Matinya Si Ular Biludak

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #35 )


Kita tinggalkan dulu Anak Langit di pos itu. Apa yang terjadi akibat ulah Gadamuk dan Bedul Brewok di rumah Adipati juga tidak kalah serunya. Saat Jotiwo memancing Setiaka untuk datang ke gerbang kota, Gadamuk dan bedul Brewok mengintai kediaman Adipati dari balik gerumbulan semak.

“Kita tunggu, apakah Jotiwo berhasil memancing Setiaka keluar dari sarangnya,” kata Gadamuk.

“Ssssst! Dengar, ada suara kuda mendekat,” bisik Bedul Brewok.

Beberapa saat kemudian tampak dua prajurit memacu kudanya memasuki markas mereka. Selang beberapa saat mereka keluar dan memacu kembali ke arah semula mereka datang.

“Wah, gimana nih, tampaknya Setiaka tidak berani keluar,” bisik Brewok bertanya-tanya.

“Tunggu dulu, mungkin dia sedang mencak-mencak marah di dalam sana. Saya tahu adat Jotiwo kalau membakar emosi marah orang lain,” jawab Gadamuk.

Benar dugaannya, tidak lama kemudian terdengar perintah Setiaka mengumpulkan para prajuritnya, yang dengan sigap segera memenuhi halaman markas itu. Setelah semuanya siap dan rapi berbaris, Setiaka memerintahkan mengikutinya menuju gerbang kota.

“Benar dugaan sobat Gadamuk. Markas mereka bahkan hampir kosong. Sekarang bisa kita habisi adipati dan seluruh keluarganya dengan mudah. heh..he!” kata Brewok.

“Ya..ya.Tetapi biar lebih mudah, kita pakai sedikit akal. Bagaimanapun, pintu gerbangnya itu dijaga ketat dan selalu tertutup. Di dalamnya ada banyak pengawal Adipati tentunya,” kata Gadamuk.

Ia lalu membisikkan rencananya. Brewok setuju. Mereka lalu menyebar lima puluh anak buahnya mengepung kediaman Adipati sedangkan sebagian besar bersiap menyerbu dari depan gerbang. Gadamuk dan Brewok dengan hati-hati keluar dari persembunyian mereka menuju jalan besar agak jauh dari gerbang rumah Adipati itu. Ia membawa keranjang berisi gada besarnya yang ditutupi selembar kain. Mereka lalu menuju gerbang itu dengan cara seperti tergopoh-gopoh, dan segera menghampiri empat prajurit yang menjaga disana.

“Penjaga, tolong bukakan gerbang. Kami berdua ingin bertemu Tuan Adipati. Ada hal penting yang akan kami sampaikan,” kata Gadamuk.

“He! Tunggu dulu! Siapa kalian! Ada perlu apa mau ketemu Adipati!?” tanya seorang penjaga yang lebih senior daripada ketiga rekannya.

“Kami bekas anak buah perampok Gunung Kembar, tapi kami diperlakukan tidak adil oleh Gadamuk, pimpinan perampok Gunung Kembar,” jawab Gadamuk.

Sementara itu Brewok menahan geli dengan sandiwara Gadamuk itu sambil mengusap brewoknya yang lebat, menutupi senyum gelinya.

“Karena itu diam-diam kami lalu mengambil harta Nyonya Adipati yang dirampok beberapa hari lalu untuk kami kembalikan. Kami ingin menjadi orang baik-baik,” kata Gadamuk, sambil menunjuk keranjangnya.

“Hmm. coba lihat harta itu!” perintah penjaga itu.

“Baik, tapi di dalam gerbang saja supaya tidak dilihat orang. Kami takut anak buah Gadamuk ada yang menguntit kami. Mereka sudah curiga gerak-gerik kami,”  kata Gadamuk.

Kali ini Brewok sudah tidak geli lagi, tapi berganti dengan waspada. Ia siap menghunus pedangnya bila situasi tidak sesuai rencana mereka.

“Iya, tapi tunggu dulu. Biar seorang dari kami melapor komandan kami dulu di dalam,” kata penjaga itu.

Ia lalu menyuruh seorang rekannya melapor ke dalam. Melihat gerbang telah dibuka Gadamuk tidak ingin lagi memperpanjang sandiwaranya.

“Ada baiknya saya tunjukkan sedikit  harta itu kepada saudara, biar saudara percaya,” kata Gadamuk sambil berhati-hati membuka kain penutup gada dalam keranjang itu.

Para penjaga itu mendekat sambil membungkuk ingin tahu.

“Nah, ini bendanya!” kata Gadamuk menyentak dan dengan tiba-tiba mengayunkan gadanya secara beruntun sekuat tenaga kearah dua orang penjaga yang tanpa sempat berteriak, remuk tengkorak kepala mereka. Pada saat yang bersamaan Brewok menyabetkan padangnya kepada penjaga ketiga, memutuskan lehernya.

Gadamuk lalu memberi aba-aba dengan isyarat kepada anak buahnya untuk merangsek  mandekati pintu gerbang. Dari dalam terdengar langkah kaki mendekat. Mereka tidak lain komandan penjaga dan yang melapor, sedang menuju ke arah gerbang itu. Tanpa curiga mereka melangkah keluar gerbang, dan disambut oleh sabetan golok serta hantaman gada. Keduanya tewas seketika.

“Kita harus menyerang secara serentak dan gaduh agar mereka terkejut dan panik. Petugas yang membakar segera langsung saja membakar benda-benda yang mudah terbakar,” kata Gadamuk kepada beberapa anak buahnya agar mereka meneruskan perintah itu kepada setiap orang secara diam-diam. Setelah memastikan semua mengerti perintahnya, ia lalu mengacungkan gadanya tinggi-tinggi.

“Serbuuuu!!!” teriaknya.

Serentak terdengar riuh rendah suara pasukan Gunung Kembar menerjang masuk. Para prajurit penjaga di dalam halaman rumah Adipati terkejut dan tak bisa berbuat banyak menghadapi gelombang serangan mendadak dan riuh itu. Dengan mudah mereka diserang hingga tewas. Gadamuk dan Brewok menyerbu masuk ke dalam rumah diikuti pasukannya dan dengan beringas memporak-porandakan benda-benda yang ada disana. Gadamuk yang begitu geram terhadap istri Adipati langsung menuju ruang keluarga dan meminta Brewok menyerbu ruang kerja Adipati.

Sementara itu para petugas pembakar sudah menyulut api dan membakar berbagai benda di beberapa bagian rumah itu. Para pembantu Adipati berlarian histeris menyelamatkan diri, tetapi sia-sia. Tanpa ampun mereka dihabisi oleh pasukan Gunung Kembar.

Gadamuk yang masuk ke ruang keluarga mendapati istri Adipati dan istri pejabat dari pusat meringkuk ketakutan bersama dayang-dayangnya. Anak-anak mereka telah ia sembunyikan di ruang penyimpanan harta benda nereka. Ia menghiba-hiba minta dikasihani, agar jangan dibunuh.

“Tolong tuan, jangan bunuh saya. Saya bersedia jadi istri tuan dan akan menunjukkan semua harta Adipati untuk tuan. Tolong Jangan bunuh saya!” katanya gemetar ketakutan.

“Perempuan sundal berlidah ular! Sudah ditolong malah menggigit! Rasakan ini sebagai balasannya!” bentak Gadamuk sambil mengayunkan gada mautnya. Tak ayal, tubuh-tubuh gemulai itu berantakan hancur diterjang gada Gadamuk yang haus darah.

“Periksa semua ruangan dan habisi yang masih hidup!” perintah Gadamuk kepada anak buahnya.

Mereka segera membongkar paksa pintu-pintu yang terkunci dan menemukan ruang harta yang berlimpah uang emas dan benda-benda berharga. Empat orang anak Adipati yang meringkuk disana tanpa ampun dibunuh habis.

“Kumpulkan semua harta benda dan siapkan gerobak pengangkutnya!” perintah Gadamuk.

Di bagian lain rumah itu, Brewok yang menyerbu ruang kerja Adipati mendapati ruang itu kosong. Rupanya, begitu mendengar keributan di luar, Adipati segera melarikan diri bersama pejabat dari pusat yang sedang dijamunya, melalui pintu rahasia yang menembus jalan disamping markas Setiaka.

“Periksa semua sudut! Jangan biarkan Adipati atau siapapun lolos!” kata Brewok kecewa. Dicomotnya daging panggang yang ada di meja dan menyantapnya dengan kasar, disusul dengan tuak lontar untuk mengobati kekecewaannya sambil mengamati pasukan Gunung Kembar memeriksa setiap inci ruangan yang luas itu.

“Ada pintu rahasia disini!” seru seorang dari mereka.

Brewok dan pasukannya segera menyerbu masuk ke pintu rahasia itu hingga tembus di jalan samping markas Setiaka. Disana mereka dapati anak buah Gunung Kembar sedang bertempur menghadang Adipati dan tamunya yang mencoba meloloskan diri. Segera mereka turun tangan membantu rekan-rekannya yang tampak kewalahan melawan kehebatan ilmu beladiri kedua petinggi itu. Tetapi melihat bantuan yang datang semangat mereka berkobar lagi. Sebaliknya, Adipati dan tamunya kehilangan selera bertempur mereka. Satu-satunya yang mereka inginkan hanyalah segera membebaskan diri dari kepungan dan meloloskan diri.

Brewok segera menghadang pejabat tinggi itu karena menurutnya nyawa orang ini sangat penting. Jangan sampai dia lolos dan melapor ke pusat sehingga pemerintah pusat turun tangan dengan mengirim pasukan yang lebih besar dan kuat. Ia menyerang dengan ganas pejabat itu yang meski sebenarnya cukup lihai ilmunya tetapi sudah lamban karena kegemukan dan malas berlatih. Karena itu, saat diserang dengan cepat dan gencar ia menjadi kewalahan apalagi Brewok sangat bersemangat untuk mendapatkan nilai bagus dihadapan Anak Langit dan yang lainnya bila bisa membunuh pejabat ini. Hanya dalam beberapa jurus ia sudah terdesak dan berbalik hendak melarikan diri. Tetapi sebagian pasukan Gunung Kembar menghadangnya. Kesempatan itu dimanfaatkan Brewok untuk menebas lehernya. Pejabat itu tumbang dan mati, bahkan sebelum tubuhnya menyentuh bumi.

Pasukan Gunung Kembar bersorak-sorai melihat tewasnya pejabat itu. Dilain sisi sang Adipati semakin ciut nyalinya. Ia sudah merasa ajalnya akan habis disini.Ia menyesali kenapa menuruti kemauan istrinya yang serakah itu.

“Ah, wanita...!” keluhnya.

Namun, pada saat putus asa itu tiba-tiba terdengar suara riuh dari arah markas Setiaka. Rupanya para prajurit disana telah dijemput oleh Setiaka untuk menyelamatkan Adipati.

“Serang! Selamatkan Adipati!” terdengar perintah Setiaka.

“Saya disini!” teriak Adipati itu.

Semangatnya tumbuh kembali.

Brewok yang merasa keadaan jadi berbalik menyuruh seorang anak buah memanggil Gadamuk sementara ia mencoba bertahan. Menurut rencananya sebentar lagi tentu Jotiwo segera tiba, dan bersama Gadamuk mereka akan bisa mengalahkan Setiaka dan pasukannya. Tetapi Setiaka rupanya sudah memperhitungkan kalau semua kejadian ini pasti sudah direncanakan dengan matang, sehingga dia memutuskan segera mneyelamatkan Adipati mumpung ada kesempatan. Selagi para prajuritnya menyerbu Brewok dan anak buah Gunung Kembar, Setiaka segera membawa lari Adipati dengan dikawal ketat prajuritnya. Mereka meloloskan diri kearah yang berlawanan dari gerbang kota.

Beberapa saat kemudian datanglah Jotiwo dan rombongannya, hampir bersamaan dengan tibanya Gadamuk yang datang dari dalam rumah Adipati. Dengan cepat mereka mengalahkan pasukan Setiaka yang seperti anak ayam kehilangan induknya. Sebagian besar dari mereka memilih melarikan diri menyelamatkan nyawa satu-satunya yang mereka miliki.

“Dimana Adipati dan Setiaka?” tanya Jotiwo.

“Mereka melarikan diri ke arah sana, sementara anak buahnya mengeroyok saya,” jawab Bedul Brewok.

 “Yah, biarkan saja dulu. Yang penting pejabat itu telah mati sehingga tak bisa melapor dan kita telah menang!” kata Jotiwo, disambut dengan sorak gemuruh anak buahnya.

Atas perintah Jotiwo, mereka lalu menguras seluruh harta kekayaan Adipati, kas dan bendahara Kadipaten Rajapurwa serta lumbung berasnya. Harta benda yang ada di markas Setiaka pun tak luput dari jarahan mereka, terutama kuda dan berbagai senjata. Dengan menggunakan 12 gerobak yang masing-masing ditarik dua ekor sapi serta kuda-kuda yang dimuati berbagai benda, mereka membawa  harta rampasan itu  menuju pos mata-mata. Dari sana, bersama dengan rombongan Andragi yang telah tiba lebih dahulu, mereka berangkat menuju markas mereka di Gunung Kembar. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA