Sementara itu, Setiaka
dan sisa pasukannya membawa Adipati Rajapurwa menuju Kawedanan terdekat,
Karangnyara, untuk berlindung. Wedana Karangnyara terkejut bukan main melihat
Adipatinya tiba di kediamannya dalam keadaan lemah dan lesu di pagi buta itu.
Ia segera memerintahkan orang-orangnya menyediakan tempat bagi atasan dan
rombongannya itu dan mempersilakan mereka beristirahat sambil menunggu jamuan
yang harus dipersiapkan dengan susah payah karena hari masih terlalu pagi. Ia
juga mengutus orang untuk menjemput Kepala Pasukan Kawedanan Karangnyara agar
segera datang membawa seluruh prajuritnya.
Menjelang matahari mulai naik, Adipati Rajapurwa
minta mereka semua berkumpul di pendopo kawedanan untuk berunding. Pada saat
itu Kepala Pasukan Kawedanan Karangnyara telah pula tiba, sementara pasukannya
akan segera menyusul begitu mereka siap.
“Saudara-saudara, tadi malam Kadipaten kita telah
diserang oleh para perampok Gunung Kembar yang dipimpin oleh Jotiwo dan
rekan-rekannya. Kadipaten telah dibakar habis, istri dan anak saya dibunuh dan
segala harta benda dijarah habis. Para perampok itu tampaknya telah
merencanakan dengan seksama penyerangan itu sehingga mereka bisa berhasil.
Untung saya masih bisa diselamatkan oleh komandan Setiaka, meskipun pasukannya
harus bertahan mati-matian disana,” kata Adipati mencoba tabah.
“Betul, Adipati. Mereka berhasil memecah perhatian
pasukan saya yang harus bertempur di tiga tempat yaitu penjara, gerbang kota
dan kediaman Adipati. Karena itu saya agak terlambat menyelamatkan keluarga
Adipati yang diserang oleh gerombolan mereka yang lain,” tambah Setiaka membela
diri.
“Kekuatan mereka sebenarnya tidak seberapa, hanya
sekitar tiga ratus orang. Karena itu ijinkan saya mengumpulkan semua prajurit
dari semua kawedanan yang ada di seluruh Kadipaten Rajapurwa untuk menyerang
markas mereka. Kalau dibiarkan, mereka akan makin merajalela,” usul Setiaka.
“Saya setuju!” jawab Adipati. “Kita punya enam
kawedanan dan di setiap kawedanan ada lima puluh prajurit, berarti semuanya
tiga ratus. Saya kira harus ditambah lagi agar kekuatan kita lebih besar dari
mereka. Karena itu saya akan minta bantuan dari Kadipaten Munggur tetangga
kita, yang juga berdekatan dengan Gunung Kembar. Mereka tentu juga
berkepentingan dengan para perampok itu.”
“Bagaimana dengan persoalan logistik, Tuan Adipati?
Soalnya semua perbekalan kita telah dijarah habis, tentunya,” tanya Setiaka.
“Saya minta pak Wedana Karangnyara mengumpulkan
perbekalan dari seluruh kawedanan atas perintah saya,” jawab Adipati.
Adipati Rajapurwa lalu menulis surat untuk Adipati
Munggur dan mengutus dua orang prajurit Setiaka menyampaikannya. Kedua orang
itu segera berangkat hari itu juga. Ia juga menulis surat untuk para Wedana di
wilayahnya, memerintahkan pengumpulan bahan pangan untuk perbekalan perang.
Hari itu juga Wedana Karangnyara berangkat.
Sementara Sang Adipati sedang sibuk di Kawedanan
Karangnyara, pada pagi yang sama di kota
kadipaten Rajapurwa rakyat menjadi geger. Penduduk yang malam sebelumnya hanya
mendengar keributan di luar, baru berani keluar rumah setelah matahari mulai
naik. Mereka terkejut dan ngeri melihat mayat bergelimpangan di sekitar gerbang
kota dan di samping kediaman Adipati. Sedangkan rumahnya telah terbakar habis.
Mereka sangat yakin itu perbuatan perampok Gunung Kembar yang pemimpinnya ditangkap.
Mereka juga melihat kalau di penjara sudah tidak ada lagi kepala perampok yang
bernama tuan Mata Setan itu.
Kepala Pamong Negeri sibuk memimpin anak buahnya
membersihkan kota dari
mayat-mayat yang bergelimpangan. Sementara itu disana sini penduduk ramai bergunjing.
Ada yang mengutuk dan ada pula yang bersimpati kepada para perampok Gunung
Kembar.
“Aduh, nasib...nasib! Mulai sekarang hidup kita
setiap saat akan ketakutan dibawah kekuasaan para perampok itu,” keluh seorang
warga.
“Ah, saya kira tidak begitu!” sanggah rekannya. “Buktinya
tidak ada seorang pendudukpun yang dibunuh atau hartanya dirampok oleh mereka
semalam. Kelihatannya mereka hanya memusuhi orang pemerintah. Jadi
tenang-tenang sajalah,” katanya.
“Hey, hati-hati bicaramu!” kata seorang yang lebih
tua. “Kalau kedengaran orang pemerintah kamu bisa dikira temannya para perampok
itu lho!” nasihatnya.
“Mungkin mereka itu bekas orang pemerintah juga
yang pernah dikecewakan atau disakiti oleh pemerintah, ya?” tanya rekannya yang
lain tak mempedulikan nasihat si orang tua.
“Iya, lo! Soalnya ilmu beladirinya hebat sekali.
Tadi malam saya mengintip pertempuran antara pimpinannya dengan kepala pasukan.
Wah ilmunya bukan main!” kata yang lainnya membual. Padahal malam itu ia
bersembunyi ketakutan di kolong amben sampai terkencing-kencing disana.
Berbagai dugaan mereka
lontarkan tentang Adipati dan keluarganya. Ada yang bilang semuanya telah
hangus bersama rumahnya, ada yang mengatakan mereka berhasil melarikan diri.
Tetapi gosip yang paling seru adalah dugaan kalau tuan Mata Setan itu
sebenarnya adalah orang sakti yang bisa membakar air di kawedanan Buntung. Atau
mungkin juga temannya. Berita tentang kejadian di Buntung rupanya telah
menyebar hingga disini.
Sementara
penduduk resah bergunjing dan Adipati mempersiapkan serangan balasan, kita
tengok apa yang terjadi di Gunung Kembar.
Jotiwo dan Paldrino, dibantu oleh Gadamuk, Bedul
Brewok dan Loyo mengatur segala harta yang berhasil mereka bawa. Sebagian dari
harta itu mereka bagikan kepada setiap anak buah mereka. Semua orang merasa
puas dan penuh gairah. Mereka membuat pesta kemenangan yang meriah. Kerbau,
sapi dan kambing disembelih untuk itu. Tuak lontar pun mengalir berlimpah.
Setelah beristirahat dan dirawat sehari semalam
lagi, Andragi kini telah dapat bangkit dan berjalan tanpa rasa sakit. Rupanya
ramuan yang diberikannya sangat mujarab menghilangkan rasa sakit dan
mengeringkan luka. Sudah umum diketahui, biasanya dikalangan para penjahat atau
orang-orang yang melanggar hukum, mereka memiliki ramuan itu sehingga tidak
perlu takut bila harus menjalani hukum cambuk kalau tertangkap.
“Selamat pagi Tuan Mata Setan. Apakah tubuh anda
sudah merasa lebih baik?” sapa Jotiwo pada pertemuan pagi itu.
“Ya, saya merasa sehat kembali. Terimakasih atas
pertolongan sobat sekalian. Kalau tidak, mungkin saya telah mati kesakitan
disana,” jawab Andragi.
“Itu sudah menjadi kewajiban kami sebagai sobat
Tuan Mata Setan,” jawab Jotiwo.
“Ah, jangan memanggil saya dengan tuan, sebut saja
sobat mata setan,” kata Andragi.
Jotiwo dan Gadamuk mengangguk.
“Untung, diam-diam anak buah sobat Jotiwo dan
Gadamuk mengikuti kami di kota Rajapurwa,” kata Paldrino.
“Kami memang sengaja mengirim anak buah kami
membuntuti rombongan pak Wedana, karena kami tidak percaya terhadap wanita
culas itu. Berhubung akan ada pesta bunga kami menduga sobat Mata Setan akan
menontonnya dan kami khawatir jika perempuan itu melihat sobat mata setan.
Ternyata kekhawatiran kami terjadi,” jelas Jotiwo.
“Dan karena itu sekarang kita menjadi sangat
makmur dan kaya. Justru itu, kita lah yang patut berterimakasih kepada sobat
mata setan atas kesediaannya dipenjara dan dicambuki. Hahaa.ha..!” tambah
Gadamuk sambil tertawa. Dan mereka semua pun tertawa.
“Yayaya.Tetapi Setiaka tentu tidak akan tinggal
diam,” kata Paldrino.
”Betul, pak Wedana. Saya juga memerkirakan
begitu.” kata Jotiwo. “ Setelah menyelamatkan Adipati, ia tentu akan menyusun
kekuatan dan rencana menyerang markas kita. Kita harus segera bersiap diri.”
“Bukankah sebaiknya sobat Mata Setan dan rombongan
segera melanjutkan perjalanannya ke Poruteng agar tidak terjebak dalam
pertempuran kami disini?” tanya Gadamuk.
“Tidak sobat Gadamuk. Sebagai seorang sahabat,
saya tidak bisa meninggalkan para sobat begitu saja saat mereka menghadapi
kesulitan. Saya kira pak Paldrino dan kawan-kawan setuju dengan pandangan saya
ini,” jawab Andragi.
“Betul sobat Mata Setan. Saya juga berpendirian
begitu. Biarlah kami membantu sebisa kami, entah sekedar memasakkan air saja.
Itulah gunanya sahabat bukan?” jawab Paldrino.
“Oh tentu akan sangat berarti sekali keberadaan
pak Wedana dan kawan-kawan bersama kami. Dan setulusnya kami berharap demikian.
Tetapi menimbang tugas yang jauh lebih besar dan penting yang harus dijalankan
oleh sobat Mata Setan, kami khawatir tugas itu akan berakhir disini hanya untuk
membela kami yang tak berarti. Setiaka tentu akan menggunakan pasukan yang jauh
lebih besar dari pada kekuatan kita. Tolong dipertimbangkan soal itu,” jawab Jotiwo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.