Hanya Gila, Tapi Tidak Bodoh

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #05)

Kini di jalan yang ramai dipadati lalu lintas itu ia meliuk-liuk lincah memacu motor kesayangannya agar segera sampai ke rumah Jira. Ia sungguh penasaran ingin tahu berita apa yang akan disampaikan karibnya itu. Motor itu seakan bernyawa dan mengerti maksud pengendaranya, menyusup dengan mulus diantara mobil-mobil atau sesama motor lainnya. Andragi juga merasa yakin motornya itu  akan melindunginya dan membawanya dengan selamat sampai ke tujuan. Ia yakin sekali! Dalam pikikirannya, "Bukankah ayah dan ibunya sendiri yang sedang mengantarnya? Mereka tentu tidak akan mencelakakannya."

Rasa penasaran yang kuat atas teka-teki permintaan sobatnya Jira untuk datang ke rumahnya serta keyakinan akan perlindungan kedua orang tuanya membuatnya memutar gas lebih cepat lagi di jalan yang ramai itu. Tetapi..., bukannya motor berjalan makin cepat malah terdengar suara ‘mbrebet’ dan lajunya semakin lambat. Dicobanya berulang kali memutar gas lebih dalam, tetapi motor itu tetap melambat. Ia terpaksa meminggirkan kendaraannya dan berhenti di tepi jalan, untuk memeriksa.

“Mungkin bensinnya tidak lancar, atau businya sudah mulai usang sehingga tidak bekerja dengan baik,” pikirnya.

Dengan hati-hati didirikannya sepeda motor itu pada standarnya, dan berjongkok untuk memeriksa busi dan saluran bensinnya.

“Bapak, Ibu,” katanya kepada motornya itu.
“Ada apa ya pak, bu?"
"Adakah sesuatu yang salah dari anakmu ini? Maafkan saya bila kurang merawat bapak dan ibu sehingga bensin atau businya tidak berjalan baik. Ijinkan saya memeriksanya,” katanya memohon kepada motor itu.

Dari jarak 2 meter di dekatnya, dua orang wanita yang kebetulan sedang menanti kendaraan umum, memperhatikan kelakuannya yang aneh itu. Mereka berdua tampak berbisik-bisik dan tersenyum-senyum.

“Orang itu aneh, mbak. Masak motornya diajak bicara, dengan serius lagi,” kata yang satu.
“Iya, orang gila kali,” timpal wanita yang satunya.
“Tapi kok pakaiannya seperti orang kantoran? Dia itu stress apa ya?” sahut kawannya.

Andragi tahu kalau kedua wanita itu sedang membicarakan keanehan dirinya, tetapi ia tidak menghiraukan mereka. Anjing menggonggong kafilah berlalu, pikirnya. Baginya motor itu memang menghadirkan ayah dan ibunya disitu.

Ia lalu mengambil obeng dan peralatan yang ia perlukan dari balik jok motornya. Pertama-tama dibukanya busi dengan kunci busi. Ia lalu mengeluarkan ampelas (kertas pasir), membungkus tangan kirinya dengan sehelai kain agar tidak kepanasan saat memegang busi yang masih terasa panas lalu menggosok bagian-bagian pengapian pada busi itu dengan ampelas. Sesekali ditiupnya untuk mengusir kotoran yang masih melekat disana.

“Bapak, Ibu, busi ini masih bagus. Kering dan tidak kotor." katanya dengan suara yang jelas terengar. "Umur pakainya masih baru. Kenapa ya, pak...bu?" ia berhenti sejenak, berpikir.
"Akan kuperiksa dulu pengapiannya,” katanya dengan serius.

Kedua wanita itu semakin geli melihat kelakuannya, lalu tersenyum dan berbisik satu sama lain.

Andragi memasang kembali busi pada tempatnya, lalu mengencangkannya dengan kunci busi. Diraihnya ujung kabel yang menghubungkan busi itu dengan bagian lain mesin sepeda motor. Didekatkannya kabel itu ke ujung busi dan men-start motornya. Tampak loncatan api dari ujung busi itu ke ujung kabel.

“Bapak, Ibu. Busi ini bekerja dengan baik. Mungkin saluran bensinnya yang tidak lancar, ya Pak? Kenapa bapak tidak menjawab?”

Kedua wanita itu kini melongo melihat kepandaiannya mengutak-atik busi motor itu.

“Mbak, kok orang gila bisa pintar sih?” tanya wanita yang tampak sedikit lebih muda.
“Dia itu cuma gila, tapi tidak bodoh, tahu!” kata si mbak.
“Mbak nyindir ya?”
“Kalau merasa ya syukur. Karena banyak orang yang tidak gila tapi bodoh! Beda, tahu!” jawab si mbak.

Yang muda mencubit gemas lengan si mbak.
Merekapun cekikikan sampai tidak memperhatikan kendaraan umum yang mereka tunggu berlalu begitu saja.
Mereka justru semakin tertarik dengan kelakuan pemuda ini.
"Apa lagi yang akan dilakukannya?" mereka membatin.

Keduanya kini tidak berusaha menyembunyikan lagi ketertarikan mereka dalam memperhatikan kelakuan ‘orang gila’ ini. Sekarang mereka bahkan berusaha mendengar percakapannya dengan motornya, dan tanpa sadar mereka mendekat.

Sementara itu, Andragi sedang membuka bagian karburator dan memeriksa apakah pelampung yang mengatur saluran bensinnya bekerja dengan baik.

“Bapak, Ibu…, bensinnya tidak luber kemana-mana. Pelampung ini bekerja dengan baik. Kenapa bapak dan ibu tidak mau mengantar saya dengan cepat? Jira sedang menunggu saya di rumahnya,” ia bertanya pada motor itu, lalu diam seakan sedang memperhatikan motor itu berbicara.

Kedua perempuan itu memasang telinga mereka dengan seksama, membungkukkan badan sambil saling berpegangan tangan. Mereka bisa mendengar setiap kata yang keluar dari mulut ‘orang gila’ ini. Kini mereka heran melihat pemuda itu seakan sedang mendengarkan dengan penuh perhatian dan rasa hormat pada motornya.

“Oh begitu? Jadi saya harus hati-hati, tidak boleh terburu-buru,” ia diam sejenak.
Lalu berkata, “Baik pak, baik bu. Maafkan saya. Saya akan berhati-hati,” katanya lagi.

Tidak tahan menyaksikan adegan yang aneh dan menggelikan itu, wanita yang lebih muda nekat bertanya kepada pemuda itu.
Si mbak menggamitnya, mencoba mencegah, tetapi dia tidak peduli.

“Apa kata motor itu, mas?” tanyanya tanpa ragu.

Mendengar ada yang menyapanya, Andragi lalu berdiri. Ia membalikkan badan dan tersenyum.
Si mbak dengan keras mencengkeram tangan kawannya, bersiap membawanya lari. Tetapi diurungkannya niatnya itu manakala ia melihat senyum pemuda itu. Senyum itu senyum yang normal. Wajar, sewajar-wajarnya orang yang waras. Malah terkesan bersahabat sekali. Dan mata pemuda itu itu berbinar ramah seiring dengan senyumnya. Bukan mata yang liar dengan pandangan hampa sebagaimana umumnya orang gila.

“Oh, selamat sore mbak,” sapa pemuda itu.

Kedua wanita itu hanya bisa mengangguk, masih ragu.

“Iya, mbak..Kedua orang tua saya menasihati saya agar berhati-hati tidak ngebut naik motor. Kalau terjadi kecelakaan, bukan hanya saya saja yang rugi, tetapi bisa merugikan orang lain yang terkena. Juga akan merepotkan orang-orang yang mesti mengurusnya. Kasihan kan, mereka tidak makan nangkanya tapi kena getahnya,” lanjutnya.

Kedua wanita itu terpana mendengar uraian pemuda itu.
Tetapi wanita yang lebih muda segera kembali dengan keingintahuannya.

“Lalu, bagaimana dengan motornya, mas,” tanyanya.
“Bapak dan Ibu saya tidak apa-apa. Mereka sengaja menahan lajunya bensin sehingga pembakarannya terlambat jadi tidak bisa lari kencang. Sekarang saya akan merapikan kembali pelampung bensin ini. Pasti sudah bisa berjalan lagi dengan semestinya,” jawab pemuda itu yakin.

Ia lalu merapikan kembali motornya, dan mengembalikan peralatan yang tadi ia gunakan pada tempatnya di balik jok.

Dengan tidak sabar wanita yang lebih muda itu memintanya menghidupkan motornya.

“Coba mas, di start,” desaknya.
“Baik mbak, akan saya hidupkan.”

Diputarnya kunci kontak, lalu menggenjot pedal starter. Dalam seketika mesin motornya meraung kala gasnya diputar. Motor itu normal seperti tidak pernah mengalami kerusakan apapun. Andragi tersenyum kepada kedua wanita itu.

“Benar kan mbak? Nggak ada apa-apa kok. Saya cuma nggak boleh ngebut saja. Selamat sore,..” katanya sambil menjalankan motornya dengan pasti dan melaju secara normal.

Kedua wanita itu hanya bisa bengong melihat semua kejadian tadi.

“Dunia memang sudah gila,” kata wanita yang lebih muda.
“Jangan-jangan kita berdua ini yang sudah gila lho!” timpal si mbak.
"Iya, pemuda itu seperti embacang buruk kulit," kata si mbak lagi.
"Maksudnya apa mbak?"
"Dia kelihatannya saja gila atau bodoh, tapi sebenarnya dia pandai dan baik hati. Dan kelihatannya sangat hormat pula kepada kedua orang tuanya," jawab si mbak.

Kita tinggalkan kedua wanita yang jadi linglung itu, dan mengikuti Andragi melaju ke rumah Jira. Setelah beberapa lama tibalah dia di rumah Jira. Begitu memasuki halaman rumah sahabatnya itu, Jira telah tampak menunggu di depan pintu. Wajahnya terlihat tidak sabar.

“Kemana saja kamu Gi?” sergahnya.
“Motorku nggak mau diajak ngebut, jadi aku jalan pelan-pelan saja,” jawabnya.
“Ada yang ngikutin kamu nggak?” selidik Jira.
“Ada! Tuh bayanganku.” jawabnya bercanda.
“Diamput kamu. Ditanya serius malah becanda,” umpat Jira.
“Emang kenapa, kok tegang amat kamu?” tanya Andragi.

Andragi mulai merasa ada yang tidak beres. Raut muka Jira yang tegang dan pancaran matanya yang tajam membawa hawa serius disana.

Jira segera menggamit tangannya dan diseretnya masuk. Ternyata di ruang tamu itu telah duduk menanti seorang pria yang telah berumur.

“Kenalkan, ini paman Hudi,” kata Jira kepada Andragi.
Pria itu mengulurkan tangannya.
“Saya Andragi,” katanya sambil menyambut tangan pria lebih separuh baya itu.

Setelah ketiganya mengambil tempat duduk masing-masing, Jira langsung berbicara ke persoalan yang akan disampaikannya.

“Begini Gi,” ia memulai. “Setelah rapat tadi siang itu aku langsung menelpon paman Hudi untuk ke mari, karena masalah yang kamu sampaikan itu pernah juga dialami paman Hudi belasan tahun silam. Aku tahu karena paman Hudi pernah bercerita padaku tentang kebobrokan di kantor kita itu, tetapi tidak menjelaskan kebobrokan apa. Cuma beliau berpesan jika aku mengetahui hal seperti itu agar segera memberitahukannya. Makanya aku segera menelpon beliau begitu rapat selesai. Setelah kuceritakan, beliau bilang itu masalah yang dulu juga. Makanya Gi, mungkin ada baiknya kita mengetahui pengalaman beliau.”

Jira lalu menoleh ke arah paman Hudi. Pria tua itu manggut-manggut. Dahinya berkerut, tampaknya ia berusaha keras mengingat kembali peristiwa lawas itu. Peristiwa yang menghancurlan hatinya dan juga hidupnya.
.
“Paman Hudi, bisakah paman menceritakan pengalaman paman tentang pembelian fiktif itu dan bagaimana kelanjutannya setelah peristiwa itu terungkap?” pinta Jira pada orang tua itu.

Paman Hudi mengangguk lalu membetulkan letak duduknya. Ia berdehem sebelum memulai kisahnya. Tampak ada perubahan pada air mukanya yang mendadak menjadi keruh.

Pengalaman Paman Hudi ternyata sungguh sangat pahit/
Mau tahu kisahnya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA