Namun sepeninggal Kudabringas keadaan berubah
total. Para pemimpin Negeri saling berlomba memperkaya diri untuk bekal
pemilihan berikutnya. Pemimpin keyakinan berlomba mempengaruhi umatnya dengan
cara-cara yang tidak semestinya untuk memusuhi pihak lain dengan menggunakan
dalih-dalih keyakinan dan ancaman dunia akhirat. Pelan tetapi pasti dan semakin
cepat, negeri ini merosot menjadi negeri penuh kekotoran. Bencana kelaparan,
penyakit dan bencana alam mulai datang susul menyusul.
Para Pemimpin negeri silih berganti merampok
kekayaan negeri. Mereka hanya memperhatikan dan melindungi kepentingan
kelompok-kelompok yang mayoritas demi agar terpilih lagi nantinya.
Kelompok-kelompok mayoritas yang tahu posisi tawar mereka seperti itu lalu bertindak
semaunya, semena-mena terhadap kaum yang dianggap musuhnya atau yang bisa
mengancam superioritasnya. Uang menjadi dewa baru yang mampu membeli kekuatan
maupun kekuasaan. Para orang kaya bersekongkol dengan orang-orang yang
mengatasnamakan kelompok mayoritas untuk membuat aturan sesuai selera dan
keuntungan mereka semata.
“Begitulah tuan Mata Setan,” kata Jotiwo. “Yang
terjadi kemudian adalah demokrasi yang mengarah kepada ‘aturan gerombolan’ yang
dengan kekuasaannya menjadi kaki tangan para pencari kenikmatan untuk memuaskan
syahwat serakah mereka dan sesaat sifatnya.”
“Selain itu,” sambung Paldrino.”Demokrasi yang ada
sekarang ini mengarah pada aturan yang dikendalikan oleh kaum pandir yang
memiliki kelihaian retorika, namun tidak memiliki pengetahuan yang benar.”
“Malah, demokrasi yang sekarang ini mengarah pada
ketidaksepakatan dan pertikaian. Bukannya saling menerima dan melengkapi
perbedaan. Pokoknya kalau beda itu musuh,” sambung Gadamuk tidak kalah antusiasnya
Andragi sebenarnya masih
ingin bertanya banyak hal, tetapi mengingat hari sudah semakin larut malam dan
mereka akan melanjutkan perjalanan panjang esok hari, ia memutuskan untuk
sementara menyimpannya di dalam hati. Setelah itu mereka minta diri untuk
tidur.
Pagi harinya setelah segala bekal yang disediakan
tuan rumah di muat di punggung kuda dan mereka telah mengisi perut dengan
sarapan yang cukup, berangkatlah rombongan Andragi menuju Poruteng. Namun untuk
itu mereka masih harus melalui beberapa wilayah kadipaten. Kadipaten pertama
yang mereka tuju adalah Rajapurwa dimana desa Bental termasuk di dalamnya.
Perjalanannya kesana sama sekali tidak mengalami
hambatan yang berarti. Mereka tiba di ibukota kadipaten yang cukup ramai
menjelang sore hari. Paldrino mengusulkan mereka menginap di salah satu rumah
makan, yang biasanya menyediakan juga kamar sewaan bagi para pengembara yang
bermalam. Mereka mendapatkan sebuah kamar yang luas cukup untuk mereka semua,
namun harus tidur di lantai. Tuan rumah hanya menyediakan tikar dan kain sebagai
sebagai selimutnya serta bantal. Setelah merapikan barang-barang dan bebersih
diri, mereka lalu makan di ruang rumah makan.
“Silakan, tuan-tuan. Kami menyediakan berbagai
makanan. Apa yang tuan-tuan pesan?” tanya pelayan.
“Bawakan makan malam lengkap yang cukup bagi kami
semua,” Jawab Paldrino.
Pelayan itu segera masuk ke dalam mempersiapkan
pesanan mereka. Beberapa saat kemudian ia telah keluar dengan membawa nasi,
sayur dan berbagai lauk pauk dan menyajikan kepada tamu-tamunya.
“Tuan-tuan tentu datang untuk menyaksikan perayaan
pesta bunga disini. Sudah banyak tamu yang datang ke daerah ini untuk melihat
pesta bunga kami,” kata pelayan itu mencoba menyapa ramah.
“Yah, begitulah,” Jawab Paldrino. “Kami sudah
mendengar keistimewaan daerah ini dengan perayaan pesta bungannya, tetapi ini
kali yang pertama kami berkesempatan untuk melihatnya.”
“Oh, kalau begitu saya perlu memberitahu supaya
tuan-tuan dapat memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin. Besok seluruh rumah
penduduk akan dihiasi dengan bunga dan pada tempat-tempat tertentu sering ada
atraksi yang menarik. Tetapi pusat perayaan hari bunga tetap diadakan di
alun-alun depan kadipaten. Disana terdapat banyak sekali tontonan yang menarik
serta berbagai pameran dan hiasan rangkaian bunga. Tuan-tuan saya sarankan langsung
menuju ke alun-alun. Jangan tertahan melihat tontonan di tempat-tempat lain,
namti ketinggalan melihat yang utama,” saran pelayan itu.
“Baiklah, dan terima kasih atas pemberitahuannya,”
jawab Paldrino.
Sebenarnya mereka tidak mempunyai niatan untuk melihat
perayaan itu, namun Paldrino berpikir ada baiknya Andragi melihatnya untuk
mulai mengenali berbagai adat negeri Klapa Getir. Jadi, mereka memutuskan untuk
menginap dua malam di tempat itu sebelum melanjutkan perjalanan mereka.
Pagi hari esoknya, mereka sarapan lebih awal dan
bersiap menuju alun-alun kadipaten. Hari itu memang tampak luar biasa karena
sepagi itu jalanan telah ramai oleh orang-orang yang berlalu lalang maupun
karena setiap penghuni rumah telah sibuk menghiasi rumah mereka masing-masing
dengan rangkaian bunga yang dibuat sesuai pola tertentu. Rombongan Andragi
segera berangkat menuju alun-alun. Mereka khawatir tidak mendapat tempat yang
bagus karena tampaknya akan banyak pengunjung yang memenuhinya.
Mereka tiba disana saat pengunjung sudah ramai
tetapi belum begitu berjubel. Hati mereka gembira melihat suasana yang meriah
itu, apalagi sepanjang perjalanan tadi mereka melalui rumah-rumah yang tampak
asri dihiasi rangkaian bunga-bunga indah. Berbagai adegan tontonan pembukaan
sudah mulai digelar sambil menunggu pembukaan yang akan dilakukan oleh Adipati Rajapurwa.
Mereka berkeliling dari satu stan ke stan yang lainnya hingga tiba di arena
utama tempat Adipati akan membuka secara resmi. Memang, sejenak kemudian
Adipati Rajapurwa beserta petinggi utusan dari pemerintah pusat, tiba untuk
membukanya. Dibelakangnya menyusul istrinya dan istri pejabat itu, lalu
keduanya duduk di kursi yang telah disediakan.
“Saudara-saudara sekalian. Panen kita tahun ini
cukup baik dan keadaan hidup kita juga terjaga dengan baik. Wilayah kita aman
tenteram, tidak ada begal dan perampok, apalagi pemberontak,” pidatonya.
“Lihat, Anak Langit. betapa munafiknya Adipati itu,”
bisik Paldrino. “Jelas-jelas istrinya sendiri dtangkap perampok, masih bilang
tidak ada perampok. Ck..ck.. bukan main!”
Andragi mengangguk tersenyum.
“Saudara-saudara kini tiba saatnya kita rayakan
pesta bunga tahunan kita. Dengan mengucapkan puji syukur kepada Dewa Maha Satu,
dengan ini pesta bunga saya buka secara resmi!” kata Adipati sambil menuju
tempat gong dan menabuhnya.
“Goooong...Gooooong....Gooong,,!!”
“Horeee!!” sambut penonton di alun-alun itu
bergemuruh.
Tontonan-demi tontonan dipertunjukkan oleh
masing-masing daerah dengan kekhasan mereka, hingga tiba pada suatu pertunjukan
lawak oleh pelawak terkenal di Kadipaten itu. Penonton dibuatnya
terpingkal-pingkal dengan berbagai banyolan dan gerak geriknya. Tak terkecuali
Andragi. Ia begitu larut dalam kelucuan pelawak itu hingga tanpa sadar cara
tertawanya yang berbeda dengan orang setempat mengundang perhatian istri
Adipati itu.
Sedang Andragi terpingkal-pingkal itu, istri
Adipati membisikkan sesuatu kepada suaminya, dan karena bisikan itu gegerlah
Kadipaten Rajapurwa. Darah tertumpah dan kebencian makin mejadi-jadi.
Anda ingin tahu apa yang dibisikkan itu?
Ambil napas dulu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.