Sekitar dua belas pekan
Lugasi tinggal di tempat itu, hingga suatu petang Hobijo kedatangan seorang
tamu. Rampoli namanya. Ia teman lama
Hobijo dan masih saudara dengan Adipati Megalung yang diracun oleh orang-orang
Jukamu demi memuluskan anak Gubernur Marsidu, Cadipa, menjadi Adipati Megalung.
Ia membawa kabar penting tentang rencana Cadipa, yang sekarang sudah menjadi
adipati Megalung, untuk mengirim hadiah kepada pamannya Kepala Negeri Klapa
Getir, Sudoba dan kepada Perdana Menteri Jukamu.
“Saudara
Rampoli, apa yang membawa anda ke tempat ini?” Tanya Hobijo.
“Bisakah,
kita bicara berdua saja?” pinta Rampoli karena di ruangan itu ada Lugasi dan
Angkuso.
“Kita
bisa bicara disini bersama ke dua anak saya ini,” jawab Hobijo.
“Baiklah,
saya bicara langsung saja, kata Rampoli mengalah.
Ia
percaya betul kepada Hobijo.
“Sepeninggal
mati saudara saya Adipati Megalung, keluarga almarhum hidup dalam tekanan dan
ancaman. Seluruh harta benda keluarga dekat kami itu diambil paksa oleh Adipati baru itu.
Rakyat juga diperas dengan upeti yang mahal. Kalau dulu setelah panen rakyat
wajib menyerahkan seper enam belas dari hasil panennya kepada kadipaten,
sekarang adipati baru menetapkan seper delapan dan diserahkan di muka, sebelum
rakyat menghasilkan apa-apa. Banyak rakyat yang kemudian tidak berhasil panen
sebanyak perkiraan semula menjadi semakin miskin, karena yang seper delapan
dalam kenyataannya menjadi seper empat dari hasil sebenarnya.”
Ia
berhenti menahan gejolak di hatinya.
“Sekarang
kami tahu kalau hasil panen rakyat yang diambil paksa itu dimaksudkan untuk
memberi hadiah kepada Kepala Negeri dan Perdana Menteri sebagai balas jasa telah
memuluskannya menjadi Adipati. Kami merasa dirampok demi kesenangan mereka. Karena itu
kami tidak bisa menerima perlakuan seperti itu!”
“Maksud
saudara Rampoli?” tanya Hobijo.
“Kami
akan merampok kembali harta kami, harta rakyat Megalung!” jawab Rampoli.
“Bagaimana
menurut anakku Sehut?” Tanya Hobijo.
“Merampok
rakyat tak berdosa adalah perbuatan tidak baik. Tetapi mengambil kembali dari
si perampok bisa dibenarkan untuk dikembalikan kepada pemiliknya. Ini sama
seperti merobohkan pencopet di pasar dan mengambil paksa barang yang dicopetnya
lalu memberikan kembali ke pemiliknya. Saudara Rampoli hanya akan
mengembalikannya kepada pemiliknya bukan?” tanya Sehut.
“Benar!
Itu maksud kami!” jawab Rampoli.
“Kalau
begitu, sepatutnya kita dukung usaha saudara Rampoli,” kata Sehut.
“Baiklah,
saya juga berpikir begitu,” kata Hobijo. “Tetapi apa rencana saudara Rampoli?”
“Mereka
bisa saja lewat daerah sini lalu memasuki hutan menuju langsung ke Kotaraja
atau bisa juga menuju kota Gurada lebih dahulu dan dari sana baru menuju Kotaraja
lewat celah Empat Gunung atau lewat pantai yang agak jauh. Sebaiknya kalau
mereka bisa kita cegat sebelum menuju kota Gurada,” Jelas Rampoli.
Mereka lalu berunding mencari cara yang terbaik.
Tetapi Lugasi menyarankan agar keuarga Hobijo tidak perlu turut serta karena
sedang membangun perbaikan kehidupan rakyat melalui pertunjukan harimau. Jangan
sampai peristiwa ini menghancurkan usaha yang telah lama mereka persiapkan
dengan berlatih begitu keras. Ia berjanji kepada Rampoli akan membantu
sepenuhnya rencana Rampoli itu.
“Karena itu kita harus mencari tempat lain sebagai
markas. Apakah saudara Rampoli punya tempat dimana kita bisa mempersiapkan
rencana itu dengan tenang?”
“Saya
kira kita bisa menggunakan tempat persembunyian saya selama ini di Batu Tiga.
Tempat itu cukup terpencil, jauh dari tangan-tangan aparat pemerintah. Hanya
ada satu dua penduduk yang saling berjauhan tempat tinggalnya,” jawab Rampoli.
Mereka
berdua lalu minta diri menuju Batu Tiga. Hobijo meminjamkan mereka dua ekor
kuda dan bekal uang yang lumayan banyak. Sebelum pergi, Lugasi berpesan agar
kegiatan pertunjukan harimau itu harus terus dijalankan seperti selama ini.
“Baik
nak Sehut. Kami juga akan tetap membagi hasilnya dengan penduduk setempat,”
kata Hobijo.
“Terimakasih
pak Hobijo. Semoga hasilnya akan selalu baik,” kata Lugasi.
Perjalanan
menuju Batu Tiga memakan waktu satu hari. Menjelang
tengah malam barulah mereka sampai di tempat persembunyian Rampoli. Rumah itu
tidak terlalu besar tetapi terlindung dibalik kerimbunan pohon dan
tebing-tebing batu yang mengelilinginya. Mereka langsung beristirahat, tidur. Keesokan
harinya baru mereka membicarakan rencana mereka dengan tenang.
“Apa yang bisa kita berdua lakukan untuk merampok
harta itu. Tentu mereka menggunakan pengawalan yang kuat,” tanya Rampoli.
“Ya,
tentu kita berdua tidak cukup. Kita harus melibatkan beberapa orang yang sealiran dengan
tujuan dan niat kita,” jawab Lugasi.
“Apakah
saudara Sehut, mengenal orang-orang seperti itu?” tanya Rampoli.
“Ya, beberapa. Tetapi berapa banyak yang harus
terlibat tergantung dari cara apa yang akan kita gunakan dan berapa besar
kekuatan pengawalan mereka. Kalau menggunakan kekerasan tentu perlu banyak
tenaga jika pengawalannya kuat. Tetapi kalau kita gunakan dengan cara
mengelabui, tentu tidak perlu banyak orang. Saya
berpikir sebaiknya kita gunakan cara mengelabui saja,” jelas Lugasi.
“Bagaimana
caranya?”
“Kita gunakan penyamaran sebagai pedagang makanan
dan minuman pada tempat yang akan menjadi peristirahatan mereka. Tetapi yang
perlu sebelumnya adalah mencari tahu rute perjalanan mereka dan kekuatan
pengawalannya,” jawab Lugasi.
“Kalau
saja kita bisa mencegat utusan mereka, Laja, mungkin kita bisa tahu rencana
mereka. Sayangnya dia bisa berlari sangat cepat dan berjarak jauh. Biasanya ia
akan mendahului rombongan untuk membawa pesan. Dia tinggal bersama gubernur
Gurada, ayah adipati Cadipa. Saya menduga dia pasti suatu saat akan diutus
untuk itu,” kata Rampoli.
“Orang
yang berlari sangat cepat! Rasanya saya pernah melihatnya,” pikir Lugasi.
“Kapan pengiriman itu akan dilakukan?” tanya
Lugasi.
“Sekitar seratus hari lagi, menjelang Kepala Negeri
berulang tahun,” jawab Rampoli.
“Kalau begitu kita masih punya waktu. Bisakah
sobat Rampoli berusaha mendekati Laja dan mencari tahu tentang pengiriman itu?
Sementara itu saya akan mencari beberapa orang teman yang mumpuni,” kata
Lugasi.
“Saya akan coba. Kalau begitu saya akan ke Gurada
dan mencoba menjalin hubungan dengan Laja,” jawab Rampoli.
“Baik, tetapi jangan bertindak sendiri dulu. Kita
bertemu disini lagi sekitar dua puluh hari menjelang ulang tahun Kepala Negeri
atau delapan puluh hari dari sekarang,” kata
Lugasi.
Mereka lalu berpisah. Lugasi berpikir ia harus segera
menemui Anak Langit dan pak Paldrino untuk memenuhi janjinya bertemu dengan
mereka setelah mencari tahu keberadaan keluarganya di Buntung. Meskipun ia
tidak tahu pasti dimana mereka menetap, ia bertekad menuju Poruteng sesuai tujuan
mereka saat sebelum berpisah dulu serta informasi dari teman-teman di Gunung
Kembar.
Ia segera mengarahkan langkahnya menuju ke Guhari,
tempat Hobijo. Dari sana berencana akan menyeberangi sungai Priga, di wilayah Dogean,
lalu menuju warung pak Warku. Ia ingin melihat perkembangan usaha pak Warku sepergi
dirinya. Setelah itu barulah ia menuju Poruteng dan mencari Diguldo, pamong
negeri yang pernah ditolongnya saat dirampok dulu. Sebagai Pamong Negeri,
Diguldo mungkin tahu keberadaan kawan-kawannya itu, apalagi istrinya adalah
saudara kembar istri pak Paldrino.
Perjalanan Lugasi tidak menemui rintangan yang
berarti. Setelah mampir di rumah Hobijo dan meninggalkan pesan bagi para
muridnya untuk terus membantu rakyat miskin dan melestarikan gunung dan
penghuninya, ia menyeberangi sungai Priga di wilayah Dogean. Para perompak yang
sering menyamar sebagai nelayan tidak berani mengusiknya karena tidak ingin
bernasib seperti rekan-rekan mereka yang menjadi buntung tangan akibat berani
mengganggu makhluk pendek dan bulat ini. Ia tiba di warung pak Warku saat hari
menjelang malam. Pemilik warung itu sangat terkejut namun gembira bukan main
saat melihatnya lagi. Dengan bangga ia memperkenalkan kepada para tamu yang
ramai berkunjung disana tentang anak muda yang rajin dan ramah ini.
Ternyata sebagian dari mereka masih mengingatnya
dengan baik dan menawarkan padanya untuk duduk di meja mereka. Perutnya yang memang
lapar tidak menolak setiap ajakan itu, hingga ia menjadi benar-benar
kekenyangan. Meski begitu ia tetap menerima ajakan para tamu satu persatu
dengan ramah dan rendah hati. Tidak ada yang tidak menyukainya. Keberadaannya
selalu membawa rasa tenteram dengan keceriaannya yang tulus dan alami.
Akhirnya, ia diminta oleh dua orang untuk duduk di
meja mereka. Meski Lugasi meminta syarat ia tidak akan makan lagi, kedua orang
itu tetap gembira dan ngotot memintanya. Ia pun duduk di meja mereka.
“Selamat datang Anak Setan. Sobat Jotiwo, Gadamuk
dan Setiaka menyampaikan salam untuk sobat,” kata seorang dari pengundanganya.
“Ah, salam kembali. Apa kalian dari sana?” tanya
Lugasi.
“Kami berasal dari sana dan baru dari Poruteng
diutus untuk mencari tahu keberadaan sobat kita dan kawan-kawannya yang dulu
menyeberangi danau bersama sobat Anak Setan,” jawabnya.
“Oh, begitu? Kebetulan sekali! Aku memang sedang
mencoba mencari tahu mereka. Apa kalian telah tahu dimana mereka tinggal?”
tanya Lugasi.
Ia kini tahu kedua orang itu adalah anak buah dari
Gunung Kembar, pimpinan Jotiwo dan Gadamuk. Rupanya kedua pimpinan itu sangat
memperhatikan keselamatan Anak Langit di
negeri mereka ini, yang tentunya masih asing bagi Anak Langit.
“Ya, kami akhirnya bisa menjumpai mereka. Semuanya
dalam keadaan baik. Mereka sedang mencoba membangun sebuah kehidupan baru disana,”
jawab kawan satunya.
Mereka lalu menceritakan tempat tinggal Anak
Langit dan kawan-kawannya di Batutok, dekat dengan desa Kenteng wilayah kawedanan Nunggalan,
kadipaten Poruteng.
“Mereka sedang membangun sebuah komunitas baru
bagi masyarakat miskin yang terpaksa menyingkir akibat pemiskinan dan tindak
sewenang-wenang penguasa yang berpihak pada pemilik kekayaan. Masyarakat kecil
itu tahu mereka bisa mendapat tempat berteduh di wilayah milik kakek Blakitem
yang murah hati. Tetapi kehidupan mereka yang serba terbatas serta tiadanya
pengaturan tata kehidupan yang baik telah menyebabkan tumbuhnya wilayah-wilayah
kumuh dengan berbagai penyakit. Kakek Blakitem meminta Andragi dan pak Paldrino
membantu masyarakat yang menderita itu, “ cerita kedua utusan Gunung Kembar itu.
“Ah, bagus. Kalau begitu saya bisa langsung menuju
kesana besok,” kata Lugasi.
“Ya, sobat bisa pergi ke desa Kenteng dan bertanya
arah tempat tinggal mereka,” jawab seorang utusan dari Gunung Kembar itu.
Esoknya, pagi-pagi sekali Lugasi telah mohon diri
kepada pak Warku untuk meneruskan perjalanannya. Meskipun orang tua itu mencoba
menahannya, ia tetap pada niatnya untuk segera melanjutkan perjalanan. Ia
berjanji akan selalu mampir setiap kali melewati wilayah itu. Karena itu, Pak Warku
hanya bisa memberinya banyak bekal makanan untuknya dan mendesaknya sarapan
dulu sebelum berangkat.
Tak perlu diceritakan panjang lebar perjalanannya
ke Kenteng. Ia tiba di di Poruteng dan segera mendapat penjelasan arah menuju
desa Kenteng. Dalam perjalanan dari Poruteng ke desa Kenteng itu, kerinduan untuk segera bertemu dengan
anak muda yang memiliki segala ilmu aneh menyergapnya. Ia mencoba membayangkan
wajah-wajah Andragi, pak Paldrino, Loyo, dan yang lainnya di tempat baru
mereka. Berbagai pertanyaan muncul di benaknya, apa saja yang telah dilakukan
oleh Anak Langit selama ini, keajaiban apa yang telah dibuatnya lagi, bagaimana
dia membangun kehidupan baru masyarakat yang miskin, dan sebagainya, dan
sebagainya.
Anda tentunya ingin tahu juga apa yang dilakukan Andragi
setelah bertemu kakek Blakitem. Memang, sebuah tugas besar telah disodorkan
baginya oleh kakek yang murah hati itu. Ikuti kisahnya berikut ini..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.