Pada saat itu dua utusan
yang ditugaskan mengamati situasi di danau Tobil telah kembali. Mereka
melaporkan di bagian selatan danau memang agak rawan karena ada jalan ramai dan
bagian danau yang sering digunakan sebagai tempat menyeberang. Tetapi di bagian
utara di kaki gunung yang berhutan sangat sepi dan bisa digunakan untuk tempat
menyeberang. Mereka telah membeli sebuah perahu dan menyimpannya di tempat yang
aman. Dua orang dari mereka, ditugaskan untuk mempersiapkan segala bekal yang
diperlukan.
“Bagus! Kalau begitu kami bisa berangkat besok
pagi,” kata Paldrino.
Jotiwo dan Gadamuk
mencoba menahan mereka beberapa hari lagi, tetapi mereka sudah merasa terlalu
lama menangguhkan perjalanan mereka. Hari itu tuan rumah menjamu mereka dengan
pesta perpisahan. Kerbau, sapi dan kambing disembelih. Semua warga Gunung
Kembar menyampaikan salam selamat jalan bagi tamu-tamu istimewa mereka itu.
Esok paginya mereka berangkat dengan diiringi tuan
rumah hingga sampai di kaki Gunung Kembar. Dari sana mereka hanya diiringi oleh
dua orang anak buah Gunung kembar yang datang melapor itu. Mereka sengaja memilih
rute yang sepi dari penduduk, tidak melewati jalan desa, dan lebih sering
menyusuri tepian hutan. Perjalanan memang menjadi lebih lambat, tetapi dengan
dua ekor kuda yang membawa bekal, mereka tidak perlu takut kelaparan. Jika malam tiba, mereka berkemah di hutan dan
bergantian berjaga. Akhirnya, pada sore hari kedua,
mereka tiba dikaki pegunungan Menora. Dari sana mereka harus menyusuri kaki
pegunungan itu ke selatan hingga tiba di danau Tobil. Mereka memutuskan
bermalam dulu sebelum melanjutkannya besok pagi.
Saat mereka sedang bersiap untuk istirahat sehabis
makan malam, datang dua orang anak buah Gunung kembar yang ditugaskan
mempersiapkan bekal itu.
“Pak Wedana, kami terpaksa menyusul kemari karena
perahu itu hilang dicuri orang. Kami tidak tahu siapa yang melakukannya tetapi
kami rasa orang yang menjual perahu itu pada kami. Mungkin dia telah menguntit
kami sehingga saat kami pergi memcari bekal, mereka mengambilnya kembali,”
lapor kedua orang itu.
“Ah, kita kurang beruntung rupanya. Tetapi mungkin
ada baiknya juga dari pada mereka merebut perahu itu saat kita berada di atas danau. Mungkin kita memang
harus melalui jalur darat jika di danau berbahaya,” kata Paldrino.
“Kelihatannya jumlah mereka hanya sedikit karena
cuma berani mencuri. Kalau perlu kita hadapi saja! Saya dan beberapa rekan akan
berjalan di depan sedangkan pak Wedana dan keluarga sebaiknya bersama rombongan
di belakang supaya kalau kami kewalahan masih bisa menyelamatkan diri,” usul
Bedul Brewok.
“Saya kira itu usul yang baik,” kata Andragi. “Saya
akan coba mencari cara untuk mengatasi
kesulitan jika harus menghadapi mereka.”
“Tetapi kalau tidak terpaksa, sebaiknya sobat Anak
Langit tidak menggunakan kesaktiannya supaya keberadaannya di daerah ini tidak
diketahui. Biarlah pemerintah tetap mengira masih berada di Buntung atau
Rajapurwa,” kata Paldrino.
Andragi mengangguk setuju.
“Kalau begitu besok rombongan pertama saya, sobat
Loyo dan dua rekan dari Gunung Kembar akan berangkat lebih dulu,” kata Brewok.
“Baiklah. Tetapi mungkin lebih baik kita buat tiga
rombongan,” usul Andragi. “Rombongan kedua terdiri dari saya dan dua rekan
Gunung Kembar dan rombongan ketiga pak Wedana dan keluarga dengan jarak yang
jauh. Pak Wedana bisa menggunakan mata setan saya untuk melihat isyarat dari
saya untuk menyelamatkan diri setiap saat. Rombongan kedua ini bisa juga
membantu yang pertama kalau mengalami kesulitan,” kata Andragi.
Mereka sepakat dengan usul itu lalu beristirahat.
Tidak ada kejadian penting pada sisa malam itu.
Pagi harinya Brewok memimpin rekan-rekannya
berangkat terlebih dahulu, disusul rombongan Andragi pada jarak sekitar dua
ratus meter, lalu rombongan Paldrino pada jarak sekitar satu kilometer. Dengan
hati-hati mereka menyusuri kaki pegunungan itu hingga akhirnya tiba di tepi
danau Tobil pada saat matahari tepat berada diatas kepala. Mereka beristirahat
untuk makan pada jarak posisi masing-masing, lalu melanjutkan perjalanan
menyusuri danau ke selatan dengan formasi yang sama. Menjelang memasuki sebuah desa, rombongan Brewok
tiba-tiba menghentikan langkah mereka. Yang lain juga berhenti setelah mendapat
isyarat dari rombongan di depannya.
“Kelihatannya ada yang sedang berkelahi di balik
pepohonan ini,” kata Loyo.
“Ya, saya juga mendengarnya,” kata Brewok
Perlahan-lahan mereka mendekati asal suara itu.
Tampak seorang pemuda belia yang bertubuh pendek dan gempal, dengan rambut
gondrong tak beraturan, sedang menghadapi empat orang pria. Ditangannya tergenggam
sebuah kapak pendek yang berbentuk aneh dengan gagang yang melengkung ke depan.
“Cepat kalian kembalikan perahu itu ke pemiliknya
sebelum kapak ini mencincang tubuh bau kalian!” bentak anak muda belia pendek
itu.
“Apa pedulimu ha! Perahu itu toh bukan milikmu!”
jawab salah seorang lawannya.
“Aku peduli karena itu bukan milik kalian! Aku tak
akan bicara lagi. Biar kapak ini yang bicara!” katanya sambil memutar-mutar
kapak anehnya dengan gaya yang aneh juga.
“Anak muda sok tahu. Mengganggu urusan orang saja.
Serang!” teriak orang itu lagi, yang rupanya menjadi pemimpin mereka.
Serentak mereka menyerang anak muda itu dengan
pedang yang terhunus. Dengan gesit ia berkelit sambil berguling seperti bola.
Tahu-tahu salah seorang penyerangnya sudah jatuh terguling sambil memegang
sebelah kakinya yang tiba-tiba buntung. Rupanya gerakan sambil berguling tadi
bukan sekedar menghindar tetapi jurus menyerang yang hebat. Rekan-rekannya
terkejut tetapi segera bersiap karena anak muda itu sudah kembali memutar-mutar
kapaknya. Kali ini mereka tidak gegabah langsung menyerang, tetapi bergerak
berputar mengelilingi lawannya.
“Hiiiaaaat!!” seru mereka berbarengan diikuti
sabetan pedang yang datang beruntun dan mengarah ke bawah.
Serangan ini sekaligus sebagai pertahanan bagian
bawah tubuh mereka. Mereka mengira anak muda itu akan kembali menyerang bagian
kaki mereka. Tetapi mereka keliru! Bukannya menggelinding, tubuh pemuda itu malah melenting ke atas seperti bola yang
terpantul kencang. Dan tahu-tahu, salah seorang dari mereka telah terhuyung-huyung
sambil memegangi sebelah tangannya yang kutung. Kedua kawannya terhenyak kaget.
Nyali mereka menjadi ciut dan bersiap untuk melarikan diri.
“Tunggu!” teriak penuda itu sambil melontarkan
kapaknya.
Kedua orang itu terdiam kaku melihat kapak itu
terbang dengan gerakan melengkung melingkari tubuh mereka dan kembali ke
pemiliknya. Mirip gerakan bumerang.
“Enak saja mau kabur! Dimana kalian bunuh
pemiliknya?!” hardiknya.
“Kami... kami.. tidak membunuh. Kami hanya..
mengambil ..perahunya,” jawab seorang yang lebih tua ketakutan.
“Lalu dimana pemiliknya, he?!” bentak anak muda
itu.
“Kami tidak ..tahu. Kami mengambilnya ..di ujung
utara danau ini .. di kaki gunung itu,” jawabnya lagi.
“Cepat enyah dari sini, dan bawa teman-temanmu itu!”
perintah anak gemuk pendek itu.
Kedua orang itu segera menggendong rekannya yang
terluka dan telah jatuh pingsan kesakitan, dan segera berlalu ke arah desa.
Sementara itu si pemuda menggaruk-garuk kepalanya sambil mengomel.
“Sialan! Dimana saya harus mencari pemiliknya?!”
gerutunya.
Mendengar itu, seorang anak buah Gunung Kembar
memberanikan diri keluar dari persembunyiannya, yang segera diikuti oleh ketiga
rekannya.
Melihat ada orang datang, pemuda itu segera
bersiap dengan kapaknya.
“Ah, rupanya kalian belum kapok juga, he!? bentaknya.
“Maaf anak muda, kamilah pemilik perahu itu. Kami
membelinya dari orang-orang tadi tetapi mereka mencurinya kembali saat kami
pergi,” jawab anak buah Gunung Kembar itu.
“He, benarkah?! Oh, ya ya.., aku melihatmu di warung itu
bersama mereka. Tapi, apa kau bukan teman mereka?” tanyanya curiga.
“Bukan, anak muda. Kami datang dari jauh dan
membawa rombongan termasuk perempuan dan anak-anak. Kami hendak ke Poruteng.
Karena kami takut dirampok bila melalui jalan darat, kami lalu mencari perahu
untuk menyeberang danau ini,” jawab Loyo.
“Dimana mereka sekarang?” tanya anak muda itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.