Esok harinya mereka pun bersiap untuk berangkat menuju kaki gunung Kalas. Disaat sarapan Andragi sempat menanyakan tentang orang-orang dari desa Kalisunggi yang terpaksa mengungsi karena perampokan itu.
“Oh iya,.. ada beberapa
orang yang menemui saya minta ijin tinggal di wilayah ini dan minta pekerjaan.
Mereka bilang mereka pindah karena melihat daerah ini semakin ramai dan ingin
mencari kehidupan baru,..” jawab Hobijo.
“Pintar juga mereka. Memang
mereka yang kami suruh kesini dengan alasan itu, supaya aman. Semoga pak Hobijo
bisa membantu mereka,.” kata Andragi.
“Saya berencana
menempatkan mereka di daerah tepi hutan di sebelah barat dekat perbatasan
dengan propinsi Landipa dan Gurada. Mereka bisa berladang disana sambil menjaga
kelestarian hutan, dan akan dapat jatah hasil pertunjukan juga tentunya,..”
kata Hobijo.
“Terimakasih pak Hobijo.
Seperti yang saya duga, pak Hobijo akan membantu dan bisa memanfaatkan tenaga mereka
juga untuk memajukan daerah ini sambil menjaga hutan,..” kata Andragi.
Setelah sarapan Andragi
dan rombongannya minus Angkuso, Huntari
dan Huntaro (mereka akan tetap tinggal untuk melanjutkan pertunjukan harimau di
sini), lalu berangkat menuju arah gunung Kalas.
Agar tidak mencolok
mereka berjalan berdua atau bertiga dalam jarak tertentu. Andragi selalu
ditemani oleh Lugasi, Brewok dan Loyo di belakangnya, lalu Balmis dan Codet di
depannya. Di depannya lagi para pimpinan prajurit, dan paling belakang Rampoli
dan Laja.
Menjelang malam mereka
sampai di tepi sungai Priga yang lebar itu. Mereka memutuskan untuk bermalam di
tepi sungai itu. Pratur dan Prawa yang berjalan paling depan tiba duluan segera
mencari tempat untuk istirahat. Mereka memilih tempat di bawah sebatang pohon
yang cukup rindang.
Belum berapa lama mereka
bersandar di batang pohon itu mereka didatangi empat orang. Dalam bayangan
bulan yang cukup terang, ke empat orang itu terlihat sangar dengan muka kasar
dan kumis melintang.
“He,.. kenapa kalian
tidak menyeberang sekarang,..??” tanya seorang.
“Kami mau istirahat
dulu,..” kata Pratur.
“Enak saja..!! Tidak
boleh istirahat disini,..!! bentak orang itu.
“Lho, memangnya
kenapa,..?” tanya Pratur.
“Ini wilayah kani,..
tau..!! Kalian harus nyebrang sekarang,..!!”
“Tidak..!! Kami mau
istirahat dulu, besok pagi kami nyebrang,..!!” jawab Prawa tidak kalah gertak.
Pratur dan Prawa mencium
gelagat tidak baik melihat mereka memaksa untuk menyeberangi sungai malam-malam
begini. Mereka tentu akan mencelakakan mereka di tengah sungai nantinya. Karena
itu mereka ngotot tidak mau dipaksa menyeberang sekarang. Mereka pun lalu
bangun dan bersiap.
Tanpa bicara lagi ke
empat orang itu mengambil sikap menyerang. Dua dari mereka langsung mengarahkan
tendangan ke lawannya masing-masing.
Pratur dan Prawa yang sudah siap dengan mudah mengelak, tapi segera dikejar
oleh pukulan dari dua orang lawannya yang lain. Satu orang di keroyok berdua.
Dengan sigap Pratur
merunduk membiarkan pukulan lawannya melayang di atas kepalanya dan justru
berbalik melayangkan pukulan ke arah lawan satunya yang bersiap menyerang.
“BUUKK..!!”
Pukulan itu bersarang di
dada orang itu yang langsung jatuh terjengkang ke belakang. Pratur pun langsung
berguling ke arah orang yang jatuh itu untuk menghindar dari serangan lawan
yang satunya. Sambil bergulingan itu ia sempat memberi satu pukulan lagi ke
pinggang lawannya yang sudah jatuh itu.
“HEEKK..!!” keluar suara
dari orang yang terpukul.
Pratur langsung melompat
berdiri, bersiap menghadapi lawan yang satunya.
Rupanya hal yang sama
terjadi pada lawan Prawa. Seorang lawannya dipukul jatuh dengan cara yang sama oleh
Prawa dan mendapat tambahan pukulan di pinggang seperti yang dialami kawannya.
Tidak heran, karena mereka adalah pimpinan prajurit yang terlatih dengan
pola-pola menyerang dan bertahan dalam perkelahian maupun pertempuran.
Terkejut melihat kawannya
terpukul dan jatuh, kedua orang lainnya segera mencabut golok.
“Bangsat..!! Kita cincang
saja kedua kecoak ini,..!!” teriak seorang yang terlihat seperti pemimpin
kawanan itu.
Keduanya langsung
menyerang musuhnya masing-masing dengan ayunan golok mengarah ke leher. Pratur
dan Prawa melompat menghindar mencoba menjauh agar mendapat ruang yang lebih
luas dan berjarak. Gerakan mereka sangat lincah meski di kejar dengan sambaran
golok. Ternyata kawanan ini menghadapi lawan yang tangguh. Tadinya mereka
menduga akan cepat bisa meringkus dan mengalahkan lawannya.
Kedua lawan yang terpukul
jatuh itu juga sudah mencoba bangun dan mencabut goloknya. Dengan sikap lebih
berhati-hati keduanya mendekati Pratur dan Prawa yang sibuk menghindar sabetan
golok lawan masing-masing. Namun sebelum sempat mendekati arena pertarungan
mereka telah dihadang oleh tiga orang yang tidak lain adalah Prasa, Prati dan
Prama.
“Hehehe..., jangan
kesana.. Kita main-main disini saja, kawan,..” kata Prasa.
“He, pergi kalian..!
Jangan ikut campur,..!!” bentak yang satu.
Keduanya langsung
menyerang dengan ayunan golok kepada Prasa dan Prati, yang dengan sigap
melompat mundur, menghindar. Prama yang yang tidak diserang melompat sambil
mengayunkan tendangan keras ke orang yang menyerang Prasa.
“DEUUKK..!!”
Orang itu terpental dan
terguling jatuh di dekat kaki Prasa yang segera menginjak punggungnya dan menekan
dengan kakinya kuat-kuat.
“Curang,..!! Main
kroyok,..euhhh..!!” katanya, dan mendapat hentakan tekanan dari kaki Prasa.
“Dasar culas,..!! Kalian
tadi yang mengeroyok dua orang teman kami lebih dulu,..bodoh..!! bentak Prasa
yang dengan keras menginjak tangan orang itu hingga golok yang dipegangnya
terlepas.
Golok itu langsung
diambil oleh Prasa dan mengarahkan ujungnya ke punggung pemiliknya yang
tengkurap tak berdaya. Punggungnya masih ditekan oleh kaki Prasa dan ujung
goloknya terasa menempel di kulit punggungnya. Dia hanya bisa memiringkan
kepalanya denga mulut penuh pasir.
Hal yang sama juga
dialami oleh temannya yang menyerang Prati. Ketika serangan goloknya bisa
dihindari oleh Prati, maka Prama masuk dengan tendangan ke pinggang. Persis
seperti kawannya dia pun jatuh terjengkang dan segera di injak oleh Prati dan
menekannya mencium tanah. Goloknya juga sudah berpindah tangan.
Prama yang bebas tanpa
lawan segera mendekati arena perkelahian Pratur. Dengan cara yang sama dia
melumpuhkan lawan Pratur dengan tendangan pinggangnya yang segera disambut
Pratur dengan injakan ke punggung lawannya dan merampas goloknya lalu
menempelkan ujungnya di kulit punggung orang itu.
Lepas dari situ ia hendak
melakukan hal serupa dengan lawan Prawa tapi diurungkan niatnya karena Prawa
telah berhasil memukul dan meringkus lawannya. Rupanya ketika melihat temannya
semua sudah dijatuhkan nyalinya jadi ciut dan lengah sehingga dengan mudah
dipukul oleh Prawa.
“He,.. apa maksud kalian
menyerang kami,..??” bentak Pratur yang kesal karena tadi sudah mau tertidur
jadi terganggu.
“Ampun tuan,.. kami hanya
tukang perahu,...” jawab yang dituakan.
“Oh,.. jadi kalian siang
jadi tukang perahu dan malam jadi perampok rupanya,..” kata Prasa.
“Ampun tuan,... kami
sekedar cari makan,..” kata orang itu.
“Kalian akan kami ikat
malam ini, besok akan kami bawa ke pamong negeri terdekat,..” kata Prasa.
Mereka lalu mengikat ke
empat perampok itu kuat-kuat masing-masing di sebatang pohon dalam posisi
terduduk dengan punggung menyender ke pohon dan tangan terikat di belakang
batang pohon.
Pada saat itu sebenarnya
Loyo dan Brewok juga sudah sampai di dekat pinggir sungai itu, dan melihat
akhir dari perkelahian. Loyo menahan Brewok untuk tidak menampakkan diri agar
tidak diketahui mereka sebagai satu rombongan. Begitu pula ketika Andragi dan
Lugasi lalu Rampoli dan Laja serta
Balmis dan Codet tiba mereka di tahan Loyo untuk tidak mendekat.
“Apakah yang terjadi,
sobat Loyo,..??” tanya Lugasi.
“Rupanya kawan-kawan kita
akan dirampok oleh empat orang tetapi sudah bisa mereka atasi. Para perampok
sudah dilumpuhkan tanpa terluka dan sudah diikat di beberapa batang pohon,..” jelas
Loyo.
“Hihhihi,..Untung bukan
saya yang di rombongan terdepan,.. Kalau tidak pasti sudah ada yang buntung tangannya,..hihihi,..”
kata Lugasi jenaka.
Semua yang mendengar
tersenyum. Suasana selalu ceria jika ada Lugasi.
“Ide bagus sobat Loyo.
Kita memang tidak boleh terlihat sebagai satu rombongan,..” kata Andragi.
Mereka lalu mencari
tempat untuk beristirahat dalam jarak yang berdekatan tapi tidak terlihat dari
pinggir sungai.
Sedang mereka duduk dan
akan merebahkan diri datanglah sesosok bayangan ke arah mereka dari arah
sungai. Lugasi dengan cepat melenting ke atas sebuah pohon, tapi kemudian turun
lagi dengan tenang.
“Hmm, rupanya sobat Prati
yang datang,...” bisik Lugasi.
Ketika bayangan itu sudah
dekat Lugasi berdiri dan berbisik keras.
“SSSSSTT..!!,.. Kami
disini,..!”
Prati langsung menuju ke
tempat mereka.
“Saya disuruh melihat
apakah tema-teman sudah sampai disini atau belum,..” kata Prati.
“Ya, kami sudah sampai
dan tahu apa yang sudah terjadi tadi,..” kata Lugasi.
“Kami akan bermalam
disini saja, dan besok kita berpura-pura tidak saling mengenal, biar tidak
mencurigakan,..” kata Andragi.
“Baik, akan saya
sampaikan,..” katanya lalu berbalik menuju kawan-kawannya.
Pagi harinya disaat
matahari mulai menyembul, Prasa dan kawan-kawan membangunkan para perampok,
membuka ikatan dari pohon dan mengikat ke belakang tangan mereka.
“Nah, kita akan bawa
mereka ke Pamong Negeri dan serahkan mereka ke yang berwajib,..” kata Prasa.
“Ampun tuan, kami jangan
diserahkan ke yang berwajib. Kami akan melakukan apa saja asal jangan
diserahkan ke mereka,..” kata perampok yang dituakan menghiba.
Para perampok itu
betul-betul ketakutan membayangkan hukuman cambuk yang membuat punggung dan
betis kakinya menjadi bubur daging mereka sendiri.
Pada saat itu datanglah
Andragi dan kawan-kawannya secara bergiliran, dua per dua.
“Ada apakah ini,..??”
tanya Andragi kura-kura dalam perahu alias pura-pura tidak tahu.
“Kami menangkap para
perampok ini,..” jawab Prasa bersandiwara.
“Kalau begitu serahkan
saja mereka ke Pamong Negeri, biar mereka dihukum cambuk,..” kata Andragi.
“Ampun tuan, jangan
serahkan kami ke yang berwajib. Kami hanya tukang perahu miskin yang khilaf,..”
kata yang dituakan.
“Siapa namamu he,..?? tanya Prasa.
“Nama saya Satange, tuan.
Tolong maafkan kami. Kami terpaksa melakukan karena anak saya sakit dan tak
punya biaya berobat,..” orang itu menghiba.
“Betulkah katamu
itu,..??” tanya Andragi.
“Sungguh tuan, .. itu
rumah saya dibalik bulak ini,..” katanya sambil menunjuk ke arah sebuah desa
yang tidak jauh dari tepi sungai itu.
“Kalau begitu, kita
buktikan katamu itu. Ayo kita ke sana,..” kata Andragi mengajak Lugasi, Prasa
dan Pratur.
Mereka pergi bersama
orang itu ke rumahnya. Rumah itu lebih tepat disebut pondok daripada rumah
karena begitu sederhana, pertanda pemiliknya orang miskin. Ternyata benar.
Sesampai disana mereka bertemu dengan wajah sedih seorang wanita yang ternyata
istrinya dan seorang anak yang tergeletak di amben bambu.
Andragi meraba dahi anak
itu yang suhunya tinggi dan melihat ke dalam tenggorokannya yang terlihat merah.
Anak itu tergeletak sangat lemah. Andragi lalu mengeluarkan botol yang berisi
alkohol hasil produksi dari desa Harjagi. Satange dan juga Prasa dan Pratur
terheran-heran melihat benda bening yang isi di dalamnya terlihat jelas. Mereka
belum pernah melihat benda seperti itu selama hidup.
Andragi lalu membuka
tutup botol itu dan menuangkan isinya ke tangan dan mengusapkan ke dahi, leher
dada, perut, punggung dan ketiak anak itu. Hal itu dilakukannya berulang-ulang
sehingga selang beberapa menit kemudian suhu badan anak itu turun. Ini membuat
anak itu mulai bereaksi, dan matanya bisa bergerak normal.
“Emak,..” katanya lemah.
Ibunya segera datang
menghampiri dan mengelus-elus anaknya.
“Beri dia air kelapa
muda,..” kata Andragi.
Ayahnya segera pergi memnjat pohon kelapa dan
memetik beberapa buah yang belum tua. Setelah mengupasnya, air kelapa itu lalu
diminumkan ke anaknya sesuap demi sesuap.
“Beri dia makanan yang lembek,..” kata
Andragi.
Kedua orang tua anak itu
saling berpandangan dan ibunya lalu menunduk.
“Kami tidak punya beras
untuk makan atau membuat bubur,..” jawab si ayah.
“Baiklah,.. anak ini
harus diberi minum kelapa muda, dikasih makan yang cukup dan diolesi dengan
bawang merah yang dicampur minyak kelapa,.. Ini ada sedikit uang untuk membeli semua
keperluan itu,..” kata Andragi sambil memberikan beberapa keping uang perak
yang cukup dipakai untuk hidup satu bulan penuh.
“Terimakasih banyak tuan.
Saya berjamji tidak akan berbuat itu lagi,..” kata Satange, sambil berlutut
menyembah.
Istrinya segera berbuat
hal yang sama. Ia bahkan terisak-isak saking berterimakasihnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.