Setan Lebih Suka Tempat Yang Suci!


Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #17)
Tiga
PILKADA BUNTUNG

S
etelah menekan bagian rahasia dinding stalagmit, masuklah Andragi dan Loyo menemui Kakek Bulesak yang tampaknya sedang memberi berbagai wejangan kepada Sonto, sambil menanti mereka. Keduanya segera memberi hormat kepada kakek Bulesak.

“Ah, kalian sudah tiba, syukurlah. Silakan duduk,” kata kakek Penjaga Pintu Suargi itu dengan ramah seperti biasanya.

Mereka berdua mengambil tempat berdampingan di sisi kiri dan kanan Sonto, menghadap kakek Bulesak.

“Bagaimana perjalananmu dengan Anak Langit, Loyo?” tanya kakek itu.
“Bukan main kakek guru! Anak Langit memiliki banyak kesaktian yang ajaib. Lagi pula Anak Langit sangat baik serta rendah hati,” jawab Loyo.

 Wajah Andragi jengah mendengar pujian itu.
 “Tetapi harimau itu tidak kau bunuh, kan?! Baiklah kalau begitu,” kata kakek hebat itu tanpa menunggu jawaban Loyo.

Ia kemudian menatap sejenak teropong yang tergantung di leher Andragi, dan mengangguk-angguk sambil tersenyum, maklum.

“Dan .. Anak Langit tentunya sudah mengetahui kejadian saat upacara tadi itu kan?” tanyak kakek.
“Maaf kakek Guru.. Tapi saya belum menceritakannya kepada Anak Langit,” sela Loyo berusaha mencuci tangan, takut dikira lancang.

“Bukan.. bukan begitu Loyo. Anak Langit melihatnya sendiri semua kejadian itu dengan jelas dari jarak jauh, dengan menggunakan benda yang tergantung di lehernya itu,” jelas kakek Bulesak.

Loyo dan terutama Sonto terheran-heran  melihat Andragi mengangguk membenarkan ucapan kakek Bulesak.

“Benar kakek Bulesak. Saya melihat semua sepak terjang brutal pasukan berkuda itu. Tetapi saya tidak bisa mendengar apa saja yang diucapkan oleh pimpinannya yang gagah itu,” jawab Andragi.
“Baiklah! Memang untuk itu saya kemari. Membicarakan apa yang harus kita kerjakan menanggapi ancaman Jaira, komandan pasukan itu,” katanya sambil membetulkan duduknya.
“Tetapi kalian harus bisa menjaga rahasia dengan baik. Kalian harus menggenggam erat, membuhul mati menjaga rahasia ini sekuatnya. Kau Sonto, sebagai saudara Loyo yang menjadi muridku dan sudah berjanji setia menjadi sahabat Anak Langit, harus bisa menjaga rapat-rapat rahasia ini. Kalau sampai bocor, keselamatan Anak Langit dan juga seluruh warga Padepokan Kalbusih akan menjadi taruhannya. Kalian paham?!” tanyanya, terutama kepada Sonto dan Loyo.
“Kami paham dan berjanji kakek guru!” jawab keduanya serempak.

Kakek Bulesak lalu menceritakan semua kejadian tadi dengan lengkap termasuk ancaman Jaira untuk memenggalnya jika tidak menyerahkan Anak Langit dalam tempo tiga hari. Selanjutnya beliau menjelaskan apa yang harus mereka lakukan selama tiga hari itu.

"Jadi, sebaiknya Anak Langit tidak tinggal di Padepokan kalbusih lagi," kata kakek Bulesak.

Andragi merasa sedih karena dia tidak boleh lagi tinggal di padepokan itu bersama warga yang telah menerimanya dengan senang hati. Melihat hal itu kakek Bulesak menjelaskan alasannya sejak awal, sejak ia bertekad untuk bertapa selama seratus hari.

“Begini ceritanya,” kata kakek Bulesak memulai.
“Sejak banyak orang pandai dan berbakat yang dikriminalkan dengan cara yang licik oleh para pejabat yang korup, keji dan serakah kemudian dipenjara atau dibunuh atau dibuang ke tempat yang jauh, keadaan negeri ini mulai suram. Korupsi merajalela di segala kehidupan anak negeri. Orang-orang yang tadinya bersih dan lurus akhirnya terjerumus juga, berkubang dengan kekotoran itu. Ini telah terjadi bertahun-tahun. Anak Langit bisa melihat sendiri bagaimana Sonto diperdaya oleh Lurah Brangin, namanya Tamakir,  sehingga ia hampir saja berbuat jahat terhadap Anak Langit. Padahal sebelumnya ia seorang yang sangat patuh terhadap hukum. Tamakir memang manusia yang tamak dan kikir, lagi keji,” jelas si kakek.

Kakek Bulesak sengaja menjelaskan ini, untuk menyadarkan Sonto dari kekhilafan yang ia buat sehingga harus menghadapi masalah yang menimpa keluarganya sekarang.

“Nah, sejak itu banyak dari mereka yang sempat lolos datang meminta kepadaku untuk bertapa meminta bantuan Dewa Yang Maha Esa agar berkenan menurunkan utusannya demi memberantas kebejatan moral para petinggi negeri dan kesesatan rakyat negeri kami. Dari sekian banyak yang meminta kepada saya itu terselip juga antek-antek kaki tangan petugas negeri. Mereka menyamar dan menyusup seperti musang berbulu ayam. Maksud mereka mudah ditebak, agar mereka juga tahu jika Anak Langit benar-benar datang, mereka tidak ketinggalan berita. Jadi, saya tidak heran juga jika diantara penghuni padepokan, terselip juga penyusup atau warga yang telah menjadi kaki tangan orang-orang serakah maupun oknum pemerintah yang korup,” ia berhenti sejenak.

“Makanya ketika saya datang bersama Anak Langit dan mendapat penyambutan yang meriah dari warga, saya langsung mengumumkan akan mengadakan upacara suci penyambutan Anak Langit tiga hari kemudian dengan maksud memberi kesempatan kepada para kaki tangan itu memberitahu tuannya. Upacara itu sendiri hanyalah sarana untuk memancing si penjahat,” jelas kakek Bulesak.
“Sebentar, kakek Bulesak,” Andragi menyela.
 “Bagaimana kakek begitu yakin kalau diantara warga padepokan yang suci ini terdapat kaki tangan para penjahat?” tanyanya.
“Begini. Harus dipahami dulu bahwa padepokan itu sendiri bukanlah suatu tempat yang suci. Yang suci itu adalah isi hati dan sikap perilaku manusianya yang selalu berdoa dan melaksanakan imannya dalam kehidupan kesehariannya yang saling mengasihi satu sama lain. Selama ini kehidupan Padepokan Kalbusih memang kita bangun seperti itu sehingga terciptalah gambaran tempat itu adalah tempat yang suci. Nah, sayangnya setan tidak bodoh dan tahu persis tempat berlindung yang paling aman justru di tempat-tempat yang “suci” seperti itu. Dia tahu persis orang akan enggan mencurigai tempat-tempat seperti ini. Anak Langit pahamkan?” tanya si kakek.
Andragi mengangguk.
”Tetapi bagaimana kakek yakin kalau pasukan itu akan datang pada saat upacara? Bagaimana bila dia tidak muncul?” tanyanya lagi.
“Yayaya.. hehehe..Sebenarnya saya sendiri tidak sebegitu yakin. Tetapi dalam perhitungan saya, orang-orang yang ambisius tidak akan kehilangan kesempatan sedikitpun. Mereka itu seperti anjing berebut tulang. Mereka takut kalau kedahuluan oleh pesaing mereka. Jadi pada kesempatan pertama mereka akan ambil, dan itu berarti pada upacara itu. Selain itu mereka toh tidak harus susah-susah mencari kesana kemari. Sudah pasti ada disitu pikir mereka.. hehehe.. Mereka kecele!” tawanya berderai.
Mereka semua ikut tertawa.

“Tapi kalau mereka tidak datang, tentu saya akan merubah jalannya upacara. Cadar yang dipakai Parjit sebagai pengganti Anak Langit tidak akan dibuka di depan umum, tetapi dibawa masuk ke pendopo terlebih dahulu dengan iringan penari lalu saya akan minta awan di langit untuk menjemput  Anak Langit yang sedang berada di atas pohon. Kalau Anak Langit turun dengan menggunakan awan tentu akan menjadi lebih menakjubkan lagi...hehehe!” jelas si kakek.

Sonto dan Loyo ikut tertawa geli karena mereka mengira kakek Bulesak sedang bergurau. Mereka memang tidak tahu, sebagaimana halnya warga Padepokan Kalbusih yang lain, kalau Kakek Bulesak mempunyai kesaktian menunggangi awan itu.

“Baiklah, sekarang saya harus kembali ke padepokan. Kalian bertiga bekerja sama membuat markas ini menjadi lebih baik tetapi jangan sampai bisa diketahui orang lain. Kau Sonto, besok harus pergi ke desa terdekat membeli bahan makanan untuk dibawa kesini. Tapi ingat, jangan pernah menggunakan lintasan yang sama agar tidak menjadi jalan setapak sehingga mudah diketahui orang lain. Saya akan kesini lagi setelah tiga hari dari sekarang.”

 Beliau lalu keluar dan menghilang di dalam hutan.

Esoknya Andragi dan Loyo menyibukkan diri membangun markas Sontoloyo agar tidak mudah disusupi orang yang tidak diharapkan. Sebelumnya mereka meneliti lebih jauh seluruh bagian gua dan menemukan beberapa ruangan  tersembunyi serta lorong panjang berkelok-kelok yang menembus disisi lain bukit itu persis pada dinding yang terjal dan ditutupi oleh air terjun. Dibawah air terjun setinggi kira-kira 50 meter dari mulut gua itu tampak terbentuk kolam yang bening dan dalam. Mereka juga membuat sebuah ruang rahasia di salah satu ruang yang baru ditemukan untuk dipakai Anak Langit. Ruang rahasia itu hanya bisa dicapai melalui ruang rahasia lainnya yang akan dipergunakan sebagai tempat pembicaraan rahasia mereka.

Menjelang petang hari Sonto datang dengan membawa beberapa bahan makanan, terutama beras dan ubi-ubian. Ia membawa juga beberapa peralatan tukang kayu seperti parang, gergaji, serut dan sebagainya sesuai pesan Andragi sebelum ia berangkat pada subuh tadi. Hari itu mereka habiskan dengan membuat berbagai peralatan rumah tangga yang penting seperti tempat tidur, lemari untuk menyimpan barang-barang Anak Langit, peralatan masak dan sebagainya. Keesokan harinya mereka teruskan pekerjaan itu hingga selesai dan sesudah itu mereka membicarakan rencana mereka untuk membebaskan anak-anak dan istri Sonto dari cengkeraman Tamakir, dan para tukang pukul yang selalu setia menemaninya seperti anjing penjaga.

“Apa sobat Sonto dan Loyo sudah memahami rencana yang saya maksudkan?” tanya Andragi.
“Kami mengerti Anak Langit, dan akan menjalankan sebaik-baiknya,” kata mereka serempak.
“Baiklah.  Kita akan melaksanakan segera setelah kakek Bulesak datang,” kata Andragi memutuskan.


Apakah mereka berhasilmembebaskan istri dan kedua anak Sonto?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA