanya.

“Ya,... benar. Mereka datang,.. hmm jumlahnya cukup banyak,..” kata Loyo.

“Ada berapa kira-kira,..??” tanya Andragi.

“Saya kira sekitar seratusan orang prajurit yang mengawalnya. Pengawalan yang sangat kuat,..” jawab Loyo menyerahkan kembali teropong ke Andragi.

“Ya,.. sangat kuat. Juga ada dua gerobag,..” kata Andragi dari balik teropong.

Mereka buru-buru turun dari pohon dan bergegas kembali ke pendopo rumah Kepala Desa. Kesembilan orang itu lalu diberi tahu untuk bersiap diri sebaik-baiknya.

“Mereka sudah terlihat. Dengan mata saktinya sobat Andragi telah melihat mereka datang,..” lapor Loyo.

“Berapa lama mereka akan sampai ke sini,..??” tanya Brewok yang sudah tahu kesaktian Andragi.

“Sekitar 2 jam, dan jumlah pengawalnya sekitar seratusan dengan membawa dua gerobag,..” jawab Andragi.

“Apakah bisa dipastikan jumlah mereka,...??” tanya Angkuso agak menyangsikan.

“Hmm... baiklah. Mari tolong bantu saya menghitung berapa jumlah mereka, mumpung masih banyak waktu,..” lawab Andragi.

Mereka semua pergi menuju pohon besar itu dan bergantian memanjat bersama Andragi yang tetap diatas pohon. Mula-mula Angkuso diminta melihat ke arah yang ditunjuk oleh Andragi.

“Saya tak melihat apapun disana,..” kata Angkuso.

“Coba pakai ini, seperti saya memakainya,..” kata Andragi sambil mengulungkan teropongnya.

Begitu dipakai teropong itu betapa terkejutnya Angkuso karena dia bisa melihat ada rombongan sekecil semut yang bergerak menuju arah mereka. Dia coba menghitung jumlahnya .

“Hai,..Luar Biasa..!! Saya bisa melihat mereka datang,..!!” seru Angkuso.

Bergantian hal itu dilakukan oleh Balmis, Codet, Huntari dan Huntaro. Merekapun terheran-heran melihat kesaktian Andragi dengan alat ajaibnya.

 “Tidak heran kalau guru mereka Sehut menyebut sobat Andragi ini gurunya yang punya banyak kesaktian,..” bisik Huntari kepada Huntaro.

Setelah puas melihat melalui teropong itu mereka bergegas kembali ke pendopo rumah kepala desa dan mempersiapkan segala yang diperlukan.

Benar saja! Selepas matahari tenggelam terdengar derap langkah dan suara orang memasuki desa itu.

“BRENTII..!!,..” teriak seseorang.

“Kita akan menginap di desa ini,..! Panggil kepala desa kemari,..!!” perintah orang itu yang jadi komandan pasukan pengawal.

Dua orang prajurit segera berlari menuju pendopo rumah kepala desa yang lampu sentirnya sudah dinyalakan, sedangkan rumah lainnya tampak gelap.

“Hai kepala desa, cepat ikut kami,..!! “perintah seorang prajurit.

Loyo membuka pintu dan berlari-lari kecil mengikuti dua orang prajurit itu menuju komandan mereka. Dari jauh diikuti Huntari dan Huntaro.

“He, kepala desa..!! Kami prajurit Megalung akan menginap disini. Suruh pendudukmu menyiapkan makanan dan membagikan minuman kepada semua prajurit pengawal,..!!” perintah komandan itu.

“Ba..ik ko..mandan,...” kata Loyo berpura-pura gugup.

Sekilas dilihatnya Rampoli ada di dekat seseorang yang diduganya tentu Laja. Rampoli terlihat mengangguk tipis.

Loyo segera kembali ke pendopo desa dan mengumpukan para “penduduknya” untuk membagikan minuman dan menyiapkan makanan. Inilah kesempatan yang memang ditunggu-tunggu. Mereka lalu menghangatkan wedang jahe yang memang sudah dipersiapkan sebelumnya dan dibubuhi obat tidur yang terbuat dari dedaunan sejenis kecubung dan akar-akaran tuba. Setelah siap mereka lalu membagikan kepada para prajurit yang segera meminumnya dengan lahap karena haus dan lelah.

Pada saat menghidangkan minuman itu Rampoli sengaja minta ijin ke Laja untuk buang air besar katanya. Tanpa curiga Laja mengiyakan. Rampoli lalu menyelinap ke balik kerimbunan semak dan pepohonan dan menuju ke belakang rumah kepala desa. Disana dia mengambil sebuah mangkuk dan mengisinya dengam wedang jahe yang tidak dibubuhi obat tidur yang sudah diberi tanda khusus oleh Loyo. Rampoli lalu menyelinap dan kembali ke dekat Laja sambil membawa minumannya.

“Ah, rupanya sobat Rampoli sudah membawa wedang jahe sendiri. Ini saya sudah mintakan juga sebuah mangkuk untukmu,..” kata Laja.

