Keesokan harinya Andragi dan Lugasi mohon diri untuk melanjutkan perjalanan.
Mereka dibawakan bekal
makanan yang banyak oleh isteri Diguldo untuk perjalanan mereka. Meski ingin
menolak tetapi Andragi berpikir lebih baik menerima bekal itu agar wanita itu
merasa gembira karena sedikit banyak telah membantu perjuangan mereka.
Andragi dan Lugasi lalu
menuju penginapan dan segera mengajak Loyo, Brewok, Balmis dan Codet bersiap
untuk berangkat. Setelah sarapan di penginapan itu mereka pun lalu berangkat
menuju ke arah warung pak Warku.
Mereka tiba di warung pak
Warku sore menjelang malam dan segera Lugasi dikenali oleh para tukang pukul
disana.
“Aiiih,..Komandan
datang..!! Selamat malam Komandan,..!!” seru seorang tukang pukul. Kawannya pun
segera datang berkumpul mengerumuni Lugasi.
“Mari komandan,.. saya
antar ke juragan Warku,..” kata tukang pukul itu ramah. Rupanya dia sekarang
yang menjadi kepala tukang pukul disana.
“Yayaya,..tapi kenalkan
juga ini kawan-kawan saya,..” kata Lugasi.
“Oh,.. maaf...maaf ,...
mari bapak-bapak,...” kata tukang pukul itu.
Di dalam warung yang sekarang
sudah semakin besar dan cukup ramai itu, pak Warku buru-buru menyongsong Lugasi
dan menyalaminya dengan hangat. Juga kepada kawan-kawan seperjalanannya.
“Mari saudaraku...
silakan duduk dan makan sepuasnya. Tidak usah membayar,..” kata pak Warku
ramah.
“Tidak pak Warku,.. Kali
ini kami akan membayarnya. Saya sedang tidak mau mencuci perabot di
belakang,... hihihi,..” jawab Lugasi.
“Jangan kuatir sobat
kita, kami akan mentraktir sobat dan kawan-kawanmu,..” kata sebagian pengunjung
warung itu.
Mereka telah kenal baik
Lugasi yang mereka tahu sebutannya Anak Setan, dan bagaimana perangainya yang
menyenangkan membuat semua orang merasa aman dan nyaman.
“Terimakasih,..terimakasih,...
“ kata Lugasi hormat, dan dengan jenaka meneruskan, “Enak juga kalau kesini
tiap hari,..hihihi,..”
Dalam pada itu, di meja
lain yang agak berjauhan dua orang memandang Lugasi tak berkedip.
“Saya yakin, pasti dia
ini yang membuat buntung kaki bapak saya tempo hari? bisik yang seorang.
“Ya, tidak salah!
Orangnya pendek dan bulat. Saya melihatnya dari agak jauh di tepi sungai pragi
itu sehingga tidak dibuat buntung olehnya,..” kata yang lebih tua.
Keduanya segera membayar makanan mereka lalu
keluar dan pergi di kegelapan malam.
Selepas makan mereka
segera minya diri untuk melanjutkan perjalanan mereka. Dengan berat hati pak
Warku dan beberapa pengunjung melepaskan mereka pergi setelah mencoba menahan
mereka agar lebih lama disitu.
Di luar halaman, kepala
tukang pukul menghampiri Lugasi,
“Komandan,.. kami melihat
dua orang yang mencurigakan di dalam warung tadi karena terus menerus memandang
komandan dan segera ke luar pergi ke arah Dogean,..” Harap hati-hati
komandan,..”katanya.
“Baiklah ,, terimakasih
banyak pak,.. kami akan berhati-hati,..” jawab Lugasi.
“Menurut perhitungan saya
mereka berdua pasti cepat-cepat pergi untuk memanggil teman-temannya,..” kata
Balmis.
“Saya kira juga begitu,
... :kata Brewok menyetujui.
“Kalau begitu mereka
mungkin akan mencegat kita di dekat Dogean karena disana ada banyak penduduknya
terutama dekat sungai Priga. Mungkin mereka penyamun di sungai itu dan banyak
temannya disana,..” kata Lugasi.
“Tetapi ada baiknya kita
mulai berjaga-jaga dari sekarang,..” kata Andragi.
Mereka lalu membagi tiga
kelompok dalam perjalanan menuju Dogean. Paling depan Balmis da Loyo, berselang
30 meter Lugasi dan Andragi, dan berselang 30 meter di belakang mereka Codet
dan Brewok.
“Sobat Loyo boleh
menggunakan mata setan kalau terpaksa. kalau bisa jangan digunakan karena akan
memancing orang untuk mengetahui keberadaan kita,..” jelas Andragi.
Merekapun dengan waspada
berjalan sesuai pembagian itu. Tidak terjadi sesuatu apapun hingga tiba-tiba di
suatu tempat,... terdengar teriakan,
“BRENTI,..!!”
Dan bermunculan
bayangan-bayangan orang yang dengan cepat mengelilingi Balmis dan Loyo yang
berada di depan. Jumlah mereka sekitar lima belas orang.
“He..!! Kalian cuma
berdua,..?? Mana yang lain.. he.!!” bentak seorang dari bayangan itu.
“Kami memang hanya
berdua,..” jawab Loyo.
He..., bukankah kalian
tadi berenam masuk di warung tadi..??!!”
“Mereka bukan teman kami,
hanya kebetulan sama-sama masuk di warung itu,..” kata Loyo.
“Jangan bohong,..!!”
bentak orang itu.
Tiba-tiba meluncur sebuah
bayangan dengan cepat menggelinding dan melenting lalu hinggap di sebuah dahan
yang tinggi. Dan tahu-tahu satu dari para pengepung itu berkelojotan sambil
meraung-raung kesakitan. Ternyata tangannya telah buntung satu.
“Hihiihihi...
hihihihi....!!” bayangan diatas pohon itu mengeluarkan suara yang menakutkan.
“Siapa yang berani bikin
onar di tempatku ini...?? Mau mati
kalian he,,!!”
Para pengeroyok itu
terkejut bukan main. Beberapa diantaranya mendadak lemas lututnya. Tapi seorang
diantaranya memberanikan diri mengangkat semangat teman-temannya,
“He, siapa kau berani
mengganggu urusan kami..!! Ayo teman-teman jangan ta....” suaranya terputus
karena kepalanya telah terpisah dari lehernya.
Teman-temanya kontan
berhamburan kocar kacir lari menyelamatkan sepotong nyawa yang masih melekat di
tubuh masing-masing.
Tinggalah si buntung
tangan yang pingsan karena kesakitan dan ketakutan serta kawannya yang tewas
dengan leher putus.
Andragi dan rombongannya
segera menghampiri tempat itu. Mereka tahu itu ulah Lugasi.
“Akan kita apakan mayat
dan orang ini,..??”tanya Loyo.
“Begini, aku akan membawa
yang buntung itu ke warung pak Warku dan meminta mereka merawatnya. Yang mati
itu dikuburkan saja,.. Beres toh,..” kata Lugasi enteng.
“Kenapa dibawa ke warung
pak Warku, kan ini sudah dekat ke Dogean,..” tanya Balmis yang memang pernah
beberapa kali lewat di daerah ini.
“Ya,.. memang lebih jauh,
tetapi disana saya bisa minta tolong pak Warku kasih tahu dia kalau yang
menolongnya itu saya. Kalau tidak dia sudah mati kehabisan darah atau dibunuh
oleh setan penunggu hutan itu. Orang-orang disana belum pernah tahu kalau saya
biasa membuntungi tangan atau kaki orang...hihihi..” jelas Lugasi.
“Itupun kalau nyawa orang
ini masih bisa tertolong,.. hihihi..” kata Lugasi lalu mengangkat orang yang
pingsan itu dan dengan cepat dibawanya ke arah warung pak Warku.
“Betul, dengan begitu
orang itu akan berterimakasih kepada Lugasi dan dendam mereka yang buntung dulu
mungkin bisa dikurangi.” kata Andragi.
“Kalau pun tidak, dia
telah berusaha menolong dan ada yang bisa dipercaya akan merawatnya...” lanjut
Andragi.
Mereka lalu mengubur
orang yang mati dan setelah itu berjalan pelan-pelan sambil menanti Lugasi
menyusul mereka. Dini hari Lugasi telah menyusul mereka dan mereka memutuskan
beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang untuk sejenak tidur. Bergantian
setiap setengah jam ada yang berjaga.
Setelah matahari mulai
naik mereka bangun, bebersih diri di kali kecil yang airnya jernih lalu sarapan
dari bekal yang dibawakan oleh isteri Diguldo. Bekal yang khusus biasa dipakai
untuk perjaalanan jauh itu terasa sungguh lezat dan menyegarkan.
Mereka meneruskan
perjalanan ke arah Dogean dan akan menyeberang sungai Priga lalu menuju
Batutiga tempat pertemuan Lugasi dan Rampoli. Namun setibanya di tepi sungai
priga hanya terdapat perahu-perahu kosong tak terlihat tukang perahu
seorangpun. Mereka lalu mencari-cari mungkin masih ada tukang perahu yang mau
menyeberangkan mereka.
Ternyata mereka dapatkan
seorang remaja tanggung sedang menambatkan perahunya. Remaja itu terlihat asal
saja menambatnya dan buru-hendak berlalu dari sana. Dengan sekali loncat Lugasi
sudah berdiri di hadapannya.
“Hei, hendak kemanakah
kau buru-buru,.??”tanya Lugasi.
“Saya mau memanggil tabib
di desa itu..” katanya sambil membebaskan diri dari hadangan Lugasi dan berlari
menuju desa di tepi sungai itu.
Lugasi membiarkannya
pergi.
Anak itu menghilang di
sebuah tikungan tapi beberapa saat kemudian terlihat dia kembali, dan berjalan
dengan lunglai menuju perahu yang ditambatnya.
Lugasi mencegatnya lagi/
“Kenapa kau kelihatan
sedih begitu,..??” tanya Lugasi.
“Tabib itu tidak ada,...
kasihan emak saya sakit,...” katanya dengan sedih.
“Sakit apakah ibumu,..?”
tanya Andragi.
“Demam, disengat setan
penunggu sungai ini. Hanya tabib itu yang
bisa mengobati,..” katanya sedih.
“Dimana ibumu yang sakit
itu,,?”tanya Andragi.
“Di rumah kami, di seberang
sungai ini,..” jawab remaja itu.
“Antarkan kami kesana,
mungkin kami bisa membantumu mengobati ibumu,..” kata Andragi.
Anak itu terlihat
bimbang, tapi sesaat kemudian dia mengangguk lemah. Dalam keputus-asaannya dia
berharap siapa tahu orang-orang ini bisa membantu.
Mereka segera melepaskan
ikatan perahu dan mendayung perahu itu menyeberang. Untuk melupakan sejenak
kesedihan remaja itu, Andragi mengajaknya bicara.
“Kemana perginya tabib
itu,..?” tanya Andragi.
“Kata nenek disana, dia
pergi bersama semua tukang perahu menuju hutan untuk menolong orang yang
terluka semalam,..” jawab remaja itu.
“Pantas saja di sana tadi
tak terlihat seorang pun tukang perahu,..” kata Loyo sambil mendayung.
“Apakah aman menyeberang
disini,..” tanya Andragi.
“Sekarang aman, setelah
para penyamun yang menyamar sebagai tukang perahu dibuat buntung oleh Anak
Setan Penunggu sungai ini. Hanya tinggal bebarapa orang bekas penyamun yang
kaki dan tangannya buntung dan sudah tidak bisa berbuat apa-apa,...” kata
remaja itu dengan lancar.
Sejenak dia lupa atas
kesedihannya. Andragi, Lugasi, Brewok dan Loyo manggut-manggut mendengar cerita
remaja itu. Mereka paham apa yang sudah terjadi. Sedangkan Balmis dan Codet
diam saja karena mereka tidak tahu cerita tentang para penyamun yang dibuntungi
tangan dan kakinya Lugasi yang dijuluki Anak Setan.
“Hmmm,.. Lalu apa kerja ibumu
sebelum dia jatuh sakit,..?” tanya Andragi.
“Emak kemarin seharian
mencari kijing di pingggir sungai sampai sore,..” kata remaja itu.
“Hmmm,.. begitu,... “
kata Andragi sambil berpikir tentang Kijing.
“Kijing adalah nama
sejenis kerang yang hidup di sungai. Kijing sangat suka mengendap di dasar
sungai yang berpasir maupun berlumpur seperti umumnya danau atau sungai. Yang
tentu saja bersuhu relatif dingin. Kulitnya berwarna kuning ada juga bagian
yang berwarna biru kehitaman. Kulitnya keras seperti marmer licin tetapi tidak
berbulu,” Andragi mengingat-ingat.
Tak terasa, akhirnya
perahu sudah sampai di seberang. Mereka segera menepi, menambatkan perahunya
dan mengikuti remaja itu menuju rumahnya.
“Mari masuk,... Emak saya
terbaring di dalam,..” kata remaja itu.
Mereka lalu masuk ke dalam rumah itu, Tampak
seorang wanita setengah baya tergolek lemah pada sebuah amben bambu.
Kelihatannya dia sedang tidak sadarkan diri. Remaja itu tertunduk meneteskan
airmata, sedih.
Buru-buru Andragi segera
menghampirinya dan meraba tubuhnya yang terasa panas tinggi. Ia segera minta
bungkusan yang dibawa oleh Codet. dari dalm bungkusan itu Andragi mengeluarka
sebuah botol berisi alkohol hasil produksi dari desa Harjagi.
Mata Balmis dan Codet
terbelalak melihat benda bening yang jelas terlihat isi di dalamnya. Juga
remaja itu. Belum pernah dalam hidup mereka melihat benda aneh ini.
Andragi lalu membuka
tutup botol itu lalu menuangkan sedikit isinya di telapak tangannya kemudian
mengusapnya di dahi dan leher wanita itu. Ia lalu meinta sepotong kain.
Buru-buru Loyo
mengeluarkan sepotong kain ikat kepala dan diberikan ke Andragi. kain itu
ujungnya dilipat beberapa kali lalu dituangkan alkohol itu ke lipatan itu.
“Usap-usaplah ketiak,
punggung dan perut ibumu dengan ini,..” kata Andragi kepada remaja itu.
Anak itu menerimanya tapi
sempat terhenyak karena tangannya terasa dingin menyengat terkena alkohol itu,
tapi dia menuruti permintaan Andragi.
“Usaplah berkali-kali
kalau sudah terasa kering, sementara saya akan mengusap bagian kepala dan
lehernya,..’ kata Andragi.
Tak berapa lama kemudian,
tubuh wanita itu mulai turun panasnya dan wajahnya tidak sepucat tadi. Kelopak
matanya mulai bergerak-gerak.
Andragi dan yang lain
lalu keluar dari bilik itu dan membiarkan remaja itu sendirian. Ini dilakukan
agar wanita itu tidak terkejut saat sadar, ada banyak orang asing di biliknya.
Bisa-bisa dia pingsan lagi.
Pelan-pelan wanita itu
membuka matanya. Remaja itu mnggenggam tangan emaknya lembut,
“Emak,...ini aku mak...”
kata nya.
“Kau Tole,... Emak ada
dimana,..?? tanya wanita itu.
“Emak demam... dan tidak
sadarkan diri,...Tole lalu carikan emak tabib” kata remaja itu.
“Oh,... bantu bangunkan emak,...,..”
kata wanita itu minta didudukkan.
Tole lalu membantu
mendudukkan ibunya bersandar di dinding.
“Mana
tabibnya,..Tole,..??” tanya wanita itu.
Tole keluar dan mengajak
masuk tamu-tamunya.
“Si..si..a..pa....
me..re..ka, To..le..??” tanya wanita itu
ketakutan melihat wajah-wajah asing di biliknya.
Buru-buru Tole
menenangkan emaknya.
“Mereka ini tabib yang
menolong emak,... mereka punya obat ajaib mak,..” seru Tole.
“Iya bu, kami hanya
mencoba menyembuhkan ibu yang demam tinggi dan tidak sadarkan diri,.”kata
Andragi.
Wanita itu hanya
mengangguk pelan dan mengucapkan terimakasih dengan lirih.
Andragi lalu mengambil
beberapa butir obat demam dan flu dan diberikan ke Tole,
“Minumkan ini ke ibumu
sehari 3 kali pagi, siang dan malam,..usahakan sehabis makan,..” katanya.
“Dan ibu tidak boleh
terlalu lama berendam dalam air ya,..?” katanya .
Perempuan itu mengangguk
pelan. Tampaknya dia akan segera pulih dalam waktu dekat. Andragi lalu meminta
Loyo memberikan makanan bekal mereka yang masih ada kepada Tole.
“Beri makan ibumu, lalu
minumkan obatnya,..” kata Andragi.
Tole menerima makanan itu. Dengan penuh kasih sayang ia menyuapi ibunya yang makan dengan cukup lahap. Setelah itu ia lalu meminumkan obatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.