Ia berpikir keras menyelami makna kalimat Pemimpin
itu Pelayan.
“Aku tahu sekarang!” matanya berbinar-binar. “Aku
harus mengambil peran sebagai Pelayan, yang berada di belakang, yang
mengerjakan tugas, yang siap menerima dipersalahkan, yang rela kotor, berdebu
dan bau, yang siap dicaci-maki, yang rela menjadi kambing hitam, yang ikut
gembira membersihkan sampah-sampah kegembiraan orang lain, dan yang siap untuk
diabaikan bahkan dihinakan. Hemmm... sebuah tantangan yang menarik!”
Dengan hati yang mantap diletakkan buku itu dan
meraih buku yang kedua yang dibelinya dari toko buku terkemuka di negerinya
“Semua Orang Bisa Hebat” atau disingkat sebagai ‘Sobat’. Ditimang-timangnya
buku itu sambil berpikir apa yang harus dibaca dari Sobat. Kemudian dibacanya
sinopsis singkat di sampul belakang buku itu dan meneruskannya dengan membaca
daftar isinya.
“Aha.., aku tahu!” katanya gembira. “Kalau tadi
itu soal peran aku sebagai pemimpin yang melayani, sedangkan yang ini tentang
pelibatan dan keterlibatan orang-orang yang aku layani itu supaya mereka
menjadi hebat juga. Hemmm..., terimakasih Tuhan.”
Andragi lalu membaca bagian-bagian awal buku itu
untuk mengetahui pokok-pokok pikiran secara garis besarnya.
“Jadi, kuncinya ternyata adalah ‘Kerjasama’ yang
menghasilkan sinergi. Tetapi untuk itu
setiap anggota harus memiliki sikap dasar tertentu sebagai pondasinya. Coba aku
lihat...Nah ini dia nilai-nilai yang menjadi pondasinya: Integritas, Mental
Berkelimpah-ruahan, dan Rasa Saling Bergantung satu sama lain.”
Ia lalu membaca uraian pengertian dari ketiga
sikap dasar itu.
“Ohh..begitu rupanya,” ia
pun merasa lega dan jatuh tertidur pulas dalam senyuman.
Dua hari
kemudian rombongan mereka berangkat menuju Poruteng. Mereka berpakaian seperti
pengembara, termasuk istri, dua anaknya dan enam orang pembantu keluarga Paldrino. Ransel Andragi
yang berisi berbagai peralatan modernnya telah dibungkus dengan bagor, sejenis
karung goni, dan disamarkan bersama bekal bahan pangan yang dibawa para
pembantu Paldrino. Tadinya ia berkeras untuk membawa bagor dan bekal mereka,
tetapi pak Paldrino memintanya membiarkan para pembantunya yang membawakan agar
mereka merasa ikut berperan dan dihargai keterlibatannya. Tentu mereka akan
salah tingkah kalau hanya berjalan lenggang kangkung saja dan mereka akan merasa
tersiksa karenanya.
“Perjalanan masih sangat jauh. Kalau mereka lelah,
kita bisa bergantian membawanya,” kata pak Paldrino bijak.
Melihat sikap Anak Langit seperti itu, diam-diam Loyo
dan Bedul Brewok dalam hati bertekad akan mendahului membawakan barang-barang
itu pada giliran berikutnya. Mereka tidak akan membiarkan orang lain mendahului
mereka membawa barang-barang seluruh anggota rombongan.
Rombongan itu mengambil rute memutar menghindari
kawedanan Buntung melalui hutan dan belukar. Lepas dari wilayah itu barulah
mereka berani mengambil jalan biasa. Saat itu hari mulai gelap ketika mereka
melintasi sebuah kaki bukit di tengah padang yang tak berpenghuni.
“Sebaiknya kita keatas bukit itu untuk melihat
dimanakah rumah penduduk terdekat,” usul Brewok.
Yang lain mengangguk setuju.
Mereka lalu bergegas ke puncak bukit itu. Rupanya
tanpa sepengetahuan mereka beberapa pasang mata telah mengintai mereka dari
atas bukit itu, sejak
tadi.
“Kita hadang saja sekarang dan habisi mereka
langsung! Biar cepat selesai terus pulang. Jumlah kita berempat dengan mudah
bisa menghabisi mereka. Sudah seharian ini kita belum mendapat hasil,” kata
salah seorang yang bernama Gadamuk.
Dia bertubuh tinggi besar, lebih besar dari Bedul
Brewok, dan bersenjatakan gada besar yang terbuat dari galih kayu mahoni tua.
Gada itu dilapisi dengan lempengan besi yang berhiaskan tonjolan-tonjolan
runcing mengerikan. Jika terkena pukulannya yang bertenaga besar itu, tubuh
orang akan remuk dan tersobek-sobek.
“Jangan, Gadamuk! Kita tidak harus mengeluarkan
tenaga untuk menghabisi mereka. Saat mereka tiba diatas bukit ini mereka akan
kecewa karena tidak ada rumah penduduk terdekat yang mereka lihat. Karena
mereka pasti sudah lelah, mereka tentu akan memutuskan bermalam disini. Mereka akan
cepat terlelap atau lengah. Saat itu kita sergap dan meringkus mereka,” jawab
temannya yang bernama Jotiwo.
Jotiwo bertubuh tinggi namun kurus dan ukuran
tangannya lebih panjang dari kebanyakan orang biasa. Senjatanya sebuah keris
yang ukurannya juga lebih panjang dari kebanyakan keris biasa. Gabungan tangan
dan keris yang keduanya super panjang itu seakan menjadi semacam tombak
sekaligus pedang bagi lawan mereka.
Kedua orang ini adalah kepala perampok yang
membangun sarang mereka di salah satu punggung Gunung Kembar. Dari atas sarang
itu mereka bisa melihat dengan leluasa jalur yang melintas dilembah sekitarnya.
Saat sore tadi melihat dikejauhan rombongan itu akan melintas, mereka segera
turun gunung , berkuda dengan mengajak
empat orang anak buah. Yang dua orang saat ini ditugasi menjaga
kuda-kuda mereka di tempat tersembunyi agar tidak bersuara.
“Ah, aku sudah tidak sabar, Jotiwo! Gada ini sudah
lama tidak meremukkan kepala orang. Lama-lama dia bisa menjadi lembek!”
“Tahan dulu Gadamuk! Jangan gegabah. Kalau mereka
tidak kesasar, ada kemungkinan memang ada diantara mereka yang berilmu tinggi.
Kita harus memperhitungkannya. Tampaknya mereka berjalan dengan cukup percaya
diri,” kata Jotiwo.
“Dan karena ada dua anak kecil diantara mereka,
biasanya ada wanitanya. Kalau sudah kita ringkus dan ambil barang-barang
mereka, kamu bisa menghabisi mereka dan membawa pulang wanitanya...hehehe..!”
“Ho, boleh juga kalau begitu,” jawab Gadamuk
senang.
Mereka lalu menanti mangsa mereka dari tempat yang
lebih tersembunyi.
Tidak berapa lama kemudian rombongan itu tiba di
puncak bukit. Dari sana mereka coba memandang ke segala arah tetapi tidak ada
tanda-tanda rumah penduduk yang terlihat.
“Sebaiknya kita bermalam disini. Tempat ini cukup
datar,” kata Paldrino.
Mereka lalu meletakkan barang bawaan lalu makan
malam dari bekal makanan matang yang masih ada. Setelah itu masing-masing
mencari lokasi berdekatan yang senyaman mungkin untuk beristirahat.
Malam segera datang, dan bulan yang semata
sabit pun tertutup awan. Gelap tak berbintang. Mereka memutuskan untuk
bergantian berjaga. Loyo menawarkan diri untuk berjaga lebih dahulu bersama
seorang pembantu Paldrino.
Sambil merebahkan tubuhnya yang penat, Andragi
mengambil senter genggam dari ranselnya untuk berjaga-jaga jika didatangi
binatang buas. Dia tahu, binatang buas itu akan mundur teratur jika mata mereka
kalah tajam dengan ‘mata’ lain yang mengalahkan pancaran mata mereka. Ia lalu
bersiap untuk tidur.
Belum lagi ia terlelap, tiba-tiba terdengar
teriakan nyaring dari balik pepohonan di dekat mereka.
“Serang..!! Bunuh..!
Tampak bayangan empat orang menyerang ke arah
mereka. Rupanya mereka tidak sabar karena melihat ada yang berjaga malam.
Sekarang atau nanti, akan sama saja. Loyo langsung mencoba menghadang,
sementara pembantu Paldrino berusaha membangunkan anggota rombongan.
Setengah mati Loyo mencoba bertahan dan menghindar. Brewok pun segera terbangun dan membantu Loyo. Posisi mereka tidak menguntungkan dan segera terdesak. Para pembantu pak Paldrino hanya bisa mencoba melindungi keluarga itu terutama anak dan istrinya.
Melihat Loyo dan Brewok diserang oleh empat orang, Andragi segera meraih senter lalu menyorotkan ke mata Gadamuk yang terkejut bukan main.
“Waaaaw!! “Ma..ta set ...tan!! teriaknya ketakutan
dan terlompat mundur. Tubuhnya membentur sebatang pohon dan jatuh mendeprok.
Teman-temannya juga kaget bukan main dan seketika
berhenti terpaku. Andragi lalu menyorot mata mereka satu persatu.
Loyo dan Brewok sempat pula terkejut, tetapi
melihat datangnya sinar itu dari arah Anak Langit mereka segera maklum dan langsung
meringkus ke empat perampok yang terduduk ketakutan itu.
“Ampun Tuan Mata Setan, jangan bunuh kami. Maafkan
kami telah lancang kepada tuan,” kata Jotiwo gemetar.
“Siapa kalian,he! Beraninya melawan Tuan Mata
Setan!” bentak Brewok memanfaatkan sebutan ‘tuan mata setan’ yang diberikan
oleh para perampok itu kepada Andragi.
“Saya Jotiwo dan teman saya itu Gadamuk. Kami
mencari makan dengan merampok orang yang lewat disini. Dua orang itu anak buah
kami. Ampunilah kami Tuan Mata Setan. Kalau kami tahu, kami tak akan berani
mendekat sekalipun,” kata Jotiwo sambil menghormat, diikuti kawan-kawannya.
“Jotiwo...? Apakah kau Jotiwo Pelatih Paskhu di
Kotaraja?” tanya Paldrino.
Paskhu adalah pasukan elit negeri yang sangat
disegani karena kemampuan mereka yang istimewa. Pasukan ini biasanya menangani
krisis-krisis besar dan vital yang dihadapi negeri Klapa Getir.
Jotiwo terperanjat, tetapi mencoba menutupinya
dengan tetap bersikap gemetar ketakutan. Ia memang orang yang dimaksud oleh
Paldrino, tetapi ia takut kalau Paldrino adalah kawan-kawan orang yang telah
mencelakakan dirinya dulu.
“Siapakah tuan, sehingga mengira saya orang itu?”
jawabnya balik bertanya.
“Saya Paldrino.”
“Pak Paldrino, Wedana Buntung?” tanya Jotiwo
sambil mencoba melihat kepada Paldrino.
“Maafkan saya yang picik ini sampai tidak mengenali
Pak Wedana yang kebaikan hatinya telah terkenal dikalangan para pendekar. Kalau
begitu saya tidak perlu khawatir mengakui saya memang Jotiwo yang Pak Wedana
maksudkan. Saya rela menerima hukuman yang akan Pak Wedana dan Tuan Mata Setan
jatuhkan kepada kami,” kata Jotiwo sambil menyembah dua kali diikuti oleh
rekan-rekannya.
“Saat masih di Kotaraja saya sudah mendengar nama Jotiwo
sebagai Pelatih Paskhu yang hebat dan lurus hati. Bagaimana saudara Jotiwo bisa
menjadi perampok begini?” tanya Paldrino.
“Saya diperlakukan secara licik sehingga harus
melarikan diri, sedangkan rekan saya Gadamuk itu adalah pedagang besar hewan
yang ditipu habis-habisan oleh Pangeran Orakuse, anak Perdana Menteri Jukamu.”
Mendengar penuturan Jotiwo itu, Andragi lalu
menghampirinya dan membuka ikatan yang membelenggunya. Ia meminta Loyo dan
Brewok juga membebaskan Gadamuk dan kedua anak buahnya. Meskipun agak ragu,
keduanya menuruti permintaan Andragi itu.
“Ah rupanya kita bertemu orang yang senasib. Sobat
Jotiwo dan kawan-kawannya tidak perlu takut akan menerima hukuman dari kami,”
kata Andragi.
Meski tahu kesaktian Anak Langit, Loyo dan Brewok
tetap bersikap waspada. Mereka belum yakin benar kejujuran orang-orang yang
baru saja berniat mencelakai mereka.
Setelah bebas, Jotiwo segera membungkuk memberi
hormat lagi. Ia lalu duduk dan menceritakan perlakuan licik terhadapnya saat di
Kotaraja. Sebagai Pelatih Paskhu, ia memang harus memiliki kepandaian ilmu bela
diri dan ilmu perang. Ternyata di mata anggota pasukan itu serta masyarakat
Kotaraja, kepandaian yang dimilikinya dinilai lebih tinggi dari Komandan
Pasukan itu. Dia tidak hanya terkenal tetapi dicintai karena kelurusan hatinya.
Kedua hal itu membuat sang komandan, Mandasir, merasa iri dan dengki. Ia merasa
tidak dihargai dan kehilangan pamor dimata anak buah dan masyarakat, terutama
dihadapan para petinggi negeri. Mandasir lalu bekerja sama dengan Orakuse, anak
perdana menteri Jukamu, untuk menjebak Jotiwo. Caranya dengan seakan-akan rumah Orakuse
diserang oleh teroris. Mandasir kemudian memerintahkan Jotiwo memimpin Paskhu
menyerang para teroris yang sedang mengganas di rumah Orakuse. Tetapi karena di
sana tidak ditemui seorang teroris pun termasuk tuan rumahnya, Orakuse justru
menuduh Jotiwolah yang menjadi terorisnya, yang berniat jahat kepadanya. Itulah
yang membuatnya harus melarikan diri, karena tahu pasti ia akan dikorbankan.
Adapun kisah Gadamuk tidak kalah vulgarnya.
Sebagai pedagang besar hewan ia diminta oleh Orakuse menyediakan kerbau dan
sapi yang terbaik sebanyak mungkin untuk dibelinya. Hewan-hewan itu akan dijadikan
sebagai hadiah ulang tahun ayahnya, Perdana Menteri Jukamu, yang sedang membuat
peternakan terbesar di seluruh negeri. Gadamuk menggunakan seluruh harta
kekayaannya untuk membeli kerbau dan sapi terbaik dari berbagai penjuru negeri
Klapa Getir. Tetapi setelah hewan-hewan itu diserahkan, ia tak pernah menerima
pembayaran dari Orakuse. Ia bahkan dituduh sebagai pemeras saat mencoba menagih
hutangnya, dan karena itu Pamong Negeri diperintahkan untuk menangkapnya. Ia
tak punya pilihan lain kecuali melarikan diri dalam keadaan bangkrut. Ia lalu
bertekad menjadi perampok di Gunung Kembar ini, untuk memulai hidupnya lagi.
Jotiwo, dalam pelariannya mengetahui kalau Gadamuk
menjadi perampok di Gunung kembar dan bertekad bergabung dengannya untuk
menghimpun kekuatan agar suatu ketika dapat membalaskan sakit hatinya. Seakan
berjodoh, kedua orang itu dipertemukan oleh nasib yang sama dan kemarahan yang
sama. Berdua, mereka lalu memimpin perampok Gunung kembar. Sebenarnya sasaran
utama mereka adalah pejabat pemerintah yang biasanya korup dan orang-orang kaya
yang biasanya memperoleh kekayaan karena bekerjasama dengan para koruptor itu.
Tetapi beberapa hari ini mereka tidak melihat korban mereka melalui Gunung
Kembar, sementara mereka harus terus menghimpun kekuatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.