Mengajak Risnadu Bergabung ke Markas Kasjur

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #99)

Balmis dan Codet memutuskan segera kembali ke Kasjur untuk melaporkan kejadian itu. Mereka tiba di penyeberangan Satange di pinggir sungai Priga sore hari.

“Selamat sore tuan Balmis,.. Apakah tuan mau menginap dulu atau langsung menyeberang,..??” tanya Satange.

“Ya, kami langsung saja menyeberang,..” jawab Balmis.

Mereka langsung menyeberang dan meneruskan perjalanan ke Selonto, Tanpa singgah di Selonto mereka bergegas menuju pondok persinggahan ketika malam telah larut. Mereka tidak perlu naik ke markas Kasjur karena Andragi dan pimpinan Kasjur ada di pondok persinggahan. Sebagaimana diketahui mereka sedang membangun desa baru di luar hutan itu. Tanpa membuang waktu mereka langsung melaporkan apa yang terjadi di Megalung.

“Tampaknya keadaan akan segera berubah. Kita tidak tahu apa reaksi gubernur Marsidu atas kematian anaknya adipati Cadipa. Mungkin dia akan mengirim pasukan untuk mengejar pembunuh anaknya, Saya menduga pasukannya akan menguasai Megalung dan tidak mempercayai Prajurit maupun Pamong Negeri Megalung,..” kata Andragi.

“Kalau begitu kedudukan Risnadu dan prajuritnya bisa berada dalam bahaya,..??” kata Brewok.

“Ya, besar kemungkinan begitu. Karena itu ada beberapa hal yang harus kita kerjakan segera,..” kata Andragi.

“Apa sajakah itu,,..??” tanya Loyo.

“Yang pertama kita harus bisa menjalin hubungan dengan Risnadu dan menawarkan tempat ini kalau mereka terpaksa menyingkir. Kekuatan mereka tentu akan sangat membantu pertahanan disini. Bagaimanapun juga tempat ini cepat atau lambat akan diketahui keberadaannya dan bisa dituduh sebagai tempat persembunyian para pembunuh Cadipa,....” jelas Andragi.

“Ya, orang pemerintah pasti akan mencari kambing hitam dan harus ada yang diserang. Jadi mungkin sekali tempat ini akan dijadikan sasaran tuduhan dan di serang,..” kata Prasa yang tahu benar tabiat orang pemerintah.

“Risnadu itu dulu anak buah saya. Dalam posisinya seperti sekarang saya kira saya bisa berhubungan dengan dia,..” kata Prasa.

“Baiklah, .. sobat Prasa akan melakukan itu.  Siapa yang menemani,..??” tanya Andragi.

“Saya juga kenal dengan Risnadi, Biar saya menemani kakang Prasa,..” jawab Pratur.

“Baiklah,.. Besok pagi sobat berdua bisa berangkat,..” kata Andragi.

“Apa tugas berikutnya,..” tanya Loyo.

“Yang kedua, kita juga harus mencari orang-orang yang paling menderita terdampak dari pemerasan yang dilakukan oleh Adipati Cadipa. Mereka pasti akan dicurigai dan bisa dituduh telah membunuh Cadipa karena sakit hati. Ajak mereka menyingkir kesini. Kita tak bisa tinggal diam kalau mereka dikejar-kejar,..” jelas Andragi.

“Saya bisa melakukan itu,.. Saya kenal beberapa keluarga yang jadi miskin karena perlakuan Cadipa,..” kata Rampoli.

“Baik, .. Sobat Rampoli bisa ditemani sobat Laja supaya kalau ada sesuatu yang mendesak sobat Laja bisa cepat kabari kami,..” jawab Andragi.

“Tentu kita harus cepat persiapkan tempat disini,..” kata Brewok.

“Betul,.... Itu tugas ketiga kita. Kita harus percepat kerja kita disini agar bisa menampung mereka yang datang,...” jelas Andragi.

“Dan tugas ke empat yaitu mulai membangun benteng pertahanan di markas Kasjur,..” lanjut Andragi.

“Apakah seperti di Gunung Kembar,..??” tanya Prasa.

“Ya,  betul... Sobat Prati, Prama dan Prawa yang pernah berada di Gunung Kembar bisa memimpin membuat pertahanan disana,..” jawab Andragi.

“Pembagian tugas yang rapi. Saya dan Huntaro akan belajar banyak cara membangun desa baru disini,..” kata Huntari.

“Silakan sobat Huntari dan Huntaro. Tentu bantuan sobat berdua juga akan sangat bermanfaat,..” kata Andragi.

“Oh iya, .. tolong sobat Rampoli beritahu sobat Satange untuk menanam pohon-pohon yang tinggi agar pondok persinggahan itu tidak mudah terlihat dari jalan,..” lanjut Andragi.

Keesokan harinya pembagian tugas itu dilaksanakan. Rampoli, Laja, Prasa dan Pratur berangkat menuju Megalung. Adapun Prati, Prawa dan Prama kembali ke markas Kasjur untuk membangun benteng pertahanan. Sedangkan Andragi, Brewok, Loyo, Ba;mis, Codet, Huntari dan Huntaro tetap ditempat itu untuk terus membangun desa baru yang mereka namakan Hardeba.

Di Hardeba, parit dan jalan sudah terbentuk, tinggal merapikan nantinya. Beberapa rumah juga sudah berdiri berikut sumur dan kamar mandi serta WC yang memakai “leher angsa” penghilang bau dari  tembikar yang dibuat oleh Loyo yang dipelajarinya dari para santri di Harjagi.

Yang membedakan adalah sebidang lahan luas disediakan untuk membuat sebuah rumah panggung besar guna menampung banyak orang yang datang sementara rumah-rumah yang dibangun belum mencukupi. Dua puluh lima orang ditugaskan membangun rumah besar itu, sementara 25 yang lainnya membantu Andragi dan Brewok mengerjakan ladang.

Selain menanam singkong ajaib seperti di Harjagi, Andragi juga meminta membuat ladang jagung karena cepat menghasilkan. Ada juga ladang sayuran dan buah-buahan. Sedangkan tanaman bumbu bisa ditanam di pekarangan rumah masing-masing.

Adapun Prati, Prawa dan Prama beserta 25 orang prajurit termasuk Juritma mulai membuat rencana membangun menara pengawasan yang tinggi di 8 penjuru, kemudian berbagai jebakan di tempat-tempat tertentu serta pagar-pagar tinggi dan kokoh yang memisahkan markas dengan pondok-pondok tempat tinggal keluarga dan sawah ladang mereka. Ini dimaksudkan jika ada serangan, para penghuni bisa masuk dan berlidung di area dalam pagar.

Sementara itu Rampoli. Laja, Prasa dan Pratur menjelang petang telah sampai di penyeberangan sungai Priga. Satange dan seorang kawannya yang kebetulan ada di sisi itu segera neyambut mereka dengan ramah.

“Mari tuan, selamat datang,.. Mari langsung naik,..” sapanya.

Diatas perahu Satange bercerita kalau telah terjadi pembunuhan adipati Cadipa di Megalung.

“Apakah suasana disana gawat,..??” tanya Prasa.

“Sepertinya begitu karena prajurit dan Pamong Negeri gencar mengejar pembunuhnya yang lari entah kemana,..” jawab Satange.

“Oh,.. pembunuhnya belum tertangkap,..??” tanya Rampoli.

“Belum tuan, katanya orang-orang yang sakit hati kepada adipati itu yang membunuhnya, tapi siapa,... kan banyak yang sakit hati,..” jawab Satange.

“Kenapa begitu,..?? tanya Prasa.

“Yah, katanya banyak yang menderita atau jatuh miskin karena hartanya diperas atau hasil panen seperempat harus diserahkan ke pemerintah,.. Kami rakyat miskin tidak begitu tahu soal itu,..” jelas Satange.

Setiba di seberang sungai mereka memutuskan bermalam di pondok persinggahan yang dibangun Satange atas bantuan Andragi dan kawan-kawan. Tanpa disuruh istri Satange langsung memasak makanan buat para tamunya dengan bahan makanan yang selalu disiapkan untuk para tuan penolongnya yang memang sering menyeberang dan sengaja meminta dia mendirikan pondok penginapan ini.

“Sobat Andragi, tabib sakti itu, berpesan sebaiknya menanam pohon yang tinggi supaya pondok ini tidak mudah terlihat dari jalan. Dan jangan pernah cerita kalau kami sering menginap disini. Kita tidak pernah tahu niat jahat seseorang,..” kata Rampoli.

“Baiklah tuan, saya akan menanam batang-batang pohon yang tinggi seperti bambu atau yang lain,...” jawab Satange.

“Ini sekedar titipan dari tabib sakti itu,..” kata Rampoli menyerahkan sejumlah keping uang.

“Ini terlalu banyak tuan,..” kata Satange menolak.

“Simpan saja, mungkin suatu saat berguna. Memang jangan dibelanjakan sekarang semuanya karena akan mengundang kecurigaan,..” jelas Rampoli.

Esok harinya ke empat orang itu meneruskan perjalanan mereka ke Megalung berdua-dua dalam jarak tertentu seperti tidak saling mengenal. Tak ada halangan berarti menghadang mereka di sepanjang perjalanan. Setiba di Megalung Rampoli dan Laja memisahkan diri berjalan menuju pemukiman penduduk sedangkan Prasa dan Pratur langsung menuju markas prajurit Megalung.

Di depan gerbang markas prajurit mereka dihentikan oleh penjaga.

“Apa maksud kedatangan kalian kisanak,..??” tanya seorang penjaga.

“Kami ingin menghadap komandan Risnadu untuk melaporkan,..” jawab Prasa.

“Melaporkan soal apa,...??”

“Tak bisa disini kisanak, ini soal penting,..” jawab Prasa.

“Iya,.. tetapi sebut dulu soal apa,..!!” kata penjaga itu tegas.

“Tak bisa disini,... Biarlah kami masuk dulu,..” kata Prasa.

“Enak saja,..! Sebut keperluanmu sebelum kutendang kalian,..!!” bentak penjaga dengan nada marah.

Terjadi ketegangan di depan pintu gerbang itu. Mau tidak mau Prasa terpaksa menyebutkan keperluannya.

“Hmm,.. soal pembunuhan Adipati Cadipa,..” jawab Prasa setengah berbisik.

“Apa,..!! betulkah,..??” tanya penjaga itu kaget.

“Teman-teman,.. kepung kedua orang ini,..!!” seru penjaga itu kepada teman-temannya.

Serentak beberapa orang prajurit mengepung Prasa dan Pratur dengan pedang terhunus.

“Ringkus kedua orang ini dan kita paksa untuk mengaku,..!!” kata penjaga yang tadi.

Tidak ada pilihan lain bagi Prasa dan Pratur selain bersiap diri menghadapi para pengeroyok mereka. Dengan mengambil posisi beradu punggung, Prasa dan Pratur menggenggam pedang dengan sikap waspada. Para prajurit mulai melangkah berputar pelan-pelan mengelilingi keduanya.

Tiba-tiba dua orang prajurit yang berada di depan masing-masing melompat menyerang dengan gerakan menusuk, namun dengan cekatan Prasa dan Pratur menangkis sambil melompat ke samping kanan sekaligus menyerang orang yang terdekat. Tak ayal pertekelahian pun pecah dengan kerasnya. Serangan dari para penjaga yang mengeroyok bertubi-tubi datang silih berganti namun dengan tenang dilayani oleh Prasa dan Pratur. Posisi mereka dengan sikap adu punggung itu sangat sulit ditembus dan mereka selalu bisa kembali ke posisi itu setiap kali bergerak menghindar atau setelah menyerang.

Sejauh ini setiap serangan prajurit pengepung selalu mampu dihindari atau ditangkis oleh Prasa dan Pratur. Bahkan sesekali mereka sempat mendesak para pengeroyoknya. Tentu tak heran karena sebagai bekas pimpinan prajurit disitu mereka juga yang mengajarkan gerakan-gerakan dan pola serangan para prajurit itu.

“He,.. Tunggu dulu,..!! seru Prasa. “Kalian tak perlu sibuk meringkus kami dan belum tentu kalian bisa,... Antar saja kami ke dalam dan temukan kami dengan komandan Risnadu, sebelum ada yang jatuh korban disini,..!!” kata Prasa.

“Jangan takut teman-teman,.. ayo ringkus mereka,..!” kata seorang prajurit.

“Eh,.. kau Tejor, cepat kasih tahu komandan Risnadu,..!! sergah Pratur kepada prajurit yang baru berkata tadi.

“Eh,... kok kau tahu namaku,..??  Siapa kau,..!!??” tanya Tejor tergagap.

“Aku tahu hampir semua prajurit disini. Juga Komandan Risnadu,..Cepat antar kami kepadanya,,!!” perintah Pratur.

Seperti terpesona Tejor membuka pintu samping gerbang dan mereka membawa masuk Prasa dan Pratur ke pos dalam markas, dan meminta keduanya menunggu. Tejor lalu melapor ke komandan jaga, yang segera berjalan ke dalam suatu ruangan. Beberapa saat kemudian komandan jaga datang dan menyuruh Tejor membawa masuk Prasa dan Pratur ke ruangan yang tadi dia masuki. Ternyata didalam ruangan itu ada Risnadu yang memandang tajam kedua tamu tak diundang itu.

Risnadu menduga keras jangan-jangan kedua orang ini hanya akan mencari keuntungan dari pembunuhan itu atau mau memfitnah musuhnya dan meminjam tangan prajurit untuk menghukum lawannya. Tidak mungkin kalau laporan mereka ini benar karena dia sendiri dan prajuritnya yang membunuh adipati Cadipa.

“He,... benarkah kalian ingin melaporkan pembunuh Adipati Cadipa,..!!??” tanya Risnadu sedikit membentak.

Bukannya menjawab, pelan-pelan Prasa dan Pratur membuka ikat kepala mereka dan menggantikannya dengan ikat kepala prajurit Megalung yang dulu mereka pakai.

Dengan terbelalak Risnadu memandang tak berkedip kedua orang itu.

“Komandan Sarji,...komandan,.. bukankah komandan sudah,..??” tanyanya terputut-putus karena terkejut.

“Ya benar,, Saya Sarji dan ini komandan Tursina,.. Kami masih hidup dan telah berganti nama... Panggil saya Prasa dan ini sobat Pratur,.. jawab Prasa.

Prasa lalu menjelaskan semua kejadian yang dia dan ke empat kawannya alami saat gagal mengawal harta hadiah ulang tahun Kepala Negeri hingga mereka memilih bergabung dengan Andragi dan kawan-kawannya.

“Jadi kami sudah menduga keras akan dihukum berat kalau gagal dalam pengawalan itu seperti yang sobat Risnadu alami bersama pasukannya,..” jelas Prasa.

“Yah,... memang itu yang kami alami,... kata Risnadu.

“Beberapa hari yang lalu dua sobat kami mengamati markas ini dan mengetahui persis apa yang dilakukan sobat Risnadu dan pasukannya terhadap adipati Cadipa,..” kata Prasa.

“Heh,..!! Apakah mereka itu yang masuk kesini dan mengaku kerabat kakang Sarji,..??” tanya Risnadu.

“Ya, betul,.. Keduanya telah melaporkan kepada pimpinan kami di markas Kasjur apa yang mereka lihat disini dan kami diutus menemui sobat Risnadu,..” jawab Prasa.

Hati Risnadu tercekat mendengar kalau ada yang tahu tentang siapa pembunuh Adipati Cadipa itu. Jangan-jangan kedua orang ini datang untuk memerasnya dan meminta harta rampasan dari rumah Adipati Cadipa. Hatinya jadi gelisah.

“Hmmm,.. apakah selain mereka ada yang tahu,..??” tanya Risnadu.

“Kami tidak tahu,... kami berharap tidak ada. Tetapi sobat Risnadu tetap harus berjaga-jaga karena bisa saja Gubernur Gurada mempersalahkan sobat Risnadu soal itu. Bahkan menuduh sebagai pembunuhnya dengan alasan balas dendam karena sakit hati,..” jawab Prasa.

Risnadu memandang tajam. Otaknya berpikir keras bagaimana menghadapi situasi ini.

“Tapi jangan kuatir. Kami di markas Kasjur selalu siap membantu Sobat Risnadu dan rakyat Megalung yang tertindas oleh keserakahan adipati Cadipa. Jika terjadi sesuatu sobat Risnadu dan pasukannya bisa mengungsi ke markas Kasjur dan membangun pertahanan disana,..” jelas Prasa.

Hati Risnadu menjadi sedikit lega mendengar penjelasan Prasa itu. Dia sebenarnya sudah menimbang-nimbang pula kemungkinan akan jadi sasaran dipersalahkan oleh Gubernur Gurada karena harus ada orang yang dipersalahkan dalam pembunuhan yang menimpa anak kesayangannya itu.

“Oh, terimakasih banyak kakang. Tetapi saya belum tahu dimana markas Kasjur itu berada,..” kata Risnadu.

“Tidak Jauh dari sini. Kami ada di seberang sungai Priga. Ada baiknya sobat Risnadu mengutus satu dua orang mengikuti kami ke markas Kasjur untuk melihatnya dulu,..” tawar Prasa.

“Baiklah,... Saya akan suruh orang kepercayaan saya ikut kakang berdua ke markas Kasjur,..” jawab Risnadu menyetujui.

Malam itu Prasa dan Pratur diminta menginap di markas prajurit Megalung itu oleh Risnadu dan keesokan paginya dia menyuruh dua orang prajuritnya mengikuti Prasa dan Pratur kembali ke Maekas Kasjur.

KOMENTAR ANDA