Rencana Merampok Kembali Harta Milik Rakyat

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #59)


Sekitar dua belas pekan Lugasi tinggal di tempat itu, hingga suatu petang Hobijo kedatangan seorang tamu.  Rampoli namanya. Ia teman lama Hobijo dan masih saudara dengan Adipati Megalung yang diracun oleh orang-orang Jukamu demi memuluskan anak Gubernur Marsidu, Cadipa, menjadi Adipati Megalung. Ia membawa kabar penting tentang rencana Cadipa, yang sekarang sudah menjadi adipati Megalung, untuk mengirim hadiah kepada pamannya Kepala Negeri Klapa Getir, Sudoba dan kepada Perdana Menteri Jukamu.

“Saudara Rampoli, apa yang membawa anda ke tempat ini?” Tanya Hobijo.

“Bisakah, kita bicara berdua saja?” pinta Rampoli karena di ruangan itu ada Lugasi dan Angkuso.

“Kita bisa bicara disini bersama ke dua anak saya ini,” jawab Hobijo.

“Baiklah, saya bicara langsung saja, kata Rampoli mengalah.

Ia percaya betul kepada Hobijo.

“Sepeninggal mati saudara saya Adipati Megalung, keluarga almarhum hidup dalam tekanan dan ancaman. Seluruh harta benda keluarga dekat kami itu diambil paksa oleh Adipati baru itu. Rakyat juga diperas dengan upeti yang mahal. Kalau dulu setelah panen rakyat wajib menyerahkan seper enam belas dari hasil panennya kepada kadipaten, sekarang adipati baru menetapkan seper delapan dan diserahkan di muka, sebelum rakyat menghasilkan apa-apa. Banyak rakyat yang kemudian tidak berhasil panen sebanyak perkiraan semula menjadi semakin miskin, karena yang seper delapan dalam kenyataannya menjadi seper empat dari hasil sebenarnya.”

Ia berhenti menahan gejolak di hatinya.

“Sekarang kami tahu kalau hasil panen rakyat yang diambil paksa itu dimaksudkan untuk memberi hadiah kepada Kepala Negeri dan Perdana Menteri sebagai balas jasa telah memuluskannya menjadi Adipati. Kami merasa dirampok demi kesenangan mereka. Karena itu kami tidak bisa menerima perlakuan seperti itu!”

“Maksud saudara Rampoli?” tanya Hobijo.

“Kami akan merampok kembali harta kami, harta rakyat Megalung!” jawab Rampoli.

“Bagaimana menurut anakku Sehut?” Tanya Hobijo.

“Merampok rakyat tak berdosa adalah perbuatan tidak baik. Tetapi mengambil kembali dari si perampok bisa dibenarkan untuk dikembalikan kepada pemiliknya. Ini sama seperti merobohkan pencopet di pasar dan mengambil paksa barang yang dicopetnya lalu memberikan kembali ke pemiliknya. Saudara Rampoli hanya akan mengembalikannya kepada pemiliknya bukan?” tanya Sehut.

“Benar! Itu maksud kami!” jawab Rampoli.

“Kalau begitu, sepatutnya kita dukung usaha saudara Rampoli,” kata Sehut.

“Baiklah, saya juga berpikir begitu,” kata Hobijo. “Tetapi apa rencana saudara Rampoli?”

“Mereka bisa saja lewat daerah sini lalu memasuki hutan menuju langsung ke Kotaraja atau bisa juga menuju kota Gurada lebih dahulu dan dari sana baru menuju Kotaraja lewat celah Empat Gunung atau lewat pantai yang agak jauh. Sebaiknya kalau mereka bisa kita cegat sebelum menuju kota Gurada,” Jelas Rampoli.

Mereka lalu berunding mencari cara yang terbaik. Tetapi Lugasi menyarankan agar keuarga Hobijo tidak perlu turut serta karena sedang membangun perbaikan kehidupan rakyat melalui pertunjukan harimau. Jangan sampai peristiwa ini menghancurkan usaha yang telah lama mereka persiapkan dengan berlatih begitu keras. Ia berjanji kepada Rampoli akan membantu sepenuhnya rencana Rampoli itu.

“Karena itu kita harus mencari tempat lain sebagai markas. Apakah saudara Rampoli punya tempat dimana kita bisa mempersiapkan rencana itu dengan tenang?”

“Saya kira kita bisa menggunakan tempat persembunyian saya selama ini di Batu Tiga. Tempat itu cukup terpencil, jauh dari tangan-tangan aparat pemerintah. Hanya ada satu dua penduduk yang saling berjauhan tempat tinggalnya,” jawab Rampoli.

Mereka berdua lalu minta diri menuju Batu Tiga. Hobijo meminjamkan mereka dua ekor kuda dan bekal uang yang lumayan banyak. Sebelum pergi, Lugasi berpesan agar kegiatan pertunjukan harimau itu harus terus dijalankan seperti selama ini.

“Baik nak Sehut. Kami juga akan tetap membagi hasilnya dengan penduduk setempat,” kata Hobijo.

“Terimakasih pak Hobijo. Semoga hasilnya akan selalu baik,” kata Lugasi.

Perjalanan menuju Batu Tiga memakan waktu satu hari. Menjelang tengah malam barulah mereka sampai di tempat persembunyian Rampoli. Rumah itu tidak terlalu besar tetapi terlindung dibalik kerimbunan pohon dan tebing-tebing batu yang mengelilinginya. Mereka langsung beristirahat, tidur. Keesokan harinya baru mereka membicarakan rencana mereka dengan tenang.

“Apa yang bisa kita berdua lakukan untuk merampok harta itu. Tentu mereka menggunakan pengawalan yang kuat,” tanya Rampoli.

“Ya, tentu kita berdua tidak cukup. Kita harus melibatkan beberapa orang yang sealiran dengan tujuan dan niat kita,” jawab Lugasi.

“Apakah saudara Sehut, mengenal orang-orang seperti itu?” tanya Rampoli.

“Ya, beberapa. Tetapi berapa banyak yang harus terlibat tergantung dari cara apa yang akan kita gunakan dan berapa besar kekuatan pengawalan mereka. Kalau menggunakan kekerasan tentu perlu banyak tenaga jika pengawalannya kuat. Tetapi kalau kita gunakan dengan cara mengelabui, tentu tidak perlu banyak orang. Saya berpikir sebaiknya kita gunakan cara mengelabui saja,” jelas Lugasi.

“Bagaimana caranya?”

“Kita gunakan penyamaran sebagai pedagang makanan dan minuman pada tempat yang akan menjadi peristirahatan mereka. Tetapi yang perlu sebelumnya adalah mencari tahu rute perjalanan mereka dan kekuatan pengawalannya,” jawab Lugasi.

“Kalau saja kita bisa mencegat utusan mereka, Laja, mungkin kita bisa tahu rencana mereka. Sayangnya dia bisa berlari sangat cepat dan berjarak jauh. Biasanya ia akan mendahului rombongan untuk membawa pesan. Dia tinggal bersama gubernur Gurada, ayah adipati Cadipa. Saya menduga dia pasti suatu saat akan diutus untuk itu,” kata Rampoli.

“Orang yang berlari sangat cepat! Rasanya saya pernah melihatnya,” pikir Lugasi.

“Kapan pengiriman itu akan dilakukan?” tanya Lugasi.

“Sekitar seratus hari lagi, menjelang Kepala Negeri berulang tahun,” jawab Rampoli.

“Kalau begitu kita masih punya waktu. Bisakah sobat Rampoli berusaha mendekati Laja dan mencari tahu tentang pengiriman itu? Sementara itu saya akan mencari beberapa orang teman yang mumpuni,” kata Lugasi.

“Saya akan coba. Kalau begitu saya akan ke Gurada dan mencoba menjalin hubungan dengan Laja,” jawab Rampoli.

“Baik, tetapi jangan bertindak sendiri dulu. Kita bertemu disini lagi sekitar dua puluh hari menjelang ulang tahun Kepala Negeri atau delapan puluh hari dari sekarang,” kata Lugasi.

Mereka lalu berpisah. Lugasi berpikir ia harus segera menemui Anak Langit dan pak Paldrino untuk memenuhi janjinya bertemu dengan mereka setelah mencari tahu keberadaan keluarganya di Buntung. Meskipun ia tidak tahu pasti dimana mereka menetap, ia bertekad menuju Poruteng sesuai tujuan mereka saat sebelum berpisah dulu serta informasi dari teman-teman di Gunung Kembar.

Ia segera mengarahkan langkahnya menuju ke Guhari, tempat Hobijo. Dari sana berencana akan menyeberangi sungai Priga, di wilayah Dogean, lalu menuju warung pak Warku. Ia ingin melihat perkembangan usaha pak Warku sepergi dirinya. Setelah itu barulah ia menuju Poruteng dan mencari Diguldo, pamong negeri yang pernah ditolongnya saat dirampok dulu. Sebagai Pamong Negeri, Diguldo mungkin tahu keberadaan kawan-kawannya itu, apalagi istrinya adalah saudara kembar istri pak Paldrino.

   Perjalanan Lugasi tidak menemui rintangan yang berarti. Setelah mampir di rumah Hobijo dan meninggalkan pesan bagi para muridnya untuk terus membantu rakyat miskin dan melestarikan gunung dan penghuninya, ia menyeberangi sungai Priga di wilayah Dogean. Para perompak yang sering menyamar sebagai nelayan tidak berani mengusiknya karena tidak ingin bernasib seperti rekan-rekan mereka yang menjadi buntung tangan akibat berani mengganggu makhluk pendek dan bulat ini. Ia tiba di warung pak Warku saat hari menjelang malam. Pemilik warung itu sangat terkejut namun gembira bukan main saat melihatnya lagi. Dengan bangga ia memperkenalkan kepada para tamu yang ramai berkunjung disana tentang anak muda yang rajin dan ramah ini.

Ternyata sebagian dari mereka masih mengingatnya dengan baik dan menawarkan padanya untuk duduk di meja mereka. Perutnya yang memang lapar tidak menolak setiap ajakan itu, hingga ia menjadi benar-benar kekenyangan. Meski begitu ia tetap menerima ajakan para tamu satu persatu dengan ramah dan rendah hati. Tidak ada yang tidak menyukainya. Keberadaannya selalu membawa rasa tenteram dengan keceriaannya yang tulus dan alami.

Akhirnya, ia diminta oleh dua orang untuk duduk di meja mereka. Meski Lugasi meminta syarat ia tidak akan makan lagi, kedua orang itu tetap gembira dan ngotot memintanya. Ia pun duduk di meja mereka.

“Selamat datang Anak Setan. Sobat Jotiwo, Gadamuk dan Setiaka menyampaikan salam untuk sobat,” kata seorang dari pengundanganya.

“Ah, salam kembali. Apa kalian dari sana?” tanya Lugasi.

“Kami berasal dari sana dan baru dari Poruteng diutus untuk mencari tahu keberadaan sobat kita dan kawan-kawannya yang dulu menyeberangi danau bersama sobat Anak Setan,” jawabnya.

“Oh, begitu? Kebetulan sekali! Aku memang sedang mencoba mencari tahu mereka. Apa kalian telah tahu dimana mereka tinggal?” tanya Lugasi.

Ia kini tahu kedua orang itu adalah anak buah dari Gunung Kembar, pimpinan Jotiwo dan Gadamuk. Rupanya kedua pimpinan itu sangat memperhatikan  keselamatan Anak Langit di negeri mereka ini, yang tentunya masih asing bagi Anak Langit.

“Ya, kami akhirnya bisa menjumpai mereka. Semuanya dalam keadaan baik. Mereka sedang mencoba membangun sebuah kehidupan baru disana,” jawab kawan satunya.

Mereka lalu menceritakan tempat tinggal Anak Langit dan kawan-kawannya di Batutok, dekat dengan desa Kenteng wilayah kawedanan Nunggalan, kadipaten Poruteng.

“Mereka sedang membangun sebuah komunitas baru bagi masyarakat miskin yang terpaksa menyingkir akibat pemiskinan dan tindak sewenang-wenang penguasa yang berpihak pada pemilik kekayaan. Masyarakat kecil itu tahu mereka bisa mendapat tempat berteduh di wilayah milik kakek Blakitem yang murah hati. Tetapi kehidupan mereka yang serba terbatas serta tiadanya pengaturan tata kehidupan yang baik telah menyebabkan tumbuhnya wilayah-wilayah kumuh dengan berbagai penyakit. Kakek Blakitem meminta Andragi dan pak Paldrino membantu masyarakat yang menderita itu, “ cerita kedua utusan Gunung Kembar itu.

“Ah, bagus. Kalau begitu saya bisa langsung menuju kesana besok,” kata Lugasi.

“Ya, sobat bisa pergi ke desa Kenteng dan bertanya arah tempat tinggal mereka,” jawab seorang utusan dari Gunung Kembar itu.

Esoknya, pagi-pagi sekali Lugasi telah mohon diri kepada pak Warku untuk meneruskan perjalanannya. Meskipun orang tua itu mencoba menahannya, ia tetap pada niatnya untuk segera melanjutkan perjalanan. Ia berjanji akan selalu mampir setiap kali melewati wilayah itu. Karena itu, Pak Warku hanya bisa memberinya banyak bekal makanan untuknya dan mendesaknya sarapan dulu sebelum berangkat.

Tak perlu diceritakan panjang lebar perjalanannya ke Kenteng. Ia tiba di di Poruteng dan segera mendapat penjelasan arah menuju desa Kenteng. Dalam perjalanan dari Poruteng ke desa Kenteng  itu, kerinduan untuk segera bertemu dengan anak muda yang memiliki segala ilmu aneh menyergapnya. Ia mencoba membayangkan wajah-wajah Andragi, pak Paldrino, Loyo, dan yang lainnya di tempat baru mereka. Berbagai pertanyaan muncul di benaknya, apa saja yang telah dilakukan oleh Anak Langit selama ini, keajaiban apa yang telah dibuatnya lagi, bagaimana dia membangun kehidupan baru masyarakat yang miskin, dan sebagainya, dan sebagainya.

Anda tentunya  ingin tahu juga apa yang dilakukan Andragi setelah bertemu kakek Blakitem. Memang, sebuah tugas besar telah disodorkan baginya oleh kakek yang murah hati itu. Ikuti kisahnya berikut ini..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA