Panen Singkong Ajaib, Singkong Raksasa

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #70 )

Pada hari ke seratus lima puluh lima, air telah memasuki area desa dengan membelah area sawah secara diagonal dan  menyambung ke parit desa di ujung atas kanan kluster yang paling kanan atas. Air itu tiba di kluster pertama melalui parit di linggkaran taman utama terus menuju ke parit pembuangan yang membelah area ladang. Para perawat kebun gembira melihat air itu datang karena kini dengan mudah mereka bisa mengairi tanaman di kebun-kebun mereka.

Pada saat itu, mereka sudah memiliki lima kapling kebun yang berisi tanaman singkong model baru itu dengan umur yang berbeda-beda. Tanaman singkong pada kapling yang pertama kini telah berumur sekitar tiga bulan. Batang-batangnya  jauh lebih besar dan lebih tinggi dari pada singkong biasa dengan daun-daun serupa singkong hutan. Cabang-cabangnya sebagian telah dipangkas dan dipergunakan sebagai penyambung atas pada tanaman baru di petak-petak kebun yang baru dibuat.

Mengingat seluruh area ladang bisa dibuat sebanyak 400 petak kebun, Andragi mengusulkan agar dibuatkan lebih banyak petak kebun singkong dengan umur tanaman yang berbeda-beda agar bisa menjamin setiap dua pekan atau sepuluh hari ada kebun yang siap dipanen. Dengan umur panen 6 bulan sejak singkong ditanam, maka diperlukan 18 petak kebun singkong. Kini pekerjaan berikut mereka adalah membuat 13 petak kebun baru yang harus sudah siap dengan tanaman baru setiap sepuluh hari. Dengan jumlah tenaga yang mereka miliki, 51 orang, target itu tidak seberat pekerjaan-pekerjaan sebelumnya.

“Untuk apakah semua singkong itu nantinya? Kita kan tidak makan singkong setiap hari?” tanya Paldrino.

“Ya, memang tidak,” jawab Andragi. “Singkong-singkong itu akan kita jual. Hasilnya bisa untuk membeli bahan makanan lain atau keperluan lainnya,” jelasnya.

“Bagaimana kalau hanya sebagian yang laku. Sisanya akan diapakan?” tanya Loyo.

“Nah, itulah sebabnya kita menyiapkan area industri ini,” jawab Andragi sambil menunjuk ke peta besar pertama.

“Saya sedang berpikir untuk membuat sesuatu dari bahan singkong itu nantinya. Mungkin makanan atau benda lain yang belum ada di negeri ini tapi diperlukan,” lanjutnya.

“Wah, pasti ada keajaiban baru lagi!” seru Brewok bergairah.

“Iya, akan ada sesuatu yang bisa kita pelajari lagi. Sungguh bukan main!” dukung Lugasi.

Andragi tersenyum, selalu mendapat dukungan semangat dari pria brewok serta anak muda yang pendek dan bulat ini.

“Ya, hanya bisa terjadi karena bantuan sobat-sobat semua. Bukan karena saya saja. Tanpa para sobat saya tak berarti apa-apa,” jawab Andragi.

Sejak hari berikutnya mereka mengerahkan seluruh tenaga untuk membuat petak-petak kebun baru dan menanamnya dengan singkong baru begitu sebuah petak telah siap. Meskipun urusan menebang pohon merupakan pekerjaan yang berat, namun berkat jumlah mereka yang cukup banyak, pekerjaan itu menjadi lebih lebih ringan. Apalagi disela-sela itu mereka sering pula dihibur dengan atraksi berburu hewan yang tiba-tiba keluar dari persembunyiannya. Disini Lugasi sering mendapat tugas menangkap hewan yang naik bersembunyi diatas pohon, termasuk ular-ular besar. Kemampuannya melentingkan tubuh juga sangat berguna ketika harus memasangkan ikatan tali pada dahan yang tinggi yang akan ditarik untuk mengarahkan tumbangnya pohon.

Pada hari ke seratus sembilan puluh delapan, seorang santri pengurus kebun melaporkan keajaiban yang dilihatnya.

“Sobat Andragi, kami melihat sebagian umbi-umbi besar menyembul keluar pada kebun yang pertama!” lapornya.

Mereka segera menuju tempat yang dimaksud. Pada sebuah pohon singkong mereka melihat sebagian umbi menyembul keluar. Andragi lalu hati-hati mengorek disekitarnya. Tampak umbi itu sebesar betis orang dewasa yang gemuk dengan garis tengahnya sekitar 8 samai 10 cm. Panjangnya sekitar 70 cm. Semua orang kagum dan girang melihat hasil kerja mereka itu. Ia lalu membandingkan dengan umbi singkong yang asli, yang hanya bergaris tengah tidak lebih dari 3 cm dan panjangnya hanya 30 cm.

Pohon yang satu itu lalu beramai-ramai mereka gali setelah batangnya dipangkas terlebih dahulu. Mereka berusaha untuk tidak membuat umbinya patah agar bisa melihat utuh umbi-umbi raksasa itu. Setelah berhasil mengeluarkan seluruh umbinya semua merasa takjub dan bersyukur. Ada lebih dari sepuluh umbi raksasa dari satu pohon, dan berat seluruhnya ditaksir sekitar 40 kg.

“Kalau begitu lima hari lagi kebun ini boleh di panen. Kita harus memanennya saat umurnya enam sampai delapan bulan. Kalau lebih umbinya akan mengeras,” kata Andragi.

“Tetapi jangan gembira dulu! Kita belum lagi tahu apakah umbi ini bisa dimakan atau tidak. Karena itu harus kita coba merebusnya dan mencicipinya sedikit. Kalau tidak apa-apa berarti bisa dimakan. Kalau beracun, saya harus pikirkan kembali manfaat umbi ini,” kata Andragi.

Sebenarnya Andragi memang ragu apakah umbi itu bisa dimakan, karena di dunianya dulu ada singkong mukibat hasil budidaya seperti itu tetapi tidak bisa dikonsumsi manusia. Oleh karena itu ia memang sudah siap dengan kegunaaan lain jika memang tidak bisa dimakan.

Mereka lalu mengupas, memotong dan merebus satu umbi. Setelah empuk ternyata mereka ragu untuk memakannya.

“He, bukankah disatu bedeng itu ada yang piara monyet! Bagaimana kalau kita coba memberinya ke monyet itu,” usul Lugasi.

Mereka lalu mencobakannya kepada monyet itu, meskipun yang memiaranya sedikit menyesal dan khawatir. Pada awalnya binatang itu enggan makan makanan yang asing baginya, tetapi karena diojok-ojok terus akhirnya ia mencoba menggigit dan mengunyahnya. Mereka menunggu reaksinya. Binatang itu malah membuang sisa singkong rebus yang dipegangnya lalu melompat ke dahan yang lebih tinggi. Tetapi tingkahnya tidak berubah, masih seperti monyet yang normal.

Dari ilmu yang dipelajarinya saat menjadi pramuka dulu, Andragi ingat ciri-ciri suatu tumbuhan bisa dimakan atau tidak. Tumbuhan yang daun, bunga, buah, atau umbinya biasa dimakan oleh satwa liar, adalah tumbuhan yang tidak beracun. Jadi manusia bisa mengkonsumsinya. Sementara, tumbuhan yang berbau tidak sedap dan bisa membuat pusing, serta tidak disentuh oleh binatang liar, sebaiknya jangan mencoba memakannya. Juga tumbuhan bergetah yang membikin kulit gatal, sebaiknya dihindari saja. Tumbuhan lain yang juga perlu disingkirkan adalah tanaman yang daunnya bergetah pekat, berwarna mencolok, berbulu, atau permukaannya kasar. Tanaman dengan daun yang keras atau liat juga jangan dikonsumsi.

Andragi juga tahu pada singkong beracun, baik pada umbi maupun daunnya mengandung zat yang dapat menghasilkan  senyawa asam biru yang bersifat sangat  beracun. Umbi dan daun singkong yang mengandung racun biasanya ditandai dengan rasa pahit dan baunya langu. Perebusan dan perendaman dalam air mengalir dapat mengurangi kadar racun yang terkandung karena sifat dari asam sianida atau asam biru itu larut di dalam air.

“Wah bagaimana ya? Kira-kira beracun tidak ya?” tanya Lugasi belum yakin.

“Begini, sebaiknya sebagian umbi itu kita taruh di hutan yang banyak celengnya. Kalau mereka makan, berarti umbi ini bisa kita makan,” kata Andragi.

Beberapa santri lalu pergi membawa batang singkong beserta umbinya itu ke hutan dan meninggalkannya disana setelah mengikatnya pada sebatang pohon agar tidak hilang dibawa lari binatang. Keesokan harinya mereka mendapati sebagian besar umbi mereka telah habis dimakan binatang. Dengan gembira mereka memberi tahu Andragi. Ternyata singkong bisa dimakan! Singkong mereka tidak sama dengan singkong mukibat, mungkin karena jenis singkong di Klapa Getir ini memang berbeda dengan yang ada di dunianya dulu.

Tiba-tiba seorang pemuda desa Kenteng maju dan mengatakan sejak semalam ia diam-diam telah mencicipi sedikit singkong rebus itu, dan sampai sekarang tidak mengalami gangguan apa-apa. Ia ingin menunjukkan kerelaannya untuk berkorban demi memperoleh kepercayaan kembali.

Kini mereka yakin, singkong mereka bisa dikonsumsi!

“Ah, sayang juga singkong kita dimakan si celeng, padahal aku juga mau mencicipinya,” kata Brewok.

“Ya itu upahnya bagi si celeng yang bersedia jadi percobaan. Siapa tahu dia sekarang sedang kejang-kejang. Hi..hihi!” jawab Lugasi.

Brewok hanya tersenyum kecut.

Malam menjelang hari ke dua ratus lima semua orang tampak bergairah. Mereka menantikan hari esok sebagai hari panen perdana hasil kerja keras mereka, dan menyaksikan keajaiban kedua selama melakukan pekerjaan besar mereka. Sementara itu mereka telah pula berhasil membuat petak kebun baru sebanyak 10 buah. Tinggal 3 petak lagi yang harus dibuat. Semua bertekad segera menyelesaikannya selepas panen besok.

Hari panen itu menjadi hari yang istimewa! Hari itu memang sungguh menggairahkan. Semua orang bangun lebih awal seakan takut matahari hari itu tidak akan bersinar atau hanya menghadirkan hari yang pendek.

Ketika akhirnya sang surya tersenyum di ufuk timur, mereka melihat kedatangan kakek Blakitem dengan wajah yang cerah ceria.

“Mari kawan-kawan, kita segera rayakan hari ini dengan sukacita!” katanya sambil menuju kebun pertama mereka.

Semua berbondong-bondong mengiringi kakek tua itu sambil membawa berbagai peralatan, diiringi celoteh dan canda gembira.

“Para sobat sekalian, kali ini kita akan menyaksikan keajaiban kedua yang sama-sama kita, manusia, yang menciptakannya. Kita tahu dengan usaha yang gigih serta kerjasama yang kokoh kita bisa menciptakan mukjizat. Bukan untuk menyamai Dewa Yang Maha Esa, tetapi justru untuk mengagungkannya karena semua rahasia penciptaan ini berasal dariNya. Kita hanya mengungkapkannya. Sedikit! Selain itu Dewa Yang Maha Esa mampu menciptakan mukjizat dalam sekejap mata, sementara kita, manusia, harus bekerja keras hanya untuk mengungkap mukjizat yang telah diciptakan dan disimpanNya. Karena itu kawan-kawan, mari kita mengucapkan syukur kepadaNya!” ajak kakek Blakitem berdoa.

Mereka pun lalu berdoa dengan khusyuk.

“Nah sekarang selamat memanen!” katanya diiringi tepuk tangan semua yang hadir.

Serentak mereka memangkas batang-batang singkong terlebih dahulu baru kemudian menggalinya. Suara riuh rendah mengagumi besarnya singkong yang diperoleh meramaikan celoteh mereka. Bahkan saking bergairahnya, banyak diantara mereka seakan bertaruh pohon mana yang menghasilkan umbi terbesar. Begitu ada yang mendapat singkong yang lebih besar dari pada sebelumnya, mereka semua bersorak riuh.

Semua singkong hasil panen itu mereka tumpuk pada tempat suatu area tertentu. Pada sore hari tumpukan singkong mereka telah menggunung. Tidak kurang dari 200 pohon yang dipanen dari petak pertama itu, dan kalau setiap pohon rata-rata menghasilkan 25 kilogram, berarti hasilnya 5 ton.

“Wah mau diapakan singkong sebanyak ini. Mana besar-besar lagi!” seru Lugasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA