Kita tinggalkan dulu Anak
Langit di pos itu. Apa yang terjadi akibat ulah Gadamuk dan Bedul Brewok di
rumah Adipati juga tidak kalah serunya. Saat Jotiwo memancing Setiaka untuk datang
ke gerbang kota, Gadamuk dan bedul Brewok mengintai kediaman Adipati dari balik
gerumbulan semak.
“Kita tunggu, apakah Jotiwo berhasil memancing
Setiaka keluar dari sarangnya,” kata Gadamuk.
“Ssssst! Dengar, ada suara kuda mendekat,” bisik
Bedul Brewok.
Beberapa saat kemudian tampak dua prajurit memacu
kudanya memasuki markas mereka. Selang beberapa saat mereka keluar dan memacu
kembali ke arah semula mereka datang.
“Wah, gimana nih, tampaknya Setiaka tidak berani
keluar,” bisik Brewok bertanya-tanya.
“Tunggu dulu, mungkin dia sedang mencak-mencak
marah di dalam sana. Saya tahu adat Jotiwo kalau membakar emosi marah orang
lain,” jawab Gadamuk.
Benar dugaannya, tidak lama kemudian terdengar
perintah Setiaka mengumpulkan para prajuritnya, yang dengan sigap segera
memenuhi halaman markas itu. Setelah semuanya siap dan rapi berbaris, Setiaka
memerintahkan mengikutinya menuju gerbang kota.
“Benar dugaan sobat Gadamuk. Markas mereka bahkan
hampir kosong. Sekarang bisa kita habisi adipati dan seluruh keluarganya dengan
mudah. heh..he!” kata Brewok.
“Ya..ya.Tetapi biar lebih mudah, kita pakai
sedikit akal. Bagaimanapun, pintu gerbangnya itu dijaga ketat dan selalu
tertutup. Di dalamnya ada banyak pengawal Adipati tentunya,” kata Gadamuk.
Ia lalu membisikkan rencananya. Brewok setuju.
Mereka lalu menyebar lima puluh anak buahnya mengepung kediaman Adipati sedangkan
sebagian besar bersiap menyerbu dari depan gerbang. Gadamuk dan Brewok dengan
hati-hati keluar dari persembunyian mereka menuju jalan besar agak jauh dari
gerbang rumah Adipati itu. Ia membawa keranjang berisi gada besarnya yang
ditutupi selembar kain. Mereka lalu menuju gerbang itu dengan cara seperti
tergopoh-gopoh, dan segera menghampiri empat prajurit yang menjaga disana.
“Penjaga, tolong bukakan gerbang. Kami berdua
ingin bertemu Tuan Adipati. Ada hal penting yang akan kami sampaikan,” kata
Gadamuk.
“He! Tunggu dulu! Siapa kalian! Ada perlu apa mau
ketemu Adipati!?” tanya seorang penjaga yang lebih senior daripada ketiga
rekannya.
“Kami bekas anak buah perampok Gunung Kembar, tapi
kami diperlakukan tidak adil oleh Gadamuk, pimpinan perampok Gunung Kembar,”
jawab Gadamuk.
Sementara itu Brewok menahan geli dengan sandiwara
Gadamuk itu sambil mengusap brewoknya yang lebat, menutupi senyum gelinya.
“Karena itu diam-diam kami lalu mengambil harta
Nyonya Adipati yang dirampok beberapa hari lalu untuk kami kembalikan. Kami
ingin menjadi orang baik-baik,” kata Gadamuk, sambil menunjuk keranjangnya.
“Hmm. coba lihat harta itu!” perintah penjaga itu.
“Baik, tapi di dalam gerbang saja supaya tidak
dilihat orang. Kami takut anak buah Gadamuk ada yang menguntit kami. Mereka
sudah curiga gerak-gerik kami,” kata
Gadamuk.
Kali ini Brewok sudah tidak geli lagi, tapi
berganti dengan waspada. Ia siap menghunus pedangnya bila situasi tidak sesuai
rencana mereka.
“Iya, tapi tunggu dulu. Biar seorang dari kami
melapor komandan kami dulu di dalam,” kata penjaga itu.
Ia lalu menyuruh seorang rekannya melapor ke
dalam. Melihat gerbang telah dibuka Gadamuk tidak ingin lagi memperpanjang
sandiwaranya.
“Ada baiknya saya tunjukkan sedikit harta itu kepada saudara, biar saudara
percaya,” kata Gadamuk sambil berhati-hati membuka kain penutup gada dalam
keranjang itu.
Para penjaga itu mendekat sambil membungkuk ingin
tahu.
“Nah, ini bendanya!” kata Gadamuk menyentak dan
dengan tiba-tiba mengayunkan gadanya secara beruntun sekuat tenaga kearah dua
orang penjaga yang tanpa sempat berteriak, remuk tengkorak kepala mereka. Pada
saat yang bersamaan Brewok menyabetkan padangnya kepada penjaga ketiga,
memutuskan lehernya.
Gadamuk lalu memberi aba-aba dengan isyarat kepada
anak buahnya untuk merangsek mandekati
pintu gerbang. Dari dalam terdengar langkah kaki mendekat. Mereka tidak lain
komandan penjaga dan yang melapor, sedang menuju ke arah gerbang itu. Tanpa
curiga mereka melangkah keluar gerbang, dan disambut oleh sabetan golok serta
hantaman gada. Keduanya tewas seketika.
“Kita harus menyerang secara serentak dan gaduh
agar mereka terkejut dan panik. Petugas yang membakar segera langsung saja
membakar benda-benda yang mudah terbakar,” kata Gadamuk kepada beberapa anak
buahnya agar mereka meneruskan perintah itu kepada setiap orang secara
diam-diam. Setelah memastikan semua mengerti perintahnya, ia lalu mengacungkan
gadanya tinggi-tinggi.
“Serbuuuu!!!” teriaknya.
Serentak terdengar riuh rendah suara pasukan Gunung Kembar menerjang
masuk. Para prajurit penjaga di dalam halaman rumah Adipati terkejut dan tak
bisa berbuat banyak menghadapi gelombang serangan mendadak dan riuh itu. Dengan
mudah mereka diserang hingga tewas. Gadamuk dan Brewok menyerbu masuk ke dalam rumah
diikuti pasukannya dan dengan beringas memporak-porandakan benda-benda yang ada
disana. Gadamuk yang begitu geram terhadap istri Adipati langsung menuju ruang
keluarga dan meminta Brewok menyerbu ruang kerja Adipati.
Sementara itu para petugas pembakar sudah menyulut
api dan membakar berbagai benda di beberapa bagian rumah itu. Para pembantu
Adipati berlarian histeris menyelamatkan diri, tetapi sia-sia. Tanpa ampun
mereka dihabisi oleh pasukan Gunung Kembar.
Gadamuk yang masuk ke ruang keluarga mendapati
istri Adipati dan istri pejabat dari pusat meringkuk ketakutan bersama
dayang-dayangnya. Anak-anak mereka telah ia sembunyikan di ruang penyimpanan
harta benda nereka. Ia menghiba-hiba minta dikasihani, agar jangan dibunuh.
“Tolong tuan, jangan bunuh saya. Saya bersedia
jadi istri tuan dan akan menunjukkan semua harta Adipati untuk tuan. Tolong
Jangan bunuh saya!” katanya gemetar ketakutan.
“Perempuan sundal berlidah ular! Sudah ditolong
malah menggigit! Rasakan ini sebagai balasannya!” bentak Gadamuk sambil mengayunkan
gada mautnya. Tak ayal, tubuh-tubuh gemulai itu berantakan hancur diterjang
gada Gadamuk yang haus darah.
“Periksa semua ruangan dan habisi yang masih
hidup!” perintah Gadamuk kepada anak buahnya.
Mereka segera membongkar paksa
pintu-pintu yang terkunci dan menemukan ruang harta yang berlimpah uang emas
dan benda-benda berharga. Empat orang anak Adipati yang meringkuk disana tanpa
ampun dibunuh habis.
“Kumpulkan semua harta benda dan siapkan gerobak
pengangkutnya!” perintah Gadamuk.
Di bagian lain rumah itu, Brewok yang menyerbu
ruang kerja Adipati mendapati ruang itu kosong. Rupanya, begitu mendengar
keributan di luar, Adipati segera melarikan diri bersama pejabat dari pusat
yang sedang dijamunya, melalui pintu rahasia yang menembus jalan disamping markas
Setiaka.
“Periksa semua sudut! Jangan biarkan Adipati atau
siapapun lolos!” kata Brewok kecewa. Dicomotnya daging panggang yang ada di
meja dan menyantapnya dengan kasar, disusul dengan tuak lontar untuk mengobati
kekecewaannya sambil mengamati pasukan Gunung Kembar memeriksa setiap inci
ruangan yang luas itu.
“Ada pintu rahasia disini!” seru seorang dari
mereka.
Brewok dan pasukannya segera menyerbu masuk ke pintu
rahasia itu hingga tembus di jalan samping markas Setiaka. Disana mereka dapati
anak buah Gunung Kembar sedang bertempur menghadang Adipati dan tamunya yang
mencoba meloloskan diri. Segera mereka turun tangan membantu rekan-rekannya
yang tampak kewalahan melawan kehebatan ilmu beladiri kedua petinggi itu.
Tetapi melihat bantuan yang datang semangat mereka berkobar lagi. Sebaliknya,
Adipati dan tamunya kehilangan selera bertempur mereka. Satu-satunya yang
mereka inginkan hanyalah segera membebaskan diri dari kepungan dan meloloskan
diri.
Brewok segera menghadang pejabat tinggi itu karena
menurutnya nyawa orang ini sangat penting. Jangan sampai dia lolos dan melapor
ke pusat sehingga pemerintah pusat turun tangan dengan mengirim pasukan yang
lebih besar dan kuat. Ia menyerang dengan ganas pejabat itu yang meski
sebenarnya cukup lihai ilmunya tetapi sudah lamban karena kegemukan dan malas
berlatih. Karena itu, saat diserang dengan cepat dan gencar ia menjadi
kewalahan apalagi Brewok sangat bersemangat untuk mendapatkan nilai bagus
dihadapan Anak Langit dan yang lainnya bila bisa membunuh pejabat ini. Hanya
dalam beberapa jurus ia sudah terdesak dan berbalik hendak melarikan diri.
Tetapi sebagian pasukan Gunung Kembar menghadangnya. Kesempatan itu dimanfaatkan
Brewok untuk menebas lehernya. Pejabat itu tumbang dan mati, bahkan sebelum
tubuhnya menyentuh bumi.
Pasukan Gunung Kembar bersorak-sorai melihat
tewasnya pejabat itu. Dilain sisi sang Adipati semakin ciut nyalinya. Ia sudah
merasa ajalnya akan habis disini.Ia menyesali kenapa menuruti kemauan istrinya
yang serakah itu.
“Ah, wanita...!” keluhnya.
Namun, pada saat putus asa itu tiba-tiba terdengar
suara riuh dari arah markas Setiaka. Rupanya para prajurit disana telah
dijemput oleh Setiaka untuk menyelamatkan Adipati.
“Serang! Selamatkan Adipati!” terdengar perintah
Setiaka.
“Saya disini!” teriak Adipati itu.
Semangatnya tumbuh kembali.
Brewok yang merasa keadaan jadi berbalik menyuruh
seorang anak buah memanggil Gadamuk sementara ia mencoba bertahan. Menurut
rencananya sebentar lagi tentu Jotiwo segera tiba, dan bersama Gadamuk mereka
akan bisa mengalahkan Setiaka dan pasukannya. Tetapi Setiaka rupanya sudah
memperhitungkan kalau semua kejadian ini pasti sudah direncanakan dengan
matang, sehingga dia memutuskan segera mneyelamatkan Adipati mumpung ada
kesempatan. Selagi para prajuritnya menyerbu Brewok dan anak buah Gunung
Kembar, Setiaka segera membawa lari Adipati dengan dikawal ketat prajuritnya.
Mereka meloloskan diri kearah yang berlawanan dari gerbang kota.
Beberapa saat kemudian datanglah Jotiwo dan
rombongannya, hampir bersamaan dengan tibanya Gadamuk yang datang dari dalam
rumah Adipati. Dengan cepat mereka mengalahkan pasukan Setiaka yang seperti anak ayam
kehilangan induknya. Sebagian besar dari mereka memilih melarikan
diri menyelamatkan nyawa satu-satunya yang mereka miliki.
“Dimana Adipati dan Setiaka?” tanya Jotiwo.
“Mereka melarikan diri ke arah sana, sementara
anak buahnya mengeroyok saya,” jawab Bedul Brewok.
“Yah,
biarkan saja dulu. Yang penting pejabat itu telah mati sehingga tak bisa
melapor dan kita telah menang!” kata Jotiwo, disambut dengan sorak gemuruh anak
buahnya.
Atas perintah Jotiwo, mereka lalu menguras seluruh
harta kekayaan Adipati, kas dan bendahara Kadipaten Rajapurwa serta lumbung
berasnya. Harta benda yang ada di markas Setiaka pun tak luput dari jarahan
mereka, terutama kuda dan berbagai senjata. Dengan menggunakan 12 gerobak yang
masing-masing ditarik dua ekor sapi serta kuda-kuda yang dimuati berbagai
benda, mereka membawa harta rampasan
itu menuju pos mata-mata. Dari sana,
bersama dengan rombongan Andragi yang telah tiba lebih dahulu, mereka berangkat
menuju markas mereka di Gunung Kembar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.