Sementara itu, seseorang yang dilihat Lugasi mampu
berlari cepat tanpa kenal lelah saat dia sedang menuju ke Rajapurwa serta tidak
berhasil dikejarnya dulu, setelah mengamati selama lebih dari sepekan di
Rajapurwa segera kembali pulang. Ternyata ia menuju ke ibukota propinsi Gurada.
Jarak yang biasanya ditempuh dalam lima sampai enam hari bagi orang biasa itu
baginya hanya memerlukan satu setengah hari, itupun karena berhenti untuk makan
dan tidur. Dia memang memiliki ilmu berlari cepat dalam jarak yang sangat jauh
hanya dengan memakan dedaunan tertentu yang disamarkan dalam lalapan. Namanya
Laja, dan digelari Pelari Ajaib. Ia bekerja sebagai salah satu ajudan gubernur
Gurada, Marsidu.
Begitu tiba di Gurada ia segera melapor kepada
gubernur Marsidu, yang saat itu ditemani oleh anak lelakinya Cadipa.
“Bagaimana suasana Rajapurwa? Apa yang kamu lihat
menjelang pemilihan Adipati baru?”
Dengan jelas Laja menceritakan apa yang diamatinya
di Rajapurwa, termasuk dukungan rakyat terhadap Jaira yang dilihatnya sendiri
saat Jaira kembali dari Buntung.
“Meskipun belum diumumkan calon Adipati secara
resmi, tetapi rakyat sudah tahu Jaira mendapat restu dari pusat,” kata Laja
mengakhiri laporannya.
“Restu dari pusat? Mungkinkah restu itu datang
dari pakde-mu Kepala Negeri Sudoba?” tanya Marsidu ke arah anaknya Cadipa.
“Rasanya tidak, ayah. Bukankah ayah sudah berpesan
kepada pakde Sudoba agar memberi saya jabatan Adipati kalau ada yang kosong?”
jawab Cadipa.
“Iya, tetapi sebagai Kepala Negeri Klapa Getir
banyak urusan yang harus ditanganinya sehingga lupa soal itu. Atau bisa saja
ada pertimbangan yang lain. Atau...?” kata Marsidu sambil berpikir.
“Atau apa ayah?”
“Atau mungkin si Jaira itu mendapat restu dari
Perdana Menteri Jukamu. Kalau itu yang terjadi, sebaiknya kita segera memberi
tahu pakde-mu Sudoba,” kata Marsidu.
“Betul ayah. Saya juga menduga begitu,” kata Cadipa.
“Kalau begitu, biar Laja membawa surat saya kepada
pakde Sudoba agar tidak terlambat,” kata sang Gubernur.
Marsidu lalu menulis dua surat, satu kepada Sudoba
berisi laporan sepak terjang calon Adipati Rajapurwa dan satunya lagi kepada
kakaknya, istri Sudoba, mengingatkan
janji Sudoba untuk Cadipa, keponakannya. Ditandatanganinya kedua surat itu
sebagai surat pribadi.
“Laja, kamu secepatnya ke Kotaraja,” perintah
Marsidu. “Temui Ibu Negeri Sudoba, kakakku, di kediaman pribadinya. Berikan dua
surat ini. Ceritakan sedikit tentang isinya. Kamu tunggu hingga mendapat surat
balasan dari suaminya Sudoba, lalu cepat kembali. Jangan berlambat-lambat,
karena waktu kita sempit. Kamu paham?”
“Saya mengerti gubernur!” jawab Laja.
Gubernur Marsidu memberikan sekantung tebal uang
perak kepada Laja sebagai bekalnya.
“Jangan lupa, katakan juga kami akan mengirim
hadiah istimewa pada hari perkawinan mereka tahun ini, dari propinsi yang subur
ini,” pesan Marsidu.
Laja segera bersiap. Ia harus melakukan ritual
khusus agar ilmu lari cepat jarak jauhnya dapat digunakan. Ia harus berpantang
makan daging dan minum tuak semalam sebelum berangkat. Ia harus memakan lalapan
yang dibuatnya sendiri secara khusus berisi reramuan daun-daun tertentu yang
disamarkan ke dalam semacam urap. Malam itu ia beristirahat memulihkan
tenaganya serta agar reramuan itu meresap ke dalam seluruh persendian dan otot
di tubuhnya.
Ia bangun saat matahari belum nampak, sarapan urap
berkhasiatnya, lalu berangkat menuju Kotaraja. Ia memilih jalur pendek yaitu
melalui celah empat gunung. jalur ini lumayan berbahaya karena sepi dan sering
disatroni oleh perampok. Jalur lain yang agak ramai, namun lebih jauh, melewati
sebelah selatan empat gunung menyusuri pantai. Meski agak rawan, tetapi dengan
larinya yang cepat itu dia tidak perlu merasa khawatir.
Benar, perjalanannya sama sekali tidak mendapat
halangan, dan dia tiba di Kotaraja dua hari kemudian. Laja langsung menuju
kediaman pribadi Sudoba. Setelah memberitahu maksud kedatangannya kepada
komandan penjaga serta menunjukkan emblem gubernur Gurada, ia diperbolehkan
masuk dan menanti di ruang tunggu. Beberapa saat kemudian muncul seorang
wanita, pembantu pribadi nyonya Sudoba. Laja menunjukkan emblem gubernur Gurada
lagi dan minta bertemu dengan Ibu Negeri. Wanita itu masuk lagi dan sejenak
kemudian kembali untuk mempersilakannya masuk ke ruang dalam. Disana sudah
menanti nyonya rumah.
“Ah, saudara Laja rupanya. Selamat datang. Apa
yang membuatmu datang kemari?” sapa nyonya Sudoba ramah.
“Maafkan saya Yang Mulia Ibu Negeri. Saya diutus
oleh Yang Mulia Gubernur Gurada untuk menyampaikan salam hormat kepada Yang
Mulia Kepala Negeri dan keluarga. Juga mengabarkan akan memberi hadiah istimewa
pada perayaan ulang tahun pernikahan Yang Mulia tahun ini, karena propinsi
Gurada menghasilkan panen yang berlimpah. Selain itu, Yang Mulia Gubernur juga
menitipkan dua surat, satu untuk Yang Mulia Ibu Negeri dan satunya untuk Yang
Mulia Kepala Negeri. Mohon dapat diterima,” kata Laja sambil mengulurkan
surat-surat itu.
“Ya, terimakasih. Adikku itu tiap tahun tidak lupa
memberi hadiah kepada kami. Bagaimana keadaan dia sekeluarga? Ah, tentunya ada
disurat ini, tetapi kau boleh menceritakan yang kau lihat,” katanya sambil
menerima surat-surat itu.
“Semuanya dalam keadaan baik, dan sehat.
Kecuali,...”
Laja sengaja berhenti menelan ludah.
“Kecuali apa, saudara Laja?”
“Keponakan Yang Mulia Ibu Negeri, Tuan Muda Cadipa.
Ia belum mempunyai kedudukan yang pantas,” jawab Laja.
“Ah, iya. Tentu surat ini mengingatkan janjiku
untuknya. Jangan khawatir, aku selalu ingat. Tunggu, biar aku membacanya dulu,”
kata nya sambil membuka amplop surat yang masih tersegel rapi itu.
Ia mambaca surat dari adiknya itu sejenak. Dahinya
tampak berkerut.
“Hmmm, ya..ya,.. Jadi, kursi Adipati Rajapurwa
sedang kosong. Aku tak mengetahuinya. Baik, nanti malam saya akan bicara dengan
Paduka Kepala Negeri. Besok akan kusampaikan kepadamu. Sementara ini kau boleh
tinggal di wisma pribadi kami di belakang,” kata Ibu Negeri itu.
“Terimakasih Yang Mulia. Saya diperintah untuk
menunggu jawaban dari Yang Mulia Kepala Negeri,” jawab Laja.
Ia lalu minta diri. Dengan diantar seorang
petugas, ia menuju wisma pribadi yang dimaksudkan.
Malam itu, saat menjelang tidur, nyonya Sudoba
berbicara dengan suaminya. Hanya itu saat yang bisa mereka bicarakan secara
pribadi karena setiap waktu Sudoba selalu dikelilingi banyak tamu, sepanjang
hari. Bahkan dalam jamuan makan, semuanya diatur oleh protokol.
“Apa bapak sudah dengar kalau kursi Adipati
Rajapurwa sedang kosong?” tanya istrinya tiba-tiba.
“Rasanya, tidak. Saya belum dengar itu. Darimana
ibu tahu?” suaminya balik bertanya.
“Seorang ajudan pribadi adikku gubernur Marsidu
datang memberi tahu. Ia membawa surat pribadi dari Marsidu,” kata istrinya
sambil mengulurkan surat yang dimaksud.
Sudoba segera membacanya, dan dahinya berkerut
agak dalam.
“Hmm, rupanya Jukamu menyembunyikan kabar ini
dariku. Apa maksudnya menempatkan orangnya di Rajapurwa. Apa yang terjadi disana?
Jangan-jangan..?” ia bergumam.
Kenapa, pak?” tanya istrinya.
“Jangan-jangan ia mau membangun basis daerah
pemilihannya disana, mumpung pemilihan berikutnya masih tiga tahun lagi.
Kelihatannya begitu, karena calon Adipatinya itu mendapat banyak dukungan disana.
Baiklah, besok aku akan bicara dengannya,” kata penguasa negeri Klapa Getir
itu.
“Tetapi jangan lupa soal janjimu kepada keponakan
kita Cadipa, lho!” desak istrinya.
“Hmm, ya. Akan kupikirkan jalannya.”
“Tidak pakai ‘akan’, pak! Pastikan Cadipa jadi
Adipati disana. Pokoknya ibu tidak mau tahu!” tuntut istrinya.
“Ya.ya.. Akan kujadikan dia Adipati disana.!”
“Nah, begitu! Awas kalau tidak!’ kini ia
mengancam.
“Dan ingat, lho pak. Utusan itu harus membawa
pulang jawaban yang pasti. Dia akan menunggu balasan bapak!” lanjut istrunya.
Ya..ya.. Besok semuanya akan jelas. Sekarang
biarlah aku beristirahat,” kata Sudoba mengakhiri pembicaraan mereka.
Esok harinya ia segera memanggil Perdana Menteri
Jukamu ke istana negeri. Jukamu yang mendapat panggilan mendadak itu segera
menyadari ada sesuatu yang penting. Ia mempersiapkan diri dengan meneliti
beberapa persoalan. Jika urusannya soal pemerintahan secara umum, tidak perlu
terlalu dipusingkan. Karena itu ia memusatkan pada persoalan yang berkaitan
secara pribadi dengan Kepala Negeri. Salah satunya tentu soal Adipati
Rajapurwa, karena biasanya soal jabatan-jabatan penting selalu menjadi
perhatian para penguasa untuk membangun jejaring yang kuat dengan memasang para
kroni mereka di posisi-posisi itu. Tentu Sudoba juga berkepentingan dengan
jabatan Adipati itu.
“Baiklah, kalau perlu kita tukar tambah saja,”
katanya dalam hati.
Pasukan pengawal istana segera berbaris memberi
hormat kepada Perdana Menteri saat ia memasuki halaman istana. Protokol segera
mempersilakannya masuk ke ruang khusus bagi pembicaraan empat mata. Beberapa
saat kemudian Sudoba keluar menemuinya dengan senyum yang lebar. Setelah
berbasa-basi sebentar soal jalannya pemerintahan, Sudoba segera masuk ke inti
pembicaraan mereka.
“Pak, Jukamu. Saya dengar Adipati Rajapurwa
telah tewas. Ada persoalan apakah disana?” tanya Kepala Negeri.
“Maafkan saya, karena paduka harus mendengarkan
dari sumber lain sebelum saya melapor. Sebenarnya hanya masalah kecil tetapi
tampaknya ada yang mencoba mempolitisirnya supaya terjadi kegoncangan di negeri
ini. Saya sedang meredamnya agar tidak meluas dan dan tampaknya berhasil.
Karena itu saya tidak ingin merepotkan paduka karena masalah sepele ini,”
kilahnya.
“Oh,
begitu. Bagaimana sebenarnya duduk perkaranya?” tanya Sudoba menyelidik.
(“Nah ini
dia,” pikir Jukamu. “Apapapun yang didengar oleh Sudoba, aku harus melaporkan
sesuai versiku.”)
“Masalah Adipati itu sesungguhnya soal
perselingkuhan antara istrinya dengan kepala pasukan kadipaten dan seorang
pemuda biasa. Kepala Pasukan itu, bekerja sama dengan kekasihnya, membuat
skenario cerdik dengan menangkap anak muda pesaing cintanya dengan tuduhan
sebagai Kepala perampok Gunung Kembar, dan dicitrakan sebagai pemimpin yang
akan membebaskan rakyat dari penindasan kita, pemerintah dan aparatnya. Malam
harinya diam-diam ia memimpin pasukannya seakan pasukan siluman Gunung Kembar,
datang menyerang kota Rajapurwa, membakar habis rumah Adipati dan menghilangkan
anak muda itu,” kata Jukamu.
“Meskipun Adipati sempat lolos, tetapi akhirnya
tewas juga ditangannya dalam penyerangan sandiwara ke Gunung Kembar. Cerdiknya,
Kepala Pasukan itu, namanya Setiaka, bekerjasama dengan beberapa orang pendekar
membuat beberapa keributan melawan pemerintah atas nama Anak Langit, pembela
rakyat dari penindasan. Berita tentang Anak Langit itu lalu dihembus-hembuskan
dan dibesar-besarkan,” lanjutnya.
“Setelah berbicara dengan Gubernur Landipa, saya
memintanya menugaskan Kepala Pasukan Buntung, Jaira namanya, untuk meredam
sepak terjang Setiaka dan Anak Langit, karena sebelumnya ia sudah lebih dahulu
mengejar Anak Langit hingga ke Pintu Suargi. Selain itu juga untuk mengisi kekosongan
pasukan di Rajapurwa. Sekarang disana sudah aman dan tidak terjadi gejolak,
meskipun Setiaka belum tertangkap,” ia mengakhiri laporannya.
(“Hmmm,
cerdik juga Jukamu ini,” pikir Sudoba. “Tetapi aku harus mendesaknya terus.”)
“Oh, begitu. Tetapi, bagaimana soal kekosongan
kursi Adipati?” cecar Sudoba.
(“Inilah
inti pertemuan ini,” pikir Jukamu. “Aku harus mengeluarkan kartu truf-ku.”)
“Situasi yang sudah mulai terkendali ini harus
terus dipertahankan, apalagi Setiaka dan pasukannya belum tertangkap. Karena
itu saya mengusulkan Jaira menjadi calon Adipati disana. Kita tidak bisa
menyerahkannya kepada orang sipil dalam situasi seperti itu,” jawab Jukamu.
(“Ah, ini
kan alasan yang kamu bua-buat saja,” Sudoba menebak.)
“Ya, itu bagus. Saya sendiri sebagai seorang
militer setuju dengan ide itu. Tetapi kita harus atur jangan sampai terkesan
semua jabatan penting diduduki militer. Ya, seperti kita berdua ini. Saya
militer, pak Jukamu sipil. Begitu, kan?” kata Sudoba.
(“Hmmm,
berarti ia punya calon adipati dari sipil,” pikir Jukamu. “Ya, kita tukar saja.”)
“Ya, paduka betul. Kita atur saja supaya
berimbang. Karena Rajapurwa memerlukan seorang militer, sebaiknya Adipati lain
yang militer kita copot saja lalu digantikan yang sipil. Apa paduka bisa menyetujui
usul saya ini?”
(“Hmm, dia
ngotot rupanya,” pikir Sudoba. “Baiklah, tetapi biar tangannya yang kotor
supaya suatu ketika bisa saya perlihatkan.”)
“Ya, saya kira saya bisa menyetujuinya. Saya minta
Perdana Menteri segera mengaturnya.”
(“Hooho, dia
mau tangan saya yang kotor. Dasar licik!” pikir Jukamu. “Kalau begitu akan saya
lakukan dengan rapi dan tak berbekas.”)
“Baik, akan
saya laksanakan. Menurut paduka, daerah manakah sekiranya yang ingin Adipatinya
diganti dengan orang sipil?” tanya Jukamu terus terang.
“Saya pikir di wilayah Gurada. Komposisinya disana
agak timpang. Adipati Megalung itu militer dan sudah agak lama menduduki posisi
itu,” jawab Sudoba.
(“Hmmm,
daerah yang subur,” pikir Jukamu. “Pasti untuk familinya sendiri, seperti gubernurnya!”)
“Baik, paduka. Saya akan mengaturnya untuk Megalung,”
jawab Jukamu.
Pertemuan itu pun berakhir dengan kesepakatan
saling tukar. Jukamu pulang dengan wajah puas, sementara Sudoba masuk ke dalam
istana dengan lega. Hari itu ia sengaja menghentikan kegiatan menerima tamu
agak sore agar ia bisa segera memberi tahu istrinya dan menulis balasan untuk
adik iparnya, Gubernur Gurada.
Sementara itu pada pagi yang sama tadi, istrinya
memberi tahu Laja bahwa pesan atasannya telah dibicarakan dengan suaminya. Dan
saat itu Kepala Negeri sedang bertemu dengan Perdana Menteri, membicarakannya.
Karena itu esoknya dia akan sudah tahu hasil pembicaraan itu. Benar, esoknya
ketika Laja menemuinya lagi, nyonya Sudoba sudah menunggunya dengan wajah
berseri sambil memegang sebuah surat.
“Katakan kepada adikku Gubernur Marsidu dan
keponakanku Cadipa, bahwa pamannya Paduka Sudoba telah memilihkan untuknya
daerah yang lebih baik daripada Rajapurwa, meski dengan alot membicarakannya
dengan Perdana Menteri Jukamu sebagai kepala pemerintahan,” katanya sambil
mengulurkan surat balasan itu.
“Terimakasih Yang Mulia Ibu Negeri. Saya akan
segera kembali dan menyampaikannya,” jawab Laja.
Ia segera mohon diri dan hari itu juga berangkat
kembali ke Gurada. Tentu malamnya dan tadi pagi ia telah menyantap ramuan ajaib
yang selalu dibekalinya. Dua hari kemudian ia telah tiba di Gurada dan segera melapor
kepada atasannya.
Marsidu segera membaca surat dari iparnya itu.
“Hmm, tak percuma adikku menikah dengan seorang
Kepala Negeri,” katanya. “Baiklah, Laja. Terimakasih kau telah melaksanakan
tugasmu dengan sangat baik. Kau tentu perlu beristirahat setelah dua kali
berturut-turut bepergian jauh tanpa henti. Terimalah ini sebagai pengganti
jasamu,” katanya.
Sambil berkata begitu sang Gubernur menyodorkan
sekantung tebal uang perak dan beberapa keping emas yang langsung diterima oleh
Laja. Laja segera mohon diri dan pulang untuk beristirahat.
Sementara itu, Cadipa sudah bersama ayahnya
membicarakan isi surat pakde-nya itu.
“Berarti dalam waktu dekat Adipati itu akan
disingkirkan. Kita tunggu saja dan jangan sampai orang tahu kalau kita sudah
tahu. Bahkan Laja sendiripun belum tahu soal itu. Jadi, jaga mulut dan
tindakanmu,” pesan ayahnya.
“Baik, ayah. Saya akan tutup mulut,” jawab Cadipa.
Hanya beberapa hari kemudian, telah datang utusan
dari Kotaraja menemui Gubernur Marsidu. Utusan itu menyampaikan bahwa mereka
akan ke Megalung untuk menyampaikan penghargaan dari pemerintah pusat atas
keberhasilan Kadipaten itu menjadi daerah paling makmur di seluruh negeri Klapa
Getir. Pemerintah memberi hadiah berupa kain sutera cina serta tuak lontar
kenegaraan yang botol keramiknya mewah dan disegel dengan lambang kenegaraan.
Tuak itu dibuat secara khusus dan hanya boleh di sajikan setelah berumur lebih
dari lima belas tahun. Semakin lama umurnya semakin ‘jadi’ rasa tuak itu,
aromanya semakin kuat dan seakan mengalir dengan lembut di tenggorokan saat diminum.
Gubernur
menjamu tamunya semalam lalu kesesokan harinya mereka meneruskan perjalanan
menuju Megalung. Disana Adipati Megalung menerima penghargaan dan hadiah dari
pemerintah pusat dalam sebuah perjamuan resmi yang dihadiri kalangan pejabat
tinggi setempat secara terbatas. Sebagai penghormatan si penerima harus minum
tuak kenegaraan yang ternyata salah satu botolnya telah dicampur dengan racun
sejenis arsenik. Efeknya, si korban akan menderita sakit seperti terkena
serangan jantung dan akhirnya meninggal. Itulah yang dialami oleh Adipati Megalung.
Tanpa curiga ia minum tuak beracun itu dan segera jatuh sakit. Tabib yang
memeriksanya mengatakan ia terkena serangan jantung dan menjelang pagi menghembuskan napasnya
terakhir.
Ia
dimakamkan dengan penghormatan penuh sebagai pahlawan yang telah berjasa kepada
negara dan bangsa, dipimpin oleh utusan dari pusat itu yang bertugas sekaligus
sebagai wakil negara. Setelah pemakaman, mereka segera kembali ke Kotaraja
melalui ibukota Gurada untuk pamit kepada gubernur Marsidu. Marsidu segera
maklum akan tujuan utama pemberian hadiah dari pemerintah pusat itu. Dan dia
merasa lega. Kini tingal mengatur agar anaknya menang di pemilihan langsung
nanti. Ya, meskipun rakyat orang per-orang yang memilih, tetapi hasilnya bisa
diatur.
Sekembalinya utusan itu ke Kotaraja, Jukamu
memanggil Jaira ke Kotaraja dan mengabarkan padanya bahwa Kepala Negeri Sudoba
juga sudah merestuinya sehingga tidak ada alasan baginya untuk kalah dalam
pemilihan.
Dia kembali
ke Rajapurwa dan memberitahu hal itu kepada Lugasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.