Ia lalu membeberkan rencananya. Mendengar itu
semuanya gembira. Setiaka lalu diantar ke kamar yang telah disediakan, sebelum
melaksanakan rencananya. Sisa malam itu segera mereka gunakan sebaik-baiknya
untuk beristirahat.
Sementara itu di kemahnya, Adipati Rajapurwa dan
Kepala Pasukan Munggur tidak bisa tidur menantikan berita dari Setiaka, tetapi
hingga matahari mulai menyembul utusan itu tidak terlihat batang hidungnya.
Namun, beberapa saat kemudian seorang prajurit melapor ada orang yang terlihat
berkuda menuju kemah mereka dari arah Gunung Kembar. Bergegas mereka keluar
untuk melihatnya.
Dari jauh tampak pendatang itu melarikan kudanya
seperti dikejar setan sambil sesekali menoleh ke belakang. Ternyata yang datang
bukanlah utusan yang mereka tunggu-tunggu melainkan Setiaka sendiri. Begitu
sampai ia segera melompat turun sembarangan tanpa memerdulikan kudanya lagi. Ia
berjalan sempoyongan karena kelelahan. Tubuh dan pakaiannya tampak kusut tak
beraturan.
“Ampun pangeran Adipati, pasukan kita hancur,”
katanya terengah-engah.
Adipati lalu mengajaknya masuk ke dalam kemah
diikuti oleh Kepala Pasukan Munggur.
“Apa yang terjadi, Komandan Setiaka?” tanya
Adipati.
“Ampun Adipati, pasukan kita hancur dijebak secara
licik oleh Jotiwo dan pasukannya. Rupanya mereka membiarkan kami mengalahkan
mereka pada awalnya sehingga kami semakin berani masuk menyerang lebih dalam.
Karena itu saya mengutus seorang prajurit dari Talek menemui Adipati untuk
bersiap menjepit mereka. Rupanya kami dijebak dan tidak punya jalan keluar.
Kami bertempur mati-matian dan mereka meringkus saya,” kata Setiaka.
“Bagaimana saudara bisa sampai disini?” tanya
Adipati.
“Ketika hendak dipancung, saya menantang Jotiwo
untuk bertarung secara jantan meskipun setelah itu mereka boleh memancung saya.
Sebagai sesama prajurit yang pernah kenal di Kotaraja saya tidak rela mati
tanpa bertarung secara ksatria. Dia menerima tantangan saya dan bermaksud pagi
ini kami bertarung. Saya dimasukkan ke kerangkeng dan sebelum fajar tadi saya
mengelabui penjaganya dengan mengatakan akan bersiap-siap untuk menghadapi
perang tanding. Saya lalu membunuhnya dan diam-diam melarikan diri melalui
jalan yang kami tempuh kemarin sewaktu menyerang. Saya mendapatkan kuda pasukan
kita ini yang telah kehilangan penunggangnya saat pertempuran semalam, dan
segera memacunya kemari,” bual Setiaka.
Adipati Rajapurwa menarik napas panjang, kecewa.
“Baiklah. Bagaimanapun juga komandan Setiaka bisa
kembali. Lalu, apa rencana kita?” tanya Adipati.
“Saya kira mereka akan segera menyerang kesini
setelah berhasil mengalahkan pasukan saudara Setiaka,” kata Kepala Pasukan Munggur.
“Saya kira kemungkinan itu kecil, Komandan Munggur.
Gerombolan mereka hanya sedikit, sekitar seratus lima puluh orang, dan bukan
pasukan sebenarnya. Hanya sekumpulan bandit licik! Tetapi di sekitar sarang
mereka banyak jebakan yang telah memakan korban pasukan saya. Jebakan-jebakan
itu sebagian besar sudah tidak berguna lagi. Saya kira mereka memilih untuk
membenahi jebakan-jebakan mereka,” kata Setiaka.
“Kalau begitu kita saja yang menyerang mereka!
Mumpung mereka sibuk memperbaiki jebakan.” kata Adipati.
“Saya juga berpikiran begitu. Saya telah tahu
jalur yang aman dan banyak dari jebakan mereka yang tidak berguna lagi. Saya
kira kali ini kita akan bisa melibas mereka yang jumlahnya lebih kecil dari
kekuatan kita!” kata Setiaka.
Komandan Pasukan Munggur sebenarnya tidak bernafsu
untuk melakukan penyerangan karena dia ragu dengan kebenaran sebagian ucapan
Setiaka, terutama tentang kekuatan dan strategi lawan. Kalau pasukan Setiaka
bisa dihancurkan hingga tak bersisa, tentunya mereka memiliki kemampuan yang tidak
kecil. Tetapi sebagai pimpinan pasukan bantuan dia bukan pemimpin tertinggi
operasi ini.
Adipati menyetujui rencana penyerangan kedua itu,
namun Komandan Munggur mengusulkan agar pasukan dibagi dua dalam jarak yang
tidak begitu jauh. Maksudnya agar bila yang depan di jebak, maka pasukan
satunya akan bisa menolongnya.
“Usul yang bagus komandan!” kata Setiaka
menyetujui.
Dalam hati, Komandan Munggur menertawai ketololan
Setiaka. Ia mengusulkan itu karena enggan pasukannya menjadi korban keganasan
jebakan-jebakan perampok Gunung Kembar. Kalau sampai hal itu terjadi, ia bisa
memilih menolongnya bila kemungkinan menangnya besar atau melarikan diri jika
kemungkinannya kalah. Bagaimanapun, perang ini bukan perangnya. Sekalipun
menang, bukan dia yang akan mendapat penghargaan.
Dilain pihak, dalam hati Setiaka tersenyum. Ia
tahu niat Komandan Munggur di balik usulnya itu. Karena itu ia menanggapinya
dengan semangat.
“Bagus! Kita akan membagi pasukan menjadi dua.
Pasukan pertama dibawah pimpinan Adipati
dan saya, akan berjalan di depan. Pasukan kedua pasukan Munggur dibawah
pimpinan Komandan Munggur berjalan di belakang dengan jarak yang tidak terlalu
jauh, sekitar tiga atau empat jangkauan panah,” kata Setiaka.
“Baik. Kami Siap!” kata Komandan Munggur antusias.
Mereka segera membongkar kemah dan bersiap
melakukan penyerangan. Pasukan Rajapurwa berangkat terlebih dahulu disusul
kemudian oleh pasukan Munggur dalam jarak sekitar kurang dari satu kilo meter.
Mereka langsung menuju sisi utara markas Gunung Kembar seperti yang dimaksud
oleh Setiaka. Ia berkuda beberapa puluh meter di depan pasukannya sebagai
penunjuk jalan, sedangkan Adipati mendampingi pasukannya.
Saat mereka mendekati kaki Bukit Gunung Kembar dan
melewati sebuah padang kecil yang terbuka, tiba-tiba terdengar teriakan perang
dari kiri dan kanan pasukan Rajapurwa. Pasukan Gunung Kembar yang sejak tadi
telah bersembunyi di balik semak belukar dengan gencar menyerang pasukan
Adipati yang terkejut dan terjepit. Pasukan Rajapurwa kalang kabut menangkis
serangan dari dua arah itu yang dipimpin oleh Gadamuk dan Bedul Brewok. Kedua
orang itu segera menyerbu ke arah Adipati Rajapurwa. Ia hanya bisa menangkis
dan menghindar dari keroyokan kedua orang bertubuh besar itu sambil berharap
agar Setiaka segera muncul membantu.
Setiaka yang berada di depan segera menengok dan
melihat pasukannya kocar-kacir sementara Adipati sibuk mempertahankan diri. Ia
lalu berbalik dan mengumpulkan beberapa
prajuritnya untuk menyerang kedua pimpinan pasukan musuh. Melihat kehadiran
Setiaka, para prajuritnya menjadi berani
menyerang Bedul Brewok dan Gadamuk yang menjadi sibuk, melupakan
serangan mereka kepada Adipati. Melihat kesempatan itu Setiaka memberi isyarat
kepada Adipati untuk sama-sama menyerang Gadamuk sedangkan anak buahnya beralih
menyerang Brewok. Gadamuk yang mendapat
serangan dari kedua orang itu menjadi kewalahan dan melarikan diri, dikejar
kedua penyerangnya hingga di balik gerumbul yang agak jauh dari pertempuran itu
dan sepi. Tiba-tiba Gadamuk menghentikan kudanya, berbalik menghadapi kedua
pengejarnya. Dengan sangat bernafsu Adipati Rajapurwa mendahului Setiaka
menyerang Gadamuk. Dengan tenang Gadamuk menangkis serangannya dan dari arah
belakang Setiaka menebas pinggang Adipati.
“Ka..u..Seti..aka.!?” katanya terputus-putus.
Gadamuk menyambutnya dengan hantaman gada yang
meremukkan tengkoraknya. Ia tewas sebelum mencium tanah.
“Silakan sobat Setiaka menuju markas. Saya akan
membantu Brewok mengusir sisa pasukan Rajapurwa,” kata Gadamuk.
Ia segera kembali ke pertempuran dengan
mengayun-ayunkan gadanya hingga menimbulkan suara menderu-deru. Pasukan
Rajapurwa yang melihat Gadamuk yang kembali dan mengamuk, sementara kedua pimpinan mereka sebaliknya tidak muncul lagi, menyadari kalau mereka sudah kalah.
Segera mereka melarikan diri ke segala penjuru melindungi sepotong nyawa
mereka.
Dilain sisi, demi melihat pasukan Rajapurwa
disergap mendadak oleh pasukan Gunung Kembar yang bersembunyi, Komandan Munggur
segera menghentikan pasukannya dan memerintahkan mundur. Dia tahu tidak ada
gunanya meneruskan bertempur karena pasti kalah. Pasukannya segera bergerak
pulang, tidak ke Rajapurwa tetapi langsung kembali ke kampung halaman mereka di
Munggur.
Komandan Pasukan Munggur memerintahkan anak buahnya
menuruti versi cerita bahwa mereka terpaksa mundur karena lawan yang tangguh
dan licik. Daripada mesti bertaruh nyawa, semua prajuritnya memilih sepakat
menerima versi cerita itu malah dengan tambahan ‘meski sudah bertempur
mati-matian’.
Pasukan Gunung Kembar pun segera kembali
ke markasnya dengan sorak-sorai kemenangan. Di bangunan utama pertemuan para
pimpinan Gunung kembar merayakan kemenangan dengan berdoa syukur. Setelah itu
mereka menyuruh anak buahnya menyembelih kerbau, sapi dan kambing untuk
berpesta. Semua anak buah memperoleh hadiah dan yang berprestasi mendapatkan
hadiah khusus. Selama dua hari penuh mereka merayakan kemenangan itu dan
kemudian semua bekerja kembali membenahi kembali segala sesuatu yang berantakan
akibat pertempuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.