Pada hari ke seratus lima puluh lima, air telah memasuki area desa dengan
membelah area sawah secara diagonal dan
menyambung ke parit desa di ujung atas kanan kluster yang paling kanan
atas. Air itu tiba di kluster pertama melalui parit di linggkaran taman utama
terus menuju ke parit pembuangan yang membelah area ladang. Para perawat kebun
gembira melihat air itu datang karena kini dengan mudah mereka bisa mengairi
tanaman di kebun-kebun mereka.
Pada saat itu, mereka
sudah memiliki lima kapling kebun yang berisi tanaman singkong model baru itu
dengan umur yang berbeda-beda. Tanaman singkong pada kapling yang pertama kini
telah berumur sekitar tiga bulan. Batang-batangnya jauh lebih besar dan lebih tinggi dari pada singkong biasa
dengan daun-daun serupa singkong hutan. Cabang-cabangnya sebagian telah
dipangkas dan dipergunakan sebagai penyambung atas pada tanaman baru di petak-petak
kebun yang baru dibuat.
Mengingat seluruh area
ladang bisa dibuat sebanyak 400 petak kebun, Andragi mengusulkan agar dibuatkan
lebih banyak petak kebun singkong dengan umur tanaman yang berbeda-beda agar
bisa menjamin setiap dua pekan atau sepuluh hari ada kebun yang siap dipanen.
Dengan umur panen 6 bulan sejak singkong ditanam, maka diperlukan 18 petak
kebun singkong. Kini pekerjaan berikut mereka adalah membuat 13 petak kebun
baru yang harus sudah siap dengan tanaman baru setiap sepuluh hari. Dengan jumlah
tenaga yang mereka miliki, 51 orang, target itu tidak seberat
pekerjaan-pekerjaan sebelumnya.
“Untuk apakah semua
singkong itu nantinya? Kita kan tidak makan singkong setiap hari?” tanya
Paldrino.
“Ya, memang tidak,” jawab
Andragi. “Singkong-singkong itu akan kita jual. Hasilnya bisa untuk membeli
bahan makanan lain atau keperluan lainnya,” jelasnya.
“Bagaimana kalau hanya
sebagian yang laku. Sisanya akan diapakan?” tanya Loyo.
“Nah, itulah sebabnya
kita menyiapkan area industri ini,” jawab Andragi sambil menunjuk ke peta besar
pertama.
“Saya sedang berpikir
untuk membuat sesuatu dari bahan singkong itu nantinya. Mungkin makanan atau
benda lain yang belum ada di negeri ini tapi diperlukan,” lanjutnya.
“Wah, pasti ada keajaiban
baru lagi!” seru Brewok bergairah.
“Iya, akan ada sesuatu
yang bisa kita pelajari lagi. Sungguh bukan main!” dukung Lugasi.
Andragi tersenyum, selalu
mendapat dukungan semangat dari pria brewok serta anak muda yang pendek dan
bulat ini.
“Ya, hanya bisa terjadi
karena bantuan sobat-sobat semua. Bukan karena saya saja. Tanpa para sobat saya
tak berarti apa-apa,” jawab Andragi.
Sejak hari berikutnya
mereka mengerahkan seluruh tenaga untuk membuat petak-petak kebun baru dan
menanamnya dengan singkong baru begitu sebuah petak telah siap. Meskipun urusan
menebang pohon merupakan pekerjaan yang berat, namun berkat jumlah mereka yang
cukup banyak, pekerjaan itu menjadi lebih lebih ringan. Apalagi disela-sela itu
mereka sering pula dihibur dengan atraksi berburu hewan yang tiba-tiba keluar
dari persembunyiannya. Disini Lugasi sering mendapat tugas menangkap hewan yang
naik bersembunyi diatas pohon, termasuk ular-ular besar. Kemampuannya
melentingkan tubuh juga sangat berguna ketika harus memasangkan ikatan tali
pada dahan yang tinggi yang akan ditarik untuk mengarahkan tumbangnya pohon.
Pada hari ke seratus sembilan puluh delapan, seorang santri
pengurus kebun melaporkan keajaiban yang dilihatnya.
“Sobat Andragi, kami
melihat sebagian umbi-umbi besar menyembul keluar pada kebun yang pertama!”
lapornya.
Mereka segera menuju
tempat yang dimaksud. Pada sebuah pohon singkong mereka melihat sebagian umbi
menyembul keluar. Andragi lalu hati-hati mengorek disekitarnya. Tampak umbi itu
sebesar betis orang dewasa yang gemuk dengan garis tengahnya sekitar 8 samai 10
cm. Panjangnya sekitar 70 cm. Semua orang kagum dan girang melihat hasil kerja
mereka itu. Ia lalu membandingkan dengan umbi singkong yang asli, yang hanya
bergaris tengah tidak lebih dari 3 cm dan panjangnya hanya 30 cm.
Pohon yang satu itu lalu
beramai-ramai mereka gali setelah batangnya dipangkas terlebih dahulu. Mereka
berusaha untuk tidak membuat umbinya patah agar bisa melihat utuh umbi-umbi
raksasa itu. Setelah berhasil mengeluarkan seluruh umbinya semua merasa takjub
dan bersyukur. Ada lebih dari sepuluh umbi raksasa dari satu pohon, dan berat
seluruhnya ditaksir sekitar 40 kg.
“Kalau begitu lima hari
lagi kebun ini boleh di panen. Kita harus memanennya saat umurnya enam sampai
delapan bulan. Kalau lebih umbinya akan mengeras,” kata Andragi.
“Tetapi jangan gembira
dulu! Kita belum lagi tahu apakah umbi ini bisa dimakan atau tidak. Karena itu
harus kita coba merebusnya dan mencicipinya sedikit. Kalau tidak apa-apa
berarti bisa dimakan. Kalau beracun, saya harus pikirkan kembali manfaat umbi
ini,” kata Andragi.
Sebenarnya Andragi memang
ragu apakah umbi itu bisa dimakan, karena di dunianya dulu ada singkong mukibat
hasil budidaya seperti itu tetapi tidak bisa dikonsumsi manusia. Oleh karena
itu ia memang sudah siap dengan kegunaaan lain jika memang tidak bisa dimakan.
Mereka lalu mengupas,
memotong dan merebus satu umbi. Setelah empuk ternyata mereka ragu untuk
memakannya.
“He, bukankah disatu
bedeng itu ada yang piara monyet! Bagaimana kalau kita coba memberinya ke
monyet itu,” usul Lugasi.
Mereka lalu mencobakannya
kepada monyet itu, meskipun yang memiaranya sedikit menyesal dan khawatir. Pada
awalnya binatang itu enggan makan makanan yang asing baginya, tetapi karena
diojok-ojok terus akhirnya ia mencoba menggigit dan mengunyahnya. Mereka
menunggu reaksinya. Binatang itu malah membuang sisa singkong rebus yang
dipegangnya lalu melompat ke dahan yang lebih tinggi. Tetapi tingkahnya tidak
berubah, masih seperti monyet yang normal.
Dari ilmu yang
dipelajarinya saat menjadi pramuka dulu, Andragi ingat ciri-ciri suatu tumbuhan
bisa dimakan atau tidak. Tumbuhan yang daun, bunga, buah, atau umbinya biasa
dimakan oleh satwa liar, adalah tumbuhan yang tidak beracun. Jadi manusia bisa
mengkonsumsinya. Sementara, tumbuhan yang berbau tidak sedap dan bisa membuat
pusing, serta tidak disentuh oleh binatang liar, sebaiknya jangan mencoba
memakannya. Juga tumbuhan bergetah yang membikin kulit gatal, sebaiknya
dihindari saja. Tumbuhan lain yang juga perlu disingkirkan adalah tanaman yang
daunnya bergetah pekat, berwarna mencolok, berbulu, atau permukaannya kasar.
Tanaman dengan daun yang keras atau liat juga jangan dikonsumsi.
Andragi juga tahu pada singkong beracun, baik pada umbi maupun daunnya mengandung
zat yang dapat menghasilkan senyawa asam
biru yang bersifat sangat beracun. Umbi
dan daun singkong yang mengandung racun biasanya ditandai dengan rasa pahit dan
baunya langu. Perebusan dan perendaman dalam air mengalir dapat mengurangi kadar
racun yang terkandung karena sifat dari asam sianida atau asam biru itu larut
di dalam air.
“Wah bagaimana ya?
Kira-kira beracun tidak ya?” tanya Lugasi belum yakin.
“Begini, sebaiknya
sebagian umbi itu kita taruh di hutan yang banyak celengnya. Kalau mereka
makan, berarti umbi ini bisa kita makan,” kata Andragi.
Beberapa santri lalu
pergi membawa batang singkong beserta umbinya itu ke hutan dan meninggalkannya
disana setelah mengikatnya pada sebatang pohon agar tidak hilang dibawa lari
binatang. Keesokan harinya mereka mendapati sebagian besar umbi mereka telah
habis dimakan binatang. Dengan gembira mereka memberi tahu Andragi. Ternyata
singkong bisa dimakan! Singkong mereka tidak sama dengan singkong mukibat,
mungkin karena jenis singkong di Klapa Getir ini memang berbeda dengan yang ada
di dunianya dulu.
Tiba-tiba seorang pemuda
desa Kenteng maju dan mengatakan sejak semalam ia diam-diam telah mencicipi
sedikit singkong rebus itu, dan sampai sekarang tidak mengalami gangguan
apa-apa. Ia ingin menunjukkan kerelaannya untuk berkorban demi memperoleh
kepercayaan kembali.
Kini mereka yakin,
singkong mereka bisa dikonsumsi!
“Ah, sayang juga singkong
kita dimakan si celeng, padahal aku juga mau mencicipinya,” kata Brewok.
“Ya itu upahnya bagi si
celeng yang bersedia jadi percobaan. Siapa tahu dia sekarang sedang
kejang-kejang. Hi..hihi!” jawab Lugasi.
Brewok hanya tersenyum
kecut.
Malam menjelang hari ke dua ratus lima semua orang tampak bergairah. Mereka menantikan
hari esok sebagai hari panen perdana hasil kerja keras mereka, dan menyaksikan
keajaiban kedua selama melakukan pekerjaan besar mereka. Sementara itu mereka
telah pula berhasil membuat petak kebun baru sebanyak 10 buah. Tinggal 3 petak
lagi yang harus dibuat. Semua bertekad segera menyelesaikannya selepas panen
besok.
Hari panen itu menjadi
hari yang istimewa! Hari itu memang sungguh menggairahkan. Semua orang bangun
lebih awal seakan takut matahari hari itu tidak akan bersinar atau hanya
menghadirkan hari yang pendek.
Ketika akhirnya sang
surya tersenyum di ufuk timur, mereka melihat kedatangan kakek Blakitem dengan
wajah yang cerah ceria.
“Mari kawan-kawan, kita
segera rayakan hari ini dengan sukacita!” katanya sambil menuju kebun pertama
mereka.
Semua berbondong-bondong
mengiringi kakek tua itu sambil membawa berbagai peralatan, diiringi celoteh
dan canda gembira.
“Para sobat sekalian,
kali ini kita akan menyaksikan keajaiban kedua yang sama-sama kita, manusia,
yang menciptakannya. Kita tahu dengan usaha yang gigih serta kerjasama yang kokoh
kita bisa menciptakan mukjizat. Bukan untuk menyamai Dewa Yang Maha Esa, tetapi
justru untuk mengagungkannya karena semua rahasia penciptaan ini berasal
dariNya. Kita hanya mengungkapkannya. Sedikit! Selain itu Dewa Yang Maha Esa
mampu menciptakan mukjizat dalam sekejap mata, sementara kita, manusia, harus
bekerja keras hanya untuk mengungkap mukjizat yang telah diciptakan dan
disimpanNya. Karena itu kawan-kawan, mari kita mengucapkan syukur kepadaNya!”
ajak kakek Blakitem berdoa.
Mereka pun lalu berdoa
dengan khusyuk.
“Nah sekarang selamat
memanen!” katanya diiringi tepuk tangan semua yang hadir.
Serentak mereka memangkas
batang-batang singkong terlebih dahulu baru kemudian menggalinya. Suara riuh
rendah mengagumi besarnya singkong yang diperoleh meramaikan celoteh mereka. Bahkan
saking bergairahnya, banyak diantara mereka seakan bertaruh pohon mana yang
menghasilkan umbi terbesar. Begitu ada yang mendapat singkong yang lebih besar
dari pada sebelumnya, mereka semua bersorak riuh.
Semua singkong
hasil panen itu mereka tumpuk pada tempat suatu area tertentu. Pada sore hari
tumpukan singkong mereka telah menggunung. Tidak kurang dari 200 pohon yang
dipanen dari petak pertama itu, dan kalau setiap pohon rata-rata menghasilkan
25 kilogram, berarti hasilnya 5 ton.
“Wah mau
diapakan singkong sebanyak ini. Mana besar-besar lagi!” seru Lugasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.