“Eh, iya. Sambil menuju kesini tadi sengaja saya minta sebuah mangkuk wedang jahe kepada penduduk yang melayani supaya kita dapat jatah dua. Wedang jahe yang satu itu buat sobat Laja saja karena baik untuk kesehatan sobat agar tidak kambuh lagi,..” jawab Rampoli.

“Oh, baiklah kalau begitu,..” kata Laja tanpa ragu meraihnya dan meminumnya.

Di bagian lain komandan pengawal dan para pimpinan prajurit lebih memilih minum tuak dari pada minuman rakyat wedang jahe itu. Jumlah mereka ada sepuluh orang. Mereka menolak dengan kasar saat ditawari wedang jahe.

“He..!! bawa pergi minuman itu. Kasih untuk para prajurit. Kalau sudah cepat siapkan makan malam buat mereka,..!!” hardik sang komandan.

“Para penduduk” itu segera menghilang ke rumah masing-masing setelah menghidangkan miuman wedang jahe bercampur obat tidur. Mereka bersiap melakukan penyerangan.

Beberapa saat kemudian para pimpinan prajurit itu tiba-tiba sadar kalau sudah tidak terdengar celoteh para prajurit, karena semuanya jatuh tertidur. Laja juga tertidur. Hanya Rampoli yang pura-pura tertidur. Diam-diam dia menyiapkan senjatanya untuk bertempur.

“He,..!! Kenapa semua prajurit kita tertidur?? Mereka telah diracun oleh penduduk sini. Kurang ajar..!! Ayo kita bunuh mereka semua,..!!” teriak komandan pengawal.

Mereka berlari menyerbu pendopo desa. Tetapi tanpa setahu mereka tiba-tiba berkelebat empat bayangan dengan cepat menyerang para pemimpin prajurit. Tanpa punya kesempatan mengelak atau menangkis empat orang dari pimpinan prajurit itu sudah tumbang dengan leher hampir putus.

Sisanya segera membentuk lingkaran sebagai pertahanan. Mereka tidak berani ssecara gegabah menyerang ke rumah penduduk. Mereka sadar kalau bukan penduduk biasa yang mereka hadapi.

“Menyerahlah, sebelum kalian mati dengan leher terputus,..!!” terdengar teriakan nyaring dari Lugasi entah dari arah mana suara itu datang.

“Keluarlah kau pengecut,..!!!’ teriak Komandan pasukan itu.

Begitu suara itu menghilang berlompatan empat orang menyerang para pimpinan prajurit. Mereka tidak lain Balmis, Codet, Loyo dan Brewok. Segera terjadi pertempuran empat lawan enam. Tetapi belum sempat kedua pimpinan prajurit yang tidak mendapat lawan bisa membantu, tiba-tiba berkelebat empat bayangan yang menggelinding cepat lalu melenting tinggi dan diluar sadar mereka leher komandan pasukan itu telah tertebas dan tiga orang pimpinan prajurit roboh mengelosor terkena totokan.

Kedua pimpinan prajurit yang tersisa segera menyerang membabi buta seperti kesetanan. Brewok, Loyo, Balmis dan Codet menghindar tetapi tetap dalam posisi memgurung kedua pimpinan prajurit itu.

“Menyerahlah sebelum kalian mati,.!!” kata Lugasi.

“Tidak,..!! Bagaimanapun kami harus menang atau mati,..!!” jawab seorang dari keduanya sambil kembali menyerang dengan kalap.

Serangan membabi buta itu dengan tenang dihindari oleh Balmis dan kawan-kawan apalagi musuh mereka tinggal dua orang saja. Karena itu pertahanan keduanya sering terbuka ketika serangan mereka bisa dihindari, Dalam beberapa jurus saja Huntari dan Huntaro sudah dapat merubuhkan keduanya dengan totokan yang melumpuhkan.

Pertempuran pun terhenti dengan menyisakan lima orang pimpinan prajurit yang tertotok tak berdaya. Mereka lalu didudukkan dengan saling beradu punggung.

“Nah,.. terpaksa kalian kami lumpuhkan karena tidak mau menyerah,..” kata Lugasi.

“Bunuhlah kami,..!” kata seorang yang tertotok.

“Hiihihi,.. bukannya menyerah atau minta dibebaskan, kau malah minta dibunuh. Sodah bosan hidup ya,..??” tanya Lugasi.

“Bunuhlah kami,... cepat bunuh kami,..!!” jawab seorang yang lain.

“Iya, ... bunuh saja kami,..” sahut yang lain.

“Lho, kalian akan kami bebaskan kalau menyerah,..?? kata Lugasi bertanya-tanya.

“Percuma,... kami juga akan mati,...” jawab seorang yang paling tua diantara mereka.

“Lho,.. kenapa begitu,..??” tanya Lugasi.

“Kalaupun bebas kami akan dihukum mati oleh Adipati Cadipa karena gagal menjalankan tugas,..” jawab pimpinan prajurit itu.

“Oooo,..Jadi kalau kalian kami bebaskan mau apa kalian,..??” tanya Lugasi.

“Kami tidak tahu,...kami tak bisa kembali,.. Karena itu bunuhlah kami,..” pinta pimpinan prajurit itu.

“Hmmm, kenapa tidak jadi perampok saja,..??” tanya Lugasi.

“Kami ini prajurit,... kami tidak biasa merampok,..” jawab orang itu.

“Ah, masa,...!?   Bukankah kalian prajurit yang melindungi Adipati Cadipa memeras harta rakyat,..!! Ini buktinya,..!! Jadi, kalian selama ini sudah menjadi perampok,..!! Perampok harta rakyat,..!! Tahu,..!!” bentak Lugasi dengan keras.

Lugasi sangat membenci orang pemerintah dan para tentaranya karena hal-hal seperti ini. Dia kenal betul penderitaan rakyat jelata yang semakin sengsara atas ulah orang-orang pemerintah.

“Kami hanya ... menjalankan tugas,.... Kalau tidak... kamilah yang dihukum,..” jawab pimpinan prajurit itu.

“Hmm, baiklah..” kata Andragi menyela.

“Kalian akan kami bebaskan dan terserah kalian mau kemana. Kami masih punya banyak pekerjaan mengembalikan harta ini kepada rakyat yang telah kalian peras. Kami bukan perampok harta rakyat, ...” lanjut Andragi.

Dengan isyarat dia lalu meminta Lugasi, Angkuso, Huntari dan Huntaro membebaskan ke empat pimpinan prajurit itu dari totokan. Setelah itu mereka segera menuju gerobag yang membawa barang-barang berharga hadiah bagi kepala negeri Sodoba.

Para pimpinan prajurit itu duduk terbengong-bengong tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka bingung kenapa mereka dibebaskan begitu saja. Dengan bisik-bisik mereka berunding.

“Sebentar tuan,..!!” teriak pimpinan prajurit yang dituakan sambil berlari mendekati Andragi dan kawan-kawannya yang sedang mengelilingi kedua gerobag.

“Ya, ada apa,..??” tanya Andragi berbalik.

“Kami ingin bicara tuan,..” kata orang itu sambil berbalik kembali ke teman-temanya.

Andragi dan kawan-kawan pun segera mengikuti menuju tempat para pimpinan prajurit yang masih terduduk di tempatnya meski sudah dibebaskan dari totokan.

“Kami tidak bisa pulang dan kami tidak tahu hendak pergi kemana. Bolehkah kami ikut dengan kelompok tuan-tuan,..??” tanya orang yang dituakan.

“Kenapa begitu,..kami tidak kenal kalian dan kalian adalah prajurit yang biasa memeras rakyat,..!!” sergah Lugasi.

“Kami pikir kelompok tuan adalah kelompok yang kuat dan baik. Kami bisa berlindung dan mungkin bisa menebus kesalahan-kesalahan kami selama ini,.. tapi,...??”

“Tapi apa,..??” tanya Andragi.

“Tapi kami harus terbunuh disini,..” jawab seorang yang lain.

“Kenapa begitu,..??: tanya Andragi.

“Supaya keluarga kami aman, tidak diapa-apakan. Kalau kami melarikan diri tentu mereka akan disiksa dan dibuat sengsara,..” jawab yang dituakan.

Memang itulah dilema seorang prajurit. Mereka hanya sebuah bagian dari mesin penggerak kekuasaan. Mereka tak bisa menjadi diri mereka sendiri yang bebas menentukan apa yang ingin mereka lakukan. Andragi melihat kesulitan mereka itu. Memang hanya ada satu pilihan bagi mereka sekarang yakni MATI. Mati dalam pertempuran atau pulang dan mati dihukum. Kalau melarikan diri, anak istri dan keluarga mereka akan disiksa dan mendapat perlakuan yang menyakitkan.

“Hmm, baiklah,... tapi kalian harus menunjukkan niat yang sungguh-sungguh karena kita sedang memperjuangkan keadilan bagi rakyat. Kalau kita berhasil suatu saat kalian bisa kumpul lagi dengan keluarga kalian tanpa perlu takut, dan menjadi warga yang dihormati,..” jelas Andragi.

“Terimakasih banyak tuan,..” jawab mereka hampir serempak.

“Jangan panggil kami tuan, sebut saja sobat,..” kata Andragi.

Andragi lalu memperkenalkan satu persatu teman-temannya kepada para pimpinan prajurit yang menjadi anggota baru mereka.

“Nah karena kalian telah dinyatakan mati maka kalian harus berganti nama. Saya beri nama saja Prasa, Prawa, Prati, Pratur, Prama,..” kata Andragi  sambil menunjuk mereka masing-masing.

“Jangan khawatir, nama asli kalian akan bisa digunakan kembali kalau perjuangan kita berhasil,..” lanjut Andragi.

Kelima orang itu mengangguk-angguk setuju dan dalam hati mulai mengingat-ingat nama baru mereka masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA