Mata Setan dan Persekutuan Licik

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #28 )


Ia berpikir keras menyelami makna kalimat Pemimpin itu Pelayan.

“Aku tahu sekarang!” matanya berbinar-binar. “Aku harus mengambil peran sebagai Pelayan, yang berada di belakang, yang mengerjakan tugas, yang siap menerima dipersalahkan, yang rela kotor, berdebu dan bau, yang siap dicaci-maki, yang rela menjadi kambing hitam, yang ikut gembira membersihkan sampah-sampah kegembiraan orang lain, dan yang siap untuk diabaikan bahkan dihinakan. Hemmm... sebuah tantangan yang menarik!”

Dengan hati yang mantap diletakkan buku itu dan meraih buku yang kedua yang dibelinya dari toko buku terkemuka di negerinya “Semua Orang Bisa Hebat” atau disingkat sebagai ‘Sobat’. Ditimang-timangnya buku itu sambil berpikir apa yang harus dibaca dari Sobat. Kemudian dibacanya sinopsis singkat di sampul belakang buku itu dan meneruskannya dengan membaca daftar isinya.

“Aha.., aku tahu!” katanya gembira. “Kalau tadi itu soal peran aku sebagai pemimpin yang melayani, sedangkan yang ini tentang pelibatan dan keterlibatan orang-orang yang aku layani itu supaya mereka menjadi hebat juga. Hemmm..., terimakasih Tuhan.”

Andragi lalu membaca bagian-bagian awal buku itu untuk mengetahui pokok-pokok pikiran secara garis besarnya.

“Jadi, kuncinya ternyata adalah ‘Kerjasama’ yang menghasilkan sinergi.  Tetapi untuk itu setiap anggota harus memiliki sikap dasar tertentu sebagai pondasinya. Coba aku lihat...Nah ini dia nilai-nilai yang menjadi pondasinya: Integritas, Mental Berkelimpah-ruahan, dan Rasa Saling Bergantung satu sama lain.” 

Ia lalu membaca uraian pengertian dari ketiga sikap dasar itu.

“Ohh..begitu rupanya,” ia pun merasa lega dan jatuh tertidur pulas dalam senyuman.

 Dua hari kemudian rombongan mereka berangkat menuju Poruteng. Mereka berpakaian seperti pengembara, termasuk istri, dua anaknya dan enam orang pembantu keluarga Paldrino. Ransel Andragi yang berisi berbagai peralatan modernnya telah dibungkus dengan bagor, sejenis karung goni, dan disamarkan bersama bekal bahan pangan yang dibawa para pembantu Paldrino. Tadinya ia berkeras untuk membawa bagor dan bekal mereka, tetapi pak Paldrino memintanya membiarkan para pembantunya yang membawakan agar mereka merasa ikut berperan dan dihargai keterlibatannya. Tentu mereka akan salah tingkah kalau hanya berjalan lenggang kangkung saja dan mereka akan merasa tersiksa karenanya.

“Perjalanan masih sangat jauh. Kalau mereka lelah, kita bisa bergantian membawanya,” kata pak Paldrino bijak.

Melihat sikap Anak Langit seperti itu, diam-diam Loyo dan Bedul Brewok dalam hati bertekad akan mendahului membawakan barang-barang itu pada giliran berikutnya. Mereka tidak akan membiarkan orang lain mendahului mereka membawa barang-barang seluruh anggota rombongan.

Rombongan itu mengambil rute memutar menghindari kawedanan Buntung melalui hutan dan belukar. Lepas dari wilayah itu barulah mereka berani mengambil jalan biasa. Saat itu hari mulai gelap ketika mereka melintasi sebuah kaki bukit di tengah padang yang tak berpenghuni.

“Sebaiknya kita keatas bukit itu untuk melihat dimanakah rumah penduduk terdekat,” usul Brewok.

Yang lain mengangguk setuju.

Mereka lalu bergegas ke puncak bukit itu. Rupanya tanpa sepengetahuan mereka beberapa pasang mata telah mengintai mereka dari atas bukit itu, sejak tadi.

“Kita hadang saja sekarang dan habisi mereka langsung! Biar cepat selesai terus pulang. Jumlah kita berempat dengan mudah bisa menghabisi mereka. Sudah seharian ini kita belum mendapat hasil,” kata salah seorang yang bernama Gadamuk.

Dia bertubuh tinggi besar, lebih besar dari Bedul Brewok, dan bersenjatakan gada besar yang terbuat dari galih kayu mahoni tua. Gada itu dilapisi dengan lempengan besi yang berhiaskan tonjolan-tonjolan runcing mengerikan. Jika terkena pukulannya yang bertenaga besar itu, tubuh orang akan remuk dan tersobek-sobek.

“Jangan, Gadamuk! Kita tidak harus mengeluarkan tenaga untuk menghabisi mereka. Saat mereka tiba diatas bukit ini mereka akan kecewa karena tidak ada rumah penduduk terdekat yang mereka lihat. Karena mereka pasti sudah lelah, mereka tentu akan memutuskan bermalam disini. Mereka akan cepat terlelap atau lengah. Saat itu kita sergap dan meringkus mereka,” jawab temannya yang bernama Jotiwo.

Jotiwo bertubuh tinggi namun kurus dan ukuran tangannya lebih panjang dari kebanyakan orang biasa. Senjatanya sebuah keris yang ukurannya juga lebih panjang dari kebanyakan keris biasa. Gabungan tangan dan keris yang keduanya super panjang itu seakan menjadi semacam tombak sekaligus pedang bagi lawan mereka.

Kedua orang ini adalah kepala perampok yang membangun sarang mereka di salah satu punggung Gunung Kembar. Dari atas sarang itu mereka bisa melihat dengan leluasa jalur yang melintas dilembah sekitarnya. Saat sore tadi melihat dikejauhan rombongan itu akan melintas, mereka segera turun gunung , berkuda dengan mengajak  empat orang anak buah. Yang dua orang saat ini ditugasi menjaga kuda-kuda mereka di tempat tersembunyi agar tidak bersuara.

“Ah, aku sudah tidak sabar, Jotiwo! Gada ini sudah lama tidak meremukkan kepala orang. Lama-lama dia bisa menjadi lembek!”

“Tahan dulu Gadamuk! Jangan gegabah. Kalau mereka tidak kesasar, ada kemungkinan memang ada diantara mereka yang berilmu tinggi. Kita harus memperhitungkannya. Tampaknya mereka berjalan dengan cukup percaya diri,” kata Jotiwo.

“Dan karena ada dua anak kecil diantara mereka, biasanya ada wanitanya. Kalau sudah kita ringkus dan ambil barang-barang mereka, kamu bisa menghabisi mereka dan membawa pulang wanitanya...hehehe..!”

“Ho, boleh juga kalau begitu,” jawab Gadamuk senang.

Mereka lalu menanti mangsa mereka dari tempat yang lebih tersembunyi.

Tidak berapa lama kemudian rombongan itu tiba di puncak bukit. Dari sana mereka coba memandang ke segala arah tetapi tidak ada tanda-tanda rumah penduduk yang terlihat.

“Sebaiknya kita bermalam disini. Tempat ini cukup datar,” kata Paldrino.

Mereka lalu meletakkan barang bawaan lalu makan malam dari bekal makanan matang yang masih ada. Setelah itu masing-masing mencari lokasi berdekatan yang senyaman mungkin untuk beristirahat.

Malam segera datang, dan bulan yang semata sabit pun tertutup awan. Gelap tak berbintang. Mereka memutuskan untuk bergantian berjaga. Loyo menawarkan diri untuk berjaga lebih dahulu bersama seorang pembantu Paldrino.

Sambil merebahkan tubuhnya yang penat, Andragi mengambil senter genggam dari ranselnya untuk berjaga-jaga jika didatangi binatang buas. Dia tahu, binatang buas itu akan mundur teratur jika mata mereka kalah tajam dengan ‘mata’ lain yang mengalahkan pancaran mata mereka. Ia lalu bersiap untuk tidur.

Belum lagi ia terlelap, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dari balik pepohonan di dekat mereka.

“Serang..!! Bunuh..!

Tampak bayangan empat orang menyerang ke arah mereka. Rupanya mereka tidak sabar karena melihat ada yang berjaga malam. Sekarang atau nanti, akan sama saja. Loyo langsung mencoba menghadang, sementara pembantu Paldrino berusaha membangunkan anggota rombongan.

Setengah mati Loyo mencoba bertahan dan menghindar. Brewok pun segera terbangun dan membantu Loyo. Posisi mereka tidak menguntungkan dan segera terdesak. Para pembantu pak Paldrino hanya bisa mencoba melindungi keluarga itu terutama anak dan istrinya.

Melihat Loyo dan Brewok diserang oleh empat orang, Andragi segera meraih senter lalu menyorotkan ke mata Gadamuk yang terkejut bukan main.

“Waaaaw!! “Ma..ta set ...tan!! teriaknya ketakutan dan terlompat mundur. Tubuhnya membentur sebatang pohon dan jatuh mendeprok.

Teman-temannya juga kaget bukan main dan seketika berhenti terpaku. Andragi lalu menyorot mata mereka satu persatu.

Loyo dan Brewok sempat pula terkejut, tetapi melihat datangnya sinar itu dari arah Anak Langit mereka segera maklum dan langsung meringkus ke empat perampok yang terduduk ketakutan itu.

“Ampun Tuan Mata Setan, jangan bunuh kami. Maafkan kami telah lancang kepada tuan,” kata Jotiwo gemetar.

“Siapa kalian,he! Beraninya melawan Tuan Mata Setan!” bentak Brewok memanfaatkan sebutan ‘tuan mata setan’ yang diberikan oleh para perampok itu kepada Andragi.

“Saya Jotiwo dan teman saya itu Gadamuk. Kami mencari makan dengan merampok orang yang lewat disini. Dua orang itu anak buah kami. Ampunilah kami Tuan Mata Setan. Kalau kami tahu, kami tak akan berani mendekat sekalipun,” kata Jotiwo sambil menghormat, diikuti kawan-kawannya.

“Jotiwo...? Apakah kau Jotiwo Pelatih Paskhu di Kotaraja?” tanya Paldrino.

Paskhu adalah pasukan elit negeri yang sangat disegani karena kemampuan mereka yang istimewa. Pasukan ini biasanya menangani krisis-krisis besar dan vital yang dihadapi negeri Klapa Getir.

Jotiwo terperanjat, tetapi mencoba menutupinya dengan tetap bersikap gemetar ketakutan. Ia memang orang yang dimaksud oleh Paldrino, tetapi ia takut kalau Paldrino adalah kawan-kawan orang yang telah mencelakakan dirinya dulu.

“Siapakah tuan, sehingga mengira saya orang itu?” jawabnya balik bertanya.

“Saya Paldrino.”

“Pak Paldrino, Wedana Buntung?” tanya Jotiwo sambil mencoba melihat kepada Paldrino.

“Maafkan saya yang picik ini sampai tidak mengenali Pak Wedana yang kebaikan hatinya telah terkenal dikalangan para pendekar. Kalau begitu saya tidak perlu khawatir mengakui saya memang Jotiwo yang Pak Wedana maksudkan. Saya rela menerima hukuman yang akan Pak Wedana dan Tuan Mata Setan jatuhkan kepada kami,” kata Jotiwo sambil menyembah dua kali diikuti oleh rekan-rekannya.

“Saat masih di Kotaraja saya sudah mendengar nama Jotiwo sebagai Pelatih Paskhu yang hebat dan lurus hati. Bagaimana saudara Jotiwo bisa menjadi perampok begini?” tanya Paldrino.

“Saya diperlakukan secara licik sehingga harus melarikan diri, sedangkan rekan saya Gadamuk itu adalah pedagang besar hewan yang ditipu habis-habisan oleh Pangeran Orakuse, anak Perdana Menteri Jukamu.”

Mendengar penuturan Jotiwo itu, Andragi lalu menghampirinya dan membuka ikatan yang membelenggunya. Ia meminta Loyo dan Brewok juga membebaskan Gadamuk dan kedua anak buahnya. Meskipun agak ragu, keduanya menuruti permintaan Andragi itu.

“Ah rupanya kita bertemu orang yang senasib. Sobat Jotiwo dan kawan-kawannya tidak perlu takut akan menerima hukuman dari kami,” kata Andragi.

Meski tahu kesaktian Anak Langit, Loyo dan Brewok tetap bersikap waspada. Mereka belum yakin benar kejujuran orang-orang yang baru saja berniat mencelakai mereka.

Setelah bebas, Jotiwo segera membungkuk memberi hormat lagi. Ia lalu duduk dan menceritakan perlakuan licik terhadapnya saat di Kotaraja. Sebagai Pelatih Paskhu, ia memang harus memiliki kepandaian ilmu bela diri dan ilmu perang. Ternyata di mata anggota pasukan itu serta masyarakat Kotaraja, kepandaian yang dimilikinya dinilai lebih tinggi dari Komandan Pasukan itu. Dia tidak hanya terkenal tetapi dicintai karena kelurusan hatinya. Kedua hal itu membuat sang komandan, Mandasir, merasa iri dan dengki. Ia merasa tidak dihargai dan kehilangan pamor dimata anak buah dan masyarakat, terutama dihadapan para petinggi negeri. Mandasir lalu bekerja sama dengan Orakuse, anak perdana menteri Jukamu, untuk menjebak Jotiwo. Caranya dengan seakan-akan rumah Orakuse diserang oleh teroris. Mandasir kemudian memerintahkan Jotiwo memimpin Paskhu menyerang para teroris yang sedang mengganas di rumah Orakuse. Tetapi karena di sana tidak ditemui seorang teroris pun termasuk tuan rumahnya, Orakuse justru menuduh Jotiwolah yang menjadi terorisnya, yang berniat jahat kepadanya. Itulah yang membuatnya harus melarikan diri, karena tahu pasti ia akan dikorbankan.

Adapun kisah Gadamuk tidak kalah vulgarnya. Sebagai pedagang besar hewan ia diminta oleh Orakuse menyediakan kerbau dan sapi yang terbaik sebanyak mungkin untuk dibelinya. Hewan-hewan itu akan dijadikan sebagai hadiah ulang tahun ayahnya, Perdana Menteri Jukamu, yang sedang membuat peternakan terbesar di seluruh negeri. Gadamuk menggunakan seluruh harta kekayaannya untuk membeli kerbau dan sapi terbaik dari berbagai penjuru negeri Klapa Getir. Tetapi setelah hewan-hewan itu diserahkan, ia tak pernah menerima pembayaran dari Orakuse. Ia bahkan dituduh sebagai pemeras saat mencoba menagih hutangnya, dan karena itu Pamong Negeri diperintahkan untuk menangkapnya. Ia tak punya pilihan lain kecuali melarikan diri dalam keadaan bangkrut. Ia lalu bertekad menjadi perampok di Gunung Kembar ini, untuk memulai hidupnya lagi.

Jotiwo, dalam pelariannya mengetahui kalau Gadamuk menjadi perampok di Gunung kembar dan bertekad bergabung dengannya untuk menghimpun kekuatan agar suatu ketika dapat membalaskan sakit hatinya. Seakan berjodoh, kedua orang itu dipertemukan oleh nasib yang sama dan kemarahan yang sama. Berdua, mereka lalu memimpin perampok Gunung kembar. Sebenarnya sasaran utama mereka adalah pejabat pemerintah yang biasanya korup dan orang-orang kaya yang biasanya memperoleh kekayaan karena bekerjasama dengan para koruptor itu. Tetapi beberapa hari ini mereka tidak melihat korban mereka melalui Gunung Kembar, sementara mereka harus terus menghimpun kekuatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA