Jurus Api Naga yang Melumpuhkan



Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #13)

Serentak terdengar gemuruh tepuk tangan hadirin, menandakan mereka menerima dengan gembira kehadirannya. Kakek Bulesak lalu mengambil kursi disampingnya.

“Saudara-saudaraku terkasih. Hari ini Dewa Yang Maha Satu telah mengabulkan permohonan kita. Mari kita sambut kedatangan Anak Langit!” serunya.
“Hidup Anak Langit!!” sambut hadirin dengan gemuruhnya.

Mereka lalu berpesta sebagai bentuk kegembiraan dan sambutan atas kedatangan Anak Langit. Kegembiraan mereka dapat dilukiskan seperti belut jatuh ke lumpur. Mereka bahagia sekali. Makanan tanpa daging (vegetarian) pun disajikan dalam berbagai bentuk dan rupa. Tak ketinggalan minuman khas negeri itu semacam tuak tapi serasa bandrek yang terbuat dari nira pohon lontar. Pesta itu sangat diwarnai suasana gembira ria meski makanan dan minuman yan disajikan terbilang sederhana. Pesta berakhir menjelang larut malam.

Sebelum para hadirin bubar, kakek Bulesak menyampaikan pesan bagi seluruh penghuni Padepokan Kalbusih.
“Saudara-saudaraku, anak-anakku, dan cucu-cucuku...,  Kedatangan Anak Langit sudah sepantasnya kita syukuri dan sambut dengan gembira. Tetapi kita semua harus menjaga jangan sampai berita ini bocor keluar, menyebar ke orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yang berniat buruk terhadap Anak Langit. Apa kalian sanggup?!” tanya beliau.
“Kami sanggup!!!” gemuruh jawab hadirin.
“Terimakasih, saudara-saudaraku!" kata kakek Bulesak.
"Nah, kita belum tahu apa yang akan diperbuat oleh Anak Langit. Biarlah beliau istirahat dulu malam ini. Pada hari ke tiga dari sekarang kita akan mengadakan upacara syukur agung dan mendengar wejangan dari Anak Langit. Esok kita akan melakukan persiapan syukur agung sementara Anak Langit bisa melihat-lihat keadaan padepokan kita,”lanjut kakek Bulesak.
“Baiklah, sekarang kita bisa pulang dan tidur dengan damai,” kakek Bulesak mengakhiri pertemuan bersejarah itu.
“Hidup Anak Langit!!” terdengar sambutan serempak dari para hadirin.

Mereka lalu bubar dengan tertib, kembali ke kediaman masing-masing. 
Apakah semuanya kembali ke tempat tinggalnya masing-masing? Hmmm..., rupanya tidak semua...!

Andragi mendapatkan sebuah rumah mungil semacam paviliun di samping bangunan pendopo. Di dalam kamarnya ia segera membongkar isi ranselnya,  berharap barang-barang yang dibawanya dapat bermanfaat membantu misinya sesuai harapan kakek Bulesak. Ransel yang cukup besar itu memang memuat banyak aneka barang: pakaian dua stel, senter, deodoran, pisau lipat, korek api gas, teropong berkekuatan cukup tinggi (hadiah dari Nina karena ia suka menonton bola di stadion), Peralatan P3K lengkap dengan berbagai obat-obatan, ............ bahkan sebuah pistol dan gas air mata yang diselipkan oleh paman Hudi untuk membela diri, serta satu liter bensin dalam botol plastik bekas air kemasan yang dipersiapkannya kalau-kalau motornya kehabisan bensin ditempat yang terpencil, dan... masih banyak lagi.

“Siapa tahu semua ini ada gunanya,” katanya kepada diri sendiri.
 Ia menghela napas panjang, merebahkan diri dan tertidur pulas.
Sementara itu....,
Salah seorang peserta yang turut dalam penyambutan Anak Langit tidak langsung pulang kerumahnya, melainkan berjalan keluar Padepokan Kalbusih melalui jalan tikus menghindari penjaga yang mengawasi gerbang masuk. Ia bergegas menuju sebuah bukit yang tertutup lebat oleh hutan.

“Ini berita bagus! Aku harus segera mengabarkannya kepada kepada kakak Sonto!” katanya mantap.

Langkahnyapun dipercepat agar segera tiba di tujuan. Kira-kira tujuh kilometer ia berjalan, tibalah ia pada sebuah pohon besar yang berjuntaian akar gantung menutupi mulut gua yang tepat berada disamping batang pohon itu. Ia lalu menyibak tirai akar gantung itu dan masuk menyusuri mulut gua hingga tiba di sebuah tiang batu stalagmit. Dicabutnya golok yang terselip dipinggang kirinya dan dengan pangkal golok itu diketuknya bagian tertentu batang stalagmit itu. Seketika itu juga terkuaklah dinding batu diujung kiri bagian lorong itu.

“Hei siapa itu?!!” terdengar suara serak dari dalam.
“Saya, kakak Sonto. Saya Loyo!” jawabnya
“Eh, kamu. Ada apa malam-malam begini datang kemari?” jawab suara yang dipanggil dengan Sonto.
“Penting, kakak Sonto! Berita bagus dan bisa membuat kita kaya raya!” kata Loyo bersemangat.

Mendengar kata kaya raya, orang yang dipanggil Sonto memasang telingan baik-baik.
“Hmmm, betulkah..? Jangan mengacau kamu!” tanya Sonto.

Loyo lalu menceritakan tentang kedatangan Anak Langit dan semua penyambutan yang diikutinya hingga pesta berakhir.

“Apa kamu yakin dia Anak Langit?” tanya Sonto meragukannya.
“Dia datang bersama kakek Bulesak setelah kakek guru bertapa seratus hari di Pintu Suargi. Orang itu berpakaian aneh dan membawa bungkusan besar yang juga aneh. Juga alas kakinya. Semua yang dia bawa dan pakai itu sepertinya tidak berasal dari jaman kita ini. Tubuhnya cukup tinggi, berkulit sawo matang tetapi tampak bersih mengkilap. Bicaranya juga berlogat sangat asing. Aku yakin dia Anak Langit!” jawab Loyo mantap.
“Kalau memang begitu lalu apa rencanamu?”

Loyo lalu memberi tahu rencananya secara detil, sebuah rencana yang bisa merubah hidup mereka secara drastis. Sonto mengangguk-angguk penuh harap dan mereka memutuskan untuk sesegera mungkin melaksanakannya.

Malam itu juga mereka berdua kembali ke Padepokan Kalbusih dan pergi ke kediaman Loyo untuk mempersiapkan rencana mereka. Saat fajar mulai menyingsing mereka segera mendatangi paviliun tempat Andragi menginap. Dengan sopan mereka mengetuk pintu. Andragi yang saat itu sedang melihat-lihat barang bawaannya segera datang membuka pintu.

“Selamat pagi tuanku Anak Langit,” sapa Loyo dengan sopan. “Kami disuruh kakek Bulesak menjemput Anak Langit untuk diajak melihat terbitnya matahari yang indah dan sarapan pagi.”
“Oh baiklah. Silakan duduk dulu. Saya akan bersiap diri segera,” jawab Andragi.

Ia lalu masuk ke kamarnya, mengganti pakaiannya. Ia memakai kaus t-shirt bergaris-garis putih biru besar melintang, dan di bagian dada bergambar hati merah dengan tulisan putih ‘LOVE’. Celananya blujean yang tampak masih baru. Kakinya dibungkus dengan kaus kaki putih dan sepatu kets putih yang juga tampak baru. Penampilannya sungguh terlihat sportif dengan bentuk tubuhnya yang atletis dengan tinggi 176 cm.

Sebelum keluar menemui penjemputnya, tak lupa ia mengantongi korek api, pisau lipat kecil serba guna yang berisi berbagai bentuk alat, serta sebotol kecil bensin yang telah diisinya ke dalam bekas botol kapsul. Kapsulnya sendiri telah ia pindahkan ke kotak obat khusus yang dibawanya serta dari rumah. 

Ia lalu keluar menemui kedua tamunya.
“Mari pak, kita berangkat,” ajaknya.
“Silakan Anak Langit mengikuti kami,” kata Loyo sambil berdiri melangkah.
Sonto begitu terpana melihat penampilan Andragi dengan pakaiannya yang ‘aneh’. Kini ia semakin percaya kata Loyo bahwa pemuda ini benar Anak Langit.

Bukannya menuju kediaman kakek Bulesak, mereka menggiringnya ke arah hutan menuju sarang mereka. Mereka berjalan beriringan, Loyo berjalan di depan dan Sonto mengapit Andragi dari belakang. Saat memasuki hutan Andragi menjadi sangsi dan bertanya kenapa mereka menuju hutan. Ia clingukan menoleh ke kiri dan ke kanan. Belum hilang rasa herannya itu, tiba-tiba Sonto menghunus belatinya dan menodongnya dari belakang. Rupanya Sonto telah melihat gelagat Andragi mulai curiga dengan sikapnya yang clingukan tadi itu.

“Jalan terus, atau aku tusuk dari belakang!” katanya kasar sambil menyentuhkan ujung belati di punggungnya.

Andragi terkejut, mana mungkin anak buah kakek Bulesak bertindak seperti ini, pikirnya. Ini pasti perbuatan orang-orang jahat yang diceritakan oleh si kakek kepadanya. Andragi pun terpaksa mengikuti kemauan mereka. Otaknya terus berpikir bagaimana melepaskan diri dari kedua penjahat ini. 

Akhirnya mereka tiba di sarang kedua penjahat itu dibalik tirai akar gantung pohon besar itu. Mereka mengikatnya dengan seutas tali pada tiang stalagmit.

“Langkah pertama sudah beres! Sekarang langkah kedua. Kita buktikan kesaktiannya sebagai Anak Langit!” kata Sonto.
“Caranya bagaimana?” tanya Loyo.

Sementara mereka berunding cara membuktikan kesaktian Anak Langit, Andragi diam-diam mengatur posisi korek api gas yang sejak sebelum diikat telah digenggamnya rapat-rapat tanpa diketahui oleh Loyo yang mengikatnya. Tangannya yang terikat kebelakang membuatnya tanpa kesulitan untuk bisa digunakannya menyalakan korek itu dan lalu mendekatkannya pada tali. Sesekali tangannya tersentuh api, tetapi ia bertahan untuk tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Pelan tapi pasti tali itu terbakar dan dengan segera terurailah ikatan yang melilit tubuhnya.

“Seperti ada bau benda hangus terbakar. Kau masak apa kemarin sampai lupa begitu kak Sonto?” tanya Loyo.
Mereka berdua bergegas menghambur ke bagian ‘dapur’ gua itu. Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Andragi. Dia segera melangkah keluar, hendak melarikan diri. Tetapi diurungkannya niatnya itu. Bukannya mempercepat langkahnya keluar gua, ia justru berbalik masuk lagi. Dia berjalan menuju dapur. Dikeluarkannya botol kapsul yang berisi bensin, membuka tutupnya dan memasukkan sebagian isinya ke mulutnya. Ditutupnya kembali botol itu dan dimasukkannya lagi ke saku celananya. Tangan kanannya menggenggam korek api.

Saat kedua orang itu menyadari tidak ada api yang membakar di dapur, mereka segera kembali untuk memeriksa sandera mereka.
      
 “Aneh! Saya tadi benar-benar mencium bau hangus. Dari mana datangnya?” tanya Loyo.
“Iya. Saya juga mencium bau itu,” kata Sonto membenarkan.

Belum hilang rasa heran mereka, tiba-tiba keduanya terkejut lagi dan berhenti melangkah  manakala  melihat Anak Langit sudah berdiri bebas dan menghadang jalan mereka. Sebelum keduanya sempat bersuara atau bertindak, Andragi mendekatkan kedua tangannya di depan mulutnya yang menggelembung dan bergoyang-goyang. Diam-diam telapak tangan kanannya menyalakan korek sementara telapak kirinya menutupi nyala korek itu dari pandangan kedua penculiknya itu. Bagi mereka, mulut Anak Langit yang menggelembung serta bergoyang-goyang itu tampak seperti sedang merapal mantera. Segera Andragi menyemburkan bensin dari mulutnya dan api menyambar memancar kearah kedua orang itu. Mereka terkejut bukan main. Belum pernah dalam hidupnya mereka melihat orang mengeluarkan api dari mulutnya.... 

Keduanya gemetar ketakutan dan segera jatuh merebahkan diri sambil kedua tangan mereka meyembah-nyembah minta ampun.
“Ampuuun tuanku Anak Langit... Jangan bunuh kami... Kami masih punya anak dan istri ...yang harus kami beri makan. Kami tidak bermaksud jahat padamu. Kami hanya ingin mendapatkan uang ......sebagai pembayar tebusan....,” kata mereka berdua menghiba.

Kedua kakak beradik itu sangat ketakutan seperti ayam melihat musang. Menggigil seperti orang terkena demam tinggi. Keringat dingin tampak menetes di pelipis mereka. Tak pernah terlintas di benak mereka ada orang sesakti ini, mampu mengeluarkan api dari mulutnya seperti ular naga yang sering diceritakan dalam dongeng dan legenda.

Melihat kedua orang itu benar-benar ketakutan, Andragi tahu kalau mereka sudah tidak berbahaya lagi. Mereka sudah ditaklukkan secara mutlak.

Sambil menahan ketawa (anda juga tentunya) Andragi mendekat dan menepuk punggung kedua kakak beradik itu.
“Silakan kalian berdiri sobat Sonto dan Loyo,” katanya dengan lembut disertai senyum yang masih menyisakan rasa gelinya.

Melihat senyum dan mendengar kata-kata yang lembut, perlahan-lahan keduanya menjadi lega dan ketakutan mereka berangsur hilang. Perlahan mereka mulai berani bangkit berdiri.

“Ceritakan, kenapa kalian menculikku?” tanyanya dengan nada dan senyum yang sama. 
“Ampunilah kami tuanku Anak Langit, jawab Loyo. "Dua anak perempuan dan istri kakakku Sonto ini disandera oleh Lurah Brangin yang juga bandar judi. Kakakku ini kalah berjudi dan tak mampu membayar hutang-hutangnya. Lurah itu dan kaki tangannya sangat berkuasa dan kejam. Bila dalam lima pekan hutangnya tidak dilunasi, maka istrinya akan dijadikan budak nafsu di tempat perjudian dan kedua anak perempuan itu akan disuruh bekerja membanting tulang. Dan jika telah besar pun mereka akan dijadikan pelampias nafsu bejad si bandar judi. Itulah sebabnya saya nekad membawa tuanku Anak Langit kemari. Maafkanlah kami tuanku...,” jelas Loyo menghiba.
“Oh begitu. Baiklah, kalian kumaafkan,,,. Tetapi masalah sobat Sonto ini harus kita cari jalan keluarnya. Mari kita bicarakan dengan tenang,” kata Andragi lembut.
“Terimakasih tuanku Anak Langit. Kami bersumpah akan setia menjadi hamba tuan Anak Langit,” kata mereka serempak.
“Tak perlu jadi hambaku, kalian kujadikan sahabat karib saya. Sejak saat ini jangan sebut aku dengan tuanku. Panggil saja dengan sebutan sobat,” kata Andragi.

Kedua kakak beradik itu sangat gembira. Mereka tidak mengira kalau orang sakti ini begitu baik hatinya. Biasanya orang sakti atau yang memiliki kelebihan bersikap sombong, merendahkan dan pendendam atau kejam dalam membalas. Anak muda yang baik!.

Bertiga mereka lalu merencanakan cara menebus anak dan istri Sonto. Andragi menjelaskan garis besarnya, sedangkan langkah detilnya akan dibicarakan setelah upacara syukuran besok. Kini Andragi harus pulang dulu ke padepokan kakek Bulesak. Tentu ia sedang dicari-cari oleh kakek Bulesak yang baik itu.

Mereka juga menyepakati tempat itu akan dijadikan tempat pertemuan tetap mereka. Andragi memberinya nama “markas Sontoloyo”. Sonto dan Loyo pun gembira mendapat kehormatan nama mereka dipakai sebagai nama markas Anak Langit. Sebelum berpisah, tak lupa Andragi berpesan kepada Sonto untuk tidak bercerita kepada siapapun tentang adanya Anak Langit.


Bagaimana nasib istri dan kedua anak gadis Sonto? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA