Adu Lihay Kepala Negeri Dengan Perdana Menteri

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #56 )


Sementara itu, ses
eorang yang dilihat Lugasi mampu berlari cepat tanpa kenal lelah saat dia sedang menuju ke Rajapurwa serta tidak berhasil dikejarnya dulu, setelah mengamati selama lebih dari sepekan di Rajapurwa segera kembali pulang. Ternyata ia menuju ke ibukota propinsi Gurada. Jarak yang biasanya ditempuh dalam lima sampai enam hari bagi orang biasa itu baginya hanya memerlukan satu setengah hari, itupun karena berhenti untuk makan dan tidur. Dia memang memiliki ilmu berlari cepat dalam jarak yang sangat jauh hanya dengan memakan dedaunan tertentu yang disamarkan dalam lalapan. Namanya Laja, dan digelari Pelari Ajaib. Ia bekerja sebagai salah satu ajudan gubernur Gurada, Marsidu.

Begitu tiba di Gurada ia segera melapor kepada gubernur Marsidu, yang saat itu ditemani oleh anak lelakinya Cadipa.

“Bagaimana suasana Rajapurwa? Apa yang kamu lihat menjelang pemilihan Adipati baru?”

Dengan jelas Laja menceritakan apa yang diamatinya di Rajapurwa, termasuk dukungan rakyat terhadap Jaira yang dilihatnya sendiri saat Jaira kembali dari Buntung.

“Meskipun belum diumumkan calon Adipati secara resmi, tetapi rakyat sudah tahu Jaira mendapat restu dari pusat,” kata Laja mengakhiri laporannya.

“Restu dari pusat? Mungkinkah restu itu datang dari pakde-mu Kepala Negeri Sudoba?” tanya Marsidu ke arah anaknya Cadipa.

“Rasanya tidak, ayah. Bukankah ayah sudah berpesan kepada pakde Sudoba agar memberi saya jabatan Adipati kalau ada yang kosong?” jawab Cadipa.

“Iya, tetapi sebagai Kepala Negeri Klapa Getir banyak urusan yang harus ditanganinya sehingga lupa soal itu. Atau bisa saja ada pertimbangan yang lain. Atau...?” kata Marsidu sambil berpikir.

“Atau apa ayah?”

“Atau mungkin si Jaira itu mendapat restu dari Perdana Menteri Jukamu. Kalau itu yang terjadi, sebaiknya kita segera memberi tahu pakde-mu Sudoba,” kata Marsidu.

“Betul ayah. Saya juga menduga begitu,” kata Cadipa.

“Kalau begitu, biar Laja membawa surat saya kepada pakde Sudoba agar tidak terlambat,” kata sang Gubernur.

Marsidu lalu menulis dua surat, satu kepada Sudoba berisi laporan sepak terjang calon Adipati Rajapurwa dan satunya lagi kepada kakaknya, istri   Sudoba, mengingatkan janji Sudoba untuk Cadipa, keponakannya. Ditandatanganinya kedua surat itu sebagai surat pribadi.

“Laja, kamu secepatnya ke Kotaraja,” perintah Marsidu. “Temui Ibu Negeri Sudoba, kakakku, di kediaman pribadinya. Berikan dua surat ini. Ceritakan sedikit tentang isinya. Kamu tunggu hingga mendapat surat balasan dari suaminya Sudoba, lalu cepat kembali. Jangan berlambat-lambat, karena waktu kita sempit. Kamu paham?”

“Saya mengerti gubernur!” jawab Laja.

Gubernur Marsidu memberikan sekantung tebal uang perak kepada Laja sebagai bekalnya.

“Jangan lupa, katakan juga kami akan mengirim hadiah istimewa pada hari perkawinan mereka tahun ini, dari propinsi yang subur ini,” pesan Marsidu.

Laja segera bersiap. Ia harus melakukan ritual khusus agar ilmu lari cepat jarak jauhnya dapat digunakan. Ia harus berpantang makan daging dan minum tuak semalam sebelum berangkat. Ia harus memakan lalapan yang dibuatnya sendiri secara khusus berisi reramuan daun-daun tertentu yang disamarkan ke dalam semacam urap. Malam itu ia beristirahat memulihkan tenaganya serta agar reramuan itu meresap ke dalam seluruh persendian dan otot di tubuhnya.

Ia bangun saat matahari belum nampak, sarapan urap berkhasiatnya, lalu berangkat menuju Kotaraja. Ia memilih jalur pendek yaitu melalui celah empat gunung. jalur ini lumayan berbahaya karena sepi dan sering disatroni oleh perampok. Jalur lain yang agak ramai, namun lebih jauh, melewati sebelah selatan empat gunung menyusuri pantai. Meski agak rawan, tetapi dengan larinya yang cepat itu dia tidak perlu merasa khawatir.

Benar, perjalanannya sama sekali tidak mendapat halangan, dan dia tiba di Kotaraja dua hari kemudian. Laja langsung menuju kediaman pribadi Sudoba. Setelah memberitahu maksud kedatangannya kepada komandan penjaga serta menunjukkan emblem gubernur Gurada, ia diperbolehkan masuk dan menanti di ruang tunggu. Beberapa saat kemudian muncul seorang wanita, pembantu pribadi nyonya Sudoba. Laja menunjukkan emblem gubernur Gurada lagi dan minta bertemu dengan Ibu Negeri. Wanita itu masuk lagi dan sejenak kemudian kembali untuk mempersilakannya masuk ke ruang dalam. Disana sudah menanti nyonya rumah.

“Ah, saudara Laja rupanya. Selamat datang. Apa yang membuatmu datang kemari?” sapa nyonya Sudoba ramah.

“Maafkan saya Yang Mulia Ibu Negeri. Saya diutus oleh Yang Mulia Gubernur Gurada untuk menyampaikan salam hormat kepada Yang Mulia Kepala Negeri dan keluarga. Juga mengabarkan akan memberi hadiah istimewa pada perayaan ulang tahun pernikahan Yang Mulia tahun ini, karena propinsi Gurada menghasilkan panen yang berlimpah. Selain itu, Yang Mulia Gubernur juga menitipkan dua surat, satu untuk Yang Mulia Ibu Negeri dan satunya untuk Yang Mulia Kepala Negeri. Mohon dapat diterima,” kata Laja sambil mengulurkan surat-surat itu.

“Ya, terimakasih. Adikku itu tiap tahun tidak lupa memberi hadiah kepada kami. Bagaimana keadaan dia sekeluarga? Ah, tentunya ada disurat ini, tetapi kau boleh menceritakan yang kau lihat,” katanya sambil menerima surat-surat itu.

“Semuanya dalam keadaan baik, dan sehat. Kecuali,...”

Laja sengaja berhenti menelan ludah.

“Kecuali apa, saudara Laja?”

“Keponakan Yang Mulia Ibu Negeri, Tuan Muda Cadipa. Ia belum mempunyai kedudukan yang pantas,” jawab Laja.

“Ah, iya. Tentu surat ini mengingatkan janjiku untuknya. Jangan khawatir, aku selalu ingat. Tunggu, biar aku membacanya dulu,” kata nya sambil membuka amplop surat yang masih tersegel rapi itu.

Ia mambaca surat dari adiknya itu sejenak. Dahinya tampak berkerut.

“Hmmm, ya..ya,.. Jadi, kursi Adipati Rajapurwa sedang kosong. Aku tak mengetahuinya. Baik, nanti malam saya akan bicara dengan Paduka Kepala Negeri. Besok akan kusampaikan kepadamu. Sementara ini kau boleh tinggal di wisma pribadi kami di belakang,” kata Ibu Negeri itu.

“Terimakasih Yang Mulia. Saya diperintah untuk menunggu jawaban dari Yang Mulia Kepala Negeri,” jawab Laja.

Ia lalu minta diri. Dengan diantar seorang petugas, ia menuju wisma pribadi yang dimaksudkan.

Malam itu, saat menjelang tidur, nyonya Sudoba berbicara dengan suaminya. Hanya itu saat yang bisa mereka bicarakan secara pribadi karena setiap waktu Sudoba selalu dikelilingi banyak tamu, sepanjang hari. Bahkan dalam jamuan makan, semuanya diatur oleh protokol.

“Apa bapak sudah dengar kalau kursi Adipati Rajapurwa sedang kosong?” tanya istrinya tiba-tiba.

“Rasanya, tidak. Saya belum dengar itu. Darimana ibu tahu?” suaminya balik bertanya.

“Seorang ajudan pribadi adikku gubernur Marsidu datang memberi tahu. Ia membawa surat pribadi dari Marsidu,” kata istrinya sambil mengulurkan surat yang dimaksud.

Sudoba segera membacanya, dan dahinya berkerut agak dalam.

“Hmm, rupanya Jukamu menyembunyikan kabar ini dariku. Apa maksudnya menempatkan orangnya di Rajapurwa. Apa yang terjadi disana? Jangan-jangan..?” ia bergumam.

Kenapa, pak?” tanya istrinya.

“Jangan-jangan ia mau membangun basis daerah pemilihannya disana, mumpung pemilihan berikutnya masih tiga tahun lagi. Kelihatannya begitu, karena calon Adipatinya itu mendapat banyak dukungan disana. Baiklah, besok aku akan bicara dengannya,” kata penguasa negeri Klapa Getir itu.

“Tetapi jangan lupa soal janjimu kepada keponakan kita Cadipa, lho!” desak istrinya.

“Hmm, ya. Akan kupikirkan jalannya.”

“Tidak pakai ‘akan’, pak! Pastikan Cadipa jadi Adipati disana. Pokoknya ibu tidak mau tahu!” tuntut istrinya.

“Ya.ya.. Akan kujadikan dia Adipati disana.!”

“Nah, begitu! Awas kalau tidak!’ kini ia mengancam.

“Dan ingat, lho pak. Utusan itu harus membawa pulang jawaban yang pasti. Dia akan menunggu balasan bapak!” lanjut istrunya.

Ya..ya.. Besok semuanya akan jelas. Sekarang biarlah aku beristirahat,” kata Sudoba mengakhiri pembicaraan mereka.

Esok harinya ia segera memanggil Perdana Menteri Jukamu ke istana negeri. Jukamu yang mendapat panggilan mendadak itu segera menyadari ada sesuatu yang penting. Ia mempersiapkan diri dengan meneliti beberapa persoalan. Jika urusannya soal pemerintahan secara umum, tidak perlu terlalu dipusingkan. Karena itu ia memusatkan pada persoalan yang berkaitan secara pribadi dengan Kepala Negeri. Salah satunya tentu soal Adipati Rajapurwa, karena biasanya soal jabatan-jabatan penting selalu menjadi perhatian para penguasa untuk membangun jejaring yang kuat dengan memasang para kroni mereka di posisi-posisi itu. Tentu Sudoba juga berkepentingan dengan jabatan Adipati itu.

“Baiklah, kalau perlu kita tukar tambah saja,” katanya dalam hati.

Pasukan pengawal istana segera berbaris memberi hormat kepada Perdana Menteri saat ia memasuki halaman istana. Protokol segera mempersilakannya masuk ke ruang khusus bagi pembicaraan empat mata. Beberapa saat kemudian Sudoba keluar menemuinya dengan senyum yang lebar. Setelah berbasa-basi sebentar soal jalannya pemerintahan, Sudoba segera masuk ke inti pembicaraan mereka.

   “Pak, Jukamu. Saya dengar Adipati Rajapurwa telah tewas. Ada persoalan apakah disana?” tanya Kepala Negeri.

“Maafkan saya, karena paduka harus mendengarkan dari sumber lain sebelum saya melapor. Sebenarnya hanya masalah kecil tetapi tampaknya ada yang mencoba mempolitisirnya supaya terjadi kegoncangan di negeri ini. Saya sedang meredamnya agar tidak meluas dan dan tampaknya berhasil. Karena itu saya tidak ingin merepotkan paduka karena masalah sepele ini,” kilahnya.

 “Oh, begitu. Bagaimana sebenarnya duduk perkaranya?” tanya Sudoba menyelidik.

(“Nah ini dia,” pikir Jukamu. “Apapapun yang didengar oleh Sudoba, aku harus melaporkan sesuai versiku.”)

“Masalah Adipati itu sesungguhnya soal perselingkuhan antara istrinya dengan kepala pasukan kadipaten dan seorang pemuda biasa. Kepala Pasukan itu, bekerja sama dengan kekasihnya, membuat skenario cerdik dengan menangkap anak muda pesaing cintanya dengan tuduhan sebagai Kepala perampok Gunung Kembar, dan dicitrakan sebagai pemimpin yang akan membebaskan rakyat dari penindasan kita, pemerintah dan aparatnya. Malam harinya diam-diam ia memimpin pasukannya seakan pasukan siluman Gunung Kembar, datang menyerang kota Rajapurwa, membakar habis rumah Adipati dan menghilangkan anak muda itu,” kata Jukamu.

“Meskipun Adipati sempat lolos, tetapi akhirnya tewas juga ditangannya dalam penyerangan sandiwara ke Gunung Kembar. Cerdiknya, Kepala Pasukan itu, namanya Setiaka, bekerjasama dengan beberapa orang pendekar membuat beberapa keributan melawan pemerintah atas nama Anak Langit, pembela rakyat dari penindasan. Berita tentang Anak Langit itu lalu dihembus-hembuskan dan dibesar-besarkan,” lanjutnya.

“Setelah berbicara dengan Gubernur Landipa, saya memintanya menugaskan Kepala Pasukan Buntung, Jaira namanya, untuk meredam sepak terjang Setiaka dan Anak Langit, karena sebelumnya ia sudah lebih dahulu mengejar Anak Langit hingga ke Pintu Suargi. Selain itu juga untuk mengisi kekosongan pasukan di Rajapurwa. Sekarang disana sudah aman dan tidak terjadi gejolak, meskipun Setiaka belum tertangkap,” ia mengakhiri laporannya.

(“Hmmm, cerdik juga Jukamu ini,” pikir Sudoba. “Tetapi aku harus mendesaknya terus.”)

“Oh, begitu. Tetapi, bagaimana soal kekosongan kursi Adipati?” cecar Sudoba.

(“Inilah inti pertemuan ini,” pikir Jukamu. “Aku harus mengeluarkan kartu truf-ku.”)

“Situasi yang sudah mulai terkendali ini harus terus dipertahankan, apalagi Setiaka dan pasukannya belum tertangkap. Karena itu saya mengusulkan Jaira menjadi calon Adipati disana. Kita tidak bisa menyerahkannya kepada orang sipil dalam situasi seperti itu,” jawab Jukamu.

(“Ah, ini kan alasan yang kamu bua-buat saja,” Sudoba menebak.)

“Ya, itu bagus. Saya sendiri sebagai seorang militer setuju dengan ide itu. Tetapi kita harus atur jangan sampai terkesan semua jabatan penting diduduki militer. Ya, seperti kita berdua ini. Saya militer, pak Jukamu sipil. Begitu, kan?” kata Sudoba.

(“Hmmm, berarti ia punya calon adipati dari sipil,” pikir Jukamu. “Ya, kita tukar saja.”)

“Ya, paduka betul. Kita atur saja supaya berimbang. Karena Rajapurwa memerlukan seorang militer, sebaiknya Adipati lain yang militer kita copot saja lalu digantikan yang sipil. Apa paduka bisa menyetujui usul saya ini?”

(“Hmm, dia ngotot rupanya,” pikir Sudoba. “Baiklah, tetapi biar tangannya yang kotor supaya suatu ketika bisa saya perlihatkan.”)

“Ya, saya kira saya bisa menyetujuinya. Saya minta Perdana Menteri segera mengaturnya.”

(“Hooho, dia mau tangan saya yang kotor. Dasar licik!” pikir Jukamu. “Kalau begitu akan saya lakukan dengan rapi dan tak berbekas.”)

 “Baik, akan saya laksanakan. Menurut paduka, daerah manakah sekiranya yang ingin Adipatinya diganti dengan orang sipil?” tanya Jukamu terus terang.

“Saya pikir di wilayah Gurada. Komposisinya disana agak timpang. Adipati Megalung itu militer dan sudah agak lama menduduki posisi itu,” jawab Sudoba.

(“Hmmm, daerah yang subur,” pikir Jukamu. “Pasti untuk familinya sendiri, seperti gubernurnya!”)

“Baik, paduka. Saya akan mengaturnya untuk Megalung,” jawab Jukamu.

Pertemuan itu pun berakhir dengan kesepakatan saling tukar. Jukamu pulang dengan wajah puas, sementara Sudoba masuk ke dalam istana dengan lega. Hari itu ia sengaja menghentikan kegiatan menerima tamu agak sore agar ia bisa segera memberi tahu istrinya dan menulis balasan untuk adik iparnya, Gubernur Gurada.

Sementara itu pada pagi yang sama tadi, istrinya memberi tahu Laja bahwa pesan atasannya telah dibicarakan dengan suaminya. Dan saat itu Kepala Negeri sedang bertemu dengan Perdana Menteri, membicarakannya. Karena itu esoknya dia akan sudah tahu hasil pembicaraan itu. Benar, esoknya ketika Laja menemuinya lagi, nyonya Sudoba sudah menunggunya dengan wajah berseri sambil memegang sebuah surat.

“Katakan kepada adikku Gubernur Marsidu dan keponakanku Cadipa, bahwa pamannya Paduka Sudoba telah memilihkan untuknya daerah yang lebih baik daripada Rajapurwa, meski dengan alot membicarakannya dengan Perdana Menteri Jukamu sebagai kepala pemerintahan,” katanya sambil mengulurkan surat balasan itu.

“Terimakasih Yang Mulia Ibu Negeri. Saya akan segera kembali dan menyampaikannya,” jawab Laja.

Ia segera mohon diri dan hari itu juga berangkat kembali ke Gurada. Tentu malamnya dan tadi pagi ia telah menyantap ramuan ajaib yang selalu dibekalinya. Dua hari kemudian ia telah tiba di Gurada dan segera melapor kepada atasannya.

Marsidu segera membaca surat dari iparnya itu.

“Hmm, tak percuma adikku menikah dengan seorang Kepala Negeri,” katanya. “Baiklah, Laja. Terimakasih kau telah melaksanakan tugasmu dengan sangat baik. Kau tentu perlu beristirahat setelah dua kali berturut-turut bepergian jauh tanpa henti. Terimalah ini sebagai pengganti jasamu,” katanya.

Sambil berkata begitu sang Gubernur menyodorkan sekantung tebal uang perak dan beberapa keping emas yang langsung diterima oleh Laja. Laja segera mohon diri dan pulang untuk beristirahat.

Sementara itu, Cadipa sudah bersama ayahnya membicarakan isi surat pakde-nya itu.

“Berarti dalam waktu dekat Adipati itu akan disingkirkan. Kita tunggu saja dan jangan sampai orang tahu kalau kita sudah tahu. Bahkan Laja sendiripun belum tahu soal itu. Jadi, jaga mulut dan tindakanmu,” pesan ayahnya.

“Baik, ayah. Saya akan tutup mulut,” jawab Cadipa.

Hanya beberapa hari kemudian, telah datang utusan dari Kotaraja menemui Gubernur Marsidu. Utusan itu menyampaikan bahwa mereka akan ke Megalung untuk menyampaikan penghargaan dari pemerintah pusat atas keberhasilan Kadipaten itu menjadi daerah paling makmur di seluruh negeri Klapa Getir. Pemerintah memberi hadiah berupa kain sutera cina serta tuak lontar kenegaraan yang botol keramiknya mewah dan disegel dengan lambang kenegaraan. Tuak itu dibuat secara khusus dan hanya boleh di sajikan setelah berumur lebih dari lima belas tahun. Semakin lama umurnya semakin ‘jadi’ rasa tuak itu, aromanya semakin kuat dan seakan mengalir dengan lembut di tenggorokan saat diminum.

  Gubernur menjamu tamunya semalam lalu kesesokan harinya mereka meneruskan perjalanan menuju Megalung. Disana Adipati Megalung menerima penghargaan dan hadiah dari pemerintah pusat dalam sebuah perjamuan resmi yang dihadiri kalangan pejabat tinggi setempat secara terbatas. Sebagai penghormatan si penerima harus minum tuak kenegaraan yang ternyata salah satu botolnya telah dicampur dengan racun sejenis arsenik. Efeknya, si korban akan menderita sakit seperti terkena serangan jantung dan akhirnya meninggal. Itulah yang dialami oleh Adipati Megalung. Tanpa curiga ia minum tuak beracun itu dan segera jatuh sakit. Tabib yang memeriksanya mengatakan ia terkena serangan jantung dan  menjelang pagi menghembuskan napasnya terakhir.

 Ia dimakamkan dengan penghormatan penuh sebagai pahlawan yang telah berjasa kepada negara dan bangsa, dipimpin oleh utusan dari pusat itu yang bertugas sekaligus sebagai wakil negara. Setelah pemakaman, mereka segera kembali ke Kotaraja melalui ibukota Gurada untuk pamit kepada gubernur Marsidu. Marsidu segera maklum akan tujuan utama pemberian hadiah dari pemerintah pusat itu. Dan dia merasa lega. Kini tingal mengatur agar anaknya menang di pemilihan langsung nanti. Ya, meskipun rakyat orang per-orang yang memilih, tetapi hasilnya bisa diatur.

Sekembalinya utusan itu ke Kotaraja, Jukamu memanggil Jaira ke Kotaraja dan mengabarkan padanya bahwa Kepala Negeri Sudoba juga sudah merestuinya sehingga tidak ada alasan baginya untuk kalah dalam pemilihan.

 Dia kembali ke Rajapurwa dan memberitahu hal itu kepada Lugasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA