Juritma Membunuh Istri dan Lelaki Selingkuhannya

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #85 )

Andragi dan kawan-kawan lalu kembali ke tepi sungai. Disana dia lalu melepaskan ikatan para perampok itu dan memberi uang kepada mereka, yang  terbengong-bengong tidak mengerti mendapat perlakuan seperti itu. Bukannya dilaporkan ke yang berwajib, mereka malah diberi uang. Sungguh baik orang ini.

“Kalian kami bebaskan kali ini, tetapi jangan coba-coba berbuat lagi. Kalian beruntung karena ada tuan yang baik hati ini,..” lanjut Prasa sambil membungkuk ke Andragi dan beberapa orang.

“Terimakasih tuan penolong. Kami berjanji tidak akan berbuat lagi,..” kata seorang dari mereka mewakili teman-temannya.

“Kami pinjam dulu perahu kalian ke seberang, nanti kalian boleh mengambilnya sendiri,..” kata Prasa.

Prasa, Prawa, Prati, Pratur dan Prama lalu mengajak semua yang ada disitu untuk menyeberang dengan 2 perahu milik ‘perampok’ itu.

“Mari bapak-bapak yang mau menyeberang, silakan naik ke perahu-perahu itu. Kami yang akan menjadi tukang perahunya,..” kata Prasa.

Mereka menyeberang dengan lancar karena para pimpinan prajurut itu terampil mengendalikan perahu. Setibanya di seberang mereka menambatkan kedua perahu itu lalu meneruskan perjalanan mereka ke arah gunung Kalas.

Menjelang petang mereka hampir tiba di Selonto dan memutuskan untuk bermalam di tepi hutan sebelum memasuki desa Selonto. Para bekas pimpinan prajurit  segera berinisiatif berburu hewan di dalam hutan. Hanya beberapa saat saja mereka telah kembali dengan beberapa ekor binatang sejenis kelinci, burung dan ikan. Mereka lalu membersihkan, memasaknya dan menyantap makanan sederhana tetapi terasa begitu lezat.

Pagi harinya mereka memasuki desa Selonto secara sendiri-sendiri atau berdua dan langsung menuju pasar yang kebetulan hari pasar. Mereka telah membagi tugas:: ada yang bertugas membeli beras dan jagung, ada yang membeli cangkul, parang, kapak dan berbagai peralatan yang mungkin diperlukan, termasuk alat masak. Parang, Pacul dan kapak yang terbanyak di beli. Mereka lalu pergi menuju arah kaki gunung Kalas sebagaimana telah disepakati ancer-ancer  tempat yang dituju. Menjelang petang semuanya sudah sampai di tempat yang dituju, sebuah bukit yang rimbun ditumbuhi pepohonan yang rapat.

Di sekeliling bukit itu masih berupa hutan belantara, termasuk lembah-lembah di bawahnya.

“Saya kira tempat ini cukup bagus kalau kita jadikan tempat memulai usaha kita membangun desa baru,..” kata Andragi.

“Desa baru,... Bagaimana kita akan membagikan harta itu kepada rakyat Megalung,..??”  tanya Prasa.

Andragi lalu menceritakan bagaimana mereka membangun desa Harjagi dari hutan rimba menjadi desa yang maju dan bisa menghidupi banyak keluarga. Loyo dan Brewok juga disana-sini menambahkan kehebatan desa Harjagi dan desa Kenteng.

“Yang pertama harus kita pikirkan adalah kehidupan para bekas prajurit kalian dan keluarganya, juga keluarga kalian,.” kata Andragi.

“Desa ini nanti akan bisa menampung keluarga para prajurit lebih dahulu dan kemudian kita bisa mengatur bagaimana mengembalikan harta itu kepada rakyat Megalung,..” jelas Andragi.

Esoknya mereka mulai membabat beberapa batang pohon dan mulai membangun rumah untuk mereka tinggali. Sebuah rumah panggung yang cukup besar dibangun untuk menampung 12 orang, sehingga mereka semua bisa tinggal dalam satu rumah. Di bagian kolong dijadikan tempat pertemuan, dan gudang. Adapun dapur dibuat agak terpisah dengan bangunan utama. Dalam satu minggu rumah itu telah selesai dibuat.

Dua hari sebelumnya, Rampoli ditugaskan oleh Andragi untuk mencari tahu reaksi pemerintah atas kehilangan kiriman dari Megalung ke Kotaraja. Sebelum pergi Rampoli meninggalkan beberapa butir obat untuk diminum Laja sepekan sekali agar tidak kambuh penyakitnya.

Rampoli tiba di Megalung 2 hari kemudian, tetapi dia tidak mendengar berita tentang harta kiriman itu. Dia bermalam sehari disana lalu memutuskan untuk pergi ke Gurada mengunjungi Minur, gadis pelayan, yang telah membantunya saat dia berusaha berkenalan dengan Laja. Di Gurada dia juga bisa mendengar kalau ada berita tentang harta kiriman itu.

Sore harinya Rampoli telah sampai di Gurada dan dia langsung menuju ke warung tempat Minur bekerja. Melihat kedatangan Rampoli Minur terkejut dan gembira. Matanya berbinar-binar dan senyumnya lebar menyambut kekasihnya itu. Minur langsung minta ijin pemilik warung untuk pulang sedikit lebih cepat.

“Ayo kakang, kita pulang. Nanti makan dan minumnya di rumah saja,..” ajak Minur dengan riang.

Bagai kerbau dicucuk hidung Rampoli mengikuti Minur keluar dari warung dan berjalan menuju rumahnya. Minur tinggal bersama ibunya yang sudah agak tua, Ayahnya sudah lama meninggal saat dia masih kecil. Dia anak semata wayang.

“Emak,...Emak,...Kakang Rampoli datang,..!” kata Minur sambil berlari masuk ke rumahnya yang sederhana.

Emaknya segera keluar menemui anaknya.

“Oh, ada tamu,... silakan,... mari masuk,...” kata perempuan itu ramah.

“Terimakasih,..” jawab Rampoli, sambil melangkah masuk.

Minur langsung menerobos ke dapur menyiapkan minum bagi kekasihnya, sementara ibunya menemani tamunya.

“Terimakasih banyak sudah membantu kehidupan kami,..” kata si Emak.

“Ah, sama-sama,... Syukurlah kalau itu bermanfaat,..” jawab Rampoli.

Sesaat kemudian Minur datang membawa wedang jahe. Emaknya segera minta diri dan menghilang ke kamarnya.

Dengan manja Minur duduk di samping Rampoli dan memandang pria itu dengan senyuman bahagia dan mata yang berbinar-binar.

“Kakang, kemana saja selama ini,... Minur kangen,..” katanya.

“Tugas kakang jauh dari Gurada, jadi tak bisa selalu datang kesini,..” jawab Rampoli sambil memeluk pinggang Minur. Gadis itu menggelayut manja.

“Apa kabar kalian disini, apakah semua baik-baik,..?” tanya Rampoli. 

“Aku dan emak baik-baik saja, kakang. Uang pemberian kakang sangat membantu kami kalau ada kesulitan,..” jawab Minur.

“Syukurlah,... Bagaimana keadaan disini, di Gurada ini,..” tanya Rampoli memancing.

“Baik-baik kakang. Seperti biasa. Semuanya seperti biasa,..”jawab wanita itu polos sambil memeluk Rampoli.

Rampoli menyambutnya dengan mengelus-elus rambut dan mencium keningnya. Minur segera mengangkat mukanya dan mencium bibir Rampoli dengan penuh gairah. Serbuan itu disambut Rampoli dengan semangat, Mereka saling berpagutan melepaskan kerinduan.

Minur lalu minta diri ke belakang untuk menyiapkan makan malam. Dia tidak perlu memasak karena sudah ada makanan matang yang dibawanya dari warung tadi. Minur mengajak emaknya untuk ikut makan bertiga.

“Emak sekarang jualan sayur di pasar dengan sebagian modal dari kakang itu,..” kata Minur.

“Oh, syukurlah,.. “ jawab Rampoli. “Di pasar sedang ramai apa sekarang,..” tanya Rampoli.

“Ah, biasa saja,... ramai orang jual beli saja. Paling hanya ramai kalau ada tukang sulap keliling,..” kata emaknya Minur.

“Kakang hanya tinggal dua hari disini. Lusa sudah harus kembali bertugas di daerah Megalung,..” kata  Rampoli.

“Jadi kakang masih akan lama bertugas jauh,..??” tanya Minur.

“Mungkin tidak terlalu lama. Dalam tiga atau empat bulan ke depan sekiranya kakang sudah tahu menetap dimana, kakang akan menjemputmu sebagai istri. Kita akan tinggal serumah,..” jelas Rampoli.

Sebelum terlalu malam Rampoli sudah minta diri karena dia akan menginap di penginapan. Di situ mungkin dia bisa mendengar kalau-kalau sudah ada berita mengenai perampokan kiriman hadiah ke Kepala Negeri. Ternyata tidak terdengar kabar seperti itu.

Esoknya dia mengunjungi beberapa pasar dan warung makan mencoba mencari dengar pembicaraan tentang harta kiriman, tapi tidak ada berita seperti itu. Ia memutuskan esok pagi akan kembali ke Megalung dan mencari tahu dari sana.

Malam hari dia kembali mengunjungi Minur dan bercengkerama dengan gadis itu yang dengan gairah mencumbunya. Rampoli tak bisa tidak harus menghabiskan malam itu bersama Minur.

Menjelang pagi dia bangun untuk bersiap pergi. Minur telah menyediakan sarapan bagi kekasihnya sepagi itu. Rupanya dia calon istri yang baik dan mendukung tugas calon suaminya. Si emak juga sudah bangun dan memasak di dapur.

“Silakan sarapan dulu kakang,..” kata Minur.

“Baiklah Minur, dan panggil emakmu kesini,..” kata Rampoli.

Setelah sarapan Rampoli lalu memberi sejumlah uang kepada Minur yang cukup untuk hidup setahun dan memintanya menunggu dia kembali untuk menikahinya.

Dengan langkah pasti Rampoli berangkat menuju Megalung dan tiba disana petang hari. Ia segera mencari penginapan yang dekat dengan pasar. Dia berharap bisa memantau pasar itu jika ada sesuatu yang tidak biasa, seperti kerumunan orang banyak dan sejenisnya.

Dugaannya benar. Keesokan harinya dari warung di depan penginapannya ia melihat kerumunan orang yang terlihat ramai berbicara. Rampoli segera mendekat dan mencoba mendengar apa yang sedang diributkan.

“Ada apa ini kisanak,..?” tanya Rampoli kepada orang di sebelahnya.

“Ada pembunuhan,..” kata orang itu singkat.

Menurut cerita yang didengarnya disitu ternyata seorang prajurit yang pulang dari tugas jauh mendapati istrinya sedang berselingkuh dengan lelaki tetangganya. Kedua pasangan selingkuh itu lalu di bunuh oleh prajurit yang marah.

“Apakah prajurit itu sudah ditangkap,..??” tanya seseorang.

“Belum,.. Katanya dia segera melarikan diri setelah membunuh dua orang itu,..” jawab yang membawa berita.

“Siapakah prajurit itu,..?” tanya yang lain.

“Namanya Juritma. Dia dikenali oleh mertuanya yang melihat pembunuhan itu dari balik dinding dan segera lari berteriak minta tolong,..” jawab yang empunya cerita.

Rampoli secepatnya kembali ke penginapan dan pindah ke penginapan yang dekat dengan markas tentara. Dia ingin melihat pergerakan tentara. Adakah pengerahan prajurit untuk melakukan sesuatu?

Sementara itu, di Kadipaten Megalung.

Adipati Cadipa menerima laporan dari Komandan prajurit Kompra bahwa seorang prajuritnya yang sedang bertugas mengawal pengiriman hadiah untuk Kepala Negeri kembali ke rumahnya dan mendapati istrinya berselingkuh lalu membunuh laki-laki dan perempuan yang sedang bermain asmara.

“Prajurit itu sekarang sudah melarikan diri. Saya sudah minta Kepala Pamong Negeri untuk menangkap prajurit itu,..” lapor Kompra.

“Lho, apakah pengiriman hadiah itu sudah selesai,..?? Kok utusan khusus saya belum kembali,..” tanya Cadipa.

“Saya sudah mengirim satu pasukan kecil untuk menyelidikinya,..” jawab Kompra.

“Saya khawatir terjadi sesuatu pada hadiah kiriman itu. Sebaiknya kirim pasukan yang kuat untuk melacaknya dan jangan kembali sebelum tahu nasib kiriman itu,..!!” perintah Cadipa.

“Baik, tuanku,..” kata Kompra.

Ia segera kembali ke markasnya dan mempersiapkan pasukan yang lebih banyak, sekitar 350 orang, untuk menyusul pasukan kecil sebelumnya. Kesibukan itu diamati dengan baik oleh Rampoli hingga mereka berbaris keluar mengarah ke Kotaraja melalui jalan sebelah utara gunung, bukan jalan yang  melalui Gurada.

Rampoli memutuskan segera kembali ke kaki gunung Kalas, markas baru mereka. Setibanya di sana dia segera melaporkan apa yang dilihatnya di Megalung.

“Rupanya mereka baru tahu telah terjadi sesuatu dengan hadiah kiriman itu,..” lapor Rampoli.

“Tampaknya kita harus mempercepat menemukan para prajurit di Selonto, mungkin saja mereka sudah mulai datang kesana melihat situasi di Megalung. Terutama Juritma, dia mestinya menuju ke Selonto,..” kata Andragi.

“Saya akan pergi menyelidikinya,..” kata Lugasi.

“Ya, ... tapi sebaiknya berdua dengan bekas pimpinannya yang mengenalnya,..” jawab Andragi.

“Saya bekas pimpinan Juritma, dan kenal hampir semua prajurit yang mengawal harta itu,..” kata Pratur.

“Baiklah,.. pergilah segera meski bukan hari pasar karena Juritma mungkin sudah ada disana sekarang,..” kata Andragi.

“Juga pergilah bersama empat orang yang akan buat pondok persinggahan di pinggir hutan yang tersembunyi untuk persinggahan sebelum naik kesini,..” lanjut Andragi.

Pertempuran di Tempat Penyeberangan

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #84 )

Esok harinya mereka pun bersiap untuk berangkat menuju kaki gunung Kalas. Disaat sarapan Andragi sempat menanyakan tentang orang-orang dari desa Kalisunggi yang terpaksa mengungsi karena perampokan itu.

“Oh iya,.. ada beberapa orang yang menemui saya minta ijin tinggal di wilayah ini dan minta pekerjaan. Mereka bilang mereka pindah karena melihat daerah ini semakin ramai dan ingin mencari kehidupan baru,..” jawab Hobijo.

“Pintar juga mereka. Memang mereka yang kami suruh kesini dengan alasan itu, supaya aman. Semoga pak Hobijo bisa membantu mereka,.” kata Andragi.

“Saya berencana menempatkan mereka di daerah tepi hutan di sebelah barat dekat perbatasan dengan propinsi Landipa dan Gurada. Mereka bisa berladang disana sambil menjaga kelestarian hutan, dan akan dapat jatah hasil pertunjukan juga tentunya,..” kata Hobijo.

“Terimakasih pak Hobijo. Seperti yang saya duga, pak Hobijo akan membantu dan bisa memanfaatkan tenaga mereka juga untuk memajukan daerah ini sambil menjaga hutan,..” kata Andragi.

Setelah sarapan Andragi dan rombongannya minus  Angkuso, Huntari dan Huntaro (mereka akan tetap tinggal untuk melanjutkan pertunjukan harimau di sini), lalu berangkat menuju arah gunung Kalas.

Agar tidak mencolok mereka berjalan berdua atau bertiga dalam jarak tertentu. Andragi selalu ditemani oleh Lugasi, Brewok dan Loyo di belakangnya, lalu Balmis dan Codet di depannya. Di depannya lagi para pimpinan prajurit, dan paling belakang Rampoli dan Laja.

Menjelang malam mereka sampai di tepi sungai Priga yang lebar itu. Mereka memutuskan untuk bermalam di tepi sungai itu. Pratur dan Prawa yang berjalan paling depan tiba duluan segera mencari tempat untuk istirahat. Mereka memilih tempat di bawah sebatang pohon yang cukup rindang.

Belum berapa lama mereka bersandar di batang pohon itu mereka didatangi empat orang. Dalam bayangan bulan yang cukup terang, ke empat orang itu terlihat sangar dengan muka kasar dan kumis melintang.

“He,.. kenapa kalian tidak menyeberang sekarang,..??” tanya seorang.

“Kami mau istirahat dulu,..” kata Pratur.

“Enak saja..!! Tidak boleh istirahat disini,..!! bentak orang itu.

“Lho, memangnya kenapa,..?” tanya Pratur.

“Ini wilayah kani,.. tau..!! Kalian harus nyebrang sekarang,..!!”

“Tidak..!! Kami mau istirahat dulu, besok pagi kami nyebrang,..!!” jawab Prawa tidak kalah gertak.

Pratur dan Prawa mencium gelagat tidak baik melihat mereka memaksa untuk menyeberangi sungai malam-malam begini. Mereka tentu akan mencelakakan mereka di tengah sungai nantinya. Karena itu mereka ngotot tidak mau dipaksa menyeberang sekarang. Mereka pun lalu bangun dan bersiap.

Tanpa bicara lagi ke empat orang itu mengambil sikap menyerang. Dua dari mereka langsung mengarahkan tendangan ke  lawannya masing-masing. Pratur dan Prawa yang sudah siap dengan mudah mengelak, tapi segera dikejar oleh pukulan dari dua orang lawannya yang lain. Satu orang di keroyok berdua.

Dengan sigap Pratur merunduk membiarkan pukulan lawannya melayang di atas kepalanya dan justru berbalik melayangkan pukulan ke arah lawan satunya yang bersiap menyerang.

“BUUKK..!!”

Pukulan itu bersarang di dada orang itu yang langsung jatuh terjengkang ke belakang. Pratur pun langsung berguling ke arah orang yang jatuh itu untuk menghindar dari serangan lawan yang satunya. Sambil bergulingan itu ia sempat memberi satu pukulan lagi ke pinggang lawannya yang sudah jatuh itu.

“HEEKK..!!” keluar suara dari orang yang terpukul.

Pratur langsung melompat berdiri, bersiap menghadapi lawan yang satunya.

Rupanya hal yang sama terjadi pada lawan Prawa. Seorang lawannya dipukul jatuh dengan cara yang sama oleh Prawa dan mendapat tambahan pukulan di pinggang seperti yang dialami kawannya. Tidak heran, karena mereka adalah pimpinan prajurit yang terlatih dengan pola-pola menyerang dan bertahan dalam perkelahian maupun pertempuran.

Terkejut melihat kawannya terpukul dan jatuh, kedua orang lainnya segera mencabut golok.

“Bangsat..!! Kita cincang saja kedua kecoak ini,..!!” teriak seorang yang terlihat seperti pemimpin kawanan itu.

Keduanya langsung menyerang musuhnya masing-masing dengan ayunan golok mengarah ke leher. Pratur dan Prawa melompat menghindar mencoba menjauh agar mendapat ruang yang lebih luas dan berjarak. Gerakan mereka sangat lincah meski di kejar dengan sambaran golok. Ternyata kawanan ini menghadapi lawan yang tangguh. Tadinya mereka menduga akan cepat bisa meringkus dan mengalahkan lawannya.

Kedua lawan yang terpukul jatuh itu juga sudah mencoba bangun dan mencabut goloknya. Dengan sikap lebih berhati-hati keduanya mendekati Pratur dan Prawa yang sibuk menghindar sabetan golok lawan masing-masing. Namun sebelum sempat mendekati arena pertarungan mereka telah dihadang oleh tiga orang yang tidak lain adalah Prasa, Prati dan Prama.

“Hehehe..., jangan kesana.. Kita main-main disini saja, kawan,..” kata Prasa.

“He, pergi kalian..! Jangan ikut campur,..!!” bentak yang satu.

Keduanya langsung menyerang dengan ayunan golok kepada Prasa dan Prati, yang dengan sigap melompat mundur, menghindar. Prama yang yang tidak diserang melompat sambil mengayunkan tendangan keras ke orang yang menyerang Prasa.

“DEUUKK..!!”

Orang itu terpental dan terguling jatuh di dekat kaki Prasa yang segera menginjak punggungnya dan menekan dengan kakinya kuat-kuat.

“Curang,..!! Main kroyok,..euhhh..!!” katanya, dan mendapat hentakan tekanan dari kaki Prasa.

“Dasar culas,..!! Kalian tadi yang mengeroyok dua orang teman kami lebih dulu,..bodoh..!! bentak Prasa yang dengan keras menginjak tangan orang itu hingga golok yang dipegangnya terlepas.

Golok itu langsung diambil oleh Prasa dan mengarahkan ujungnya ke punggung pemiliknya yang tengkurap tak berdaya. Punggungnya masih ditekan oleh kaki Prasa dan ujung goloknya terasa menempel di kulit punggungnya. Dia hanya bisa memiringkan kepalanya denga mulut penuh pasir.

Hal yang sama juga dialami oleh temannya yang menyerang Prati. Ketika serangan goloknya bisa dihindari oleh Prati, maka Prama masuk dengan tendangan ke pinggang. Persis seperti kawannya dia pun jatuh terjengkang dan segera di injak oleh Prati dan menekannya mencium tanah. Goloknya juga sudah berpindah tangan.

Prama yang bebas tanpa lawan segera mendekati arena perkelahian Pratur. Dengan cara yang sama dia melumpuhkan lawan Pratur dengan tendangan pinggangnya yang segera disambut Pratur dengan injakan ke punggung lawannya dan merampas goloknya lalu menempelkan ujungnya di kulit punggung orang itu.

Lepas dari situ ia hendak melakukan hal serupa dengan lawan Prawa tapi diurungkan niatnya karena Prawa telah berhasil memukul dan meringkus lawannya. Rupanya ketika melihat temannya semua sudah dijatuhkan nyalinya jadi ciut dan lengah sehingga dengan mudah dipukul oleh Prawa.

“He,.. apa maksud kalian menyerang kami,..??” bentak Pratur yang kesal karena tadi sudah mau tertidur jadi terganggu.

“Ampun tuan,.. kami hanya tukang perahu,...” jawab yang dituakan.

“Oh,.. jadi kalian siang jadi tukang perahu dan malam jadi perampok rupanya,..” kata Prasa.

“Ampun tuan,... kami sekedar cari makan,..” kata orang itu.

“Kalian akan kami ikat malam ini, besok akan kami bawa ke pamong negeri terdekat,..” kata Prasa.

Mereka lalu mengikat ke empat perampok itu kuat-kuat masing-masing di sebatang pohon dalam posisi terduduk dengan punggung menyender ke pohon dan tangan terikat di belakang batang pohon.

Pada saat itu sebenarnya Loyo dan Brewok juga sudah sampai di dekat pinggir sungai itu, dan melihat akhir dari perkelahian. Loyo menahan Brewok untuk tidak menampakkan diri agar tidak diketahui mereka sebagai satu rombongan. Begitu pula ketika Andragi dan Lugasi lalu Rampoli dan Laja  serta Balmis dan Codet tiba mereka di tahan Loyo untuk tidak mendekat.

“Apakah yang terjadi, sobat Loyo,..??” tanya Lugasi.

“Rupanya kawan-kawan kita akan dirampok oleh empat orang tetapi sudah bisa mereka atasi. Para perampok sudah dilumpuhkan tanpa terluka dan sudah diikat di beberapa batang pohon,..” jelas Loyo.

“Hihhihi,..Untung bukan saya yang di rombongan terdepan,.. Kalau tidak pasti sudah ada yang buntung tangannya,..hihihi,..” kata Lugasi jenaka.

Semua yang mendengar tersenyum. Suasana selalu ceria jika ada Lugasi.

“Ide bagus sobat Loyo. Kita memang tidak boleh terlihat sebagai satu rombongan,..” kata Andragi.

Mereka lalu mencari tempat untuk beristirahat dalam jarak yang berdekatan tapi tidak terlihat dari pinggir sungai.

Sedang mereka duduk dan akan merebahkan diri datanglah sesosok bayangan ke arah mereka dari arah sungai. Lugasi dengan cepat melenting ke atas sebuah pohon, tapi kemudian turun lagi dengan tenang.

“Hmm, rupanya sobat Prati yang datang,...” bisik Lugasi.

Ketika bayangan itu sudah dekat Lugasi berdiri dan berbisik keras.

“SSSSSTT..!!,.. Kami disini,..!”

Prati langsung menuju ke tempat mereka.

“Saya disuruh melihat apakah tema-teman sudah sampai disini atau belum,..” kata Prati.

“Ya, kami sudah sampai dan tahu apa yang sudah terjadi tadi,..” kata Lugasi.

“Kami akan bermalam disini saja, dan besok kita berpura-pura tidak saling mengenal, biar tidak mencurigakan,..” kata Andragi.

“Baik, akan saya sampaikan,..” katanya lalu berbalik menuju kawan-kawannya.

Pagi harinya disaat matahari mulai menyembul, Prasa dan kawan-kawan membangunkan para perampok, membuka ikatan dari pohon dan mengikat ke belakang tangan mereka.

“Nah, kita akan bawa mereka ke Pamong Negeri dan serahkan mereka ke yang berwajib,..” kata Prasa.

“Ampun tuan, kami jangan diserahkan ke yang berwajib. Kami akan melakukan apa saja asal jangan diserahkan ke mereka,..” kata perampok yang dituakan menghiba.

Para perampok itu betul-betul ketakutan membayangkan hukuman cambuk yang membuat punggung dan betis kakinya menjadi bubur daging mereka sendiri.

Pada saat itu datanglah Andragi dan kawan-kawannya secara bergiliran, dua per dua.

“Ada apakah ini,..??” tanya Andragi kura-kura dalam perahu alias pura-pura tidak tahu.

“Kami menangkap para perampok ini,..” jawab Prasa bersandiwara.

“Kalau begitu serahkan saja mereka ke Pamong Negeri, biar mereka dihukum cambuk,..” kata Andragi.

“Ampun tuan, jangan serahkan kami ke yang berwajib. Kami hanya tukang perahu miskin yang khilaf,..” kata yang dituakan.

“Siapa namamu he,..??   tanya Prasa.

“Nama saya Satange, tuan. Tolong maafkan kami. Kami terpaksa melakukan karena anak saya sakit dan tak punya biaya berobat,..” orang itu menghiba.

“Betulkah katamu itu,..??” tanya Andragi.

“Sungguh tuan, .. itu rumah saya dibalik bulak ini,..” katanya sambil menunjuk ke arah sebuah desa yang tidak jauh dari tepi sungai itu.

“Kalau begitu, kita buktikan katamu itu. Ayo kita ke sana,..” kata Andragi mengajak Lugasi, Prasa dan Pratur.

Mereka pergi bersama orang itu ke rumahnya. Rumah itu lebih tepat disebut pondok daripada rumah karena begitu sederhana, pertanda pemiliknya orang miskin. Ternyata benar. Sesampai disana mereka bertemu dengan wajah sedih seorang wanita yang ternyata istrinya dan seorang anak yang tergeletak di amben bambu.

Andragi meraba dahi anak itu yang suhunya tinggi dan melihat ke dalam tenggorokannya yang terlihat merah. Anak itu tergeletak sangat lemah. Andragi lalu mengeluarkan botol yang berisi alkohol hasil produksi dari desa Harjagi. Satange dan juga Prasa dan Pratur terheran-heran melihat benda bening yang isi di dalamnya terlihat jelas. Mereka belum pernah melihat benda seperti itu selama hidup.

Andragi lalu membuka tutup botol itu dan menuangkan isinya ke tangan dan mengusapkan ke dahi, leher dada, perut, punggung dan ketiak anak itu. Hal itu dilakukannya berulang-ulang sehingga selang beberapa menit kemudian suhu badan anak itu turun. Ini membuat anak itu mulai bereaksi, dan matanya bisa bergerak normal.

“Emak,..” katanya lemah.

Ibunya segera datang menghampiri dan mengelus-elus anaknya.

“Beri dia air kelapa muda,..” kata Andragi.

 Ayahnya segera pergi memnjat pohon kelapa dan memetik beberapa buah yang belum tua. Setelah mengupasnya, air kelapa itu lalu diminumkan ke anaknya sesuap demi sesuap.

 “Beri dia makanan yang lembek,..” kata Andragi.

Kedua orang tua anak itu saling berpandangan dan ibunya lalu menunduk.

“Kami tidak punya beras untuk makan atau membuat bubur,..” jawab si ayah.

“Baiklah,.. anak ini harus diberi minum kelapa muda, dikasih makan yang cukup dan diolesi dengan bawang merah yang dicampur minyak kelapa,.. Ini ada sedikit uang untuk membeli semua keperluan itu,..” kata Andragi sambil memberikan beberapa keping uang perak yang cukup dipakai untuk hidup satu bulan penuh.

“Terimakasih banyak tuan. Saya berjamji tidak akan berbuat itu lagi,..” kata Satange, sambil berlutut menyembah.

Istrinya segera berbuat hal yang sama. Ia bahkan terisak-isak saking berterimakasihnya.

Menyimpan Harta Rampasan di Gua Harimau

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #83 )

“Dan untuk meyakinkan, kalian harus membuat 5 gundukan tanah seperti kuburan sebagai kuburan kalian masing-masing,..paham??” tanya Andragi.

“Ya, kami mengerti,..” jawab mereka hampir bersamaan.

Kelima orang itu pun langsung membuat gundukan kuburan palsu mereka masing-masing di tempat yang ditunjuk. Mereka mengerjakan dengan sungguh-sungguh dan membuat sebaik mungkin seakan sedang menguburkan dirinya sendiri.

Di bagian lain Rampoli bangun dan memeriksa para prajurit yang pulas tertidur. Diantara mereka ada juga yang tidak sepenuhnya tertidur dan ketika mereka coba bangun segera pula dilumpuhkan oleh Rampoli. Ia lalu mengambil setiap senjata para prajurit yang tertidur pulas itu dan mengumpulkannya di tempat terpisah.

 Setelah itu dia segera mendatangi Andragi dan teman-temannya dan berpura-pura sebagai tawanan yang ditangkap oleh Balmis dan Brewok. Rampoli juga berpura-pura minta dibunuh karena tidak bisa kembali jika gagal dalam tugas pengantaran ini. Ia juga lalu “disuruh” membuat kuburannya sendiri. Kelima pimpinan prajurit dalam hati merasa senang dapat tambahan teman senasib.

Selesai dengan pembuatan kuburan palsu, Andragi mengajak semuanya berkumpul dan menjelaskan apa yang selanjutnya mereka kerjakan.

Kini dengan bebas para “perampok” itu mengosongkan gerobag yang berisi berbagai benda berharga dan uang emas sebagai hadiah bagi kepala negeri Sudoba. Mereka memasukkan ke dalam karung-karung yang sudah disiapkan sebelumnya agar mudah dibawa oleh orang. Terkumpul sebanyak dua puluh karung berisi penuh benda-benda berharga itu.

Mereka lalu melepaskan dua ekor sapi penarik gerobag dan memuatkan sebagian karung di punggungnya. Sisanya dipikul oleh beberapa orang. Mereka lalu membawa karung-karung itu agak jauh ke dalam hutan dan menunggu disana sementara Lugasi, Andragi dan Balmis tetap ditempat itu karena yang harus mereka lakukan.

Andragi, Lugasi dan Balmis segera membakar semua rumah penduduk untuk mengesankan terjadinya perampokan besar-besaran dan ganas sehingga membuat warga desa itu melarikan diri entah kemana. Sementara api berkobar menyala di tengah malam dan menghanguskan rumah-rumah sederhana itu, ketiganya lalu  memeriksa para prajurit yang ternyata masih pulas tertidur. Demikian juga Laja.

Mereka naik keatas gerobag untuk beristirahat dan mengawasi para prajurit yang tertidur itu. Menjelang fajar satu persatu sudah ada yang mulai sadar dan mencoba bangun, tetapi tubuh mereka terasa lunglai seakan tak bertulang. Ketika matahari mulai muncul di balik bukit semuanya telah terbangun dan sebagian besar sudah bisa duduk tapi belum bisa bangun berdiri. Mereka juga segera menyadari senjata mereka sudah tidak ada di pinggang masing-masing.

Lugasi berdiri diatas gerobag sedangkan Andragi dan Balmis menjaga di sekitar para prajurit yang terduduk itu.

“He,... kalian semua,..!! Dengarkan,..!!” teriak Lugasi.

“Kalian telah kami lumpuhkan dan para pemimpin kalian teha mati terbunuh. Barang hantaran kalian telah kami rampas untuk kami kembalikan kepada rakyat Megalung..!!” kata Lugasi dengan lantang.

“Kalau kami ingin membunuh kalian, sejak tadi malam kalian sudah jadi bangkai,..!! Kami bukan perampok dan penjahat, karena itu kami membiarkan kalian hidup dan sekarang menunjukkan muka kepada kalian, karena kami tahu kalian hanya prajurit biasa dan punya anak dan istri yang harus dihidupi,..” pidato Lugasi.

“Nah, sekarang kalian bebas dan boleh pulang kalau sudah pulih,..!!” katanya mengakhiri.

“Tapi,... tuan,..??” tanya Laja tiba-tiba dan dia sudah bisa berlutut.

“Kemana teman saya disini,.. apa dia ...terbunuh,..??” tanya Laja.

“Uh, yang ada didekatmu,..hmmm.. sudah kami tawan karena dia tidak sepulas kalian tidurnya,..” jawab Lugasi.

Bagi Laja, Rampoli bukan hanya sekedar seorang sahabat saja tetapi lebih dari itu dia adalah dewa penolong yang menyelamatkan nyawanya dan sandaran dirinya yang bisa mengobati kalau sakitnya kambuh. Karena itu dia ingin juga ditawan saja, lagipula dia tidak akan bisa dibiarkan hidup kalau melaporkan bahwa tugas pengantaran itu telah gagal.

“Kalau begitu,... saya minta ditawan juga, tuan,..” Laja memohon.

“Lho,.. kenapa begitu,..??  Orang sudah dibebaskan kok malah minta ditawan,..hihihi,..” tanya Lugasi.

“Dia itu tabib saya,.. Saya akan mati kalau kambuh ...dan tidak diobatinya... Lagipula saya tidak bisa pulang kalau tugas ini gagal.. Saya akan dihukum mati,,!!” jawab Laja.

“Hmmm,... alasan yang baik,... baiklah,.. kau akan jadi tawanan kami menemaini kawanmu itu,..” kata Lugasi.

Tiba-tiba mulai terdengar suara-suara berbisik-bisik  diantara para prajurit yang semakin lama makin berdengung seperti suara orang-orang di keramaian.

“Heiii,.. DIAM..!!” Bentak Lugasi dan secepat kilat ia melenting tinggi dan berkelebat diantara pepohonan yang mengelilingi para prajurit itu lalu melenting kembali ke tempat semula diikuti dengan rontoknya banyak dahan sebesar lengan berjatuhan disekitar para prajurit. Merekapun langsung terdiam, membisu.

“Apa yang kaian ributkan,..he?? Apa leher kalian ingin putus seperti dahan-dahan itu,..he..??” bentak Lugasi.

“Ampun,.. tuan...” kata seorang prajurit sambil berlutut memberanikan diri menjawab.

“Kami ..juga... tidak bisa ...kembali, karena akan.. dihukum.. mati..” katanya.

“Hmmm,... bagaimana mungkin,..??” kata Lugasi sambil menggaruk-garuk kepalanya meski tidak gatal.

Andragi lalu naik keatas gerobag menggantikan Lugasi.

“Begini saudara-saudara.. Saat ini kami sedang berusaha mengembalikan barang rampasan itu kepada rakyat Megalung yang berhak menerimanya. Tugas ini tidak mudah. Dan kalian wajib membantunya, karena sebagai prajurit kalian pula yang telah ikut merampasnya dari rakyat Megalung.,,,” kata Andragi.

Para prajurit itu terdiam dan mata mereka bertanya-tanya.

“Baiklah, .... Dengarkan baik-baik,..” kata Andragi.

“Kalian tidak usah kembali ke markas kalian, tetapi pulang ke rumah masing-masing secara diam-diam lalu bawa anak istri kalian pergi menyeberang sungai Pragi menuju desa-desa di sekitar  Selonto di kaki gunung Kalas. Kalian akan kami bekali dengan uang yang cukup untuk hidup 6 bulan bersama keluarga. Tiga puluh hari dari sekarang kami akan ada di kaki gunung Kalas dan disana kalian bisa bergabung dengan kami...”

“Apa kalian mengerti,..?? tanya Andragi.

Terdengar gerendengan suara para prajurit itu berbicara satu dengan lainnya membahas kata-kata Andragi itu. Rupanya tidak ada pilihan lain yang lebih baik buat mereka selain menerima usulan itu.

“Baik, ... kami mengerti,..” kata prajurit yang dituakan.

“Nah,.. Selama menunggu 30 hari itu kalian sebaiknya menyebar di beberapa desa di sekitar Selonto  dan setiap satu atau dua pekan saling ketemu di pasar Selonto untuk mengetahui perkembangan keadaan,..” jelas Andragi.

Mereka pun mengangguk-angguk paham, dan melihat ada jalan untuk bisa tetap hidup. Lugasi dan Balmis lalu membagi-bagikan sejumlah keping uang kepada setiap prajurit untuk bekal mereka.

“Nah sekarang kami akan tinggalkan tempat ini. Sebelum kalian pergi kuburkan dulu komandan kalian yang terbunuh itu. Ganti pakaian kalian dan pergi satu-satu atau berdua. Jangan berombongan,.. Simpan pedang kalian baik-baik, jangan sampai kelihatan. Mungkin suatu saat diperlukan,” kata Andragi lagi.

“Oh, ya... Kalian boleh menangkap kambing atau ayam yang tertinggal di desa ini untuk sarapan, tetapi cepat pergi sebelum ada orang yang lewat disini,..” kata Lugasi.

Para prajurit segera bangun dan berganti pakaian. Ada yang segera menggali kubur dan ada yang menyiapkan sarapan. Setelah itu berdua-dua mereka pergi meninggalkan tempat itu secara sembunyi-sembunyi.

Andragi, Lugasi dan Balmis lalu mengajak Laja  menyingkir dari tempat itu masuk hutan menyusul teman-teman mereka yang sudah pergi lebih dulu. Setelah bertemu Andragi menceritakan apa yang baru mereka kerjakan terhadap para prajurit.

“Kenalkan ini sobat Laja yang mita dirinya jadi tawanan kita. Apakah bisa diterima,..??” tanya Andragi bersandiwara.

“Dia sahabat saya,.. dan sedang sakit. Dia butuh obat dari saya,..” kata Rampoli.

Yang lain mengangguk-angguk mencoba memaklumi apa yang dikatakan Rampoli. Laja merasa bersyukur atas kata-kata Rampoli yang baginya sangat membantu meyakinkan agar bisa bergabung dalam kelompok itu.

“Saya tidak bisa kembali karena akan dihukum mati atas kegagalan menghantarkan hadiah bagi Kepala Negeri,... Mohon bisa diterima,..” pinta Laja.

“Baiklah sobat Laja. Kami harap sobat bisa membantu kami,..” kata Andragi.

“Saya bisa berlari cepat dalam jarak jauh Semoga bisa berguna,..” jawab Laja.

Andragi lalu memperkenalkan semua teman-temannya kepada Laja, Rampoli dan kelima pimpinan prajurit.

 Setelah sarapan, mereka pun berangkat dengan membawa harta rampasan menuju ke Batu Tiga untuk beristirahat. Dari sana mereka melanjutkan ke tempat di dalam hutan yang ditunjuk oleh Huntari dan Huntaro. Tempat itu berupa gua batu diatas tebing yang biasa mereka gunakan sebagai pos intai mereka di dalam hutan kalau mereka berburu harimau. Gua itu hanya bisa dicapai dengan memanjat sebatang pohon di dekatnya atau dengan memasang tangga tali.

“Saya kira tempat ini bagus untuk menyimpan harta ini sebelum dibagikan kepada rakyat Megalung,.” kata Huntari.

“Saya setuju. Tempat ini cukup tersamar dan cukup luas,..” kata Andragi.

Mereka lalu menaikkan semua harta rampasan itu dan memasukkan ke dalam gua batu itu. Setelah itu mereka berunding untuk langkah selanjutnya.

Mereka memutuskan untuk sementara akan tinggal di tempat pak Hobijo sekalian mengantar pulang Angkuso, Huntari dan Huntaro. Dari sana mereka akan memantau perkembangan situasi akibat dari perampasan hadiah perkawinan Kepala Negeri Sudoba.

Malam itu mereka bermalam di depan gua batu itu. Saat matahari mulai merekah mereka menuju tempat pak Hobijo dituntun oleh Huntari dan Huntaro yang sangat mengenal wilayah hutan itu. Tetapi mereka memilih jalan melingkar yang sebenarnya lebih sulit dan agak jauh.

 Siang hari mereka tiba disana dan disambut langsung oleh pak Hobijo di rumahnya yang besar dan luas.

“Selamat datang sobat Andragi, sobat Sehut dan kawan-kawan. Semoga semuanya baik-baik saja,..” sambut Hobijo.

Andragi lalu memperkenalkan orang-orang yang ikut menjadi ‘tawanan’ nya. Setelah dijamu makan siang mereka lalu ditempatkan dalam rumah tersendiri yang agak terpisah dari bangunan induk. Hanya Andragi dan Lugasi yang mendapat kamar sendiri di bangunan induk. Sedangkan Angkuso kembali menempati kamarnya sendiri.

Malam harinya Andragi, Lugasi, Angkuso dan pak Hobijo membicarakan rencana mereka selanjutnya.

“Kami bermaksud membangun sebuah daerah baru di kaki gunung Kalas sebagai tempat hidup yang baru buat para bekas prajurit yang tidak bisa kembali lagi ke markas mereka di Megalung karena gagal menjalankan tugas. Dari situ kami akan mengembalikan harta rampasan itu untuk kebaikan rakyat Megalung,..” Andragi menjelaskan.

“Pikiran yang bagus. Semoga usaha itu lancar,..” kata Hobijo.

“Karena itu besok kami akan segera pergi menuju kaki gunung Kalas. Tapi malam ini saya minta sobat Lugasi, Angkuso, Huntari, Huntaro, Loyo dan Brewok pergi mengamankan harta rampasan itu sesuai rencana,..” kata Andragi.

Malam itu diam-diam Lugasi, Huntari dan Huntaro mengajak Loyo dan Brewok pergi ke gua di dinding karang tempat mereka menyimpan harta rampasan melalui jalan pintas yang biasa dipakai oleh Huntari dan Huntaro.

Sesampai disana mereka menurunkan hampir semua harta rampasan itu dan memindahkannya ke gua sarang harimau tempat Lugasi menyelamatkan anak harimau. Karena jumlahnya yang banyak mereka beberapa kali bolak balik memindahkan karung-karung harta itu dengan disaksikan oleh beberapa pasang mata harimau. Binatang-binatang buas itu hanya diam mengawasi setelah diajak bicara oleh Lugasi, juga Huntari dan Huntaro. Mereka masih mengenal ketiga orang ini dan tidak ingin ditotok lagi rupanya.

“Apakah semuanya kita pindahkan ke sarang harimau,..??” tanya Brewok.

“Tidak,.. sisakan 2 karung di gua ini. Dan bawa setengah karung uang perak dan emas untuk bekal kita di kaki gunung Kalas,..” jawab Lugasi.

Setelah selesai memindahkan harta rampasan itu, meninggalkan dua karung di gua dinding karang dan membungkus setengah karung uang perak dan emas ke dalam tiga kantong lebih kecil, mereka segera kembali ke rumah Hobijo.

Merampok Harta Rampasan

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #82 )


Dua hari kemudian,
sejak pagi-pagi Andragi dan Loyo menuju sebuah bukit tak jauh dari desa itu dan dengan memanjat sebuah pohon yang tinggi keduanya bergantian melihat ke arah jalan yang menuju Megalung melalui teropong milik Andragi. Dengan mata sakti itu mereka bisa melihat benda yang sangat jauh yang tidak tampak oleh mata telanjang.

Seharian itu belum tampak rombongan yang mereka harapkan, tetapi menjelang sore hari Andragi melihat bintik-bintik kecil yang bergerak pelan di kejauhan.

“Akhirnya mereka datang,..” katanya kepada Loyo sambil menyodorkan teropong kepadanya.

“Ya,... benar. Mereka datang,.. hmm jumlahnya cukup banyak,..” kata Loyo.

“Ada berapa kira-kira,..??” tanya Andragi.

“Saya kira sekitar seratusan orang prajurit yang mengawalnya. Pengawalan yang sangat kuat,..” jawab Loyo menyerahkan kembali teropong ke Andragi.

“Ya,.. sangat kuat. Juga ada dua gerobag,..” kata Andragi dari balik teropong.

Mereka buru-buru turun dari pohon dan bergegas kembali ke pendopo rumah Kepala Desa. Kesembilan orang itu lalu diberi tahu untuk bersiap diri sebaik-baiknya.

“Mereka sudah terlihat. Dengan mata saktinya sobat Andragi telah melihat mereka datang,..” lapor Loyo.

“Berapa lama mereka akan sampai ke sini,..??” tanya Brewok yang sudah tahu kesaktian Andragi.

“Sekitar 2 jam, dan jumlah pengawalnya sekitar seratusan dengan membawa dua gerobag,..” jawab Andragi.

“Apakah bisa dipastikan jumlah mereka,...??” tanya Angkuso agak menyangsikan.

“Hmm... baiklah. Mari tolong bantu saya menghitung berapa jumlah mereka, mumpung masih banyak waktu,..” lawab Andragi.

Mereka semua pergi menuju pohon besar itu dan bergantian memanjat bersama Andragi yang tetap diatas pohon. Mula-mula Angkuso diminta melihat ke arah yang ditunjuk oleh Andragi.

“Saya tak melihat apapun disana,..” kata Angkuso.

“Coba pakai ini, seperti saya memakainya,..” kata Andragi sambil mengulungkan teropongnya.

Begitu dipakai teropong itu betapa terkejutnya Angkuso karena dia bisa melihat ada rombongan sekecil semut yang bergerak menuju arah mereka. Dia coba menghitung jumlahnya .

“Hai,..Luar Biasa..!! Saya bisa melihat mereka datang,..!!” seru Angkuso.

Bergantian hal itu dilakukan oleh Balmis, Codet, Huntari dan Huntaro. Merekapun terheran-heran melihat kesaktian Andragi dengan alat ajaibnya.

 “Tidak heran kalau guru mereka Sehut menyebut sobat Andragi ini gurunya yang punya banyak kesaktian,..” bisik Huntari kepada Huntaro.

Setelah puas melihat melalui teropong itu mereka bergegas kembali ke pendopo rumah kepala desa dan mempersiapkan segala yang diperlukan.

Benar saja! Selepas matahari tenggelam terdengar derap langkah dan suara orang memasuki desa itu.

“BRENTII..!!,..” teriak seseorang.

“Kita akan menginap di desa ini,..! Panggil kepala desa kemari,..!!” perintah orang itu yang jadi komandan pasukan pengawal.

Dua orang prajurit segera berlari menuju pendopo rumah kepala desa yang lampu sentirnya sudah dinyalakan, sedangkan rumah lainnya tampak gelap.

“Hai kepala desa, cepat ikut kami,..!! “perintah seorang prajurit.

Loyo membuka pintu dan berlari-lari kecil mengikuti dua orang prajurit itu menuju komandan mereka. Dari jauh diikuti Huntari dan Huntaro.

“He, kepala desa..!! Kami prajurit Megalung akan menginap disini. Suruh pendudukmu menyiapkan makanan dan membagikan minuman kepada semua prajurit pengawal,..!!” perintah komandan itu.

“Ba..ik ko..mandan,...” kata Loyo berpura-pura gugup.

Sekilas dilihatnya Rampoli ada di dekat seseorang yang diduganya tentu Laja. Rampoli terlihat mengangguk tipis.

Loyo segera kembali ke pendopo desa dan mengumpukan para “penduduknya” untuk membagikan minuman dan menyiapkan makanan. Inilah kesempatan yang memang ditunggu-tunggu. Mereka lalu menghangatkan wedang jahe yang memang sudah dipersiapkan sebelumnya dan dibubuhi obat tidur yang terbuat dari dedaunan sejenis kecubung dan akar-akaran tuba. Setelah siap mereka lalu membagikan kepada para prajurit yang segera meminumnya dengan lahap karena haus dan lelah.

Pada saat menghidangkan minuman itu Rampoli sengaja minta ijin ke Laja untuk buang air besar katanya. Tanpa curiga Laja mengiyakan. Rampoli lalu menyelinap ke balik kerimbunan semak dan pepohonan dan menuju ke belakang rumah kepala desa. Disana dia mengambil sebuah mangkuk dan mengisinya dengam wedang jahe yang tidak dibubuhi obat tidur yang sudah diberi tanda khusus oleh Loyo. Rampoli lalu menyelinap dan kembali ke dekat Laja sambil membawa minumannya.

“Ah, rupanya sobat Rampoli sudah membawa wedang jahe sendiri. Ini saya sudah mintakan juga sebuah mangkuk untukmu,..” kata Laja.

“Eh, iya. Sambil menuju kesini tadi sengaja saya minta sebuah mangkuk wedang jahe kepada penduduk yang melayani supaya kita dapat jatah dua. Wedang jahe yang satu itu buat sobat Laja saja karena baik untuk kesehatan sobat agar tidak kambuh lagi,..” jawab Rampoli.

“Oh, baiklah kalau begitu,..” kata Laja tanpa ragu meraihnya dan meminumnya.

Di bagian lain komandan pengawal dan para pimpinan prajurit lebih memilih minum tuak dari pada minuman rakyat wedang jahe itu. Jumlah mereka ada sepuluh orang. Mereka menolak dengan kasar saat ditawari wedang jahe.

“He..!! bawa pergi minuman itu. Kasih untuk para prajurit. Kalau sudah cepat siapkan makan malam buat mereka,..!!” hardik sang komandan.

“Para penduduk” itu segera menghilang ke rumah masing-masing setelah menghidangkan miuman wedang jahe bercampur obat tidur. Mereka bersiap melakukan penyerangan.

Beberapa saat kemudian para pimpinan prajurit itu tiba-tiba sadar kalau sudah tidak terdengar celoteh para prajurit, karena semuanya jatuh tertidur. Laja juga tertidur. Hanya Rampoli yang pura-pura tertidur. Diam-diam dia menyiapkan senjatanya untuk bertempur.

“He,..!! Kenapa semua prajurit kita tertidur?? Mereka telah diracun oleh penduduk sini. Kurang ajar..!! Ayo kita bunuh mereka semua,..!!” teriak komandan pengawal.

Mereka berlari menyerbu pendopo desa. Tetapi tanpa setahu mereka tiba-tiba berkelebat empat bayangan dengan cepat menyerang para pemimpin prajurit. Tanpa punya kesempatan mengelak atau menangkis empat orang dari pimpinan prajurit itu sudah tumbang dengan leher hampir putus.

Sisanya segera membentuk lingkaran sebagai pertahanan. Mereka tidak berani ssecara gegabah menyerang ke rumah penduduk. Mereka sadar kalau bukan penduduk biasa yang mereka hadapi.

“Menyerahlah, sebelum kalian mati dengan leher terputus,..!!” terdengar teriakan nyaring dari Lugasi entah dari arah mana suara itu datang.

“Keluarlah kau pengecut,..!!!’ teriak Komandan pasukan itu.

Begitu suara itu menghilang berlompatan empat orang menyerang para pimpinan prajurit. Mereka tidak lain Balmis, Codet, Loyo dan Brewok. Segera terjadi pertempuran empat lawan enam. Tetapi belum sempat kedua pimpinan prajurit yang tidak mendapat lawan bisa membantu, tiba-tiba berkelebat empat bayangan yang menggelinding cepat lalu melenting tinggi dan diluar sadar mereka leher komandan pasukan itu telah tertebas dan tiga orang pimpinan prajurit roboh mengelosor terkena totokan.

Kedua pimpinan prajurit yang tersisa segera menyerang membabi buta seperti kesetanan. Brewok, Loyo, Balmis dan Codet menghindar tetapi tetap dalam posisi memgurung kedua pimpinan prajurit itu.

“Menyerahlah sebelum kalian mati,.!!” kata Lugasi.

“Tidak,..!! Bagaimanapun kami harus menang atau mati,..!!” jawab seorang dari keduanya sambil kembali menyerang dengan kalap.

Serangan membabi buta itu dengan tenang dihindari oleh Balmis dan kawan-kawan apalagi musuh mereka tinggal dua orang saja. Karena itu pertahanan keduanya sering terbuka ketika serangan mereka bisa dihindari, Dalam beberapa jurus saja Huntari dan Huntaro sudah dapat merubuhkan keduanya dengan totokan yang melumpuhkan.

Pertempuran pun terhenti dengan menyisakan lima orang pimpinan prajurit yang tertotok tak berdaya. Mereka lalu didudukkan dengan saling beradu punggung.

“Nah,.. terpaksa kalian kami lumpuhkan karena tidak mau menyerah,..” kata Lugasi.

“Bunuhlah kami,..!” kata seorang yang tertotok.

“Hiihihi,.. bukannya menyerah atau minta dibebaskan, kau malah minta dibunuh. Sodah bosan hidup ya,..??” tanya Lugasi.

“Bunuhlah kami,... cepat bunuh kami,..!!” jawab seorang yang lain.

“Iya, ... bunuh saja kami,..” sahut yang lain.

“Lho, kalian akan kami bebaskan kalau menyerah,..?? kata Lugasi bertanya-tanya.

“Percuma,... kami juga akan mati,...” jawab seorang yang paling tua diantara mereka.

“Lho,.. kenapa begitu,..??” tanya Lugasi.

“Kalaupun bebas kami akan dihukum mati oleh Adipati Cadipa karena gagal menjalankan tugas,..” jawab pimpinan prajurit itu.

“Oooo,..Jadi kalau kalian kami bebaskan mau apa kalian,..??” tanya Lugasi.

“Kami tidak tahu,...kami tak bisa kembali,.. Karena itu bunuhlah kami,..” pinta pimpinan prajurit itu.

“Hmmm, kenapa tidak jadi perampok saja,..??” tanya Lugasi.

“Kami ini prajurit,... kami tidak biasa merampok,..” jawab orang itu.

“Ah, masa,...!?   Bukankah kalian prajurit yang melindungi Adipati Cadipa memeras harta rakyat,..!! Ini buktinya,..!! Jadi, kalian selama ini sudah menjadi perampok,..!! Perampok harta rakyat,..!! Tahu,..!!” bentak Lugasi dengan keras.

Lugasi sangat membenci orang pemerintah dan para tentaranya karena hal-hal seperti ini. Dia kenal betul penderitaan rakyat jelata yang semakin sengsara atas ulah orang-orang pemerintah.

“Kami hanya ... menjalankan tugas,.... Kalau tidak... kamilah yang dihukum,..” jawab pimpinan prajurit itu.

“Hmm, baiklah..” kata Andragi menyela.

“Kalian akan kami bebaskan dan terserah kalian mau kemana. Kami masih punya banyak pekerjaan mengembalikan harta ini kepada rakyat yang telah kalian peras. Kami bukan perampok harta rakyat, ...” lanjut Andragi.

Dengan isyarat dia lalu meminta Lugasi, Angkuso, Huntari dan Huntaro membebaskan ke empat pimpinan prajurit itu dari totokan. Setelah itu mereka segera menuju gerobag yang membawa barang-barang berharga hadiah bagi kepala negeri Sodoba.

Para pimpinan prajurit itu duduk terbengong-bengong tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka bingung kenapa mereka dibebaskan begitu saja. Dengan bisik-bisik mereka berunding.

“Sebentar tuan,..!!” teriak pimpinan prajurit yang dituakan sambil berlari mendekati Andragi dan kawan-kawannya yang sedang mengelilingi kedua gerobag.

“Ya, ada apa,..??” tanya Andragi berbalik.

“Kami ingin bicara tuan,..” kata orang itu sambil berbalik kembali ke teman-temanya.

Andragi dan kawan-kawan pun segera mengikuti menuju tempat para pimpinan prajurit yang masih terduduk di tempatnya meski sudah dibebaskan dari totokan.

“Kami tidak bisa pulang dan kami tidak tahu hendak pergi kemana. Bolehkah kami ikut dengan kelompok tuan-tuan,..??” tanya orang yang dituakan.

“Kenapa begitu,..kami tidak kenal kalian dan kalian adalah prajurit yang biasa memeras rakyat,..!!” sergah Lugasi.

“Kami pikir kelompok tuan adalah kelompok yang kuat dan baik. Kami bisa berlindung dan mungkin bisa menebus kesalahan-kesalahan kami selama ini,.. tapi,...??”

“Tapi apa,..??” tanya Andragi.

“Tapi kami harus terbunuh disini,..” jawab seorang yang lain.

“Kenapa begitu,..??: tanya Andragi.

“Supaya keluarga kami aman, tidak diapa-apakan. Kalau kami melarikan diri tentu mereka akan disiksa dan dibuat sengsara,..” jawab yang dituakan.

Memang itulah dilema seorang prajurit. Mereka hanya sebuah bagian dari mesin penggerak kekuasaan. Mereka tak bisa menjadi diri mereka sendiri yang bebas menentukan apa yang ingin mereka lakukan. Andragi melihat kesulitan mereka itu. Memang hanya ada satu pilihan bagi mereka sekarang yakni MATI. Mati dalam pertempuran atau pulang dan mati dihukum. Kalau melarikan diri, anak istri dan keluarga mereka akan disiksa dan mendapat perlakuan yang menyakitkan.

“Hmm, baiklah,... tapi kalian harus menunjukkan niat yang sungguh-sungguh karena kita sedang memperjuangkan keadilan bagi rakyat. Kalau kita berhasil suatu saat kalian bisa kumpul lagi dengan keluarga kalian tanpa perlu takut, dan menjadi warga yang dihormati,..” jelas Andragi.

“Terimakasih banyak tuan,..” jawab mereka hampir serempak.

“Jangan panggil kami tuan, sebut saja sobat,..” kata Andragi.

Andragi lalu memperkenalkan satu persatu teman-temannya kepada para pimpinan prajurit yang menjadi anggota baru mereka.

“Nah karena kalian telah dinyatakan mati maka kalian harus berganti nama. Saya beri nama saja Prasa, Prawa, Prati, Pratur, Prama,..” kata Andragi  sambil menunjuk mereka masing-masing.

“Jangan khawatir, nama asli kalian akan bisa digunakan kembali kalau perjuangan kita berhasil,..” lanjut Andragi.

Kelima orang itu mengangguk-angguk setuju dan dalam hati mulai mengingat-ingat nama baru mereka masing-masing.

KOMENTAR ANDA