Pertempuran di Tempat Penyeberangan

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #84 )

Esok harinya mereka pun bersiap untuk berangkat menuju kaki gunung Kalas. Disaat sarapan Andragi sempat menanyakan tentang orang-orang dari desa Kalisunggi yang terpaksa mengungsi karena perampokan itu.

“Oh iya,.. ada beberapa orang yang menemui saya minta ijin tinggal di wilayah ini dan minta pekerjaan. Mereka bilang mereka pindah karena melihat daerah ini semakin ramai dan ingin mencari kehidupan baru,..” jawab Hobijo.

“Pintar juga mereka. Memang mereka yang kami suruh kesini dengan alasan itu, supaya aman. Semoga pak Hobijo bisa membantu mereka,.” kata Andragi.

“Saya berencana menempatkan mereka di daerah tepi hutan di sebelah barat dekat perbatasan dengan propinsi Landipa dan Gurada. Mereka bisa berladang disana sambil menjaga kelestarian hutan, dan akan dapat jatah hasil pertunjukan juga tentunya,..” kata Hobijo.

“Terimakasih pak Hobijo. Seperti yang saya duga, pak Hobijo akan membantu dan bisa memanfaatkan tenaga mereka juga untuk memajukan daerah ini sambil menjaga hutan,..” kata Andragi.

Setelah sarapan Andragi dan rombongannya minus  Angkuso, Huntari dan Huntaro (mereka akan tetap tinggal untuk melanjutkan pertunjukan harimau di sini), lalu berangkat menuju arah gunung Kalas.

Agar tidak mencolok mereka berjalan berdua atau bertiga dalam jarak tertentu. Andragi selalu ditemani oleh Lugasi, Brewok dan Loyo di belakangnya, lalu Balmis dan Codet di depannya. Di depannya lagi para pimpinan prajurit, dan paling belakang Rampoli dan Laja.

Menjelang malam mereka sampai di tepi sungai Priga yang lebar itu. Mereka memutuskan untuk bermalam di tepi sungai itu. Pratur dan Prawa yang berjalan paling depan tiba duluan segera mencari tempat untuk istirahat. Mereka memilih tempat di bawah sebatang pohon yang cukup rindang.

Belum berapa lama mereka bersandar di batang pohon itu mereka didatangi empat orang. Dalam bayangan bulan yang cukup terang, ke empat orang itu terlihat sangar dengan muka kasar dan kumis melintang.

“He,.. kenapa kalian tidak menyeberang sekarang,..??” tanya seorang.

“Kami mau istirahat dulu,..” kata Pratur.

“Enak saja..!! Tidak boleh istirahat disini,..!! bentak orang itu.

“Lho, memangnya kenapa,..?” tanya Pratur.

“Ini wilayah kani,.. tau..!! Kalian harus nyebrang sekarang,..!!”

“Tidak..!! Kami mau istirahat dulu, besok pagi kami nyebrang,..!!” jawab Prawa tidak kalah gertak.

Pratur dan Prawa mencium gelagat tidak baik melihat mereka memaksa untuk menyeberangi sungai malam-malam begini. Mereka tentu akan mencelakakan mereka di tengah sungai nantinya. Karena itu mereka ngotot tidak mau dipaksa menyeberang sekarang. Mereka pun lalu bangun dan bersiap.

Tanpa bicara lagi ke empat orang itu mengambil sikap menyerang. Dua dari mereka langsung mengarahkan tendangan ke  lawannya masing-masing. Pratur dan Prawa yang sudah siap dengan mudah mengelak, tapi segera dikejar oleh pukulan dari dua orang lawannya yang lain. Satu orang di keroyok berdua.

Dengan sigap Pratur merunduk membiarkan pukulan lawannya melayang di atas kepalanya dan justru berbalik melayangkan pukulan ke arah lawan satunya yang bersiap menyerang.

“BUUKK..!!”

Pukulan itu bersarang di dada orang itu yang langsung jatuh terjengkang ke belakang. Pratur pun langsung berguling ke arah orang yang jatuh itu untuk menghindar dari serangan lawan yang satunya. Sambil bergulingan itu ia sempat memberi satu pukulan lagi ke pinggang lawannya yang sudah jatuh itu.

“HEEKK..!!” keluar suara dari orang yang terpukul.

Pratur langsung melompat berdiri, bersiap menghadapi lawan yang satunya.

Rupanya hal yang sama terjadi pada lawan Prawa. Seorang lawannya dipukul jatuh dengan cara yang sama oleh Prawa dan mendapat tambahan pukulan di pinggang seperti yang dialami kawannya. Tidak heran, karena mereka adalah pimpinan prajurit yang terlatih dengan pola-pola menyerang dan bertahan dalam perkelahian maupun pertempuran.

Terkejut melihat kawannya terpukul dan jatuh, kedua orang lainnya segera mencabut golok.

“Bangsat..!! Kita cincang saja kedua kecoak ini,..!!” teriak seorang yang terlihat seperti pemimpin kawanan itu.

Keduanya langsung menyerang musuhnya masing-masing dengan ayunan golok mengarah ke leher. Pratur dan Prawa melompat menghindar mencoba menjauh agar mendapat ruang yang lebih luas dan berjarak. Gerakan mereka sangat lincah meski di kejar dengan sambaran golok. Ternyata kawanan ini menghadapi lawan yang tangguh. Tadinya mereka menduga akan cepat bisa meringkus dan mengalahkan lawannya.

Kedua lawan yang terpukul jatuh itu juga sudah mencoba bangun dan mencabut goloknya. Dengan sikap lebih berhati-hati keduanya mendekati Pratur dan Prawa yang sibuk menghindar sabetan golok lawan masing-masing. Namun sebelum sempat mendekati arena pertarungan mereka telah dihadang oleh tiga orang yang tidak lain adalah Prasa, Prati dan Prama.

“Hehehe..., jangan kesana.. Kita main-main disini saja, kawan,..” kata Prasa.

“He, pergi kalian..! Jangan ikut campur,..!!” bentak yang satu.

Keduanya langsung menyerang dengan ayunan golok kepada Prasa dan Prati, yang dengan sigap melompat mundur, menghindar. Prama yang yang tidak diserang melompat sambil mengayunkan tendangan keras ke orang yang menyerang Prasa.

“DEUUKK..!!”

Orang itu terpental dan terguling jatuh di dekat kaki Prasa yang segera menginjak punggungnya dan menekan dengan kakinya kuat-kuat.

“Curang,..!! Main kroyok,..euhhh..!!” katanya, dan mendapat hentakan tekanan dari kaki Prasa.

“Dasar culas,..!! Kalian tadi yang mengeroyok dua orang teman kami lebih dulu,..bodoh..!! bentak Prasa yang dengan keras menginjak tangan orang itu hingga golok yang dipegangnya terlepas.

Golok itu langsung diambil oleh Prasa dan mengarahkan ujungnya ke punggung pemiliknya yang tengkurap tak berdaya. Punggungnya masih ditekan oleh kaki Prasa dan ujung goloknya terasa menempel di kulit punggungnya. Dia hanya bisa memiringkan kepalanya denga mulut penuh pasir.

Hal yang sama juga dialami oleh temannya yang menyerang Prati. Ketika serangan goloknya bisa dihindari oleh Prati, maka Prama masuk dengan tendangan ke pinggang. Persis seperti kawannya dia pun jatuh terjengkang dan segera di injak oleh Prati dan menekannya mencium tanah. Goloknya juga sudah berpindah tangan.

Prama yang bebas tanpa lawan segera mendekati arena perkelahian Pratur. Dengan cara yang sama dia melumpuhkan lawan Pratur dengan tendangan pinggangnya yang segera disambut Pratur dengan injakan ke punggung lawannya dan merampas goloknya lalu menempelkan ujungnya di kulit punggung orang itu.

Lepas dari situ ia hendak melakukan hal serupa dengan lawan Prawa tapi diurungkan niatnya karena Prawa telah berhasil memukul dan meringkus lawannya. Rupanya ketika melihat temannya semua sudah dijatuhkan nyalinya jadi ciut dan lengah sehingga dengan mudah dipukul oleh Prawa.

“He,.. apa maksud kalian menyerang kami,..??” bentak Pratur yang kesal karena tadi sudah mau tertidur jadi terganggu.

“Ampun tuan,.. kami hanya tukang perahu,...” jawab yang dituakan.

“Oh,.. jadi kalian siang jadi tukang perahu dan malam jadi perampok rupanya,..” kata Prasa.

“Ampun tuan,... kami sekedar cari makan,..” kata orang itu.

“Kalian akan kami ikat malam ini, besok akan kami bawa ke pamong negeri terdekat,..” kata Prasa.

Mereka lalu mengikat ke empat perampok itu kuat-kuat masing-masing di sebatang pohon dalam posisi terduduk dengan punggung menyender ke pohon dan tangan terikat di belakang batang pohon.

Pada saat itu sebenarnya Loyo dan Brewok juga sudah sampai di dekat pinggir sungai itu, dan melihat akhir dari perkelahian. Loyo menahan Brewok untuk tidak menampakkan diri agar tidak diketahui mereka sebagai satu rombongan. Begitu pula ketika Andragi dan Lugasi lalu Rampoli dan Laja  serta Balmis dan Codet tiba mereka di tahan Loyo untuk tidak mendekat.

“Apakah yang terjadi, sobat Loyo,..??” tanya Lugasi.

“Rupanya kawan-kawan kita akan dirampok oleh empat orang tetapi sudah bisa mereka atasi. Para perampok sudah dilumpuhkan tanpa terluka dan sudah diikat di beberapa batang pohon,..” jelas Loyo.

“Hihhihi,..Untung bukan saya yang di rombongan terdepan,.. Kalau tidak pasti sudah ada yang buntung tangannya,..hihihi,..” kata Lugasi jenaka.

Semua yang mendengar tersenyum. Suasana selalu ceria jika ada Lugasi.

“Ide bagus sobat Loyo. Kita memang tidak boleh terlihat sebagai satu rombongan,..” kata Andragi.

Mereka lalu mencari tempat untuk beristirahat dalam jarak yang berdekatan tapi tidak terlihat dari pinggir sungai.

Sedang mereka duduk dan akan merebahkan diri datanglah sesosok bayangan ke arah mereka dari arah sungai. Lugasi dengan cepat melenting ke atas sebuah pohon, tapi kemudian turun lagi dengan tenang.

“Hmm, rupanya sobat Prati yang datang,...” bisik Lugasi.

Ketika bayangan itu sudah dekat Lugasi berdiri dan berbisik keras.

“SSSSSTT..!!,.. Kami disini,..!”

Prati langsung menuju ke tempat mereka.

“Saya disuruh melihat apakah tema-teman sudah sampai disini atau belum,..” kata Prati.

“Ya, kami sudah sampai dan tahu apa yang sudah terjadi tadi,..” kata Lugasi.

“Kami akan bermalam disini saja, dan besok kita berpura-pura tidak saling mengenal, biar tidak mencurigakan,..” kata Andragi.

“Baik, akan saya sampaikan,..” katanya lalu berbalik menuju kawan-kawannya.

Pagi harinya disaat matahari mulai menyembul, Prasa dan kawan-kawan membangunkan para perampok, membuka ikatan dari pohon dan mengikat ke belakang tangan mereka.

“Nah, kita akan bawa mereka ke Pamong Negeri dan serahkan mereka ke yang berwajib,..” kata Prasa.

“Ampun tuan, kami jangan diserahkan ke yang berwajib. Kami akan melakukan apa saja asal jangan diserahkan ke mereka,..” kata perampok yang dituakan menghiba.

Para perampok itu betul-betul ketakutan membayangkan hukuman cambuk yang membuat punggung dan betis kakinya menjadi bubur daging mereka sendiri.

Pada saat itu datanglah Andragi dan kawan-kawannya secara bergiliran, dua per dua.

“Ada apakah ini,..??” tanya Andragi kura-kura dalam perahu alias pura-pura tidak tahu.

“Kami menangkap para perampok ini,..” jawab Prasa bersandiwara.

“Kalau begitu serahkan saja mereka ke Pamong Negeri, biar mereka dihukum cambuk,..” kata Andragi.

“Ampun tuan, jangan serahkan kami ke yang berwajib. Kami hanya tukang perahu miskin yang khilaf,..” kata yang dituakan.

“Siapa namamu he,..??   tanya Prasa.

“Nama saya Satange, tuan. Tolong maafkan kami. Kami terpaksa melakukan karena anak saya sakit dan tak punya biaya berobat,..” orang itu menghiba.

“Betulkah katamu itu,..??” tanya Andragi.

“Sungguh tuan, .. itu rumah saya dibalik bulak ini,..” katanya sambil menunjuk ke arah sebuah desa yang tidak jauh dari tepi sungai itu.

“Kalau begitu, kita buktikan katamu itu. Ayo kita ke sana,..” kata Andragi mengajak Lugasi, Prasa dan Pratur.

Mereka pergi bersama orang itu ke rumahnya. Rumah itu lebih tepat disebut pondok daripada rumah karena begitu sederhana, pertanda pemiliknya orang miskin. Ternyata benar. Sesampai disana mereka bertemu dengan wajah sedih seorang wanita yang ternyata istrinya dan seorang anak yang tergeletak di amben bambu.

Andragi meraba dahi anak itu yang suhunya tinggi dan melihat ke dalam tenggorokannya yang terlihat merah. Anak itu tergeletak sangat lemah. Andragi lalu mengeluarkan botol yang berisi alkohol hasil produksi dari desa Harjagi. Satange dan juga Prasa dan Pratur terheran-heran melihat benda bening yang isi di dalamnya terlihat jelas. Mereka belum pernah melihat benda seperti itu selama hidup.

Andragi lalu membuka tutup botol itu dan menuangkan isinya ke tangan dan mengusapkan ke dahi, leher dada, perut, punggung dan ketiak anak itu. Hal itu dilakukannya berulang-ulang sehingga selang beberapa menit kemudian suhu badan anak itu turun. Ini membuat anak itu mulai bereaksi, dan matanya bisa bergerak normal.

“Emak,..” katanya lemah.

Ibunya segera datang menghampiri dan mengelus-elus anaknya.

“Beri dia air kelapa muda,..” kata Andragi.

 Ayahnya segera pergi memnjat pohon kelapa dan memetik beberapa buah yang belum tua. Setelah mengupasnya, air kelapa itu lalu diminumkan ke anaknya sesuap demi sesuap.

 “Beri dia makanan yang lembek,..” kata Andragi.

Kedua orang tua anak itu saling berpandangan dan ibunya lalu menunduk.

“Kami tidak punya beras untuk makan atau membuat bubur,..” jawab si ayah.

“Baiklah,.. anak ini harus diberi minum kelapa muda, dikasih makan yang cukup dan diolesi dengan bawang merah yang dicampur minyak kelapa,.. Ini ada sedikit uang untuk membeli semua keperluan itu,..” kata Andragi sambil memberikan beberapa keping uang perak yang cukup dipakai untuk hidup satu bulan penuh.

“Terimakasih banyak tuan. Saya berjamji tidak akan berbuat itu lagi,..” kata Satange, sambil berlutut menyembah.

Istrinya segera berbuat hal yang sama. Ia bahkan terisak-isak saking berterimakasihnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA