Pertemuan Yang Sangat Mengharukan


Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #54 )


Saat itu telah lewat tengah malam. Meskipun Jaira mencoba menahannya untuk menginap di markasnya, Lugasi bersikeras pergi dengan alasan perjalanannya masih jauh dan kedatangannya ditunggu. Padahal sebenarnya ia hanya berjaga-jaga saja. Bagaimanapun juga dia baru kenal orang itu dan buta mengenai sifat-sifatnya. Lugasi asal melangkahkan kaki menuju arah menurut perasaannya saja.

Dengan cepat ia melangkahkan kakinya dan menghilang di kegelapan. Begitu keluar dari batas pemukiman ia segera berlari masuk ke dalam hutan lalu melenting pada sebuah dahan pohon. Telinganya  mencoba menangkap gerakan kalau-kalau ada yang mengikutinya. Beberapa saat ia menunggu tetapi tidak ada suara-suara yang mencurigakan.  Ia melompat turun dan menngelinding dengan cepat lalu melenting pada sebuah pohon yang besar. Seperti sebelumnya, ia mencoba mendengarkan suara-suara gerakan beberapa saat, tetapi juga sunyi. Ia lalu mencari dahan mendatar yang cukup besar, mengikatkan tubuhnya dan tidur.

Lugasi terbangun ketika burung-burung sudah berkicau riang. Digaruk-garuknya kepalanya berpikir bagaimana cara mencari tahu tentang orangtuanya. Peristiwa itu sendiri telah berlalu delapan belas tahun, seumur dengan dirinya.

Kalau begitu...

”Aha! Akan kucoba,” katanya kepada dirinya sendiri.

Ia segera melompat turun dan bejalan menuju desa terdekat. Di sebuah ladang ia melihat seorang kakek sedang bekerja, ditemani oleh seorang nenek yang tentu istrinya.

“Selamat pagi kakek, pagi nek,” sapanya.

“Eh, selamat pagi nak. Ada apa pagi-pagi sudah nyasar kemari?” tanya si kakek.

“Saya memang kesasar disini kek. Saya datang dari Gurada disuruh ke Buntung untuk mencari sawah terbagus yang ada di kawedanan Buntung ini. Tetapi saya bingung yang mana sawah terbaik disini. Kelihatannya semua subur. Mungkin kakek bisa memberi tahu saya,” jawab Lugasi.

“Untuk apa ya? Apa ada pejabat yang mau membelinya?” tanya si kakek.

“Kenapa kakek berpikir begitu?”

“Yah, biasanya orang kaya hanya mau membeli sawah yang terbaik, bukan?” balas si kakek.

“Bisa saja kakek ini. Tidak kek, saya disuruh kakek saya melihatnya karena sewaktu kecil saya sering diajak orangtua saya ke sawah itu. Tapi saya sudah tidak ingat lagi,” kata Lugasi.

“Siapa namamu nak?” tanya si nenek yang dari tadi ikut mendengarkan.

“Nama saya Lugasi, nek.”

“Lugasi..Lugasi..,” gumam si kakek.

“Kenapa, kek. Apa nama saya aneh?” 

“Apa orangtuamu masih hidup?” tanya si kakek tanpa menjawab pertanyaannya.

“Saya tidak tahu kek. Kami berpisah sejak saya masih kecil.”

Kakek itu lalu membawanya ke rumahnya. Disana ia menceritakan kepada Lugasi tentang pria yang juga bernama Lugasi. Rumah pria itu dibakar habis oleh pasukan pemerintah, tetapi tidak ada sisa mayat di dalamnya.

“Tidak ada yang tahu pasti apakah keluarga itu selamat atau tidak. Tetapi kau hari ini kembali. Berarti ada yang selamat. Aku yakin kau ini anaknya. Mungkin orangtuamu juga selamat, tetapi kami tidak tahu.”

“Dimana desa tempat tinggal orangtuaku, kek?”

“Desa Metus. Orangtuamu dikenal akrab dengan tetangga. Kamu bisa cari tahu dari tetangga itu. Dari sini kamu ke selatan, sedikit di luar kota kawedanan itu desanya,” jawab si kakek.

Lugasi mengucapkan terimakasih dan minta diri. Ia segera menju ke arah yang ditunjuk si kakek. Tidak sulit baginya untuk sampai ke desa itu, tetapi sulit baginya untuk menemukan tetangga orangtuanya karena bekas rumah itu sudah tidak ada sama sekali. Akhirnya ia memutuskan menemui orang yang kira-kira sebaya dengan ayahnya, jika ayahnya masih hidup, atau yang lebih tua. Ketika sedang menimbang-nimbang itu dilihatnya orang setengah baya berjalan pulang sambil memanggul pacul. Dihampirinya orang itu.

“Selamat siang, pak. Boleh saya bertanya?” katanya sopan.

“Ehh, selamat siang..,” jawab orang itu dengan ramah.

“Apa bapak tinggal di desa Metus ini?” tanya Lugasi.

“Iya, iya. Sejak lahir saya sudah tinggal di desa ini. Ada apa anak muda?” tanyanya heran.

“Nama saya Lugasi, pak,” katanya sambil menunggu reaksi orang itu.

“Kamu Lu..ga..si..?! kata orang itu sambil meneliti dirinya dari ujung rambut hingga ke kaki.

Kebetulan mereka telah dekat dengan rumah orang itu. Lelaki itu lalu menggamitnya masuk ke pekarangan dan menuju serambi.

“Lugasi adalah nama temanku, sebaya dengan umurku. Kamu Lugasi juga. Apakah kau...?” katanya sambil matanya berkaca-kaca.

“Saya Lugasi anak Lugasi yang rumahnya dibakar habis,” jawabnya.

“Oaalah, nak..! Kau masih hidup!” katanya sambil berlinangan air mata dan memeluk Lugasi erat-erat.

“Bu, Bu, sini!” panggil orang itu.

“Ada apa pak, kok ribut-ribut!” terdengar suara seorang wanita dari dalam rumah. “Eeeh, ada tamu to?” katanya ramah.

Wanita itu tertegun melihat suaminya memeluk seorang pemuda sambil berlinangan air mata.

“Ini anak Lugasi, bu..,” kata suaminya pelan.

“Anak Lugasi....? si.kecil Katul itu?” tanya istrinya.

Suaminya mengangguk.

“Oaalah..Gusti.Gusti..Katul...oohhh!” wanita itu menubruk Lugasi dan memeluknya erat-erat.

Ia menangis sambil menyebut-nyebut nama kecil Lugasi itu.

 “Katul....oh Katul.....Katul...”

Suaminya segera menggiring mereka masuk rumah. Lama wanita itu menangis sambil memeluknya, seakan tak ingin dilepaskannya lagi.

Wanita itu ingat dengan jelas peristiwa belasan tahun yang lalu itu.

Si Katul kecil dititipkan oleh ibunya kepadanya karena keluarga itu sudah mencium adanya bahaya. Saat peristiwa pembakaran rumah itu, si Katul kecil lekat dalam pelukannya hingga dua hari kemudian datang seorang tua yang mengambil si Katul dari pelukannya.

“Saya disuruh pak Lugasi dan istrinya menjemput Katul. Mereka menunggunya di hutan Dadap,” kata orang asing itu.

“Tapi...,. Apa betul..?” tanyanya mendekap erat Katul.

“Betul, bu. Saya bukan prajurit atau orang pemerintah. Kalau Katul disini, suatu saat akan diketahui mereka dan dibunuh. Mari, bu. Percayalah kepada saya,” kata orang tua itu.

Ia tidak punya pilihan yang lebih baik. Dengan berat hati dilepaskannya si Katul kecil dibawa pergi oleh si orang tua. Tetapi..., Beberapa bulan kemudian, datang pak Lugasi untuk menjemput Katul. Ia dan suaminya hanya bisa memberi tahu kalau Katul dibawa oleh seorang kakek tua. Ia masih ingat wajah Lugasi yang sangat sedih saat meninggalkan rumah mereka tanpa membawa Katul. Hatinya menangis dan merasa bersalah tidak bisa menjaga Katul hingga hilang entah dimana. Lebih-lebih ketika beberapa bulan kemudian pak Lugasi datang lagi mengabarkan kalau istrinya telah meninggal karena sedih kehilangan anaknya, dan mengatakan tidak akan kesini lagi untuk selama-lamanya. Karena itu ia merasa begitu tertekan selama bertahun-tahun, dan hanya bisa berdoa semoga Katul selamat. Dan hari ini doa itu terkabulkan!

“Oaalah...Katul...Katul...! Syukur.. kau.. selamat..nak,” tangisnya.

Lama setelah itu, barulah tangis wanita yang menanggung beban hati yang berat itu reda. Saat Lugasi bertanya tentang orangtuanya, mereka menceritakan apa adanya.

“Maafkan kami nak, karena telah memisahkanmu dengan orangtuamu,” kata suaminya.

“Oh, tidak pak, bu. Itu sudah kehendak Dewa Yang Maha Esa. Saya yang berterimakasih karena bapak dan ibu telah menyelamatkan saya,” jawab Lugasi.

“Syukurlah, nak,” kata wanita itu tak henti-hentinya memeluk anak muda ini. “Ibu sekarang sudah lega dan rela bila sekarangpun dipanggil Dewa Yang Maha Tunggal.”

Lugasi tinggal di rumah itu dua hari, demi mengobati kerinduan wanita yang seperti ibunya sendiri itu. Kini ia telah tahu persis sejarah hidupnya. Ia hanya bisa berharap ayahnya masih hidup dan suatu saat mereka bertemu.

“Saya mohon diri dulu pak, bu. Doakan saya supaya bisa bertemu dengan bapak saya. Saya berjanji sewaktu-waktu akan kembali kesini menengok bapak dan ibu,” kata Lugasi.

“Selamat jalan, nak. Rumah ini terbuka untukmu kapan saja. Kembali kesini bila kau lelah atau mau menetap,” kata si bapak.

 Ia segera melangkah menuju Rajapurwa dengan hati yang haru biru. Perasaan sedikit lega mengetahui  ayahnya tidak tewas bercampur dengan kecewa tidak mengetahui dimana ia berada dan dengan tanda tanya masih hidup atau tidak. Rasa terobati penasarannya atas misteri peristiwa kebakaran itu bercampur dengan rasa kecewa ibunya telah meninggal dunia. Rasa bersyukur diselamatkan oleh gurunya tetapi kecewa terpisahkan dari orangtuanya. Walaupun demikian, ada rasa lega yang lain, ia berhasil membuat Jaira sadar. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA