Lugasi
lalu minta diri untuk meneruskan perjalanannya ke tempat Hobijo. Tidak ada
sesuatu yang istimewa dalam perjalanannya kali ini, hingga ia ia tiba disana
dan disambut dengan sukacita oleh tuan rumah.
“Selamat datang nak Sehut! Syukur nak Sehut sudah
kembali,” sapa Hobijo ramah.
“Selamat datang sobat guru Sehut!” sapa Angkuso,
Huntaro dan Huntari berbarengan.
“Terimakasih. Selamat berjumpa lagi. Aku menepati
janjiku, kan?” tanya Lugasi.
Di tempat ini ia dikenal dengan nama Sehut, alias Setan
Hutan.
“Ya! Sobat guru Sehut datang bahkan lebih cepat
dari janjinya. Terimakasih!” jawab Angkuso.
“Bagaimana latihan kalian?” tanya Lugasi.
“Kami masih terus berlatih menggelinding di tanah
datar hingga hari ini, tanpa seharipun lalai. Kami tidak tahu apakah kami sudah
cukup maju atau belum, tetapi kami bisa menggelinding tanpa perlu bantuan
tebing lagi,” jawab Angkuso.
“Kalau begitu mari kita lihat,” kata Sehut sambil
keluar menuju halaman mereka yang luas itu.
Yang lain, termasuk Hobijo, mengikutinya.
“Nah, coba sekarang tunjukkan!” kata Lugasi.
Tanpa menunggu diperintah untuk kedua kalinya,
Huntari lalu duduk menekuk lutut dan tiba-tiba melesat menggelinding. Kemudian
Huntaro menyusul, dan terakhir Angkuso pun berbuat hal yang sama. Gerakan menggelinding
mereka sangat cepat membuat Lugasi kagum.
“Plok...Plok..Plok!!” ia bertepuk tangan.
“Bukan main, kalian membuat kemajuan yang luar
biasa!” pujinya.
“Betulkah? Terimakasih sobat guru!” ketiganya
menjawab dengan gembira. “Apakah kami cukup cepat?”
“Saya tidak tahu. Harus dicoba dulu baru kita
tahu!” kata Sehut.
Sebenarnya dia tahu kecepatan mereka telah cukup.
“Maksud sobat guru?” tanya angkuso.
Lugasi lalu meminta para pembantu memasang pagar
khusus yang biasa dipakai memagari halaman itu. Angkuso, Huntari, Huntaro dan
Hobijo bertanya-tanya dalam hati apa yang akan dilakukan guru Sehut.
“Nah, siapa yang akan masuk dulu?” tanya Sehut.
Meski tidak tahu apa yang akan diperbuatnya,
tetapi semua orang bisa menduga kalau harimau akan dilepaskan di dalam pagar
itu. Angkuso langsung beranjak masuk diikuti oleh Sehut. Hobijo dan para
pembantunya menahan napas, khawatir. Biasanya Angkuso menggunakan senjata dan
para pembantunya telah membuat lemah harimau dengan memberinya sedikit obat
bius dan melukainya kalau dulu dia mau bermain-main dengan anak macan, kini dia
masuk dengan tangan kosong dan tentu macan dewasa yang akan dikeluarkan.
“Sekarang sobat Angkuso bersiap di tengah sana,
menghadap ke kandang harimau. Saya akan memberi aba-aba untuk melepaskan seekor
harimau dan sobat harus menngelinding menghindari kejarannya. Dari situ kita
akan tahu apa sudah cukup cepat atau belum. Kalau sampai terkejar dan
tertangkap oleh macan itu, berarti belum cukup cepat. Paham!?” tanya Sehut.
“Saya mengerti,” kata Angkuso mengangguk.
Keringat dingin terasa mengalir di tengkuknya. Ini
pertama kali dia berhadapan dengan binatang itu tanpa sepotong senjata sama
sekali. Hobijo dan para pembantunya berdebar-debar mendengar kata-kata Sehut
itu. Mereka sungguh khawatir akan nasib tuan mudanya itu.
Setelah Angkuso tiba di tengah halaman, Lugasi
meminta agar seekor harimau dewasa dikeluarkan dari kandangnya. Binatang itu
melompat ke luar dan menatap tajam ke arah Angkuso yang berjongkok di tengah,
sementara Lugasi berdiri jauh di belakangnya. Macan itu tidak berlama-lama
menakar mangsanya, mungkin menyimpan dendam sewaktu masih macan kecil pernah
dilukai oleh orang ini dan para pembantunya. Dengan sedikit tekukan kaki, binatang
buas itu secepat sabetan pedang melompat dan mengejar ke arah Angkuso.
Begitu melihat harimau itu mengejarnya dengan
ganas, Angkuso segera menggelindingkan tubuhnya secepat ia bisa. Ia tidak tahu
seberapa cepat putaran tubuhnya dibandingkan gerakan harimau itu, karena itu satu-satunya
pilihan yang bisa ia lakukan.
Melihat mangsanya bergerak menjauhinya, binatang
itu mempercepat larinya. Ternyata ia tidak bisa mendekati Angkuso. Jarak mereka justru semakin jauh, tetapi di ujung sana
ada pagar yang membatasi. Meskipun bisa menjauhi harimau itu, tetapi Angkuso
tahu ia akan terhenti di pagar itu dan tertangkap oleh binatang buas itu. Ia
mencoba berbelok ke kiri tetapi gerakannya tidak mulus sehingga tidak
terkendali dan akhirnya menghantam sebatang pohon.
“Buk!!”
terdengar benturan keras.
Angkuso
bangun sambil terhuyung-huyung, kepalanya pusing. Bagaimanapun juga ia harus
bersiap lagi menghadapi binatang itu. Ternyata harimau itu tidak mengejarnya,
ia sedang memburu Sehut yang lalu melenting dan menotok leher binatang itu
menjadi lumpuh. Rupanya saat berbelok tadi, Sehut segera menggoda untuk menarik
perhatian harimau itu. Sehut tahu kalau gerakan belok itu belum dikuasai oleh Angkuso.
“Bagus! Gerakan gelindingmu sudah cukup cepat.
Tinggal melatih gerakan berbeloknya. Mulai besok kita akan berlatih!” kata Sehut.
Huntaro dan Huntari pun mendapat giliran menguji
kecepatan gelinding mereka dengan harimau yang lain. Sama seperti Angkuso,
harimau-harimau itu juga harus dihentikan oleh Saehut dengan jalan menotok
lehernya.
Esoknya mereka mulai berlatih berbelok, mengendalikan
sebaik mungkin setiap gerakan berbelok maupun berbalik. Mereka berlatih keras
hingga akhirnya dalam tingga pekan Angkuso,
Huntaro dan Huntari mampu menguasainya dengan baik. Setelah itu sehut melatih
mereka untuk melenting. Enam pekan kemudian
mereka pun berhasil menguasai gerakan itu. Selanjutnya mereka berlatih menotok
syaraf untuk melumpuhkan anggota tubuh harimau dalam satu
pekan. Dan akhirnya mereka berlatih mempraktekkannya secara nyata.
Angkuso, Huntaro dan Huntari bergantian mencoba melumpuhkan harimau di halaman
berpagar. Setelah puluhan kali berlatih, akhirnya ketiganya mampu melakukannya
dengan baik.
Mengingat ketiganya telah menguasai cara-cara yang
diajarkannya, Lugasi memutuskan untuk melepaskan ke hutan semua harimau yang
selama ini dikurung, dan mereka diharuskan mempraktekkan keahlian baru itu di
alam sebenarnya.
Tak perlu diceritakan panjang lebar, mereka
bertiga masing-masing juga berhasil dengan baik melumpuhkan harimau dan
melepaskannya kembali.
Kini tiba saatnya menggunakan kepandaian itu untuk
memberikan hiburan bagi khalayak. Mereka menangkap tiga ekor harimau dengan
cara baru yang lebih ramah itu dan memasukkannya ke kandang. Hobijo lalu
membuat pengumuman dan menyebarkannya di setiap desa dan pasar di wilayah itu. Masyarakat
ramai meperbincangkan tontonan baru itu. Meski ada perasaan was-was, mereka
sangat antusias ingin datang menonton.
Pada hari yang ditentukan, para penduduk datang
berbondong-bondong untuk menyaksikan
tontonan yang langka dan baru pertama kali bisa mereka saksikan itu.
Mengelilingi pagar di halaman yang luas itu disediakan kursi-kursi bagi
penonton dan di belakang kursi-kursi itu dibiarkan halaman kosong tempat
penonton berdiri. Pada dasarnya mereka boleh menonton secara gratis di belakang
deretan kursi, tetapi bagi yang ingin menikmatinya sambil duduk harus membayar
biaya kursi. Para penduduk yang berpunya serta pegawai pemerintah pada umumnya
memilih menonton sambil duduk. Kebanyakan dari mereka membayar karena gengsi,
bukan karena kesadaran untuk membantu rakyat kecil.
Bergantian Huntari, lalu Huntaro dan terakhir
Angkuso memperlihatkan kebolehan mereka menangkap harimau dengan tangan kosong
tanpa membunuhnya. Agar terlihat menegangkan mereka sengaja membalut sebagian
anggota tubuh mereka seakan bagian itu sedang terluka. Juga saat pertunjukan,
mereka sengaja berbelok-belok pada saat binatang itu nyaris menerkam. Setiap
kali terdengar helaan napas panjang para penonton menahan debaran jantung
mereka yang berdegup kencang. Dan akhirnya ditutup dengan tepukan tangan saat
binatang buas itu berhasil dilumpuhkan.
Pertunjukan
itu berakhir pada tengah hari ketika tiga ekor harimau telah berhasil
dilumpuhkan. Adegan terakhir yang dipertontonkan adalah upacara pelepasan
harimau itu ke hutan gunung di belakang peternakan Hobijo. Angkuso, Huntaro dan
Huntari membebaskan totokan di leher binatang mereka dan menyuruhnya pergi. Begitu
terbebas, macan-macan itu langsung lari masuk ke hutan. Setelah itu Hobijo
mengundang para kepala desa yang wilayahnya berbatasan langsung dengan hutan
itu dan membagikan sebagian pendapatan yang diperoleh hari itu untuk
kepentingan desa mereka.
“Pak, Hobijo! Kami tidak tahu kenapa desa kami
mendapat keuntungan yang diperoleh dari pertunjukan itu. Apa maksud dibalik
ini?” tanya seorang kepala desa sangsi.
“Gunung dan harimau-harimau itu adalah milik
masyarakat penghuni desa-desa di sekitarnya. Mereka berhak mendapatkan hasil
dari pertunjukkan itu. Kami hanya meminjamnya. Karena itu mari kita menjaga
agar kekayaan itu tidak punah. Jangan ada pemburu yang menangkap atau membunuh
binatang-binatang kekayaan kita itu demi kesenangan sesaat orang-orang kaya,” kata
Hobijo.
“Pak Hobijo sungguh berpandangan jauh. Kami paham
dan bertekad menjaga hutan dan isinya dari tangan-tangan orang yang tidak bertanggung
jawab. Terimakasih telah memperhatikan rakyat kami,” kata para kepala desa itu.
Sejak saat itu gunung itu dikenal dengan nama
Guhari, yang berarti Gunung Harimau. Keluarga Hobijo diterima sebagai penguasa
Guhari yang menjaga kelestarian harimau. Penduduk merasakan kehadiran mereka
sebagai dewa penolong yang membuat hidup mereka menjadi lebih sejahtera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.