Melumpuhkan Perampok, Mengobati Emak Tole

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #79)

Keesokan harinya Andragi dan Lugasi mohon diri untuk melanjutkan perjalanan.

Mereka dibawakan bekal makanan yang banyak oleh isteri Diguldo untuk perjalanan mereka. Meski ingin menolak tetapi Andragi berpikir lebih baik menerima bekal itu agar wanita itu merasa gembira karena sedikit banyak telah membantu perjuangan mereka.

Andragi dan Lugasi lalu menuju penginapan dan segera mengajak Loyo, Brewok, Balmis dan Codet bersiap untuk berangkat. Setelah sarapan di penginapan itu mereka pun lalu berangkat menuju ke arah warung pak Warku.

Mereka tiba di warung pak Warku sore menjelang malam dan segera Lugasi dikenali oleh para tukang pukul disana.

“Aiiih,..Komandan datang..!! Selamat malam Komandan,..!!” seru seorang tukang pukul. Kawannya pun segera datang berkumpul mengerumuni Lugasi.

“Mari komandan,.. saya antar ke juragan Warku,..” kata tukang pukul itu ramah. Rupanya dia sekarang yang menjadi kepala tukang pukul disana.

“Yayaya,..tapi kenalkan juga ini kawan-kawan saya,..” kata Lugasi.

“Oh,.. maaf...maaf ,... mari bapak-bapak,...” kata tukang pukul itu.

Di dalam warung yang sekarang sudah semakin besar dan cukup ramai itu, pak Warku buru-buru menyongsong Lugasi dan menyalaminya dengan hangat. Juga kepada kawan-kawan seperjalanannya.

“Mari saudaraku... silakan duduk dan makan sepuasnya. Tidak usah membayar,..” kata pak Warku ramah.

“Tidak pak Warku,.. Kali ini kami akan membayarnya. Saya sedang tidak mau mencuci perabot di belakang,... hihihi,..” jawab Lugasi.

“Jangan kuatir sobat kita, kami akan mentraktir sobat dan kawan-kawanmu,..” kata sebagian pengunjung warung itu.

Mereka telah kenal baik Lugasi yang mereka tahu sebutannya Anak Setan, dan bagaimana perangainya yang menyenangkan membuat semua orang merasa aman dan nyaman.

“Terimakasih,..terimakasih,... “ kata Lugasi hormat, dan dengan jenaka meneruskan, “Enak juga kalau kesini tiap hari,..hihihi,..”

Dalam pada itu, di meja lain yang agak berjauhan dua orang memandang Lugasi tak berkedip.

“Saya yakin, pasti dia ini yang membuat buntung kaki bapak saya tempo hari? bisik yang seorang.

“Ya, tidak salah! Orangnya pendek dan bulat. Saya melihatnya dari agak jauh di tepi sungai pragi itu sehingga tidak dibuat buntung olehnya,..” kata yang lebih tua.

 Keduanya segera membayar makanan mereka lalu keluar dan pergi di kegelapan malam.

Selepas makan mereka segera minya diri untuk melanjutkan perjalanan mereka. Dengan berat hati pak Warku dan beberapa pengunjung melepaskan mereka pergi setelah mencoba menahan mereka agar lebih lama disitu.

Di luar halaman, kepala tukang pukul menghampiri Lugasi,

“Komandan,.. kami melihat dua orang yang mencurigakan di dalam warung tadi karena terus menerus memandang komandan dan segera ke luar pergi ke arah Dogean,..” Harap hati-hati komandan,..”katanya.

“Baiklah ,, terimakasih banyak pak,.. kami akan berhati-hati,..” jawab Lugasi.

“Menurut perhitungan saya mereka berdua pasti cepat-cepat pergi untuk memanggil teman-temannya,..” kata Balmis.

“Saya kira juga begitu, ... :kata Brewok menyetujui.

“Kalau begitu mereka mungkin akan mencegat kita di dekat Dogean karena disana ada banyak penduduknya terutama dekat sungai Priga. Mungkin mereka penyamun di sungai itu dan banyak temannya disana,..” kata Lugasi.

“Tetapi ada baiknya kita mulai berjaga-jaga dari sekarang,..” kata Andragi.

Mereka lalu membagi tiga kelompok dalam perjalanan menuju Dogean. Paling depan Balmis da Loyo, berselang 30 meter Lugasi dan Andragi, dan berselang 30 meter di belakang mereka Codet dan Brewok.

“Sobat Loyo boleh menggunakan mata setan kalau terpaksa. kalau bisa jangan digunakan karena akan memancing orang untuk mengetahui keberadaan kita,..” jelas Andragi.

Merekapun dengan waspada berjalan sesuai pembagian itu. Tidak terjadi sesuatu apapun hingga tiba-tiba di suatu tempat,... terdengar teriakan,

“BRENTI,..!!”

Dan bermunculan bayangan-bayangan orang yang dengan cepat mengelilingi Balmis dan Loyo yang berada di depan. Jumlah mereka sekitar lima belas orang.

“He..!! Kalian cuma berdua,..?? Mana yang lain.. he.!!” bentak seorang dari bayangan itu.

“Kami memang hanya berdua,..” jawab Loyo.

He..., bukankah kalian tadi berenam masuk di warung tadi..??!!”

“Mereka bukan teman kami, hanya kebetulan sama-sama masuk di warung itu,..” kata Loyo.

“Jangan bohong,..!!” bentak orang itu.

Tiba-tiba meluncur sebuah bayangan dengan cepat menggelinding dan melenting lalu hinggap di sebuah dahan yang tinggi. Dan tahu-tahu satu dari para pengepung itu berkelojotan sambil meraung-raung kesakitan. Ternyata tangannya telah buntung satu.

“Hihiihihi... hihihihi....!!” bayangan diatas pohon itu mengeluarkan suara yang menakutkan.

“Siapa yang berani bikin onar di tempatku ini...??  Mau mati kalian he,,!!”

Para pengeroyok itu terkejut bukan main. Beberapa diantaranya mendadak lemas lututnya. Tapi seorang diantaranya memberanikan diri mengangkat semangat teman-temannya,

“He, siapa kau berani mengganggu urusan kami..!! Ayo teman-teman jangan ta....” suaranya terputus karena kepalanya telah terpisah dari lehernya.

Teman-temanya kontan berhamburan kocar kacir lari menyelamatkan sepotong nyawa yang masih melekat di tubuh masing-masing.

Tinggalah si buntung tangan yang pingsan karena kesakitan dan ketakutan serta kawannya yang tewas dengan leher putus.

Andragi dan rombongannya segera menghampiri tempat itu. Mereka tahu itu ulah Lugasi.

“Akan kita apakan mayat dan orang ini,..??”tanya Loyo.

“Begini, aku akan membawa yang buntung itu ke warung pak Warku dan meminta mereka merawatnya. Yang mati itu dikuburkan saja,.. Beres toh,..” kata Lugasi enteng.

“Kenapa dibawa ke warung pak Warku, kan ini sudah dekat ke Dogean,..” tanya Balmis yang memang pernah beberapa kali lewat di daerah ini.

“Ya,.. memang lebih jauh, tetapi disana saya bisa minta tolong pak Warku kasih tahu dia kalau yang menolongnya itu saya. Kalau tidak dia sudah mati kehabisan darah atau dibunuh oleh setan penunggu hutan itu. Orang-orang disana belum pernah tahu kalau saya biasa membuntungi tangan atau kaki orang...hihihi..” jelas Lugasi.

“Itupun kalau nyawa orang ini masih bisa tertolong,.. hihihi..” kata Lugasi lalu mengangkat orang yang pingsan itu dan dengan cepat dibawanya ke arah warung pak Warku.

“Betul, dengan begitu orang itu akan berterimakasih kepada Lugasi dan dendam mereka yang buntung dulu mungkin bisa dikurangi.” kata Andragi.

“Kalau pun tidak, dia telah berusaha menolong dan ada yang bisa dipercaya akan merawatnya...” lanjut Andragi.

Mereka lalu mengubur orang yang mati dan setelah itu berjalan pelan-pelan sambil menanti Lugasi menyusul mereka. Dini hari Lugasi telah menyusul mereka dan mereka memutuskan beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang untuk sejenak tidur. Bergantian setiap setengah jam ada yang berjaga.

Setelah matahari mulai naik mereka bangun, bebersih diri di kali kecil yang airnya jernih lalu sarapan dari bekal yang dibawakan oleh isteri Diguldo. Bekal yang khusus biasa dipakai untuk perjaalanan jauh itu terasa sungguh lezat dan menyegarkan.

Mereka meneruskan perjalanan ke arah Dogean dan akan menyeberang sungai Priga lalu menuju Batutiga tempat pertemuan Lugasi dan Rampoli. Namun setibanya di tepi sungai priga hanya terdapat perahu-perahu kosong tak terlihat tukang perahu seorangpun. Mereka lalu mencari-cari mungkin masih ada tukang perahu yang mau menyeberangkan mereka.

Ternyata mereka dapatkan seorang remaja tanggung sedang menambatkan perahunya. Remaja itu terlihat asal saja menambatnya dan buru-hendak berlalu dari sana. Dengan sekali loncat Lugasi sudah berdiri di hadapannya.

“Hei, hendak kemanakah kau buru-buru,.??”tanya Lugasi.

“Saya mau memanggil tabib di desa itu..” katanya sambil membebaskan diri dari hadangan Lugasi dan berlari menuju desa di tepi sungai itu.

Lugasi membiarkannya pergi.

Anak itu menghilang di sebuah tikungan tapi beberapa saat kemudian terlihat dia kembali, dan berjalan dengan lunglai menuju perahu yang ditambatnya.

Lugasi mencegatnya lagi/

“Kenapa kau kelihatan sedih begitu,..??” tanya Lugasi.

“Tabib itu tidak ada,... kasihan emak saya sakit,...” katanya dengan sedih.

“Sakit apakah ibumu,..?” tanya Andragi.

“Demam, disengat setan penunggu sungai  ini. Hanya tabib itu yang bisa mengobati,..” katanya sedih.

“Dimana ibumu yang sakit itu,,?”tanya Andragi.

“Di rumah kami, di seberang sungai ini,..” jawab remaja itu.

“Antarkan kami kesana, mungkin kami bisa membantumu mengobati ibumu,..” kata Andragi.

Anak itu terlihat bimbang, tapi sesaat kemudian dia mengangguk lemah. Dalam keputus-asaannya dia berharap siapa tahu orang-orang ini bisa membantu.

Mereka segera melepaskan ikatan perahu dan mendayung perahu itu menyeberang. Untuk melupakan sejenak kesedihan remaja itu, Andragi mengajaknya bicara.

“Kemana perginya tabib itu,..?” tanya Andragi.

“Kata nenek disana, dia pergi bersama semua tukang perahu menuju hutan untuk menolong orang yang terluka semalam,..” jawab remaja itu.

“Pantas saja di sana tadi tak terlihat seorang pun tukang perahu,..” kata Loyo sambil mendayung.

“Apakah aman menyeberang disini,..” tanya Andragi.

“Sekarang aman, setelah para penyamun yang menyamar sebagai tukang perahu dibuat buntung oleh Anak Setan Penunggu sungai ini. Hanya tinggal bebarapa orang bekas penyamun yang kaki dan tangannya buntung dan sudah tidak bisa berbuat apa-apa,...” kata remaja itu dengan lancar.

Sejenak dia lupa atas kesedihannya. Andragi, Lugasi, Brewok dan Loyo manggut-manggut mendengar cerita remaja itu. Mereka paham apa yang sudah terjadi. Sedangkan Balmis dan Codet diam saja karena mereka tidak tahu cerita tentang para penyamun yang dibuntungi tangan dan kakinya Lugasi yang dijuluki Anak Setan.

“Hmmm,.. Lalu apa kerja ibumu sebelum dia jatuh sakit,..?” tanya Andragi.

“Emak kemarin seharian mencari kijing di pingggir sungai sampai sore,..” kata remaja itu.

“Hmmm,.. begitu,... “ kata Andragi sambil berpikir tentang Kijing.

“Kijing adalah nama sejenis kerang yang hidup di sungai. Kijing sangat suka mengendap di dasar sungai yang berpasir maupun berlumpur seperti umumnya danau atau sungai. Yang tentu saja bersuhu relatif dingin. Kulitnya berwarna kuning ada juga bagian yang berwarna biru kehitaman. Kulitnya keras seperti marmer licin tetapi tidak berbulu,” Andragi mengingat-ingat.

Tak terasa, akhirnya perahu sudah sampai di seberang. Mereka segera menepi, menambatkan perahunya dan mengikuti remaja itu menuju rumahnya.

“Mari masuk,... Emak saya terbaring di dalam,..” kata remaja itu.

 Mereka lalu masuk ke dalam rumah itu, Tampak seorang wanita setengah baya tergolek lemah pada sebuah amben bambu. Kelihatannya dia sedang tidak sadarkan diri. Remaja itu tertunduk meneteskan airmata, sedih.

Buru-buru Andragi segera menghampirinya dan meraba tubuhnya yang terasa panas tinggi. Ia segera minta bungkusan yang dibawa oleh Codet. dari dalm bungkusan itu Andragi mengeluarka sebuah botol berisi alkohol hasil produksi dari desa Harjagi.

Mata Balmis dan Codet terbelalak melihat benda bening yang jelas terlihat isi di dalamnya. Juga remaja itu. Belum pernah dalam hidup mereka melihat benda aneh ini.

Andragi lalu membuka tutup botol itu lalu menuangkan sedikit isinya di telapak tangannya kemudian mengusapnya di dahi dan leher wanita itu. Ia lalu meinta sepotong kain.

Buru-buru Loyo mengeluarkan sepotong kain ikat kepala dan diberikan ke Andragi. kain itu ujungnya dilipat beberapa kali lalu dituangkan alkohol itu ke lipatan itu.

“Usap-usaplah ketiak, punggung dan perut ibumu dengan ini,..” kata Andragi kepada remaja itu.

Anak itu menerimanya tapi sempat terhenyak karena tangannya terasa dingin menyengat terkena alkohol itu, tapi dia menuruti permintaan Andragi.

“Usaplah berkali-kali kalau sudah terasa kering, sementara saya akan mengusap bagian kepala dan lehernya,..’ kata Andragi.

Tak berapa lama kemudian, tubuh wanita itu mulai turun panasnya dan wajahnya tidak sepucat tadi. Kelopak matanya mulai bergerak-gerak.

Andragi dan yang lain lalu keluar dari bilik itu dan membiarkan remaja itu sendirian. Ini dilakukan agar wanita itu tidak terkejut saat sadar, ada banyak orang asing di biliknya. Bisa-bisa dia pingsan lagi.

Pelan-pelan wanita itu membuka matanya. Remaja itu mnggenggam tangan emaknya lembut,

“Emak,...ini aku mak...” kata nya.

“Kau Tole,... Emak ada dimana,..?? tanya wanita itu.

“Emak demam... dan tidak sadarkan diri,...Tole lalu carikan emak tabib” kata remaja itu.

“Oh,... bantu bangunkan emak,...,..” kata wanita itu minta didudukkan.

Tole lalu membantu mendudukkan ibunya bersandar di dinding.

“Mana tabibnya,..Tole,..??” tanya wanita itu.

Tole keluar dan mengajak masuk tamu-tamunya.

“Si..si..a..pa.... me..re..ka,   To..le..??” tanya wanita itu ketakutan melihat wajah-wajah asing di biliknya.

Buru-buru Tole menenangkan emaknya.

“Mereka ini tabib yang menolong emak,... mereka punya obat ajaib mak,..” seru Tole.

“Iya bu, kami hanya mencoba menyembuhkan ibu yang demam tinggi dan tidak sadarkan diri,.”kata Andragi.

Wanita itu hanya mengangguk pelan dan mengucapkan terimakasih dengan lirih.

Andragi lalu mengambil beberapa butir obat demam dan flu dan diberikan ke Tole,

“Minumkan ini ke ibumu sehari 3 kali pagi, siang dan malam,..usahakan sehabis makan,..” katanya.

“Dan ibu tidak boleh terlalu lama berendam dalam air ya,..?” katanya .

Perempuan itu mengangguk pelan. Tampaknya dia akan segera pulih dalam waktu dekat. Andragi lalu meminta Loyo memberikan makanan bekal mereka yang masih ada kepada Tole.

“Beri makan ibumu, lalu minumkan obatnya,..” kata Andragi.

Tole menerima makanan itu. Dengan penuh kasih sayang ia menyuapi ibunya yang makan dengan cukup lahap. Setelah itu ia lalu meminumkan obatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA