“Kalau begitu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan
dari pihak luar.”
“Maksud adik Aset apa? Apa ada musuh di dalam
kelompok kita?”
“Ya! Musuh itu diri kakak Jaira sendiri. Jangan
kemudian menjadi lengah, apalagi menjadi seenaknya sendiri. Justru tantangan
sebenarnya datang saat musuh tidak ada,” kata Lugasi.
“Baik adik Aset. Saya mengerti. Saya sudah tahu
rasa bahagia yang aneh itu saat rakyat merasa bahagia. Saya justru akan bekerja
lebih keras untuk membahagiakan mereka,” janji Jaira.
Jaira membuktikannya. Ia rajin mendatangi warga,
menyapa mereka, bahkan tidak sungkan ikut bekerja di sawah dan ladang saat panen.
Ia membuka diri secara luas, membuat warga selalu ingin dia berada di dekat
mereka. Sebuah fenomena baru telah terbentuk. Bila dulu rakyat berusaha
menghindar untuk bertemu dengan parajurit, kini mereka keluar menyambut.
Tidak perlu diceritakan panjang lebar lagi kalau
kemudian Jaira memenangkan pemilihan Adipati secara mutlak. Pesaingnya bahkan
harus didesak untuk mau maju sekedar memenuhi persyaratan pemilihan. Tak ada
yang bersedia menjadi pesaing Jaira, karena mereka semua ingin memilih
Jaira. Sejak itu Jaira menjadi Adipati
yang melayani, yang menjadi sahabat rakyat. Sejak itu pula rakyat bisa bernapas
dengan lega.
Karena tugasnya membantu Jaira menjadi Adipati
sudah selesai Lugasi
mohon diri untuk melanjutkan perjalanannya. Jaira dan kawan-kawan Rajapurwanya
menjamunya di warung tempat biasa mereka berkumpul dan berpesan untuk
sering-sering mengunjungi mereka.
Esoknya Lugasi berangkat hendak kembali ke tempat
Hobijo menengok ke tiga muridnya yang sedang berlatih menggelindingkan tubuh. Sudah
lebih dari dua bulan ia meninggalkan mereka.
Ketika dia tiba di ujung desa Rajapurwa dilihatnya dua orang
telah menantinya.
“Hai, kalian! Apa yang sedang kalian kerjakan
disini?” tanya Lugasi saat melihat mereka dan mengenalinya.
“Kami menjemput sobat Lugasi. Pimpinan Gunung
Kembar sangat ingin bertemu dan berkenalan dengan sobat Lugasi,” jawab mereka.
Kedua orang itu tidak lain anak buah Gunung Kembar
yang dikenalnya saat mengantar Andragi dan rombongan menyingkir ke Poruteng
dulu.
“Sebenarnya saya memang mau ke Gunung Kembar
setelah selesai dengan tugas saya di perbatasan Nazora dan Gurada, tapi...tak
apalah saya ke Gunung Kembar sekarang. Saya masih punya waktu. Mari..?”
katanya.
Mereka berangkat menuju pos mata-mata di tepi
hutan setelah melewati desa Bental. Dari sana mereka tidak langsung lurus ke
arah pos itu tetapi berbelok seakan menuju ke arah Buntung hingga beberapa
kilometer baru kemudian berbelok lagi ke arah pos. Itulah cara mereka agar
tidak diikuti orang dan tidak pernah ada jejak menuju pos mata-mata itu. Setiap
kali harus melalui tempat yang berbeda, sekaligus bisa mengamati kalau-kalau
ada sesuatu yang tidak dikehendaki berada di sekitar pos mereka.
Mereka tiba di pos itu tepat tengah hari. Disana
mereka disambut oleh Jotiwo dan Setiaka.
“Selamat datang sobat Lugasi. Perkenalkan, saya
Jotiwo dan sobat saya ini Setiaka,” kata Jotiwo sambil memberi hormat diikuti
oleh Setiaka.
“Terimakasih, saya Lugasi, Anak Setan atau Aset,”
jawab Lugasi membalas memberi hormat.
Mereka berbasa-basi ala kadarnya, lalu Jotiwo
mengajak makan siang sambil saling berbincang.
“Kami telah melihat sepak terjang sobat Lugasi di
Rajapurwa, dan tampaknya telah banyak terjadi perubahan yang menyenangkan. Kami
salut dan kagum terhadap sobat Lugasi,” kata Jotiwo.
“Ah, tidak begitu. Saya cuma menggelinding dan
melenting, tidak menyepak atau menerjang. Hihi..hi...!” kata Lugasi dengan
jenaka.
Mereka semua tertawa mendengar jawaban itu dan
melihat ulahnya.
“Memang ada sedikit perubahan. Rakyat mulai merasa
dekat dengan penguasa. Mereka sudah mulai bisa bernapas lega,” lanjut Lugasi.
“Ya, kami melihat itu. Bagaimana sobat bisa
membuat itu, membuat Adipati Jaira menjadi pejabat yang baik hati seperti
wedana Paldrino sobat kita?” tanya Setiaka.
“Ya, sederhana saja. Saya mengajaknya menjadi
saudara saya setelah dia melihat saya menggelinding dan melenting. Itu saja. Hihi..hi...!”
jawab Lugasi ringan tetapi rendah hati.
“Ya, memang sederhana. Tetapi mempunyai makna yang
sangat dalam dan tidak sesederhana tindakan itu sendiri. Kami mendapat pelajaran
yang sangat tinggi dari pengalaman sobat kita yang masih sangat muda ini,” kata
Jotiwo.
“Tetapi sebaiknya kita segera ke Gunung Kembar
agar bisa berbagi dengan sobat yang lain dan menjamu sobat istimewa ini dengan
selayaknya,” lanjut Jotiwo.
“Yang istimewa itu bentuk tubuh saya ini, pendek
dan gemuk bulat. Hihi..hi...!” kata Lugasi.
Mereka lalu berangkat menuju Gunung Kembar dengan
menunggang kuda. Menjelang petang, mereka tiba disana dan disambut oleh
Gadamuk. Jotiwo memperkenalkan Lugasi kepada Gadamuk dan para pimpinan lapisan
kedua pasukan Gunung Kembar serta menceritakan keberhasilan Lugasi menghapus
penindasan penguasa terhadap rakyat Rajapurwa.
Pada pertemuan itu Gadamuk tidak banyak bicara.
Ada semacam perasaan aneh dalam diri Gadamuk saat menatap mata anak muda itu.
Dia hanya memandangi tak berkedip sosok Lugasi dari kepala himgga ujung kaki.
“Darimanakah dia? Benarkah dia...?” pikir Gadamuk.
Tetapi akhirnya rasa ingin tahunya memaksanya
bertanya.
“Bagaimana ceritanya sobat muda bisa sampai di
Rajapurwa? Apakah memang selama ini tinggal disana?” tanya Gadamuk.
Lugasi menceritakan kisahnya sejak disuruh gurunya
untuk memulai hidupnya bertualang membantu orang lain sambil mencari tahu
keberadaan orangtuanya, bagaimana dia bertemu dengan Anak Langit dan rombongan,
berjumpa dengan dua pemburu dan keluarga Hobijo, bertarung dengan Jaira, hingga
pencariannya di Buntung dan akhirnya membantu Jaira menjadi Adipati.
“Ah, anak ini memiliki kehidupannya sendiri dan ia
sedang memulainya dengan langkah yang sangat bagus. Aku tak boleh mengganggunya!
Biarlah ia berjalan seperti dirinya sendiri selama ini!” pikir Gadamuk.
Karena itu Gadamuk lalu berkata,
“Prestasi sobat Lugasi sungguh sangat hebat,
padahal baru saja memulai perjalanan hidupnya. Saya sungguh merasa yakin Sobat
Lugasi akan menjadi orang yang hebat sesuai harapan guru sobat, dan tentu akan
membanggakan orangtua sobat. Saya yakin, suatu saat ayah sobat Lugasi pasti
akan mendengar kehebatan sobat dan dia akan tahu kemana harus menemuinya. Karena
itu jadikanlah tempat kami ini sebagai rumahmu selain Rajapurwa sehingga ayah
sobat Lugasi tahu dimana harus mencari sobat.”
“Terimakasih pak Gadamuk. Bapak membuka mata saya.
Jadi, saya tidak perlu susah payah mencari ayah saya, nanti akan ketemu
sendiri.Hihi..hi..!” jawab Lugasi.
“Benar yang dikatakan sobat Gadamuk itu,” timpal Jotiwo. “Prestasi
dan perbuatan sobat Lugasi yang akan mempertemukannya nanti. Karena itu,
jadikan Gunung Kembar sebagai rumahmu. Sering-seringlah menengok kemari, siapa
tahu ayah sobat datang kemari.”
“Ya.ya... Saya terimakasih. Saya akan sering
mampir kemari. Hihi..hi..! Saya sekarang punya lima rumah! Satu di gunung
Menora bersama kakek guru, satunya lagi di tempat pak Hobijo, yang satunya de
desa Metus tempat bapak ibu yang memanggil saya Katul, yang lainnya di
Rajapurwa dan yang kelima di Gunung Kembar. Saya seperti orang kaya saja. Hihi..hi..!”
kata Lugasi riang.
“Hmmm, rasanya saya mendapat sebuah pelajaran
bagus!” sela Setiaka.
“Pelajaran apakah sobat Setiaka?” tanya Jotiwo.
“Ya, sebuah pelajaran bahwa kekayaan tidak harus
berarti memiliki secara wadag benda. Buktinya sobat Lugasi ini menjadi orang
kaya sekarang tanpa harus memiliki benda-benda itu, yang selama ini saya kejar!”
jawab Setiaka.
“Benar, sobat. Selama ini kita hanya mengejar
pangkat dan harta. Padahal itu hanya sarana, bukan tujuan. Sarana untuk bisa
membantu lebih banyak orang,” kata Jotiwo.
Esoknya mereka menjamu Lugasi dengan makanan yang
istimewa untuk ukuran Lugasi yang biasanya makan seadanya.
“Bagaimanakah sikap Adipati Jaira terhadap
keberadaan kami disini?” tanya Jotiwo kepada Lugasi.
“Dia tahu kalau saya bersahabat dengan Anak Langit
dan Pasukan Siluman Gunung Kembar serta sudah paham tujuan perjuangan kita. Dia
juga setujuan dengan kita. Rakyat Rajapurwa juga bersimpati kepada Gunung
Kembar. Tetapi Gubernur Landipa dan para penguasa di pusat membuat cerita kalau
sobat Setiaka adalah pengkhianat yang memimpin pasukan siluman Gunung Kembar,”
jawab Lugasi.
“Hmm, kalau begitu suatu saat kita akan diserang
oleh pasukan pemeritah dan Adipati Jaira menghadapi pilihan yang sulit.
Mungkinkah kita bisa menjalin hubungan baik dengannya?” tanya Jotiwo.
“Hmm, saya akan coba berbicara dengannya. Tetapi
saya harus menempatkan kepentingan rakyat Rajapurwa sebagai tujuan utama dan
jangan sampai mereka kehilangan pimpinan yang mulai mereka cintai itu. Jangan
sampai mereka kehilangan kebahagiaan yang sudah lama diharapkan dan baru
dikenyamnya sesaat,” kata Lugasi.
“Maksud sobat Lugasi?” tanya Jotiwo.
“Mungkin kita harus mempertimbangkan agar jangan
sampai persahabatan Gunung Kembar dengan Jaira di ketahui oleh orang pemerintah
apalagi orang pusat. Kedudukannya akan menjadi sulit nanti,” kata Lugasi.
“Oh, iya. Saya mengerti, kata Jotiwo. “Kalau
begitu, jangan terburu-buru. Biarlah Adipati Jaira membangun Rajapurwa tanpa
terganggu oleh kehadiran kita. Bila nanti ada perkembangannya berbahaya kami
akan mencoba mencari jalan yang terbaik, demi kebahagiaan rakyat Rajapurwa,” lanjut
Jotiwo. “Sementara itu sobat Lugasi bisa menyelesaikan tugasnya di tempat pak
Hobijo.”
Lugasi tinggal disana selama beberapa hari. Ia melihat menara-menara pengintai yang
dibangun atas permintaan Andragi dan mendengar bagaimana cerdik dan
bijaksananya pemuda itu dari cerita para penghuni Gunung Kembar.
“Ilmunya aneh-aneh!” kata mereka.
“Ya, saya sendiri pernah melihat ia membuat petir
untuk menenggelamkan perahu perampok yang mengejar kami. Karena itu saya harus
belajar banyak darinya. Setelah selesai tugasku dengan keluarga Hobijo, saya
akan segera bergabung dengannya,” kata Lugasi.
Lalu, kepada Jotiwo ia bertanya.
“Apakah sobat Jotiwo sudah mengetahui dimana
Andragi dan rombongannya menetap sekarang?”
“Kami belum mendapat kabar dari mereka, tetapi
tujuannya jelas ke Poruteng. Menurut pak Paldrino sebelum pergi dulu, mereka
akan ke tempat kakek Blakitem. Itu ancar-ancarnya. Anak buah kami yang
mengantar mereka juga sudah melihat mereka bertemu kakek Blakitem di Batutok,”
jawab Jotiwo.
“Terimakasih. Mungkin saya bisa mencarinya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.