Peraslah Daku kau Kuremas




Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #23)

“Selamat pagi Pangeran Muda. Wah, rupanya saya mendapat berkah nih pagi-pagi sudah mendapat tamu istimewa,” sapa Tamakir dengan ramah seraya mengantar tamunya menuju ruang khususnya.
“Apakah Pangeran Muda akan main sekarang? Permainan jenis apa?”
“Tidak, tidak Ki Lurah. Saya kesini tidak untuk bermain. Saya mau menanyakan kebenaran pemuda yang bisa membakar air itu,” kata Jaira.
“Oh, rupanya berita itu sudah sampai ke Pangeran Muda juga. Memang betul, anak setan itu telah membuat saya bangkrut. Saya kalah taruhan. Ternyata dia bisa membakar air dengan menggunakan ilmu setannya.”
“Seperti apa anak muda itu? Kemana perginya?” tanya Jaira.
“Umurnya sekitar 25 tahun, badannya tegap dan bersih. Dia tidak tampak seperti orang dari daerah sekitar sini. Menurut orang-orang saya, dia berasal dari daerah Poruteng, begitu. Anak buah saya menguntitnya dan ternyata dia pergi ke padepokan kakek Bulesak.”

Jaira menduga keras kalau pemuda itu Anak Langit. Pikiran itu disimpannya dalam hati. Dia tidak mau kehilangan muka kalau Tamakir sampai tahu dia telah gagal menangkap Anak Langit waktu menyerang padepokan Kalbusih dan gua Pintu Suargi dulu. Reputasinya sebagai Kepala Prajurit akan cemar.

“Begini Ki Lurah. Saya akan menangkap anak muda itu dan membunuhnya untuk membalaskan dendam Ki Lurah. Disamping itu dia akan berbahaya kalau sampai bisa mengambil hati rakyat dan melakukan pemberontakan terhadap pemerintah. Selagi api masih kecil harus segera dipadamkan!” tegas Jaira.
“Oh, terima kasih Pangeran Muda. Apa yang bisa saya berikan untuk kebaikan hati pangeran?” pancing Tamakir.


Tamakir dengan mudah melihat  ada udang di balik batu atas tawaran bantuan Jaira itu. Sebagai orang yang licik dia memahami betul perilaku seperti ini.

“Begini Ki Lurah. Ki Lurah kan tahu kalau saya berniat menjadi Adipati di Megalung yang subur dan luas itu. Tetapi untuk itu perlu biaya yang besar buat menyuap para petinggi negeri. Nah, saya minta Ki Lurah bersedia membantu saya dalam hal ini,” kata Jaira.

Pucuk dicinta ulam tiba, pikir Tamakir. Kalau pangeran muda itu akan memerasnya, kenapa tidak dimanfaatkan juga untuk memeras rakyat. Dalam kamus Lurah serakah itu, tidak sepeserpun uang boleh keluar dari pundi-pundinya.

“Ah, tentu saja Pangeran! Sebagai sahabat, saya akan membantu pangeran sekuat saya. Tetapi apalah artinya harta seorang lurah buat menyuap para petinggi negeri yang sudah kaya raya itu? Bukankah Pangeran nanti akan menjadi bahan tertawaan? Kita harus mencari cara untuk mencari lebih banyak uang lagi sebelum Pangeran menyuap para petinggi negeri,” pancing  Tamakir.

Dan tampaknya sang ikan tertarik.
“Lalu, apa rencana Ki Lurah?” tanya Jaira.
“Ah, kalau saja saya seorang Wedana, tentu harta saya cukup untuk keperluan Pangeran Muda itu,” keluh Tamakir.
“Nah, kenapa tidak Ki Lurah kita jadikan Wedana!” kata Jaira.

 Kini sang ikan telah semakin tertarik pada umpannya.
“Yah, tetapi itu masih akan lama. Bukankah Wedana Buntung, si Paldrino itu, masih hidup dan segar bugar?” umpan Tamakir.

Dan sang ikan segera menyambar umpan itu.
“Kalau begitu kita habisi saja dia! Biar segera ada pemilihan Wedana baru!” sahut Jaira segera sungguh-sungguh.
 “Saya akan mengatur untuk membereskannya!” lanjutnya.
“Jangan! Jangan Pangeran Muda yang melakukannya. Itu akan membuat kotor tangan Pangeran. Kalau sampai bocor akan menjadi ganjalan nantinya. Saya justru melihat peristiwa pembunuhan itu sebagai kesempatan emas untuk mengangkat nama baik Pangeran,” kata Tamakir dengan cerdiknya.
“Maksud Ki Lurah?” tanya Jaira heran.
“Begini, Pangeran... "Biarlah anak buah saya yang melakukannya. Mereka akan membakar habis rumah Wedana Paldrino beserta para penghuninya. Setelah itu Pangeran datang dan membunuh para pembunuh itu. Dengan begitu Pangeran Muda akan menjadi pahlawan yang menumpas kejahatan,” kata Tamakir penuh siasat.
“Bukan main! Sungguh Ki Lurah sangat pandai dan berpikiran jauh,” puji Jaira kagum.

Tamakir lalu menceritakan rencana pembunuhan itu, yang akan dilakukan oleh tiga orang anak buahnya selepas tengah malam nanti. Setelah menyepakati tugas yang harus dilakukan masing-masing, Jaira kemudian minta diri, kembali ke Buntung guna mempersiapkan anak buahnya. Tak lupa Tamakir menyelipkan sejumlah uang kepada Jaira sebagaimana biasa ia lakukan jika kedatangan tamu istimewa.
Malam itu langit tampak muram tersaput oleh awan. Tak ada bintang satupun yang tampak. Demikian juga sabit bulan yang semestinya bisa sedikit mengurangi gelapnya malam. Sungguh malam yang tepat untuk melaksanakan niat jahat.


Menjelang tengah malam, Bedul Brewok dan dua anak buahnya mengendap-endap mendekati rumah Wedana Buntung, berjalan diantara pepohonan dan gerumbul tanaman. Mereka sengaja menghindari jalanan agar tidak terlihat orang. Akhirnya mereka sampai pada sebuah sudut jalan di dekat rumah Wedana Paldrino yang terlindung. Tidak tampak seorang penjaga pun disekitar gerbang rumah itu.

“Pak Brewok, kok tidak ada penjaga di gerbang itu?” tanya seorang anak buahnya.
“Iya, kelihatannya sepi. Coba kamu lihat ke dalam halaman dari atas pohon ini,” perintah Brewok sambil menunjuk sebuah pohon yang cukup tinggi di dekatnya.

Yang disuruh segera memanjat pohon itu dengan lincah, sampai pada ketinggian yang cukup untuk melihat seluruh bagian halaman rumah itu. Dengan cermat diamatinya sudut-sudut yang gelap. Setelah tidak ada yang terlewatkan, ia lalu turun.

“Di dalam juga sepi, pak. Tidak tampak seorang penjaga pun,” lapornya.
“Mungkin mereka sedang di dalam  rumah, dan merasa semuanya aman. Kan semua orang tahu kalau Pak Paldrino, Wedana Buntung ini, terkenal sebagai orang baik dan bijak. Tidak ada orang yang akan berniat jahat kepada beliau, kecuali ..ya kita-kita ini..” jelas Brewok.

Kedua anak buahnya hanya bisa nyengir mendengar itu.

“Bagian dalam rumah juga tampak sudah sepi, pak. Sepertinya para penghuni rumah telah tertidur semua. Hanya ada satu lampu sentir di pojok depan sebelah kanan rumah,” lapornya lagi.

Lampu sentir adalah sejenis lampu teplok dengan bahan bakar minyak  buah jarak.

“Bagus! Kalau begitu kita akan bisa segera mulai. Kalian berdua membakar di bagian depan dan saya akan membakar di bagian belakang. Siapkan semua peralatan kalian. Dengar aba-aba saya, suara burung hantu tiga kali, kali tiga, ...kuk  kuk  kuk...kuk  kuk  kuk....kuk  kuk  kuk..., baru kalian beraksi. Jelas..!?” tanya Brewok.
“Jelas..Juragan!”
“Ingat jangan sampai ada yang lolos! Bunuh semua yang berusaha keluar dari rumah itu!” tegas Brewok.
“Siap, juragan!!” jawab keduanya serempak.

Dengan mengendap-endap Bedul Brewok memutari bangunan rumah itu menuju bagian belakang. Melalui pintu kecil yang tidak terkunci, pelan-pelan ia masuk dan memastikan para  penghuninya  masih berada di dalam rumah. Semuanya tampak tertidur dan tenang. Ia lalu mengatur berbagai barang yang mudah terbakar pada tempat-tempat tertentu agar api mudah menjalar dengan cepat. Sementara itu kedua anak buahnya juga sudah masuk ke halaman dan menumpukkan jerami dan dedaunan kering pada sekitar depan dan samping rumah. Dinding kayu dan sejenisnya mereka siram dengan minyak jarak agar lebih cepat terbakar. Kini mereka tinggal menunggu suara burung hantu.

Benar, tak lama kemudian terdengarlah aba-aba itu.
“Kuk  kuk  kuk...kuk  kuk  kuk....kuk  kuk  kuk..”

Kedua anak buah Bedul Brewok segera menyulut jerami-jerami dengan api dari lampu sentir. Api segera menjalar membakar bagian-bagian rumah, semakin besar dan mengganas. Dari bagian belakang rumah juga terlihat nyala api yang tidak kalah ganasnya. Suara gemeretak kayu terpanggang mulai ramai disusul asap yang membumbung tinggi.

“Ayo, sekarang kita berjaga di balik gerbang. Kalau ada yang keluar kita habisi!” ajak salah seorang.

Dari balik tembok gerbang mereka melihat si jago merah melahap dengan ganasnya. Suara gemeretak, benda-benda roboh serta lolongan kesakitan terdengar berebutan.

“Kok suaranya seperti kerbau mau disembelih, ya?” tanya seorang anak buah Brewok.
“Namanya juga orang panik dan sekarat, suaranya kan bisa macam-macam,” jawab rekannya sekenanya.

Di bagian lain desa itu, pasukan Jaira yang sedang patroli melihat cahaya terang dan lidah api menjulur ke angkasa dari arah rumah Wedana.

“Cepat, menuju kesana! Itu pasti penyerangan! Serang para pengacau itu!” perintah Jaira.

Derap kaki-kaki kuda menggema membangunkan penduduk yang sudah terbuai mimpi. Mereka terlompat bangun dan panik melihat nyala api yang berkobar hebat di rumah Wedana Paldrino serta gegap gempita derap kaki kuda pasukan yang menyerbu. Penduduk berlarian menghambur kian kemari. Teriakan dan jerit histeris bersahutan di tengah malam yang tiba-tiba menjadi terang benderang itu. Anak-anak gemetar memeluk erat dalam dekapan ibu mereka.

“Itu mereka! Serang! Bunuh!” teriak Jaira saat melihat kedua anak buah Bedul Brewok di balik gerbang bergerak hendak melarikan diri. Tanpa ampun pasukan Jaira mengeroyok dan membunuh keduanya.
“Kejar yang lain, jangan sampai lolos!” perintah Jaira.

Sementara anak buahnya mencari, Jaira menghancurkan muka kedua mayat itu hingga tak dapat dikenali.
Diantara bau asap dan benda yang hangus, tercium pula bau menyengat daging terbakar. Seorang anak buahnya lari melapor.


“Ada bau daging terbakar, pangeran. Pasti ada orang yang terperangkap disana dan terpanggang hidup-hidup. Sebagian dari kami akan mencoba menolong yang masih hidup.”
“Sudah terlambat! Tidak ada yang bisa ditolong lagi. Kalian segera kejar pelakunya yang lain. Cepattt!!” hardiknya.

Orang itu segera menyusul teman-temannya mencari pelaku lainnya. Setelah lama mencari tetapi tidak menemukan seorangpun, mereka kembali untuk melapor.

“Tidak ada ada yang lain, Pangeran,” lapor Tangka, wakilnya.
“Goblog! Tangkap siapa saja yang berkeliaran di luar rumah!” perintah Jaira.

Mereka segera menghambur memasuki seluruh pelosok desa. Tidak lama kemudian tampak seseorang diseret menghadap Jaira. Mereka menendangnya hingga jatuh tersungkur dihadapan Jaira.

“Ampun Pangeran, saya tidak tahu apa-apa. Saya sedang mencari anak saya yang lari karena ketakutan,” pintanya menghiba.
“Jangan bohong, atau kau kubunuh sekarang! Kau pasti anak buahnya pemuda pembakar air itu!” bentaknya.
“Tidak, Pangeran. Saya hanya petani, penduduk disini. Nama Saya Apis. Rumah saya di seberang sawah itu,” jawab orang itu gemetar.


Bagaimana Nasib Wedana Paldrino dan Petani Apis yang sedang apes itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA