“Begitulah tuan Wedana dan tuan Mata Setan, apa
yang terjadi atas kami. Kami mohon ampun,” kata Jotiwo mengakhiri kisahnya.
“Ah, kita memang senasib,” kata Paldrino.
Ia lalu menceritakan kisahnya kepada kedua
perampok itu dan ditolong oleh tuan Mata Setan yang karenanya sedang
dikejar-kejar oleh aparat negeri.
“Kalau begitu, sudilah kiranya tuan-tuan menginap
di pondok kami yang sederhana. Bagaimanapun juga tetap lebih baik dari pada
tempat yang terbuka ini,” undang Jotiwo.
Andragi dan Paldrino setuju. Gadamuk lalu bersiul
dengan nyaring. Segera terdengar
ringkikan kuda dan sesaat kemudian tampak dua orang menuntun enam ekor kuda
menuju mereka. Jotiwo lalu meminta rombongan Andragi menunggangi lima ekor kuda,
sementara seorang anak buahnya disuruhnya berkuda mendahului untuk menjemput
beberapa ekor kuda lagi serta mempersiapkan kedatangan mereka.
Singkat cerita, mereka akhirnya tiba di markas
Gunung Kembar. Disana, rombongan itu segera dijamu dengan berbagai makanan dan
minuman yang lezat, terutama bagi perut yang selama ini hanya diisi oleh
makanan seadanya. Seekor kambing telah dipotong dan digulai sebagai hidangan
utamanya. Tuak lontar pun menyusul setelah makanan selesai disantap. Para tamu
itu lalu dipersilakan beristirahat pada sebuah bangunan yang memang disediakan
untuk para tamu.
Esoknya, setelah sarapan, mereka diantar
berkeliling melihat kompleks markas itu. Markas itu ternyata cukup besar dan
dipersiapkan dengan baik untuk tidak mudah diserang musuh. Pada
tebing-tebingnya terdapat peralatan untuk menggelundungkan batu-batu besar atau
batang-batang kayu, ada jalur berkelok-kelok dengan tempat penyergapan yang
tersembunyi, anjungan bagi pemanah dan menara pengintai yang tinggi. Tak
percuma Jotiwo sebagai bekas pelatih Paskhu.
Sambil berkeliling itu Andragi sebenarnya ingin
meminta mereka meninggalkan pekerjaan sebagai perampok itu, tetapi berkali-kali
Jotiwo menekankan bahwa itu hanya sementara, sedangkan tujuan utamanya adalah
memerangi kejahatan para pejabat negeri Klapa Getir. Mereka menjamin tidak akan
merampok rakyat biasa, para pedagang kecil atau para pengembara. Untuk itu
mereka akan segera memulai usaha lainnya sebagai pedagang atau jasa keamanan
bagi orang-orang yang memerlukannya.
Saat makan siang, Andragi menyampaikan bahwa
mereka akan meneruskan perjalanan ke Poruteng esok harinya. Jotiwo dan gadamuk
mencoba menahan mereka untuk tinggal beberapa hari lagi tetapi tidak berhasil.
Mereka harus segera menuju kesana untuk memulai kehidupan yang baru.
“Kenapa tidak disini saja, dan menjadi pemimpin
kami?” Jotiwo menawarkan.
Gadamuk pun mengangguk mendukungnya.
“Tidak, sobat Jotiwo dan Gadamuk. Ada tugas
penting yang diamanatkan kepada kami oleh kakek Bulesak. Disana kami akan
membangun masyarakat di tempat kakek Blakitem yang juga harus memulai hidup
mereka lagi setelah harta dan martabat mereka dirampas oleh para penguasa.
Mungkin ada yang dapat kami bantu membangun kembali hidup mereka dan hidup kami
juga,” jawab Andragi.
“Sebenarnya kami ingin mengajak sobat berdua ikut
bersama kami, tetapi disini sobat berdua telah memulai sesuatu sedangkan kami
belum sama sekali. Tetapi mungkin suatu waktu nanti kita bisa bersatu, jika
kami telah mulai tumbuh dengan baik,” lanjutnya.
“Tetapi, saya meminta sobat berdua tidak merampok
atau merugikan rakyat kecil,” pintanya.
Jotiwo dan Gadamuk menyanggupinya. Merekapun
berjanji jika suatu saat nanti tuan Mata Setan telah berhasil membangun
masyarakat disana dan dendam mereka telah terbalaskan, mereka akan bergabung.
Sementara mereka makan siang itu, seorang anak
buah melaporkan kalau mereka berhasil menyergap rombongan pejabat tinggi dari
Kadipaten Rajapurwa dan menangkap seorang wanita yang katanya isteri Adipati,
yang sedang berziarah ke makam orang tuanya di desa Bental. Desa itu sebenarnya
cukup jauh dari Gunung Kembar tetapi merupakan desa terdekat dari markas
mereka. Anak buah Jotiwo dan Gadamuk tidak jarang keluar masuk beberapa desa di
sana untuk mencari tahu keberadaan pera pejabat negeri yang kaya atau bangsawan
lintah darat.
“Bawa kemari tangkapan kalian itu!” perintah
Gadamuk.
Dalam hati ia berniat menjadikan wanita itu
sebagai isterinya.
Wanita itu lalu diseret ke hadapan mereka.
Pakaiannya yang mewah menandakan kalau ia memang dari golongan kelas atas. Kulitnya
bersih, masih muda dan cantik. Ia hanya bisa menangis ketakutan.
“Tolonglah ..saya ..tuan-tuan.hik,,hik..
Bebaskan... saya. Hik..hik. Saya.. tidak... akan melupakan ..kebaikan hati...
tuan-tuan. Hik..hik.hik..,” katanya sambil terisak-isak.
“Ha..haaa..haa. Itu tidak mungkin! Kau isteri
pejabat korup! Kau harus menerima akibatnya sekarang. Kau akan kujadikan
isteriku disini.! ha..haha!” kata Gadamuk.
Melihat wanita yang tak berdaya itu, Andragi
bermaksud menolongnya.
“Siapakah kau dan sedang apa kau datang ke desa
Bental?” tanya Andragi.
“Saya isteri adipati Rajapurwa. Saya sedang
berziarah ke makam orang tua dan leluhur saya untuk mendoakan mereka.Tolonglah
saya tuan,” jawabnya.
“Kami tahu siapa suaminya tuan Mata Setan. Dia
Adipati yang korup dan jahat kepada rakyat. Mohon jangan terpengaruh tuan Mata
Setan,” kata Jotiwo.
Andragi teringat mendiang bapak dan ibunya yang
sangat ia cintai. Wanita ini tentu juga sangat menyayangi kedua orang tuanya. Karena
itu ia lalu berkata,
“Yah, boleh jadi suaminya memang jahat dan korup,
tetapi wanita ini sedang dalam perjalanan suci ziarah dan berdoa untuk para
leluhurnya. Kita tak boleh mengganggu orang yang sedang berdoa dan melakukan
hal-hal yang baik seperti ini.”
“Karena itu saya minta kepada sobat berdua untuk
membebaskan wanita ini. Biarlah ia bisa berziarah ke makam orang tuanya,” pinta
Andragi.
Dengan berat hati, Jotiwo dan terutama Gadamuk
terpaksa memenuhi permintaan tuan Mata Setan yang mereka segani itu. Mereka
lalu memerintahkan anak buahnya mengantar kembali wanita itu hingga desa
Bental.
Andragi yang tahu kekecewaan hati Gadamuk, lalu
menghiburnya.
“Wanita itu bukanlah wanita yang cocok untuk sobat
Gadamuk. Saya bejanji akan mencarikan isteri buat sobat Gadamuk nanti.”
Gadamuk hanya bisa mengangguk mengiyakan.
Malam itu mereka membuat pesta perpisahan bagi
rombongan Andragi. Jotiwo menyajikan mereka dengan makanan terbaik yang mereka
miliki sementara Gadamuk menyuruh anak buahnya menyediakan bekal bagi rombongan
itu serta sebuah kuda sebagai pengangkutnya. Banyak hal yang diperbicangkan
mereka sambil diselingi minum tuak lontar. Yang paling menarik bagi Andragi
tentu ikhwal seluk beluk negeri Klapa Getir. Berbagai hal ditanyakannya dan
mereka dengan antusias menceritakan kepadanya sembari saling melengkapi satu
sama lain.
Ternyata
negeri Klapa Getir dulunya adalah kerajaan yang sempat berjaya hingga mampu
mepersatukan berbagai negeri-negeri kecil yang sering bertikai satu dengan yang
lain memperebutkan wilayah atau karena ingin memperluas keyakinan yang
dianutnya. Orang hebat yang mampu mempersatukan negeri-negeri itu menjadi
Negeri Klapa Getir adalah seorang pangeran sakti dan perkasa yang menjadi
perdana menteri yaitu Kudabringas.
Setelah mampu dan berjasa mempersatukan seluruh
wilayah menjadi satu negeri yang bisa diterima semua pihak, memiliki pengaruh
yang luas dikalangan rakyat dan bahkan terhadap raja ia kemudian mendeklarasikan
semboyan agung “Sause-Seusa” atau “Satu
untuk semua dan semua untuk satu”. Makna semboyan agung itu itu pada intinya
negara Klapa Getir itu milik setiap warganya dan setiap warga berjuang untuk
kemakmuran negeri Klapa Getir. Tidak boleh ada yang merasa paling memiliki,
paling benar dan paling penting. Semua warga memiliki hak dan peluang yang sama
untuk menjadi apa saja, termasuk menjadi pemimpin negeri. Oleh karena itu,
sistem pemerintahan pun kemudian diubah menjadi negeri bukan kerajaan yang
dipimpin seorang Kepala Negeri. Untuk menghormati Raja yang masih bertahta,
beliau diperbolehkan tetap memimpin negeri dengan menjadi Kepala Negeri hingga
dua kali lima tahun kemudian. Setelah itu Kepala Negeri akan ditetapkan melalui
pemilihan umum langsung oleh rakyat. Demikian juga jabatan-jabatan kepala pemerintahan
dibawahnya.
Ternyata Raja hanya bersedia menjalani lima tahun
yang pertama saja karena usianya yang sudah lanjut serta agar Kudabringas punya
kesempatan menjadi Pemimpin Negeri. Semua orang bersyukur atas kesediaan raja
seperti itu dan berharap Kudabringas akan menjadi Pemimpin Negeri mereka.
Tetapi dugaan mereka meleset. Kudabringas ternyata tidak bersedia menjadi calon
Pemimpin Negeri meski seluruh wakil dari berbagai unsur rakyat mencalonkannya
dan jika ikut dalam pemilihan dipastikan akan menang. Ia mengatakan bahwa
usahanya selama ini termasuk merubah sistem pemerintahan bukan didorong oleh
ambisi untuk menjadi Pemimpin Negeri tetapi semata-mata demi semangat Sause-Seusa.
“Satu untuk semua dan semua untuk satu”.
Kudabringas kemudian diangkat menjadi Bapak Bangsa
Klapa Getir yang sangat dihormati. Dibawah bimbingannya, para Pemimpin Negeri
mampu menjalankan pemerintahan dengan adil dan bijaksana. Negeri Klapa Getir
menjadi semakin makmur sentausa. Boleh dikata tidak ada orang yang perlu takut
dibegal saat berjalan di daerah sepi atau harus mengunci rumah jika meninggalkannya
kosong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.