Lugasi Berkunjung Ke Gunung Kembar

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #57 )


“Kalau begitu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari pihak luar.”

“Maksud adik Aset apa? Apa ada musuh di dalam kelompok kita?”

“Ya! Musuh itu diri kakak Jaira sendiri. Jangan kemudian menjadi lengah, apalagi menjadi seenaknya sendiri. Justru tantangan sebenarnya datang saat musuh tidak ada,” kata Lugasi.

“Baik adik Aset. Saya mengerti. Saya sudah tahu rasa bahagia yang aneh itu saat rakyat merasa bahagia. Saya justru akan bekerja lebih keras untuk membahagiakan mereka,” janji Jaira.

Jaira membuktikannya. Ia rajin mendatangi warga, menyapa mereka, bahkan tidak sungkan ikut bekerja di sawah dan ladang saat panen. Ia membuka diri secara luas, membuat warga selalu ingin dia berada di dekat mereka. Sebuah fenomena baru telah terbentuk. Bila dulu rakyat berusaha menghindar untuk bertemu dengan parajurit, kini mereka keluar menyambut.

Tidak perlu diceritakan panjang lebar lagi kalau kemudian Jaira memenangkan pemilihan Adipati secara mutlak. Pesaingnya bahkan harus didesak untuk mau maju sekedar memenuhi persyaratan pemilihan. Tak ada yang bersedia menjadi pesaing Jaira, karena mereka semua ingin memilih Jaira.  Sejak itu Jaira menjadi Adipati yang melayani, yang menjadi sahabat rakyat. Sejak itu pula rakyat bisa bernapas dengan lega.

Karena tugasnya membantu Jaira menjadi Adipati sudah selesai Lugasi mohon diri untuk melanjutkan perjalanannya. Jaira dan kawan-kawan Rajapurwanya menjamunya di warung tempat biasa mereka berkumpul dan berpesan untuk sering-sering mengunjungi mereka.

Esoknya Lugasi berangkat hendak kembali ke tempat Hobijo menengok ke tiga muridnya yang sedang berlatih menggelindingkan tubuh. Sudah lebih dari dua bulan ia meninggalkan mereka.

Ketika dia tiba di ujung desa Rajapurwa dilihatnya dua orang telah menantinya.

“Hai, kalian! Apa yang sedang kalian kerjakan disini?” tanya Lugasi saat melihat mereka dan mengenalinya.

“Kami menjemput sobat Lugasi. Pimpinan Gunung Kembar sangat ingin bertemu dan berkenalan dengan sobat Lugasi,” jawab mereka.

Kedua orang itu tidak lain anak buah Gunung Kembar yang dikenalnya saat mengantar Andragi dan rombongan menyingkir ke Poruteng dulu.

“Sebenarnya saya memang mau ke Gunung Kembar setelah selesai dengan tugas saya di perbatasan Nazora dan Gurada, tapi...tak apalah saya ke Gunung Kembar sekarang. Saya masih punya waktu. Mari..?” katanya.

Mereka berangkat menuju pos mata-mata di tepi hutan setelah melewati desa Bental. Dari sana mereka tidak langsung lurus ke arah pos itu tetapi berbelok seakan menuju ke arah Buntung hingga beberapa kilometer baru kemudian berbelok lagi ke arah pos. Itulah cara mereka agar tidak diikuti orang dan tidak pernah ada jejak menuju pos mata-mata itu. Setiap kali harus melalui tempat yang berbeda, sekaligus bisa mengamati kalau-kalau ada sesuatu yang tidak dikehendaki berada di sekitar pos mereka.

Mereka tiba di pos itu tepat tengah hari. Disana mereka disambut oleh Jotiwo dan Setiaka.

“Selamat datang sobat Lugasi. Perkenalkan, saya Jotiwo dan sobat saya ini Setiaka,” kata Jotiwo sambil memberi hormat diikuti oleh Setiaka.

“Terimakasih, saya Lugasi, Anak Setan atau Aset,” jawab Lugasi membalas memberi hormat.

Mereka berbasa-basi ala kadarnya, lalu Jotiwo mengajak makan siang sambil saling berbincang.

“Kami telah melihat sepak terjang sobat Lugasi di Rajapurwa, dan tampaknya telah banyak terjadi perubahan yang menyenangkan. Kami salut dan kagum terhadap sobat Lugasi,” kata Jotiwo.

“Ah, tidak begitu. Saya cuma menggelinding dan melenting, tidak menyepak atau menerjang. Hihi..hi...!” kata Lugasi dengan jenaka.

Mereka semua tertawa mendengar jawaban itu dan melihat ulahnya.

“Memang ada sedikit perubahan. Rakyat mulai merasa dekat dengan penguasa. Mereka sudah mulai bisa bernapas lega,” lanjut Lugasi.

“Ya, kami melihat itu. Bagaimana sobat bisa membuat itu, membuat Adipati Jaira menjadi pejabat yang baik hati seperti wedana Paldrino sobat kita?” tanya Setiaka.

“Ya, sederhana saja. Saya mengajaknya menjadi saudara saya setelah dia melihat saya menggelinding dan melenting. Itu saja. Hihi..hi...!” jawab Lugasi ringan tetapi rendah hati.

“Ya, memang sederhana. Tetapi mempunyai makna yang sangat dalam dan tidak sesederhana tindakan itu sendiri. Kami mendapat pelajaran yang sangat tinggi dari pengalaman sobat kita yang masih sangat muda ini,” kata Jotiwo.

“Tetapi sebaiknya kita segera ke Gunung Kembar agar bisa berbagi dengan sobat yang lain dan menjamu sobat istimewa ini dengan selayaknya,” lanjut Jotiwo.

“Yang istimewa itu bentuk tubuh saya ini, pendek dan gemuk bulat. Hihi..hi...!” kata Lugasi.

Mereka lalu berangkat menuju Gunung Kembar dengan menunggang kuda. Menjelang petang, mereka tiba disana dan disambut oleh Gadamuk. Jotiwo memperkenalkan Lugasi kepada Gadamuk dan para pimpinan lapisan kedua pasukan Gunung Kembar serta menceritakan keberhasilan Lugasi menghapus penindasan penguasa terhadap rakyat Rajapurwa.

Pada pertemuan itu Gadamuk tidak banyak bicara. Ada semacam perasaan aneh dalam diri Gadamuk saat menatap mata anak muda itu. Dia hanya memandangi tak berkedip sosok Lugasi dari kepala himgga ujung kaki.

“Darimanakah dia? Benarkah dia...?” pikir Gadamuk.

Tetapi akhirnya rasa ingin tahunya memaksanya bertanya.

“Bagaimana ceritanya sobat muda bisa sampai di Rajapurwa? Apakah memang selama ini tinggal disana?” tanya Gadamuk.

Lugasi menceritakan kisahnya sejak disuruh gurunya untuk memulai hidupnya bertualang membantu orang lain sambil mencari tahu keberadaan orangtuanya, bagaimana dia bertemu dengan Anak Langit dan rombongan, berjumpa dengan dua pemburu dan keluarga Hobijo, bertarung dengan Jaira, hingga pencariannya di Buntung dan akhirnya membantu Jaira menjadi Adipati.

“Ah, anak ini memiliki kehidupannya sendiri dan ia sedang memulainya dengan langkah yang sangat bagus. Aku tak boleh mengganggunya! Biarlah ia berjalan seperti dirinya sendiri selama ini!” pikir Gadamuk.

Karena itu Gadamuk lalu berkata,

“Prestasi sobat Lugasi sungguh sangat hebat, padahal baru saja memulai perjalanan hidupnya. Saya sungguh merasa yakin Sobat Lugasi akan menjadi orang yang hebat sesuai harapan guru sobat, dan tentu akan membanggakan orangtua sobat. Saya yakin, suatu saat ayah sobat Lugasi pasti akan mendengar kehebatan sobat dan dia akan tahu kemana harus menemuinya. Karena itu jadikanlah tempat kami ini sebagai rumahmu selain Rajapurwa sehingga ayah sobat Lugasi tahu dimana harus mencari sobat.”

“Terimakasih pak Gadamuk. Bapak membuka mata saya. Jadi, saya tidak perlu susah payah mencari ayah saya, nanti akan ketemu sendiri.Hihi..hi..!” jawab Lugasi.

“Benar yang dikatakan sobat Gadamuk itu,” timpal Jotiwo. “Prestasi dan perbuatan sobat Lugasi yang akan mempertemukannya nanti. Karena itu, jadikan Gunung Kembar sebagai rumahmu. Sering-seringlah menengok kemari, siapa tahu ayah sobat datang kemari.”

“Ya.ya... Saya terimakasih. Saya akan sering mampir kemari. Hihi..hi..! Saya sekarang punya lima rumah! Satu di gunung Menora bersama kakek guru, satunya lagi di tempat pak Hobijo, yang satunya de desa Metus tempat bapak ibu yang memanggil saya Katul, yang lainnya di Rajapurwa dan yang kelima di Gunung Kembar. Saya seperti orang kaya saja. Hihi..hi..!” kata Lugasi riang.

“Hmmm, rasanya saya mendapat sebuah pelajaran bagus!” sela Setiaka.

“Pelajaran apakah sobat Setiaka?” tanya Jotiwo.

“Ya, sebuah pelajaran bahwa kekayaan tidak harus berarti memiliki secara wadag benda. Buktinya sobat Lugasi ini menjadi orang kaya sekarang tanpa harus memiliki benda-benda itu, yang selama ini saya kejar!” jawab Setiaka.

“Benar, sobat. Selama ini kita hanya mengejar pangkat dan harta. Padahal itu hanya sarana, bukan tujuan. Sarana untuk bisa membantu lebih banyak orang,” kata Jotiwo.

Esoknya mereka menjamu Lugasi dengan makanan yang istimewa untuk ukuran Lugasi yang biasanya makan seadanya.

“Bagaimanakah sikap Adipati Jaira terhadap keberadaan kami disini?” tanya Jotiwo kepada Lugasi.

“Dia tahu kalau saya bersahabat dengan Anak Langit dan Pasukan Siluman Gunung Kembar serta sudah paham tujuan perjuangan kita. Dia juga setujuan dengan kita. Rakyat Rajapurwa juga bersimpati kepada Gunung Kembar. Tetapi Gubernur Landipa dan para penguasa di pusat membuat cerita kalau sobat Setiaka adalah pengkhianat yang memimpin pasukan siluman Gunung Kembar,” jawab Lugasi.

“Hmm, kalau begitu suatu saat kita akan diserang oleh pasukan pemeritah dan Adipati Jaira menghadapi pilihan yang sulit. Mungkinkah kita bisa menjalin hubungan baik dengannya?” tanya Jotiwo.

“Hmm, saya akan coba berbicara dengannya. Tetapi saya harus menempatkan kepentingan rakyat Rajapurwa sebagai tujuan utama dan jangan sampai mereka kehilangan pimpinan yang mulai mereka cintai itu. Jangan sampai mereka kehilangan kebahagiaan yang sudah lama diharapkan dan baru dikenyamnya sesaat,” kata Lugasi.

“Maksud sobat Lugasi?” tanya Jotiwo.

“Mungkin kita harus mempertimbangkan agar jangan sampai persahabatan Gunung Kembar dengan Jaira di ketahui oleh orang pemerintah apalagi orang pusat. Kedudukannya akan menjadi sulit nanti,” kata Lugasi.

“Oh, iya. Saya mengerti, kata Jotiwo. “Kalau begitu, jangan terburu-buru. Biarlah Adipati Jaira membangun Rajapurwa tanpa terganggu oleh kehadiran kita. Bila nanti ada perkembangannya berbahaya kami akan mencoba mencari jalan yang terbaik, demi kebahagiaan rakyat Rajapurwa,” lanjut Jotiwo. “Sementara itu sobat Lugasi bisa menyelesaikan tugasnya di tempat pak Hobijo.”

Lugasi tinggal disana selama beberapa hari. Ia melihat menara-menara pengintai yang dibangun atas permintaan Andragi dan mendengar bagaimana cerdik dan bijaksananya pemuda itu dari cerita para penghuni Gunung Kembar.

“Ilmunya aneh-aneh!” kata mereka.

“Ya, saya sendiri pernah melihat ia membuat petir untuk menenggelamkan perahu perampok yang mengejar kami. Karena itu saya harus belajar banyak darinya. Setelah selesai tugasku dengan keluarga Hobijo, saya akan segera bergabung dengannya,” kata Lugasi.

Lalu, kepada Jotiwo ia bertanya.

“Apakah sobat Jotiwo sudah mengetahui dimana Andragi dan rombongannya menetap sekarang?”

“Kami belum mendapat kabar dari mereka, tetapi tujuannya jelas ke Poruteng. Menurut pak Paldrino sebelum pergi dulu, mereka akan ke tempat kakek Blakitem. Itu ancar-ancarnya. Anak buah kami yang mengantar mereka juga sudah melihat mereka bertemu kakek Blakitem di Batutok,” jawab Jotiwo.

“Terimakasih. Mungkin saya bisa mencarinya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA