Angkuso, Huntari dan Huntaro Mampu Menaklukkan Harimau

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #58 )


 Lugasi lalu minta diri untuk meneruskan perjalanannya ke tempat Hobijo. Tidak ada sesuatu yang istimewa dalam perjalanannya kali ini, hingga ia ia tiba disana dan disambut dengan sukacita oleh tuan rumah.

“Selamat datang nak Sehut! Syukur nak Sehut sudah kembali,” sapa Hobijo ramah.

“Selamat datang sobat guru Sehut!” sapa Angkuso, Huntaro dan Huntari berbarengan.

“Terimakasih. Selamat berjumpa lagi. Aku menepati janjiku, kan?” tanya Lugasi.

Di tempat ini ia dikenal dengan nama Sehut, alias Setan Hutan.

“Ya! Sobat guru Sehut datang bahkan lebih cepat dari janjinya. Terimakasih!” jawab Angkuso.

“Bagaimana latihan kalian?” tanya Lugasi.

“Kami masih terus berlatih menggelinding di tanah datar hingga hari ini, tanpa seharipun lalai. Kami tidak tahu apakah kami sudah cukup maju atau belum, tetapi kami bisa menggelinding tanpa perlu bantuan tebing lagi,” jawab Angkuso.

“Kalau begitu mari kita lihat,” kata Sehut sambil keluar menuju halaman mereka yang luas itu.

Yang lain, termasuk Hobijo,  mengikutinya.

“Nah, coba sekarang tunjukkan!” kata Lugasi.

Tanpa menunggu diperintah untuk kedua kalinya, Huntari lalu duduk menekuk lutut dan tiba-tiba melesat menggelinding. Kemudian Huntaro menyusul, dan terakhir Angkuso pun berbuat hal yang sama. Gerakan menggelinding mereka sangat cepat membuat Lugasi kagum.

“Plok...Plok..Plok!!” ia bertepuk tangan.

“Bukan main, kalian membuat kemajuan yang luar biasa!” pujinya.

“Betulkah? Terimakasih sobat guru!” ketiganya menjawab dengan gembira. “Apakah kami cukup cepat?”

“Saya tidak tahu. Harus dicoba dulu baru kita tahu!” kata Sehut.

Sebenarnya dia tahu kecepatan mereka telah cukup.

“Maksud sobat guru?” tanya angkuso.

Lugasi lalu meminta para pembantu memasang pagar khusus yang biasa dipakai memagari halaman itu. Angkuso, Huntari, Huntaro dan Hobijo bertanya-tanya dalam hati apa yang akan dilakukan guru Sehut.

“Nah, siapa yang akan masuk dulu?” tanya Sehut.

Meski tidak tahu apa yang akan diperbuatnya, tetapi semua orang bisa menduga kalau harimau akan dilepaskan di dalam pagar itu. Angkuso langsung beranjak masuk diikuti oleh Sehut. Hobijo dan para pembantunya menahan napas, khawatir. Biasanya Angkuso menggunakan senjata dan para pembantunya telah membuat lemah harimau dengan memberinya sedikit obat bius dan melukainya kalau dulu dia mau bermain-main dengan anak macan, kini dia masuk dengan tangan kosong dan tentu macan dewasa yang akan dikeluarkan.

“Sekarang sobat Angkuso bersiap di tengah sana, menghadap ke kandang harimau. Saya akan memberi aba-aba untuk melepaskan seekor harimau dan sobat harus menngelinding menghindari kejarannya. Dari situ kita akan tahu apa sudah cukup cepat atau belum. Kalau sampai terkejar dan tertangkap oleh macan itu, berarti belum cukup cepat. Paham!?” tanya Sehut.

“Saya mengerti,” kata Angkuso mengangguk.

Keringat dingin terasa mengalir di tengkuknya. Ini pertama kali dia berhadapan dengan binatang itu tanpa sepotong senjata sama sekali. Hobijo dan para pembantunya berdebar-debar mendengar kata-kata Sehut itu. Mereka sungguh khawatir akan nasib tuan mudanya itu.

Setelah Angkuso tiba di tengah halaman, Lugasi meminta agar seekor harimau dewasa dikeluarkan dari kandangnya. Binatang itu melompat ke luar dan menatap tajam ke arah Angkuso yang berjongkok di tengah, sementara Lugasi berdiri jauh di belakangnya. Macan itu tidak berlama-lama menakar mangsanya, mungkin menyimpan dendam sewaktu masih macan kecil pernah dilukai oleh orang ini dan para pembantunya. Dengan sedikit tekukan kaki, binatang buas itu secepat sabetan pedang melompat dan mengejar ke arah Angkuso.

Begitu melihat harimau itu mengejarnya dengan ganas, Angkuso segera menggelindingkan tubuhnya secepat ia bisa. Ia tidak tahu seberapa cepat putaran tubuhnya dibandingkan gerakan harimau itu, karena itu satu-satunya pilihan yang bisa ia lakukan.

Melihat mangsanya bergerak menjauhinya, binatang itu mempercepat larinya. Ternyata ia tidak bisa mendekati Angkuso. Jarak mereka justru semakin jauh, tetapi di ujung sana ada pagar yang membatasi. Meskipun bisa menjauhi harimau itu, tetapi Angkuso tahu ia akan terhenti di pagar itu dan tertangkap oleh binatang buas itu. Ia mencoba berbelok ke kiri tetapi gerakannya tidak mulus sehingga tidak terkendali dan akhirnya menghantam sebatang pohon.

“Buk!!” terdengar benturan keras.

Angkuso bangun sambil terhuyung-huyung, kepalanya pusing. Bagaimanapun juga ia harus bersiap lagi menghadapi binatang itu. Ternyata harimau itu tidak mengejarnya, ia sedang memburu Sehut yang lalu melenting dan menotok leher binatang itu menjadi lumpuh. Rupanya saat berbelok tadi, Sehut segera menggoda untuk menarik perhatian harimau itu. Sehut tahu kalau gerakan belok itu belum dikuasai oleh Angkuso.

“Bagus! Gerakan gelindingmu sudah cukup cepat. Tinggal melatih gerakan berbeloknya. Mulai besok kita akan berlatih!”  kata Sehut.

Huntaro dan Huntari pun mendapat giliran menguji kecepatan gelinding mereka dengan harimau yang lain. Sama seperti Angkuso, harimau-harimau itu juga harus dihentikan oleh Saehut dengan jalan menotok lehernya.

Esoknya mereka mulai berlatih berbelok, mengendalikan sebaik mungkin setiap gerakan berbelok maupun berbalik. Mereka berlatih keras hingga akhirnya dalam tingga pekan Angkuso, Huntaro dan Huntari mampu menguasainya dengan baik. Setelah itu sehut melatih mereka untuk melenting. Enam pekan kemudian mereka pun berhasil menguasai gerakan itu. Selanjutnya mereka berlatih menotok syaraf untuk melumpuhkan anggota tubuh harimau dalam satu pekan. Dan akhirnya mereka berlatih mempraktekkannya secara nyata. Angkuso, Huntaro dan Huntari bergantian mencoba melumpuhkan harimau di halaman berpagar. Setelah puluhan kali berlatih, akhirnya ketiganya mampu melakukannya dengan baik.

Mengingat ketiganya telah menguasai cara-cara yang diajarkannya, Lugasi memutuskan untuk melepaskan ke hutan semua harimau yang selama ini dikurung, dan mereka diharuskan mempraktekkan keahlian baru itu di alam sebenarnya.

Tak perlu diceritakan panjang lebar, mereka bertiga masing-masing juga berhasil dengan baik melumpuhkan harimau dan melepaskannya kembali.

Kini tiba saatnya menggunakan kepandaian itu untuk memberikan hiburan bagi khalayak. Mereka menangkap tiga ekor harimau dengan cara baru yang lebih ramah itu dan memasukkannya ke kandang. Hobijo lalu membuat pengumuman dan menyebarkannya di setiap desa dan pasar di wilayah itu. Masyarakat ramai meperbincangkan tontonan baru itu. Meski ada perasaan was-was, mereka sangat antusias ingin datang menonton.

Pada hari yang ditentukan, para penduduk datang berbondong-bondong untuk menyaksikan  tontonan yang langka dan baru pertama kali bisa mereka saksikan itu. Mengelilingi pagar di halaman yang luas itu disediakan kursi-kursi bagi penonton dan di belakang kursi-kursi itu dibiarkan halaman kosong tempat penonton berdiri. Pada dasarnya mereka boleh menonton secara gratis di belakang deretan kursi, tetapi bagi yang ingin menikmatinya sambil duduk harus membayar biaya kursi. Para penduduk yang berpunya serta pegawai pemerintah pada umumnya memilih menonton sambil duduk. Kebanyakan dari mereka membayar karena gengsi, bukan karena kesadaran untuk membantu rakyat kecil.  

Bergantian Huntari, lalu Huntaro dan terakhir Angkuso memperlihatkan kebolehan mereka menangkap harimau dengan tangan kosong tanpa membunuhnya. Agar terlihat menegangkan mereka sengaja membalut sebagian anggota tubuh mereka seakan bagian itu sedang terluka. Juga saat pertunjukan, mereka sengaja berbelok-belok pada saat binatang itu nyaris menerkam. Setiap kali terdengar helaan napas panjang para penonton menahan debaran jantung mereka yang berdegup kencang. Dan akhirnya ditutup dengan tepukan tangan saat binatang buas itu berhasil dilumpuhkan.

 Pertunjukan itu berakhir pada tengah hari ketika tiga ekor harimau telah berhasil dilumpuhkan. Adegan terakhir yang dipertontonkan adalah upacara pelepasan harimau itu ke hutan gunung di belakang peternakan Hobijo. Angkuso, Huntaro dan Huntari membebaskan totokan di leher binatang mereka dan menyuruhnya pergi. Begitu terbebas, macan-macan itu langsung lari masuk ke hutan. Setelah itu Hobijo mengundang para kepala desa yang wilayahnya berbatasan langsung dengan hutan itu dan membagikan sebagian pendapatan yang diperoleh hari itu untuk kepentingan desa mereka.

“Pak, Hobijo! Kami tidak tahu kenapa desa kami mendapat keuntungan yang diperoleh dari pertunjukan itu. Apa maksud dibalik ini?” tanya seorang kepala desa sangsi.

“Gunung dan harimau-harimau itu adalah milik masyarakat penghuni desa-desa di sekitarnya. Mereka berhak mendapatkan hasil dari pertunjukkan itu. Kami hanya meminjamnya. Karena itu mari kita menjaga agar kekayaan itu tidak punah. Jangan ada pemburu yang menangkap atau membunuh binatang-binatang kekayaan kita itu demi kesenangan sesaat orang-orang kaya,” kata Hobijo.

“Pak Hobijo sungguh berpandangan jauh. Kami paham dan bertekad menjaga hutan dan isinya dari tangan-tangan orang yang tidak bertanggung jawab. Terimakasih telah memperhatikan rakyat kami,” kata para kepala desa itu.

Sejak saat itu gunung itu dikenal dengan nama Guhari, yang berarti Gunung Harimau. Keluarga Hobijo diterima sebagai penguasa Guhari yang menjaga kelestarian harimau. Penduduk merasakan kehadiran mereka sebagai dewa penolong yang membuat hidup mereka menjadi lebih sejahtera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA